Abraham Dimitri.
Pria bertato dengan rahang tegas yang terbingkai apik di wajahnya yang rupawan. Pria bergelar duda beranak satu itu menatap nisan di depannya yang bertuliskan nama sang istri.
Kacamata hitam yang bertengger di hidungnya menyamarkan matanya yang memerah. Selalu begini, setiap kali ia berkunjung di peristirahatan terakhir wanita yang sempat memberi warna dalam hidupnya. Ia pikir, seiring berjalannya waktu akan mampu menghapus penyesalan di lubuk hatinya. nyatanya semua masih sama. Ia masih saja merasa sesak setiap kali menatap nisan bertuliskan nama Anna itu.
Andai saja ia menuruti istrinya untuk tak pergi saat itu, mungkin wanita itu masih hidup sampai saat ini.
Memory nya kembali ke masa itu, hari di mana ia kehilangan wanita yang di cintainya.
Flashback on.
"Libur sehari lagi ya, Mas. Aku mau di temani kamu seharian ini." Rengekan manja dari sang istri yang kali ini harus ia abaikan.
"Gak bisa, Sayang. Mas bisa di pecat kalau sampai bolos kerja hari ini."
Ia bukan sedang memberi alasan, tapi begitulah adanya. Perusahaan tempatnya bekerja hanya memberinya cuti tiga hari, tapi karena tidak tega meninggalkan istrinya yang baru saja melahirkan ia meminta perpanjangan waktu cutinya menjadi seminggu. Habis sudah jatah cutinya bulan ini, jika ia sengaja meliburkan diri lagi ia akan langsung di pecat tanpa surat peringatan lagi. Terkesan kejam tapi begitulah peraturan perusahaan tempatnya bekerja.
Wajah Anna berubah sendu, mata perempuan berusia 25 tahun itu menatapnya dengan tatapan memohon. "Gak bisa, Sayang..." Dengan nada lembut ia menegaskan pada istrinya kalau kali ini ia tak bisa menuruti keinginannya. Wanita yang baru saja melahirkan anaknya beberapa hari yang lalu itu tertunduk, terdengar isakan tertahan dari mulutnya membuat Abraham menghela nafasnya panjang.
Entah ada apa dengan istrinya, sejak melahirkan, perempuan itu menjadi begitu manja dan selalu ingin ia temani. Kesepian?Tidak mungkin, setiap harinya keluarga selalu silih berganti menemani Anna, bahkan mertuanya sengaja menginap hanya untuk menemani mereka.
"Aku harus kerja, Sayang. Kita butuh biaya banyak untuk keperluan putra kita, dan kalau aku di pecat bagaimana aku bisa mencukupi kebutuhan kalian." Sekali lagi ia coba membujuk istrinya.
"Tapi aku mau lebih lama bersama kamu, Mas. Aku mau menghabiskan sisa waktuku bersamamu hari ini."
Abraham memeluk istrinya, "Iya. Nanti ku usahakan selesaikan pekerjaanku secepatnya biar kita bisa menghabiskan waktu, ya."
Anna akhirnya mengangguk meski terlihat berat, membuatnya cukup lega, "Aku akan menunggumu, jangan sampai terlambat ya, Mas." Ia mengangguk, lalu mencium kening istri serta anaknya yang tengah terlelap kemudian berpamitan pada mertuanya yang tengah menyapu halaman.
Semua berjalan normal, ia bekerja seperti biasa meski ada sesuatu yang terasa mengganjal di hatinya dengan sikap Anna belakangan ini. Tepat di jam makan siang, sebuah pesan membuat jantungnya seakan di renggut paksa. Anna terjatuh dari tangga, dan sekarang sedang kritis di rumah sakit.
Seketika tubuhnya terasa lemas. Ia segera pergi meninggalkan kantor, tak perduli lagi jika ia akan di pecat karena pulang tanpa izin.
"TApi aku mau lebih lama bersama kamu, Mas. Aku mau menghabiskan sisa waktuku bersamamu hari ini."
"Aku akan menunggumu, jangan sampai terlambat ya, Mas." Kini ucapan Anna tadi pagi terngiang di telinganya, ia merutuki dirinya penuh penyesalan karena tak menuruti keinginan istrinya.
"Kamu gak boleh kenapa-napa, An. Maafkan Mas, karena lebih mementingkan pekerjaan dari pada kamu."
Abraham tiba di rumah sakit sayangnya semua sudah terlambat, saat ia sampai di sana dokter mengatakan bahwa istrinya sudah tiada.
Anna di larikan kerumah sakit sudah dalam keadaan tidak sadarkan diri, pendarahan hebat membuat ia kehilangan banyak darah hingga akhirnya meregang nyawa.
Flashback off.
"Shadaqallahul- 'adzim." Suara sang putra yang menutup lantunan ayat suci membuyarkan lamunannya.
Setitik bulir bening berhasil meloloskan diri di sudut mata membuatnya lekas membuka kaca mata dan menyeka bulir kristal itu.
"Ayah, nangis?" Pertanyaan dari anak lelaki itu membuatnya segera menggeleng.
"Cuma kelilipan, " ucapnya memberi alasan.
"Kita pulang, yuk. Udah mendung nanti malah kehujanan." lanjutnya pada sang putra.
bocah berusia sepuluh tahun itu mengangguk, lalu beralih menatap nisan ibunya. "Rayyan pulang dulu ya, Bun. Nanti Rayyan kesini lagi temui Bunda."
Abraham tersenyum menatap sang putra yang begitu tegar. Tak pernah sekalipun ia melihat putranya itu bersedih setiap kali di ajak kemari, hanya senyuman dan keceriaan yang selalu di tunjukan putranya di depan nisan ibunya, dan itu membuatnya sedikit malu karena ia justru tak pernah bisa melakukan hal itu.
🌺🌺🌺🌺
Rintik hujan yang mulai turun membuat Abraham menepikan motor sportnya di sebuah warung sederhana untuk berteduh. jika saja sendiri ia pasti akan memilih melanjutkan perjalanan meski harus kehujanan. Tapi kali ini ia tak bisa melakukan itu, ada Rayyan, tak mungkin ia membiarkan putranya itu kehujanan.
Ia memesan kopi dan teh manis hangat untuk Rayyan, mengajak putra tunggalnya itu duduk di bangku yang tersedia di warung sembari menunggu hujan yang mulai menderas reda.
Abraham menyesap kopinya seraya berdiri di depan warung sambil berharap hujan ini akan segera reda hingga ia dan putranya bisa segera melanjutkan perjalanan untuk pulang. Tubuhnya sudah sangat lelah, ia baru saja sampai dari perjalanan jauh dan sang anak merengek minta diantar ke pusara ibunya. Ia ingin segera berbaring di ranjang untuk mengistirahatkan tubuhnya.
Diantara ramainya keandaraan dan banyaknya orang yang hilir mudik, perhatiannya tertuju pada seorang wanita muda yang baru saja turun dari angkutan kota. wanita itu berlari sembari menuntun anak kecil serta memangku balita dalam gendongannya. Mata Abraham menyipit, wajah wanita itu seolah tak asing baginya.
"Shaqina, " gumamnya.
Ia kembali masuk kedalam warung, meletakkan cangkir kopinya si atas meja dan mendekat pada anaknya.
"Rayyan nunggu di sini dulu gak apa, kan?" tanyanya pada putranya.
"Memangnya Ayah mau kemana? Hujannya masih deras loh, Yah." Rayyan bertanya dengan wajah kebingungan.
"Ayah mau ke toilet dulu sebentar, Rayyan tunggu dulu di sini, ya."
Bocah lelaki itu mengangguk membuatnya lega, "Tunggu di sini dan jangan kemana-mana sampai Ayah kembali."
Rayyan mengangguk, Abraham juga menitipkan putranya itu pada pemilik warung berpesan agar tak mengijinkan putranya pergi sampai ia kembali lagi. Pemilik warung itu mengangguk seraya menawarkan payung yang bisa ia pakai.
Abraham berjalan menyusuri toko-toko yang sudah di tutup pemiliknya, netranya menelisik setiap wajah yang tengah meneduh di sana hingga pandangannya berhenti pada wanita yang tengah mengeringkan tubuh seorang anak kecil.
"Shaqina." pekiknya pelan.
Ya, ia memang Shaqina. Wanita dari masa lalu yang sangat berarti untuknya.
Shaqina aulia
Wanita bertubuh mungil dengan rambutnya yang bergelombang itu tengah mengeringkan tubuh sang putra yang basah akibat kehujanan saat seseorang memanggil namanya, "Shaqina."
Wanita muda itu menoleh kearah suara dan mendapati seorang pria dengan jaket kulit berdiri di sana. "Abram," ucapnya, menatap lelaki itu tak percaya.
"Abraham," ujar lelaki itu membenarkan pelafalan namanya, dan itu sukses membuat bibirnya merekah sempurna.
Ya. Dia adalah Abraham sahabat semasa remaja Shaqina. Bagi sebagian orang dia tampak menyeramkan dengan tato yang menghiasi beberapa bagian tubuhnya, tapi tidak bagi Qina.
Bagi seorang Shaqina aulia, dia adalah sahabat yang paling menyenangkan dan juga salah satu keberuntungan yang Qina miliki diantara peliknya kehidupan.
🌺🌺🌺🌺
Abraham mengajak Qina dan anak-anaknya untuk meneduh di warung di mana ia menitipkan putranya. Qina setuju, dan kini mereka menikmati teh hangat bersama sembari menunggu hujan reda.
"Dari mana?"
"Dari mana?"
Ucap keduanya bersamaan membuat mereka terkekeh sendiri setelah sepersekian menit dilanda kecanggungan.
"Habis jenguk Ayah, kemarin dapet kabar katanya beliau sakit," tutur Qina.
"Sekarang keadaannya bagaimana?"
Shaqina menghela nafasnya, "Harus di rujuk, mungkin harus rawat inap juga."
"Udah di bawa kerumah sakit?"
Qina menggeleng, "Gak ada biaya, Ayah juga gak punya kartu sehat dari pemerintah, jadinya susah."
"Jadi di biarin aja?"
"Tadi udah di bawa kepuskesmas. Katanya mau di rawat di rumah dulu, nanti kalau obatnya habis dan belum membaik mau gak mau harus di rawat di rumah sakit." Terlihat sekali kekhawatiran di wajahnya.
"Mudah-mudahan Ayahmu nanti bisa sembuh setelah minum obat itu." Abraham mencoba menenangkan.
"Aamiin. Kamu sendiri habis dari mana? Aku pikir kamu masih di Bali." Ya setahu Qina sahabatnya itu memang tengah bekerja di Bali.
"Ini juga baru balik. Rayyan minta anter ke makam ibunya, pas mau pulang malah kehujanan. Gak nyangka juga bakal ketemu kamu di sini, " jawab pria itu seraya terkekeh.
"Iya. Aku juga gak nyangka bakal ketemu kamu. Lama, ya, kita gak ketemu."
Abraham mengangguk mengiyakan, "Lima tahun," cetusnya.
"Lama banget ternyata, waktu cepet banget berlalu."
Abraham menatap wanita di depannya dengan tatapan yang tak dapat di artikan. Wanita yang ia kenal lebih dari sepuluh tahun itu kini nampak berbeda.
Wajahnya di poles make up meski tipis, padahal dulu Shaqina sangat anti dengan yang namanya make up. Tubuhnya juga terlihat lebih kurus dari terakhir kali ia bertemu, pakaiannya juga kini terlihat lebih feminim, begitu banyak perubahan yang terjadi pada wanita itu dalam waktu 5 tahun.
"Kenapa menatapku seperti itu?"
Pertanyaan Shaqina membuyarkan lamunannya, ia menggeleng lalu mengalihkan perhatiannya pada dua bocah yang tengah menikmati teh hangat dan bakso bersama putranya.
"Anak-anakmu?" tanyanya sembari menunjuk mereka dengan dagunya.
"Iyalah. Masa anak tetangga." jawab wanita di sampingnya sambil menggeleng- gelengkan kepala tak habis pikir dengan pertanyaannya yang tak masuk akal.
Sekali lagi Abraham terkekeh, pertanyaan bodoh memang, jelas dua bocah yang umurnya tak jauh berbeda itu sudah pasti anak Shaqina terlebih wajah mereka sangat mirip dengan ibunya.
"Suamimu kemana? Kok gak nganterin?"
Wajah Shaqina berubah sendu mendengar pertanyaannya, ada apa? apakah ia salah bicara?
"Kerja," jawab Shaqina kemudian.
"Hari minggu gini? Rajin amat."
Shaqina hanya tersenyum masam membuatnya tak lagi melanjutkan kalimatnya.
Tak ada lagi obrolan di antara mereka, Shaqina sibuk menenangkan anak bungsunya yang mulai rewel, entah karena kedinginan atau mengantuk, sedang Abraham sendiri sibuk menatap sahabatnya itu dengan banyak pertanyaan yang bergelayut di benaknya.
Akhirnya, hujan reda juga membuat mereka pamit setelah membayar dan berterima kasih pada pemilik warung tersebut. Qina hendak pamit untuk pulang duluan, tapi Abraham melarangnya dan menawarkan diri untuk mengantar wanita itu pulang.
Sempat menolak, tapi akhirnya ia setuju. Hari sudah mulai gelap, akan sangat sulit mencari angkutan untuk pulang, sedangkan suaminya juga tak mungkin menjemput mereka membuatnya mau tak mau menerima tawaran Abraham meski Qina sendiri tak tau bagaimana caranya pria itu akan mengantarnya dan anak2nya dengan motor, sedangkan pria itu juga membawa Rayyan.
"Malah bengong, Ayo naik." cetus pria yang sudah memakai helm di kepalanya.
"Yakin bakal muat? kita berlima, loh. Yakin motornya bakal kuat?"
Ucapannya justru membuat pria itu tertawa, "Sini. Dudukin anakmu yang gede di belakang punggungku, abis itu baru kamu naik, yang paling kecil, kan, kamu gendong pasti muat kok."
Bukannya menurut Shaqina malah mengernyitkan dahinya tak yakin.
"Buruannn!" Desak pria itu ketika melihatnya masih berdiri.
"Iya. Iya."
Akhirnya Shaqina menurut, sepanjang perjalanan ia tak berhenti mengoceh, menyuruh pria di depannya untuk menjalankan motornya pelan-pelan saja, sesekali mencubit pinggang pria itu jika ia merasa kecepatan kendaraan roda dua itu bertambah, tanpa ia tahu di depan sana bibir pria itu tersungging manis, pria berhelm itu tengah merasakan kembali rasa yang dulu sempat ia kubur dalam-dalam.
Rasa yang hanya pria itu yang tau, karena ia tak pernah mengatakannya pada siapapun termasuk juga Qina.
Flashback 12 tahun yang lalu.
"Kau yakin mau nikah sama dia? Kalian pacaran belum ada setahun belum kenal satu sama lain dengan baik," ucap Abraham.
Abraham adalah satu-satunya lelaki yang mampu membuat Shaqina merasa nyaman bercerita. Meski terkadang juga sangat menyebalkan tapi hanya pada Abraham ia berani bercerita tentang semua keluh kesahnya.
Mereka pertama kali bertemu di sebuah acara festival band lokal di kota, Abraham menarik Shaqina yang saat itu terjebak di antara para penonton yang terlibat kerusuhan. Tanpa di duga mereka kembali di pertemukan dalam sebuah acara dan ternyata masih terikat jalinan kekerabatan hingga membuat mereka sering bertemu dan akhirnya menjadi dekat.
Meski awalnya sedikit takut melihat tato yang menghiasi tangan lelaki itu, namun sikap hangat lelaki itu membuatnya cukup nyaman dan yakin kalau ia lelaki yang cukup baik untuk di jadikan teman.
Abraham memang bukan lelaki alim bahkan bisa di bilang nakal tapi ia sangat menghargai orang lain dan tak pernah menyakiti perempuan dan itulah yang membuatnya mempunyai nilai lebih di mata Qina.
Abraham termasuk anak populer yang selalu menjadi pusat perhatian kaum hawa baik di sekolah ataupun tempat tinggalnya. Sebuah keajaiban bagi Qina bisa dekat dengan pria yang nyaris sempurna itu, dan karena itu pula banyak gadis yang mendekatinya hanya demi meraih perhatian Abraham, siapapun gadis yang akan jadi pacar Abraham harus lolos seleksi Qina terlebih dahulu, begitupun sebaliknya, siapapun pria yang akan jadi pacarnya harus dengan seizin Abraham. Ya, sedekat itulah mereka.
Bersama Abraham ia merasa aman, lelaki itu selalu menjaganya dari apapun yang akan membahayakannya.
Tapi untuk menaruh rasa lebih dari sahabat? Qina tidak seberani itu.
"Gimana kalau ternyata cowok itu cuma berniat mempermainkanmu saja?" Abraham mulai mencecarnya dengan banyak pertanyaan saat ia bilang sudah menerima lamaran dari seorang pria.
Ucapan Abraham membuatnya terkekeh pelan, "Kan ada kau yang akan menghajarnya."
Abraham tertawa, "Iya. Beritahu aku kalau dia berani menyakitimu, biar aku kasih dia bogem mentahku."
Qina tertawa lalu mengangguk mengiyakan, "Jadi kau setuju, kan?"
Ia melihat pria itu tersenyum, kemudian mengangguk pelan membuat bibirnya ikut merekah juga. "Terima kasih. Kau memang sahabat terbaik, " ucapnya, seraya memeluk lelaki itu.
Pelukannya di sambut usapan pelan di punggungnya. "Lagipula kalau aku bilang tidak setuju, memangnya kau akan membatalkan niatmu menikah dengannya?"
Kina melepaskan pelukannya lalu menggeleng, "Tentu saja tidak."
"Sudah kuduga," decak pria itu dengan sambil tertawa. Namun sesaat kemudian tawa pria itu berhenti, Abraham menatapnya dalam. "Kau yakin dia sebaik yang ada di pikiranmu, kan? Kau yakin akan bahagia dengannya?"
Shaqina hanya mengangguk pada pria di depannya meski dalam hatinya ada sedikit keraguan namun segera ia tepis, ia harus yakinkan diri bahwa pria pilihannya pasti bisa membahagiakannya.
"Baiklah, aku bisa apa kalau kau sudah seyakin itu."
Pria bernama Abraham itu duduk mengahadap matahari yang mulai tenggelam. Qina mengikutinya, mereka berdua menikmati matahari tenggelam yang entah kapan akan bisa mereka nikmati bersama lagi.
Shaqina duduk di samping Abraham, pria itu menarik kepalanya agar bersandar di bahunya. "Janji ya, kau akan bahagia bersama dia." Terasa anggukan dari Qina dan selanjutnya hanya keheningan yang ada.
Flashback off.
"Qina seragam kerja ku di mana?" teriakan dari suaminya menarik Qina kembali ke masa kini. Qina menghela nafasnya pertemuan dengan Abraham kemarin membangkitkan kembali ingatannya tentang masa remaja nya.
"Shaqina! Kamu dengar gak sih?!" Suara suaminya kembali bergema membuatnya segera bergegas menghampiri pria tersebut.
"Iya, Mas. Sebentar."
🌺🌺🌺🌺
"Ada apa, Mas?"
"Masih tanya ada apa!"
Shaqina seketika menunduk melihat raut marah suaminya.
"Seragamku mana? Kenapa belum disiapkan? Kamu mau aku di pecat dari pabrik gara-gara terlambat?"
"Ma-maaf, Mas. Sebentar aku ambilkan. "
Shaqina segera membawa seragam milik suaminya, lalu menyerahkannya pada lelaki itu.
"Hari ini aku ada lembur, jadi kau tak perlu menungguku untuk makan malam," ucap pria bernama Hardian itu.
Shaqina hanya mengangguk, lalu melanjutkan pekerjaannya membereskan kamar yang berantakan.
Sudah beberapa buan belakangan ini suaminya sering sekali pulang larut malam, kerja lembur selalu jadi alasan andalan saat Qina bertanya alasan keterlambatannya membuat Qina akhirnya tak lagi mempertanyakannya. Bukan karena percaya pada suaminya hanya saja ia lelah karena pertanyaan itu selalu berujung pertengkaran.
Shaqina menikah dengan Hardian saat usianya menginjak 19 tahun, bujukan Hardian dan keinginannya untuk tak lagi menjadi beban orang tua membuatnya tak berpikir panjang saat menerima lamaran lelaki itu.
Padahal saat itu ia pun tau kalau lelaki itu belum punya pekerjaan tetap, tapi ia mencoba berpikir positif dan meyakinkan diri bahwa Hardian akan menjadi lelaki bertanggung jawab dan mampu membahagiakannya.
Nyatanya semua tak seperti dalam bayangannya. Baru dua tahun menikah, lelaki itu sudah menunjukan sifat aslinya. Manja, arogan, egois, dan juga kasar. Meski tidak pernah menyakitinya secara fisik tapi kata-kata lelaki itu bagai belati yang mampu mengiris hati nya.
Keluarga Hardian juga sama sekali tak pernah menganggap keberadaannya, ia selalu merasa asing di tengah keluarga besar suaminya itu. Ia hanya akan di anggap ada ketika mereka butuh saja, selebihnya ia bagai makhluk tak kasat mata bagi mereka.
Dan yang lebih menyakitkan Hardian pun kini melakukan hal yang sama, hanya menganggap keberadaannya jika membutuhkan saja. Sakit di perlakukan seperti itu tapi ia tetap bertahan, anak-anaknya masih membutuhkan sosok kedua orang tua yang lengkap.
Dan itulah yang membuatnya bisa kuat sampai saat ini. Ia sudah merasakan bagaimana susahnya hidup tanpa seorang ibu dan ia tak mau anaknya merasakan hal yang sama.
Abraham benar, ia belum mengenal suaminya dengan baik, lelaki itu ternyata tak sebaik yang ada di pikirannya, tapi apa yang bisa ia lakukan sekarang? Menyesalpun juga tak ada gunanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!