Sudah satu bulan Alena mengajar di kampus ini. Dua bulan lalu, Alena baru kembali ke tanah air setelah empat tahun menuntut ilmu di negeri orang mengambil gelar Master dan Doktornya. Di usia 28 tahun, Alena sudah mendapatkan gelar Doktor dan menjadi lulusan S3 termuda di kampus tempat ia mengajar.
Belum genap satu bulan mengajar, Alena sudah diberi amanah beberapa mahasiswa yang sedang menyusun skripsi. Mahasiswa bimbingan limpahan dari dosen pembimbing yang sedang cuti melahirkan.
Saat ini, Alena sedang berhadapan dengan salah satu mahasiswa bimbingannya. Mahasiswa yang kerap membuatnya kesal setengah mati.
"Sudah saya katakan minggu lalu kalau hari ini kamu harus menyetorkan hasil revisi skripsi kamu. Kalau kamu kerjanya lambat seperti ini bagaimana bisa kamu lulus tepat waktu? Saya tidak suka mahasiswa yang malas seperti kamu," kata Alena tegas.
"Maafkan saya, Bu. Minggu kemarin ada masalah di keluarga saya. Saya harus menjaga keponakan saya karena ibu mereka sedang menunggu suaminya yang sedang koma di rumah sakit."
"Saya tidak tahu apakah yang kamu katakan itu memang benar atau hanya alasan saja."
"Kalau Ibu percaya ya alhamdulillah, tapi kalau memang ibu tidak percaya dengan alasan yang saya berikan, saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kalau memang Ibu tidak bisa memberikan toleransi pada saya, mungkin sebaiknya saya membatalkan judul skripsi saya yang sekarang dan memilih untuk memulai dari awal lagi. Saya tidak akan memilih Ibu sebagai dosen pembimbing saya. Kalau Ibu tidak suka mahasiswa malas seperti saya, saya juga tidak suka dosen yang menuduh tanpa bukti seperti Ibu." ujar mahasiswa bernama Atep memberikan alasan.
"Maksud kamu apa?" Alena membentak mahasiswa bimbingannya.
"Ibu seenaknya menuduh saya mahasiswa pemalas. Itu tuduhan yang tak bisa dibuktikan kebenarannya. Silahkan Ibu tanyakan pada dosen-dosen lain atau mahasiswa yang lainnya tentang diri saya yang Ibu tuduh sebagai mahasiswa pemalas."
"Kamu mahasiswa kurang ajar sekali. Mungkin saya salah karena menyebut kamu mahasiswa yang malas. Tapi saya tidak akan salah jika menyebut kamu mahasiswa dengan akhlak yang buruk. Kamu berani berkata kasar pada saya sebagai dosen pembimbing kamu." Emosi Alena meledak mendengar perkataan Atep.
"Kata-kata mana yang kasar. Bu? Ibu sudah menuduh lagi saya. Ibu ini hobinya menuduh orang sembarangan ya?" sanggah Atep tidak terima dengan tuduhan Alena.
"Kalau kamu tidak suka saya menjadi dosen pembimbing kamu, silahkan kamu protes ke pihak jurusan. Bukan keinginan saya untuk menjadi pembimbing kamu. Saya terpaksa menerimanya karena mendapatkan limpahan mahasiswa bimbingan dari Bu Syafrina yang sedang cuti melahirkan."
"Ibu di sini tuh baru, belum juga satu bulan tapi seakan-akan sudah mengenal saya sehingga dengan mudahnya menuduh saya pemalas."
"Saya tidak mau lagi berdebat dengan kamu. Sekarang terserah kamu saja maunya bagaimana. Kalau kamu memang mau ganti pembimbing, ajukan saja ke jurusan. Silahkan keluar dari ruangan saya! Masih ada mahasiswa lain yang akan bimbingan dengan saya. Saya sudah membuang-buang waktu saya yang berharga demi meladeni kamu. Silahkan keluar sekarang juga!" usir Alena.
"Baik, Bu. Saya permisi," pamit Atep.
***************
Atep adalah mahasiswa tingkat akhir yang sedang berusaha menyelesaikan skripsinya. Atep bukanlah mahasiswa biasa yang di usia 23 atau 24 tahun sudah berhasil mendapatkan titel di belakang namanya. Di usianya ke 27 tahun, Atep masih berjuang untuk mendapatkan selembar kertas bertuliskan Ijazah S1.
Sebenarnya bukan tanpa alasan Atep terlambat dalam menyelesaikan kuliahnya. Ada banyak halangan dan rintangan dalam tiap tahapan kehidupannya.
Salah satu rintangan Atep dalam menyelesaikan skripsi adalah dosen pembimbingnya. Atep merasakan bahwa ia dipersulit dalam menyelesaikan skripsinya. Atep hanya bisa menahan diri mendengar bentakan Alena.
***********
to be continued...
Alena POV
Namaku Alena Damayanti Nataprawira. Aku berprofesi sebagai seorang dosen di sebuah Universitas. Aku mengajar di fakultas ekonomi. Aku adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Walaupun lahir di keluarga yang tidak kekurangan baik materi maupun kasih sayang, tapi aku tidak pernah dimanjakan secara berlebihan oleh kedua orangtuaku.
Sejak kecil, aku sudah diajarkan mandiri. Aku menjadi seorang dosen pun karena benar-benar usahaku sendiri walaupun ibuku juga dulunya seorang dosen yang cukup berpengaruh dan memiliki kedudukan yang lumayan tinggi sebelum akhirnya memutuskan untuk pensiun dini.
Sebelum mengajar di Universitas ini, aku mengajar di kota yang sama dengan kedua orangtuaku tinggal. Tapi aku ingin mencari tantangan baru dan keluar dari zona nyamanku dengan memutuskan mengajar di Universitas di kota yang walaupun tidak terlalu jauh dengan tempat tinggal orangtuaku tapi cukup untuk membuatku merasakan hidup mandiri dengan tinggal sendiri.
Aku pindah ke Universitas Negeri bergengsi di kota ini pun dengan usahaku sendiri. Aku tidak ingin ibuku ikut campur urusan karirku. Aku bersyukur ibuku adalah seorang ibu yang sangat pengertian dan membebaskan anak-anaknya untuk memilih dan menggapai mimpinya masing-masing.
Aku memiliki seorang kakak laki-laki. Kakakku adalah lelaki yang dingin dan sangat menyebalkan. Tapi walaupun dingin dan menyebalkan, aku sangat menyayanginya. Sekitar 6 tahun yang lalu, kakakku mengalami kejadian yang membuatnya sakit secara fisik dan juga psikis. Istrinya pergi meninggalkannya karena memang kelakuan kakakku yang minus dan menyebalkan. Aku merawatnya hingga satu bulan penuh dengan mengorbankan jadwal mengajarku. Aku lebih memilih untuk mengorbankan jadwal kelasku demi menjaga kakakku hingga membuat ibuku khawatir dengan nasibku yang masih menjadi asisten dosen saat itu.
Aku bersyukur setelah satu bulan, kakakku berhasil bertahan dan mulai menjalani hidupnya lagi walaupun terseok-seok. Aku kasihan padanya tapi semua penderitaan yang dia alami memang hasil dari perbuatan buruknya pada istrinya sendiri.
Bukannya sombong atau tinggi hati, selain berkarir bagus, parasku juga bisa aku banggakan. Walaupun tidak ada keturunan bule atau timur tengah, tapi kecantikanku bisa diadu dengan perempuan-perempuan yang berdarah campuran. Ayahku orang sunda asli sedangkan ibuku seorang wanita jawa tulen. Dengan perpaduan sunda dan jawa, wajahku tidak kalah dengan para wanita blasteran.
Kulitku cerah walaupun tidak secerah perempuan-perempuan dari negeri ginseng ataupun negeri matahari terbit. Hidungku, walaupun tidak semancung perempuan keturunan timur tengah tapi masih enak dipandang dan menurutku sih cukup cantik terpasang di wajahku. Mataku tidak sipit dan juga tidak besar, sedang-sedang saja. Bibirku juga tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis dan aku beruntung memiliki bibir yang tanpa memoles dengan lipstik pun sudah terlihat cerah.
Kesimpulannya, wajahku sangat enak dipandang. Itu sih menurutku dan juga menurut ibu dan abahku. Berbeda dengan kakakku yang selalu bilang kalau wajahku itu jelek. Namun aku yakin kakakku itu hanya senang menggodaku saja. Buktinya, dia sangat protektif terhadap diriku. Setiap ada lelaki yang hendak mendekatiku, dia akan pasang badan melindungi adik satu-satunya ini.
Oh ya, sejak dua tahun lalu, aku memutuskan untuk menutup auratku dengan memakai hijab walaupun belum terlihat syar’i. Kata ibuku sih pelan-pelan saja dalam menikmati proses hijrahnya dan aku pun setuju dengan apa yang ibuku katakan. Walaupun belum berhijab secara syar’i tapi aku tidak pernah memakai pakaian yang terlalu ketat ataupun tipis. Hampir semua baju yang aku pakai untuk keluar rumah longgar dan tidak tipis menerawang. Tapi aku masih memakai baju ketat, hot pants, tank top, ataupun jenis pakaian seksi lainnya sisa dari masa jahiliyahku ketika berada di rumah.
Saat ini aku sedang berbahagia karena mendapatkan kabar baik dari kakakku yang sudah menemukan kembali istrinya. Kami juga mendapatkan kejutan yang membagahagiakan. Kakakku memiliki anak kembar. Ternyata, enam tahun lalu, istri kakakku pergi dengan mengandung buah hati mereka. Kakakku tidak mengetahui kehamilan istrinya hingga ia bertemu dengan anak kembarnya tanpa sengaja. Masih ada satu rintangan yang harus dihadapi oleh kakakku, yaitu kakak iparku yang belum mau memaafkan kakakku.
Hari ini, aku mendapatkan kabar dari ibuku kalau kakakku membawa dua anaknya ke rumah kami. Aku langsung berangkat setelah kelas terakhirku. 3 jam lebih perjalanan yang melelahkan tidak menyurutkan semangatku untuk bertemu dengan dua keponakan kembarku.
Setelah sampai rumah, aku berteriak-teriak memanggil-manggil kakakku yang menyebalkan tapi beruntung itu.
“Aa… mana keponakan Lena yang lucu-lucu?” Aku teriak-teriak dari depan rumah hingga halaman belakang.
Aku tertegun melihat dua anak dengan wajah yang sangat mirip di hadapanku. Aku berlutut untuk menyamakan tinggi badanku dengan dua keponakanku. Air mataku sudah mulai berlinang.
“Ini beneran keponakan-keponakannya Tante?” Aku memeluk mereka dalam satu rengkuhan.
Mereka memandang pada ayah mereka seakan meminta penjelasan tentang diriku yang sekarang sedang memeluk mereka.
“Ini namanya Tante Lena. Tante Lena ini adiknya Ayah. Tante Lena bekerja sebagai dosen dan mengajar di Bandung.” Kakakku memberikan perkenalan singkat tentang diriku pada keponakan kembarku.
“Kalian namanya siapa saja?” tanyaku setelah menguraikan pelukan.
“Ini Aris,” jawab salah satu dari anak kembar itu sambil menujukkan telunjuk ke arah dadanya.
“Ini Aras,” anak kembar yang satunya juga melakukan hal yang sama seperti saudara kembarnya.
“Nama lengkap mereka siapa, A?” tanyaku pada kakakku.
“Aras nama lengkapnya Faras Kamandaka Nataprawira. Kalau Aris, Faris Kamandaka Nataprawira.” jawab kakakku.
“Teh Iyah males banget bikin nama ya A,” candaku karena memang kakak iparku itu hanya menambah nama depan saja pada kedua anaknya. Nama kakakku Kagendra Kamandaka Nataprawira. Tuh kan, kakak iparku itu hanya mengganti nama depan kakakku saja untuk menamai anak kembar mereka.
“Ini bagaimana cara membedakan kalian berdua?” tanyaku sambil sibuk menyusut air mata yang kembali deras mengalir di pipiku.
“Nanti juga kamu bakal bisa membedakannya, Len,” sahut Ibuku.
“Gimana caranya, Bu?”
“Aras lebih mirip sifatnya sama kakak kamu. Sedangkan Aris sifatnya lebih mirip Iyah.”
Aku ber oh ria walaupun aku sendiri belum paham dengan apa yang dikatakan oleh Ibuku.
“Tante beliin mainan lego buat kalian. Kalian suka tidak?”
Aku memberikan Faras dan Faris masing-masing 1 set lego.
“Makasih, Tante…” Faris langsung menghambur memelukku dan mencium pipi kiri dan kananku.
Aku juga memberikan 1 set lego pada Faras.
“Makasih,” ucap Faras singkat.
Aku menatap lekat wajah Faras dan melihat tatapan Faras yang sangat mirip dengan tatapan kakakku.
“Sama-sama, Aras… kamu pasti Aras kan?”
Faras menganggukkan kepalanya.
“Dan kamu Aris….”
Faris tersenyum sangat manis dan menatapku dengan tatapan hangatnya.
“Tuh kan, Len. Dalam waktu yang singkat kamu sudah bisa membedakan Aras dan Aris,” ujar Ibuku takjub.
“Aras mirip banget sama Aa, Bu. Tatapan mata Aras itu loh bikin Lena merinding. Mirip banget sama Aa.”
“Jutek dan galaknya juga mirip banget sama Aa kamu,” tambah Ibu.
“Serius, Bu? Kok bisa ya mirip banget gitu?” heranku
“Ya bisalah. Aa kan ayah mereka.” Kakakku yang kesal mendengar perkataanku langsung menjitak kepalaku.
“Aww…sakit A.” protesku.
*************
to be continued.....
Alena POV
Belum satu bulan mengajar di Universitas ini, aku sudah diamanahi untuk membimbing beberapa orang mahasiswa yang dibimbing oleh kolegaku, Bu Syafrina yang sedang cuti melahirkan. Ada total enam orang mahasiswa yang harus kubimbing. Hari ini aku meminta mereka berenam untuk menghadapku secara bersamaan, empat orang mahasiswi dan dua orang mahasiswa.
Untuk pertemuan pertama kami, aku meminta mereka untuk menemuiku sekaligus sebagai efisiensi waktu karena satu jam lagi aku harus menghadiri rapat dosen.
Aku memperhatikan satu orang mahasiswa dengan pakaian yang terlalu casual duduk di ujung paling kiri. Aku tidak terlalu suka dengan sikapnya yang terlalu cuek dan kurang sopan dilihat dari cara berpakaiannya. Dia memang terlihat sangat tampan dan keren dengan rambut gondrong, mata yang tajam setajam elang, garis hidung dan rahang yang tegas, bibir yang seksi dan pakaian casualnya. Andaikan dia bukan mahasiswa tingkat akhir yang sedang kubimbing mungkin saja aku akan sedikit terpesona pada tampilannya. Eh, kenapa aku memiliki pikiran seperti ini sih.
“Saya dosen pembimbing kalian, menggantikan Bu Syafrina yang sedang cuti melahirkan. Hari ini saya meminta kalian untuk melaporkan sejauh mana kalian sudah mengerjakan skripsi masing-masing. Saya hanya punya waktu 30 menit hari ini untuk kalian. Saya harap kalian bisa melaporkan progress skripsi kalian dengan efektif dan efisien pada saya. Silahkan siapa yang mau duluan untuk melaporkan progress skripsinya.”
“Ibu hanya memberi kami berenam waktu 30 menit untuk melaporkan progress skripsi kami. Bagaimana bisa kami melaporkannya hanya dalam waktu 5 menit saja untuk setiap orangnya?” protes mahasiswa gondrong itu. Aku belum tahu siapa namanya.
Aku menarik nafas dan menghembuskannya dengan perlahan. Aku tidak mau terpancing emosi karena perkataan mahasiswa yang tidak sopan itu. Kekagumanku padanya otomatis langsung menghilang tanpa bekas. Aku paling tidak suka dengan orang yang berkata tidak sopan, siapapun itu. Salah satu sifat burukku adalah jika diawal pertemuan aku sudah tidak menyukai seseorang maka akan sulit bagiku untuk menyukai orang tersebut dikemudian hari. Mahasiswa yang songong ini berhasil menjadikan dirinya termasuk ke dalam daftar manusia yang akan sulit ku sukai. Lupakan saja kekagumanku yang sesaat tadi.
“Ini pertemuan kita yang pertama. Saya hanya ingin mengetahui secara umum saja progress skripsi kalian agar saya bisa menjadwalkan dan merencanakan masa bimbingan kalian.” Aku berbicara lurus tanpa melihat ke arah mahasiswa gondrong yang menyebalkan itu.
“Seharusnya, kalau hari ini Ibu memang tidak memiliki waktu yang cukup untuk kami, Ibu bisa menjadwalkan di waktu yang lain,” ujar mahasiswa gondrong yang menyebalkan itu sekali lagi mengajukan protes.
Aku berusaha untuk tidak memedulikan perkataannya dan meminta kepada mahasiswa yang lain utnuk mulai melaporkan progress skripsi mereka satu persatu.
“Silahkan Adelia, kamu mulai laporkan progress kamu!” perintahku kepada mahasiswi yang bernama Adelia.
Si gondrong menyebalkan itu berdecih sinis karena aku tidak meladeninya.
Mahasiswi yang bernama Adelia itu mulai melaporkan progress skripsinya dan aku mendengarkan dengan serius.
Setelah Adelia selesai, aku menyebutkan nama mahasiswa lainnya yang tertera dalam catatanku. Satu persatu nama mahasiswa kupanggil dan melaporkan kemajuan skripsi mereka. Sejauh ini tidak ada protes dari mahasiswa lain dan interaksiku dengan mereka terjalin dengan baik hingga terakhir aku menyebutkan nama si gondrong menyebalkan itu.
“Atep Dananjaya!” Aku menyebutkan nama orang yang saat ini paling aku benci. Aku sadar seharusnya aku tidak boleh memiliki perasaan benci pada mahasiswaku yang akan berakibat negatif pada proses bimbingan nanti tapi aku tidak bisa untuk menyukai manusia yang ada di hadapanku ini. Dia duduk di ujung paling kiri dekat dengan pintu ruangan sehingga aku harus sedikit duduk menyerong untuk bisa berhadapan dengannya.
“Silahkan laporkan progress skripsi kamu!” perintahku dengan nada ketus.
“Tidak usah pakai nada ketus seperti itu juga, Bu.”
Aku menguatkan hatiku agar emosiku tidak meledak di hadapan para mahasiswa bimbingan yang lain.
“Waktu yang saya berikan tinggal 5 menit lagi. Silahkan jika kamu mau melaporkannya sekarang juga. Namun jika kamu tidak mau, tidak masalah bagi saya,” ucapku masih terdengar ketus.
“Gak usah ngegas kitu juga lah, Bu.”
“Kamu…”
“Iya, Bu…, ini saya mau laporkan.”
Aku menghela nafas dengan kasar. Sepertinya aku harus menambah stok sabar untuk menghadapi satu manusia songong ini.
Si gondrong yang menyebalkan itu mulai melaporkan progress skripsinya yang akan maju ke bab 3. Sejujurnya aku mulai mengagumi lagi si manusia songong ini andaikata rasa benciku belum sebesar gunung. Dia melaporkan dengan bahasa yang lugas dan jelas. Penjelasannya runut dan dalam sekali dengar saja aku sudah memahami apa yang ingin dia lakukan untuk penelitiannya.
Tapi sepertinya rasa benci yang ada di hatiku sekarang menutupi kelebihan yang si gondrong nyebelin itu miliki.
“Baiklah. Saya sudah sedikit memahami apa yang ingin kalian lakukan terhadap skripsi kalian. Pertemuan selanjutnya, akan saya infokan nanti. Terima kasih atas kehadiran kalian hari ini.”
Semua mahasiswa bimbinganku berterima kasih kepadaku sebelum meninggalkan ruanganku kecuali si gondrong yang menyebalkan itu. Dia langsung beranjak dari duduknya dan keluar dari ruanganku tanpa sepatah katapun. Aku bukanlah seorang yang gila akan rasa terima kasih, tapi menurutku etika seorang mahasiswa kepada dosen mereka yang telah meluangkan waktu untuk mereka adalah mengucapkan terima kasih. Aku juga tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada mereka yang telah menghadiri pertemuan pertama.
“Dasar si gondrong nyebelin yang tidak punya etika. Dasar mahasiswa kurang akhlak,” rutukku dalam hati.
**********
to be continued....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!