NovelToon NovelToon

Cinta Pertama Dan Terakhirku

#Perkenalan pertama

Hallo pembaca semua,mau lewat nih

Ini karya terbaru dan bagiku ini karya pertamaku jadi mohon kritik dan sarannya aja yaa semuanya..

Jianan Arkana namanya. Ia biasa dipanggil Jian ataupun Mr Jian. Pengusaha sukses yang jaya di usia mudanya, 27 tahun. Lama berkecimpung dalam dunia bisnis rupanya ia hanya berjuang seorang diri. Tidak dapat dipungkiri memang.Sejak awal perjuangan hidupnya ia tak pernah bergantung pada siapapun.

Ayahnya meninggal ketika usianya baru sembilan tahun, dan ibunya lari entah kemana. Meninggalkannya sendiri di pinggir jalan. Membuatnya tahu kerasnya hidup dan bagaimana bocah sekecil itu harus mencari uang sendiri untuk menghidupi dirinya.

Dan hebatnya lagi iapun mampu mengakhiri pendidikannya hanya dengan uang yang ia dapatkan.

'Hidup yang keras.'

Begitulah ujarnya kala ia diwawancara dalam suatu acara di salah satu stasiun tv. Akhir-akhir ini memang banyak tawaran mengisi acara semacam itu. Menjadi narasumber tentunya. Tapi ia sama sekali tidak menyangka. Bahwa dari situlah cerita cintanya dimulai.

Dia tidak pernah jatuh cinta. What ?? Seorang pengusaha tampan tidak pernah jatuh cinta ?? Bahkan berteman dengan wanita pun tidak. Mustahil !!

Apa mungkin dia tidak normal? Apa memang dia punya trauma serius dengan seorang wanita karena kisah hidupnya yang ditinggalkan oleh sosok sang Ibu? Tidak ada yang tahu.

Atau mungkin tidak ada wanita yang mau mendekatinya? Pasti banyak wanita yang berusaha mendekatinya. Tapi ia selalu membatasi. Diluar urusan pekerjaan, dia selalu acuh. Wanita sehebat atau secantik apapun belum bisa menarik hatinya. Apapun alasannya.

"Wow, narasumber yang menarik." Ucap Yuna dibelakang layar saat membaca biodata dari seorang Jian. Ia meletakkan kopinya di atas meja.

"Dia adalah orang yang sangat memotivasi."

...

"Berjumpa kembali bersama saya Yuna tentunya dalam acara yang sangat dinanti dan penuh motivasi.." Ucapnya membuka acara.

"Mungkin malam ini akan menjadi malam yang berkesan untuk kita semua, dengan kehadiran bintang tamu yang sangat istimewa. Dia pejuang yang menarik dan tentunya telah menginspirasi banyak orang.. Mungkin anda lah salah satu orang yang terinspirasi darinya!

Siapakah dia?? Mari kita berikan tepuk tangan untuk bintang tamu kita malam ini, Mr. Jianan."

Riuh tepuk tangan bergemuruh bersamaan dengan hadirnya bintang motivator itu dari balik panggung. Bahkan usai Jian duduk di sofa pun teriakkan histeris para penggemar masih saja terdengar.

"Hallo, Mr Jian." Sapa Yuna membuka pembicaraan.

"Hallo."

"Bagaimana kabarmu ?"

"Baik."

"Ceritakanlah perjalanan hidupmu hingga di usia muda anda sudah menjadi inspirasi banyak orang.."

"Mengesankan."

"Hanya itu saja ??"

Ia menghela nafas.

"Kau tahu ? Satu kata itu telah mewakili seluruh perjalananku."

...

Yuna. Seorang aktris pun pembawa acara. Punya dua kepribadian berbeda. Bisa serius tapi seringkali ia terlihat kacau. Dia pun sama. Sejauh ini tidak satupun lelaki yang berhasil mengambil hatinya. Terkadang Almira bingung.Ia punya dua anak. Azof dan Yunaira. Tapi tak satupun yang memikirkan soalan cinta.

"Hai, Mr Jian." Sapanya usai di belakang panggung.

"Hai. Ada hal penting ?" Andai kalian tahu betapa datar wajahnya itu.

"Saya tertarik dengan anda."

"Lalu ?"

"Saya ingin mengenal anda lebih jauh. Maksudnya saya pun merasa terinspirasi dengan kisah anda." Yuna tersenyum.

"Tidak perlu. Anda bisa mengetahui saya lewat acara yang saya hadiri ataupun majalah dan koran." Jian berlalu pergi.

"Hahh ??" Betapa kesalnya hati Yuna saat itu. Mengingat baru kali ini dia diacuhkan oleh seorang pria. Padahal jika dihitung sudah berapa laki-laki yang berusaha mendapatkan atau hanya sekedar berbicara dengannya. Yaaa walaupun semuanya nihil.

"Apa dia tidak waras ?? Apa dia tidak mengenaliku? Sombong sekali.. Apa dia pikir dia saja yang kaya." Umpatnya.

"Dasar angkuh !!"

Itulah kali pertama mereka berjumpa. Tiada yang menyangka bahwa mereka akan mengalami cerita yang berkesan nantinya. Mereka tidak pernah akur. Dalam setiap pertemuan hanya diisi oleh pertengkaran dan pertengkaran.

Singkat saja ceritanya! Tidak perlu bertele-tele untuk menggambarkan kepribadian dua orang di atas!

Jian yang angkuh dan arogan. Dan Yuna yang suka bertingkah konyol. Tidak ada dewasanya sama sekali. Apa mungkin mereka bisa bersatu? Mengingat dua sifat mereka yang berbeda dan saling bertolak belakang. Sebenarnya hal itulah yang membuat semuanya terasa mustahil.

Dan sejak itulah panggilan Si Angkuh selalu terngiang di kepala Jian. Berbeda dari semua orang yang selalu memujinya. Ternyata tidak dengan wanita yang satu ini. Dia amat berani menghardik dirinya. Dia juga yang berani melawan semua ucapannya tanpa rasa malu sedikitpun.

Dasar wanita gila!!

Begitulah selalu umpatnya saat ia merasa kesal dengan wanita itu. Wanita yang berusia dua puluh enam tahun, namun masih tetap seperti remaja yang sedang gemilang pada masanya.

Dan dia tidak menyangka sedikitpun bahwa wanita itu yang akan merubah hidupnya. Menjadikan dirinya orang yang lebih baik dari sebelumnya. Apa ini kebetulan? Ataukah semua sudah diatur dan tertulis dalam takdir? Entahlah.

Bahkan sekuat apapun Jian menolak keadaan, nyatanya semuanya malah terasa semakin rumit. Tetap saja wanita itu selalu muncul dalam otaknya.

Terkadang ia bertanya-tanya. Mungkinkah Yuna juga sama seperti dirinya? Atau hanya dia saja yang mengalami semua ini? Kupikir akan lebih baik jika Yuna tidak sepemikiran dengan dirinya. Sebenarnya ketakutan dalam hatinya lah yang membuat ia enggan jatuh cinta pada wanita.

Dia takut mengecewakan. Lebih tepatnya, dia takut suatu hari nanti ia akan meninggalkan wanita yang mencintainya. Dan tentu saja wanita itu pasti akan menangisinya kala itu. Begitulah pemikirannya.

Didalam mobil ia melamun. Jujur saja dia mengingat betapa manisnya bibir aktris ini. Tidak heran jika begitu banyak laki-laki yang terpikat dengan kecantikan gadis yang satu ini. Wajahnya selalu berhasil menggoda mata setiap pria.

"Mr ?" Seseorang bertanya padanya, mengingat wanita itu begitu khawatir melihat lamunannya yang begitu lama.

"Kenapa ?"

"Anda harus bersiap untuk pertemuan besok."

"Kenapa tidak sekarang? Bukankah janji kita hari ini ?"

"Tidak Mr." Wanita yang duduk di depan bersama sang supir itu terlihat menyodorkan sebuah berkas.

"Dia minta pertemuan ini di undur sampai besok. Mengingat waktu sudah begitu larut, dan kesibukanmu hari ini. Mereka hanya berpesan untukmu agar menyiapkan segala berkasnya untuk pertemuan besok."

Wanita yang tak lain adalah sekretaris Jian itu terdengar menjelaskan semuanya panjang lebar.Wajahnya tidak jelas terlihat. Tapi dari suaranya dia terdengar begitu serius dan bijaksana.

Jian hanya menganggukkan kepalanya pertanda dia sudah mengerti. Lalu dia pun hendak melanjutkan lamunannya kembali. Tapi urung. Kali ini sang supir yang membuyarkan lamunannya.

"Kita pergi kemana, Mr ?"

Jian bersandar di jok belakang dan memejamkan matanya. Mendadak wajah manis itu kembali melintas. Ia membuka matanya kembali dan menjawab pertanyaan supirnya.

"Kembalilah ke Apartemen !"

Lalu memejamkan matanya kembali. Kali ini ia sungguh membiarkan bayangan wajah cantik itu menari di otaknya. Aku rasa dia mulai tertarik dengan Aktris itu. Hihihi.

#Ada apa dengan Yuna??

"Narasumber kamu hari ini orang yang hebat." Ungkap Azof pada Yuna di ruang tv sembari menyantap camilan.

"Hebat apanya? Kita juga punya perjuangan semacam itu. Karena Ayah kita bukanlah orang yang bertanggung jawab."

"Hei !! Bukankah yang berjuang selama ini itu Ibu ?" Cetus Almira.

"Ya kami setelah Ibu." Yuna terlihat amat kesal.

"Apa kakak tahu? Dia orang yang sangat sombong. Bicara pun hanya sedikit. Dia pikir dia orang yang paling unggul, karena itulah dia sangat sombong." Yuna menghela nafas. "Kalau aku lihat, dia seperti menghindar dari wanita.. Apa mungkin dia punya trauma dengan wanita?? Hh. Rasanya tidak mungkin. Dia tidak pernah punya pacar.. Jangankan pacar, teman wanita saja dia tidak punya."

Azof menimpali. "Kau memang pandai mengarang cerita.."

"Bukan begitu.. Aku hampir minta nomor ponselnya."

Seketika Azof dan Almira yang tengah minum terkejut.

"Apa??" Tanya mereka bersamaan.

"Kenapa?"

"Apa kau serius? Kau tak pernah mau bicara dengan laki-laki. Bahkan Demy yang sudah mencintaimu dari dulu pun kau abaikan."

"Ishh.. Kakak ini. Maksud aku bukan seperti itu. Aku hanya ingin tahu tentang dia. Tapi nyatanya dia malah menolak." Memasang wajah kesal. "Dia malah menyuruhku melihatnya saja di tv. Dia sungguh laki-laki yang tidak waras."

Dua orang disampingnya hanya melongo tak percaya apa yang baru saja mereka dengar.

Memang sejauh ini Yuna tidak pernah punya pacar. Bahkan berkenalan saja tidak mau. Padahal usianya sudah hampir berkepala tiga. Dan baru kali ini ia berinisiatif untuk mengenal laki-laki. Tapi nasib berkata lain. Ia malah diacuhkan. Hh. Malang sekali nasibnya.

....

Hari ini Azof bergegas ke Rumah Sakit. Dia seorang Dokter spesialis kanker darah atau yang biasa kita sebut Leukimia. Dia berangkat lebih awal karena hari ini dia punya jadwal khusus dengan salah satu pasiennya. Dia baru saja duduk, dan terdengarlah ketukan pintu dari luar.

'Tok!! Tok!! Tok!!'

"Masuk!" ( Terkejut melihat siapa yang datang ) "Hani? Kenapa?"

Hani adalah sahabat Yuna. Ia memang sudah lama mengagumi Azof. Sayang perjuangannya pun pelik.

"Kak Azof.. Aku membawa makan siang untukmu. Kuharap kau mau memakannya." Lalu tersenyum malu. Ia memberikan sebuah kotak makanan kepada Azof. Dan diterimalah kotak itu.

"Terima kasih."

"Aku harap kau bisa menikmatinya. Aku memasaknya khusus untuk kamu." Tersenyum lagi. "Saya permisi."

"Baiklah."

Tak lama setelah Hani keluar, masuk seorang Perawat membawa setumpukan kertas.

"Permisi Dokter. Ini daftarnya." Menyerahkan berkas di tangannya kepada Azof.

"Daftar ?" Azof terlihat bingung. "Bukankah hari ini kita punya jadwal Kemoterapi, ya?"

"Maaf Dokter. Pasien minta jadwal di undur nanti sore. Beliau tidak bisa hadir pagi ini."

"Apa? Dia memang tidak pernah mendengar kata-kata ku. Sepertinya dia tidak mau sembuh. Sebenarnya yang pasien aku atau dia ?" Azof amat kesal. Bagaimana tidak? Dia sudah meluangkan waktunya, dan janji itu dilupakan begitu saja.

"Baiklah aku akan segera keluar."

.....

"Ayo semua !!! Kita syuting adegan kita selanjutnya !! Cuaca akan hujan. Ini moment yang kita tunggu. Ayo cepatlah !!"

Semuanya bergegas. Termasuk Yuna. Dia lah lakon utama dalam ceritanya dalam film kali ini. Selain pembawa acara, dia memang handal untuk berakting. Itulah poin yang membuat dia unggul.

Disaat adegan dimulai, Hani terlihat hadir disana. Dia duduk dan menyaksikan sahabatnya bermain.

Tak lama setelah itu, adegan pun selesai. Yuna menghampirinya sambil membawa handuk untuk mengelap tubuhnya yang basah.

"Sudah lama ?"

"Baru saja." Ia meminum teh hangat milik Yuna.

"Itu teh ku." Kesalnya.

"Aku butuh yang hangat. Lagipula sikap Kakakmu masih begitu dingin."

"Aku sudah pernah mengatakan padamu. Tapi kau tidak pernah mendengarkan aku." Ia berhenti.

"Tapi aku bersyukur Kakakku seperti itu." Dia tersenyum.

"Apa?"

"Iya. Rasanya akan canggung jika suatu hari nanti kau akan menjadi kakak ipar ku."

"Apa kau benar-benar tidak merestuiku? Kau memang bukan sahabatku yang baik."

"Kau tahu? Sahabatku dari dulu hanyalah buku naskah dan kamera. Kau hanya datang karena kakakku bukan?"

"Ish.. Kau sungguh menyebalkan. Padahal jika aku tidak ada, kau bahkan tidak punya teman. Harusnya kau bersyukur."

"Sayangnya aku tidak mau."

..............

Hari libur !!

Yeayy !!!

Hari yang bahagia. Terbebas dari jepretan kamera atau naskah yang selalu ia baca.

Yuna memilih berolahraga di Taman Kota. Tentunya dengan kacamata hitam dan topi penyamarannya. Tapi diluar dugaan. Ternyata Jian pun ada disana.

"Hei, Mr. Jian."

Jian menoleh. "Ya? Apa kita saling mengenal ?"

Yuna membuka kacamatanya. "Ini aku, Yuna, Kamu ingat?"

"Oh. Kamu." Betapa cueknya dia.

"Kenapa kau ini? Apa kau selalu seperti ini?"

"Apa kau ingin wawancara lagi?"

"Aku bukan hanya sekedar pembawa acara. Aku ini Aktris terkenal. Apa kau tidak pernah menonton televisi?"

"Apa urusanmu?" Ia hendak pergi.

"Eitss.. Kau mau kemana? Terakhir kali kau meninggalkanku tanpa pamit. Dan kau akan mengulangi hal itu lagi?"

"Apa ada hal penting?"

"Apa kau mau berjalan di Taman bersamaku?"

"Apa untungnya bagiku?" Dan dia pergi lagi. Dia memang selalu seperti itu. Yuna pun memandanginya dengan kesal.

"Kamu benar-benar tidak menghargai orang lain. Hh." Yuna mengumpat kesal.

"Tidak ada pilihan. Sekarang atau tidak sama sekali." Ia juga berlalu. Menyusul Jian yang berlari lebih dulu.

Aneh memang. Yuna tidak pernah seperti ini pada laki-laki manapun. Tapi kali ini sungguh berbeda. Yuna begitu keras ingin mengetahui siapa itu Jian.

..........

Sementara di ruangannya, Azof tengah duduk memandangi sebuah kertas di tangannya. Raut mukanya cemas pun agak kesal. Sepertinya dia agak khawatir dengan suatu hal.

Almira tiba-tiba saja datang tanpa mengetuk pintu. Bergegas Azof menyembunyikan berkasnya di tumpukkan buku paling bawah.

"Azof, Ibu bawakan makan siang untukmu. Ayo kita makan!"

"Harusnya ibu tetap dirumah. Tidak perlu kesini."

"Apa katamu? Ibu tahu kau lapar, jadi Ibu kesini."

"Aku sudah kenyang ibu."

"Apa kau sudah makan? Apa Hani yang membawakan makanan untukmu?"

Azof hanya mengangguk.

"Lagi? Hhh. Dia pikir bisa mengambil hati putraku dengan membawakannya makanan ?" Dia kesal. "Baiklah. Ibu akan makan sendiri." Duduk di sofa.

"Tidak Ibu. Kau harus pulang. Makanlah di rumah."

Azof mengusirnya tanpa berpikir. Bahkan saat Almira sudah keluar dan memanggil namanya, ia acuh. Ia malah menutup dan mengunci pintunya. Sepertinya dia sedang dihadapkan oleh masalah yang besar.

"Azof !!! Buka pintunya !!!!"

.......

"Kenapa kau mengikuti aku?" Tanyanya tanpa menoleh.

"Kenapa? Apa tidak boleh?"

Jian hendak pergi. Namun lagi-lagi Yuna mencegatnya.

"Tunggu !!"

Jian berhenti dan berbalik.

"Kenapa lagi?"

"Apa salah jika aku ingin mengenalimu?"

tanyanya dengan nafas terpenggal-penggal. Hampir habis nafasnya mengejar si acuh itu. Tapi entahlah. Hal serendah ini rela dia lakukan untuk Jian. Iya. Hanya Jian.

"Kau tak perlu mengenalku. Lagipula aku tidak mau mengenalmu."

"Apa kau sejahat itu? Kupikir kau hebat, karena telah menginspirasi orang lain dengan kisah hidupmu. Tapi ternyata kau angkuh." Ia berhenti. "Dan mungkin andai dulu ada waktu aku bisa berjumpa denganmu saat kau masih susah, kau mungkin belum seangkuh ini."

"Kenapa kau bicara seperti itu?"

"Hidup itu bukan soal uang Mr. Jian yang terhormat. Hidup itu tentang bagaimana kita bersikap dengan orang lain. Tak ada gunanya kamu punya uang banyak jika kau tak pernah menghargai orang lain." Sejenak ia mengambil nafas.

"Berpikirlah! Kau bisa hidup tanpa uang. Tapi tanpa orang lain, kau bukan apa-apa. Kau bisa terkenal seperti ini karena banyak dari rekanmu yang mengakui kehebatanmu dalam berbisnis."

Berhenti lagi. Rasanya agak lelah memarahi orang dengan nafas yang membara.

"Kau pikir siapa dirimu? Orang lain pun bisa berjuang seperti kamu. Kau mengecewakanku, Mr. Tadinya aku bangga bisa wawancara denganmu di acaraku. Tapi nyatanya kau sama saja. Tak punya perasaan."

Yuna berlalu pergi.

Jian terdiam. Meresapi perkataan Yuna. Baru kali ini ada seorang wanita berani menghardiknya di depan umum. Tapi akhirnya dia bisa merasakan sesuatu dalam hati kecilnya.

........

Hari menjelang sore. Jian yang sudah menggunakan jaketnya hendak pergi ke sebuah Rumah Makan.

Tapi ia tak menduga kalau Yuna pun tengah berada disana. Ia punya dua pemikiran. Mendekat, minta maaf atau acuh saja berusaha seolah-olah ia tidak tahu ada Yuna di sana. Hh.

"Aku mau nasi saja." Ucapnya pada pelayan yang berhasil di tangkap oleh telinga Yuna.

"Jian."

Spontan Yuna memanggilnya. Apa? Mungkin dia lupa betapa kesalnya dia pagi ini, atau memang dia tidak punya harga diri?

Jian pun hanya menoleh. Bagaimana ini? Mendekat rasanya canggung karena kejadian tadi pagi. Jika tidak, pasti Yuna akan menganggapnya Si Angkuh lagi.

Jian pun membuat keputusan. Dia akhirnya mendekat dan duduk di sana.

"Kenapa?"

"Makanlah disini. Lagipula aku juga baru datang. Aku bahkan belum menyentuh sup nya."

"Oh. Baiklah."

"Mana makananmu?"

Pelayan datang membawa sepiring nasi dan sayur bayam.

"Kau hanya makan itu?"

"Iya."

"Kau pasti sedang diet. Maaf untuk soalan pagi ini. Aku sangat kesal kau tidak mau berkenalan denganku. Aku hanya ingin berteman denganmu. Rasanya lelah sekali mengejarmu."

Mereka akhirnya makan berdua disana.

Secepat kilat acara makan bersama pun usai. Jian membayar semua makanannya di kasir dan berlalu pergi. Yuna mengekorinya.

"Kau tahu? Aku tidak pernah ingin tahu soal laki-laki sebelumnya."

"Kenapa?"

"Entahlah." Yuna mengangkat bahunya.

"Rasanya masih takut saja untuk dekat dengan laki-laki. Tapi kali ini aku ingin mengenalmu. Aku ingin menjadi temanmu. Kau mau?"

"Aku juga tidak punya teman karena selalu menyendiri. Urusanku hanya datang dan pergi karena pekerjaan."

"Kau payah! Hidup itu jangan kau sia-siakan hanya untuk bekerja. Lagipula kau butuh teman yang bisa menemanimu bukan. Aku juga punya Hani dan Demy untuk ku ajak bicara. Rasanya melelahkan saja tiap hari harus bicara dengan naskah." Dia berhenti. "Dimana rumahmu? Apa kau tinggal di Apartemen?"

"Iya."

"Aku juga di sana. Kebetulan."

" Oh ya? Rasanya aku tidak pernah melihatmu?"

Yuna bingung harus menjawab apa. Dia memang punya unit di sana. Tapi kosong. Tidak berpenghuni. Rasanya agak horor saja menempati tempat itu sendirian.

"Oh itu... Aku, kan seorang aktris. Jadwalku padat dan aku jarang pulang kesana." Dia tersenyum nyengir.

"Boleh aku meminta nomor ponselmu?"

#Hari yang rumit

Malam pun hadir. Hari libur berakhir. Esok pasti akan lebih menyebalkan dari hari kemarin. Ia menjatuhkan tubuhnya di kasur. Teringat kejadian hari ini, buru-buru dia bangun dan mengambil ponselnya, lalu berbaring kembali.

Ia hampir mengirim pesan pada seseorang. Tapi rasanya ragu. Iapun meletakkan ponselnya kembali. Namun tak lama. Ponselnya berdering membuatnya terpaksa mengambilnya kembali.

"Hallo."

Dari seberang terdengar samar berbicara. Entah apa. Tapi yang jelas Yuna pun mengiyakannya.

"Baik." Ia hanya menjawabnya sembari terpejam.

"Besok aku akan kesana." kemudian tertidur.

Almira membuka pintu.

"Kau di dalam Yuna?" Tanyanya lirih. Ia kira anaknya belum pulang. Nyatanya ia mendapati Yuna sedang berbaring di atas kasur.

"Ibu kira kau belum pulang. Apa kau sudah tidur?" Tidak ada jawaban. "Ada Demy di bawah, katanya ingin bicara denganmu." Masih sama, tidak ada jawaban. Ia malah mendengkur semakin keras membuat ibunya merasa kesal.

"Dasar anak ini. Bisa-bisanya dia mendengkur didepanku. Lebih baik aku tinggalkan saja dia."

Ia pun beranjak pergi. Keluar dan menemui Demy di bawah sana.

"Maaf, Demy. Tapi Yuna sudah tidur. Hh. Dia mendengkur begitu keras. Dan ibu merasa kasihan untuk membangunkannya."

Demy hanya tersenyum, "tidak apa, Bibi. Dia jarang sekali punya waktu seperti ini. Jadi jangan bangunkan dia atau mengganggunya saat ia tengah beristirahat. Hari-harinya begitu penat."

"Syukurlah kau mengerti. Makanlah sup bersamaku sebelum kau pergi. Aku sudah memasak begitu banyak sup sore tadi. Tapi Yuna belum memakannya sedikitpun. Azof pasti pulang larut malam lagi. Jadi kau harus menemaniku makan."

Demy tersenyum lagi. Kali ini senyumnya agak mengembang.

"Kalau begitu, mari kutemani. Aku juga ingin menghabiskan sup Bibi yang terkenal nikmat itu."

Mereka tersenyum gembira. Berjalan bersama menyusuri ruangan dan duduklah mereka di meja makan. Almira membawa semangkuk besar sup buatannya sore tadi. Mereka pun menikmatinya bersama.

....

Esoknya, Yuna terlihat turun dari mobilnya. Di belakang dua asistennya menenteng beberapa koper besar miliknya. Dia menaiki lift dan berjalanlah mereka ke sebuah Apartemen. Dia berhenti di salah satu pintu. Yuna berusaha memencet beberapa tombolnya. Salah !!!

"Apa? Kenapa aku tidak ingat berapa sandinya." Dia berbalik dan bertanya pada Kimi, asistennya.

"Coba kau ingat Kimi!"

"Aku tidak tahu. Kau kan baru mengajakku kemari."

"Benarkah? Jadi kau belum pernah kesini?" Ia menepuk jidatnya. "Oh iya.. Aku lupa. Aku, kan belum pernah kemari dengan orang lain selain Ibu dan Kakakku."

Ia berpikir. "Coba kutanyakan pada Ibu."

Yuna memencet tombol di ponselnya dan menghubungi ibunya di seberang. Ibunya menjawab.

Dari kejauhan terlihat Managernya datang. Dan di belakang di susul seseorang yang tak asing baginya.

"Apa? Ibu juga lupa sandinya?"

Hal itu tak sengaja didengar oleh Jian. Ia hanya menyunggingkan senyum. Sementara Yuna yang menyadari kehadiran Jian langsung merendahkan suaranya.

"Baiklah aku akan tanyakan pada Kakak."

Jian berjalan mendekat. Yuna sudah berpikir macam-macam kala itu. Menyadari betapa dekatnya jarak mereka. Yuna berdiri diam di ambang pintu.

"Kenapa kau di depan Apartemenku?" Memencet beberapa angka dan membuka pintu.Jian berhasil masuk.

"Apa?" Yuna begitu terkejut.

"Kau salah Yuna. Ini bukan Apartemen kamu. Ini milik Mr Jian." Ucap sang Manager membenarkan.

"Apa katamu ? Unit berapa ini?" Ternyata salah. Itu unit 109 dan miliknya berada di unit 110. Lagi-lagi dia bertingkah konyol.

....

Semua sudah terkemas rapi. Dua asistennya pun sudah pulang. Tinggallah dia sendiri. Ia merasa sedikit bergidik. Rasanya memang horor.

Ia terpaksa memanggil Hani untuk menemaninya malam ini. Tidak mungkin dia bisa bertahan di malam pertama berada di Apartemen miliknya. Rasanya tidak pernah.

Hani datang tepat pukul delapan malam.

"Yuna, kenapa kau berpikir untuk pindah kesini?"

"Tadinya aku tidak pernah berpikir begitu. Pak Manager yang menyuruhku pindah kesini. Karena disini tempat paling dekat dengan lokasi syuting. Ia memaksaku agar aku tidak terlambat lagi."

"Pak Harry benar. Kau selalu datang terlambat." Ia tersenyum.

"Kau tahu? Aku bertetangga dengan Jian."

"Oh ya ? Pengusaha muda itu? Apa dia terkesan padamu ?"

Wajahnya mendadak cemberut.

"Jangankan terkesan. Berkenalan saja tidak mau."

Hani tertawa terbahak bahak.

"Apa maksudmu? Kau tidak perlu tertawa sekeras itu bukan ?"

"Terdengar lucu.. Seorang Yuna, aktris tercantik, diabaikan oleh seorang laki-laki.. Rasanya agak aneh saja." Dia tertawa lagi.

"Ishh.. Kau juga sama, diacuhkan oleh Kak Azof. Kau pikir hanya aku saja yang punya nasib malang?"

"Aku hanya belum punya kesempatan."

"Lalu apa bedanya denganku?"

Mereka terdiam. Tak lama Demy datang membawa makanan.

"Hallo, Yuna." Menyapa.

"Kau juga disini, Hani?"

"Apa yang kau bawa ?" Melirik bungkusan di tangan Demy. "Apa itu makanan ?"

Demy tersenyum.

"Untung aku membeli tiga bungkus tadi.." Duduk menyamakan Hani dan Yuna.

"Wah. Aku memang beruntung. Dari tadi aku disini tidak ada suguhan apapun yang dia keluarkan untukku.."

"Aku malas mengambilnya.." Tersenyum membuka satu persatu bungkusan itu.

"Wah. Kau membeli bakmi? Apa masih ada yang jual larut malam seperti ini?" Dia melanjutkan. "Sudahlah. Kau tak perlu menjawabnya. Aku akan ambil satu untukku."

"Aku juga mau. Jangan kau habiskan semua."

"Apa aku serakus itu?"

Demy tertawa. "Sudahlah. Semua pasti kebagian."

....

Yuna melangkah keluar Apartemen bersamaan dengan Jian yang juga hendak keluar. Mereka bertemu di lift. Singkat saja mereka berbincang.

"Kau mau keluar?" Tanya Yuna memulai percakapan.

"Iya."

"Apa kau mau ke Supermarket? Aku akan ikut denganmu."

"Apa aku terdengar mengajakmu pergi bersamaku?"

"Ayolah. Kita sudah pernah jalan berdua hari itu."

Jian membuang nafasnya kasar. "Baiklah."

Jian lebih dulu pergi. Sementara Yuna terlihat mengekorinya di belakang. Mereka berjalan kaki saja. Jarak antara Apartemen dan Supermarket memang tidak terlalu jauh.

Beberapa menit kemudian, mereka pun telah sampai. Langsung saja mereka masuk dan membeli beberapa bahan dapur. Asik mereka berbelanja bersama, hingga tak terasa hampir satu jam mereka disana. Membeli kebutuhan mereka sendiri.

Yuna yang hanya memakai kulot putih dan T shirt pendek berwarna hijau mint tersebut terlihat nyaman saja berbelanja. Hingga keadaan tak terduga pun terjadi.

"Pergilah ke toilet dan aku akan menyusulmu." Ucap Jianan sembari mengikatkan jaketnya di pinggang Yuna.

"Apa? Apa yang terjadi?" Yuna yang tidak tahu apapun hanya kebingungan melihat tingkah laku Jian terhadapnya.

"Tidak usah banyak bicara, dan lakukan saja tugasmu."

Ia bergegas mengantar Yuna, lalu pergi mencari sesuatu.

Dia sudah menemukannya. Tapi dia sangat ragu. Masa iya Jianan seorang CEO terkenal harus membelinya. Ahh ..

Apa yang harus aku lakukan?

Tidak ada pilihan lain. Segera ia menyambar pembalut di depannya dan membayarnya di bagian kasir. Tentu saja banyak yang menertawakannya.Ahh masa bodoh !!

Jian mengantar benda itu ke toilet. Ia mengetuk pintu. Kemudian pintu terlihat terbuka sedikit. Jian memalingkan muka sembari memberikan pembalut kepada Yuna.

"Hei!" Lirihnya.

"Kenapa?"

"Terima kasih atas bantuanmu. Tapi sepertinya celanaku benar-benar tidak bisa di selamatkan." Ia terlihat memohon. "Maukah kau membelikannya untukku?" Wajahnya semakin memelas.

"Hhh. Apa boleh buat."

Jian kembali berlalu. Mencari toko baju dan membelikan sebuah jeans wanita. Berlari ia kembali ke toilet dan memberikannya pada Yuna. Masalah usai.

Mereka keluar dengan selamat. Tentunya masih dengan penyamaran ketat. Kacamata dan topinya.

"Apa kau ingin makan ?" Tanyanya sambil melihat jam ditangannya.

"Tidak. Aku akan masak sendiri dan memakannya di rumah."

"Hhh. Rasanya kurang kalau pergi keluar tapi tidak makan sedikitpun. Kau harus bertanggung jawab karena telah berjalan bersamaku hari ini. Ajaklah aku makan." Ia mulai berandai.

"Setidaknya semangkuk bakmi pedas bisa membuatku kenyang."

Sampailah mereka di sebuah Restaurant. Yuna sudah menghabiskan dua mangkuk bakmi. Dan kini dia akan menghabiskan mangkuk yang ketiga. Jian yang melihatnya hanya diam.

Jian memang tidak terbiasa makan di luar. Jadi rasanya agak sungkan saja. Dia lebih senang memasaknya sendiri. Paling dia makan di luar hanya saat dia merasa tidak ada waktu luang.

Dia terdiam memandangi gadis di depannya. Ia berasa mual.

"Kau tidak mau makan?"

"Aku masih kenyang." Bagaimana tidak? Melihat Yuna makan saja rasanya perutnya ikut terisi.

"Bagaimana mungkin? Kita sudah berjalan seharian dan tidak ada makanan sedikitpun." Yuna mengangkat tangan. "Semangkuk bakmi."

"Apa kau masih belum kenyang?"

"Aku sudah kenyang. Lagipula aku memesannya untukmu."

Tak lama pesanan pun datang. Jian pun memakannya dan dalam sekejap bakmi sudah lenyap tak tersisa.

"Apa kau sudah selesai ?" Yuna berbisik. "Cepat kau bayar semua makanannya, aku akan menunggumu di luar."

"Tapi aku hanya menghabiskan satu porsi saja."

"Lalu apa masalahnya ?" Dia bangkit dan menenteng tas plastiknya. "Cepat bayar tagihannya,dan bawa juga tas belanjaan mu." Dia berlalu pergi.

"Wanita itu." Umpatnya sembari menutupi kekesalannya.

....

Mereka pulang begitu larut. Masing-masing menenteng tas belanjaan ditangannya. Mereka berhenti di depan pintu Apartemen. Apartemen mereka memang berhadapan.

"Terima kasih atas bantuanmu."

"Kau sudah banyak berhutang padaku."

"Apa?"

"Aku sudah sangat malu hari ini karena telah membeli barang yang belum pernah aku beli sebelumnya." Dia menoleh. "Kau harus membayar apa yang sudah kau perbuat."

"Apa? Ternyata kau orang yang sangat pelit. Aku bisa membayarnya jika tidak dalam keadaan terdesak. Lagipula berapa yang harus aku berikan padamu? Cepat katakan!!"

"Ini bukan soal uang. Tapi ini tentang harga diri." Dia hendak masuk tapi buru-buru Yuna meraih tangannya.

"Lalu apa yang harus aku lakukan?"

"Tidak ada. Kau hanya harus lebih berhati-hati saat keluar. Jangan sampai kejadian yang sama kau ulangi lagi. Selamat malam." Membuka pintu dan masuk.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!