Sadiyah kaget melihat mobil di depannya berhenti mendadak. Ia berusaha menghentikan laju motor tapi terlambat mengerem hingga menabrak mobil tersebut. Tak terelakkan, Sadiyah dan motornya terjatuh ke arah samping.
Pengemui di dalam mobil keluar dengan emosi dan sangat siap untuk memuntahkan luapan emosinya pada orang yang telah menabrak bagian belakang mobil yang baru saja dibelinya beberapa minggu yang lalu.
“Hei, kamu bisa gak sih bawa motor?” Lelaki tinggi dan tegap itu berdiri menjulang di hadapan Sadiyah yang sedang berusaha bangun dan mengembalikan posisi motornya.
“Ma-maaf, Pak. Saya tidak sengaja menabrak mobil anda.” Sadiyah meminta maaf karena musibah ini terjadi karena kesalahannya. Masalah perjodohan yang dibicarakan bibinya begitu mengganggu pikirannya hingga ia hilang konsentrasi. Untung saja kecelakaan yang dialaminya tidak parah.
Pria itu melihat bagian belakang mobil yang penyok lalu menghela napasnya kasar. Ia memejamkan mata sejenak untuk meredam emosi sebelum membicarakan masalah kerusakan mobil. Belum sempat ia mengeluarkan kata-kata, Sadiyah menginterupsi.
“Ini kartu nama saya, Pak. Saya akan bertanggung jawab membetulkan mobil anda yang penyok. Hanya saja, sekarang saya harus segera pergi karena ada urusan yang harus saya lakukan.” Sadiyah memberikan kartu nama dengan takut-takut, tak dirasa tangan dan sikunya yang sakit karena terjatuh.
“Sok sibuk sekali kamu sampai-sampai tidak ada waktu untuk menyelesaikan urusan sepenting ini. Kerusakan mobil saya adalah hal yang penting dan kamu meremehkannya,” ucap pria itu pedas. Emosinya kembali tersulut.
“Maaf, Pak. Bukannya saya sok sibuk. Tapi saya harus cepat pulang, Pak,” balas Sadiyah takut.
“Saya gak mau tau. Sekarang juga masalah ini harus selesai.” Pria itu mencekal tangan Sadiyah dan menyeretnya masuk ke dalam Cafe terdekat dari tempat kejadian.
***********
Sadiyah Galuh Kartasasmita
Seorang gadis yatim piatu berusia 25 tahun, memiliki satu adik laki-laki yang lebih muda 5 tahun. Dirawat oleh bibi, adik dari ayahnya sejak ditinggal kedua orangtuanya yang meninggal karena kecelakaan 10 tahun yang lalu. Iyah, nama panggilan dari Sadiyah menjadi yatim piatu ketika berusia 15 tahun, dan adiknya Gilang Sadeli Kartasasmita baru saja berusia 10 tahun. Sadiyah adalah seorang gadis cerdas yang manis dengan jilbab menjulur menutup sampai dada.
Sadiyah, di usianya ke-25 tahun, baru saja menamatkan kuliah di jurusan pertanian. Sadiyah sedikit terlambat menyelesaikan kuliah dikarenakan beberapa proyek yang dilakukannya disela-sela waktu kuliah. Sadiyah adalah gadis yang kreatif dan pekerja keras. Sejak masih kuliah, Sadiyah dan beberapa orang sahabatnya membuat beberapa proyek pengolahan hasil budidaya pertanian dengan penerapan teknologi terkini.
Diusianya yang masih tergolong muda, Sadiyah termasuk anak muda yang mampu menyediakan lapangan kerja bagi banyak orang, termasuk masyarakat di sekitar tempat tinggalnya. Usaha yang dirintisnya sejak masih di bangku kuliah mulai berkembang dengan hasil yang cukup memuaskan.
Keluarga Kartasasmita mewariskan tanah pertanian yang cukup luas. Sekarang ini, lahan berupa sawah dan perkebunan dikelola oleh suami dari bibinya, mempekerjakan masyarakat di sekitar. Banyak warga yang terbantu oleh usaha keluarga yang telah dirintis sejak zaman nenek moyangnya. Keluarga Kartasasmita bukanlah keluarga kaya penuh drama seperti kebanyakan keluarga berada lainnya. Rostita Kartasasmita, adalah adik dari Nandang Wijaya Kartasasmita, ayah dari Sadiyah. Rostita lah yang merawat Sadiyah dan Gilang sejak mereka menjadi yatim piatu. Rostita menikah dengan Darmawan dan memiliki 2 anak, laki-laki dan perempuan berusia 15 dan 10 tahun. Darmawan membantu Rostita dalam mengelola lahan perkebunan yang keluarga Kartasasmita miliki.
Sehari-hari, Sadiyah tinggal sendiri di sebuah rumah mungil yang terletak di pusat kota. Di akhir pekan, biasanya Sadiya akan pulang ke rumah keluarganya. Gilang, adiknya saat ini sedang meneruskan sekolah ke luar negeri.
************
“Abah, Aa kan udah bilang kalau tidak mau dijodohkan. Memangnya sekarang masih zaman kolonial, main menjodohkan seenaknya.” Kagendra marah pada ayahnya.
“Kalau kamu menolak perjodohan ini, bilang saja pada Aki. Aki yang berniat menjodohkan kamu dengan cucu sahabat baiknya. Aki kamu sudah berucap janji sejak mereka masih muda,” jelas Yusuf, ayahnya.
“Kenapa dulu Aki tidak menjodohkan Abah saja dengan anak sahabatnya itu? Kenapa sekarang jadi aku yang harus menanggungnya? Kalau memang harus menunaikan janji, jodohkan saja sama si Fian. Dia kan sama-sama cucu Aki. Kenapa harus aku yang dijodohkan? Pokoknya aku menolak perjodohan ini. Titik.” Kagendra masih saja marah-marah.
“Aa! Kamu tidak sopan bicara seperti itu. Kalau kamu tidak setuju, tidak usah marah-marah. Bicarakan baik-baik dan kemukakan alasan kenapa kamu tidak mau dijodohkan. Toh, sekarang ini kan kamu memang tidak punya kekasih. Jadi apa salahnya kalau kamu mencoba dulu perjodohan ini? Kamu kenalan dulu dengan cucu sahabat Aki. Ibu sudah bertemu dengan perempuan yang akan dijodohkan dengan kamu. Ibu suka dengan gadis itu,” jelas Indriani.
Kagendra mengisi gelas kosongnya dengan air dan langsung menghabiskannya hingga tandas. Ia menghela napasnya kasar.
“Bu, Ibu tahu kan siapa yang Aa tunggu?” Kagendra memohon.
“Aa, bukannya kami menolak gadis yang kamu sukai, tapi Natasha tidak memberikan kepastian yang jelas pada kamu. Ia lebih mementingkan studi dan karirnya. Ibu tidak menyalahkan dia yang lebih memilih meninggalkan kamu demi mengejar studi dan karir.” Indriani mengelus lembut kepala putranya itu.
“Tapi Aa sudah berjanji sama Tasha kalau Aa bakal tungguin dia,” ucap Kagendra.
“Kalau sudah jodohnya tidak akan kemana, A. Kalau memang Natasha sudah ditakdirkan menjadi jodoh kamu, maka ia akan menjadi jodoh kamu, tapi kalau memang Natasha tidak ditakdirkan menjadi jodoh kamu, mau kamu tunggu sampai kamu tua atau mau kamu kejar sampai kemanapun juga, maka dia tidak akan menjadi pasangan kamu.”
“Tapi Bu,”
************
Kagendra Kamandaka Nataprawira
Seorang laki-laki yang sedang berada dalam masa keemasannya, usianya 29 tahun dengan paras wajah yang tampan mendekati kesempurnaan dan tubuh tegap layaknya seorang model. Karirnya di bidang advertising sedang menanjak menuju kesuksesan. Kagendra memiliki sebuah agensi yang walaupun masih terbilang baru tapi telah mendapatkan beberapa penghargaan. Agensi yang dipimpin oleh Kagendra juga kerap mendapatkan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan besar dan ternama di negeri ini. Dengan wajah tampan dan tubuh tegap ditunjang oleh materi yang sangat cukup, banyak perempuan-perempuan dari berbagai jenis dan tipe kerap mendekatinya demi mengharapkan secuil perhatiannya. Belum ada seorang perempuan pun yang berhasil mengambil hatinya karena hatinya masih tertawan oleh seorang gadis nun jauh di sana, gadis yang telah mencuri hatinya sejak dia masih berusia remaja.
Usianya masih sangat muda tapi kariernya bisa dibilang sudah cukup sukses. Kagendra telah merintis karirnya sejak dia masih di bangku kuliah. Kagendra adalah salah satu pelajar yang beruntung karena dengan otaknya yang cemerlang, dia berhasil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah di luar negeri.
Walaupun termasuk anak dari keluarga yang berada, tidak menjadikannya anak yang manja dan malas-malasan. Sejak usia remaja, Kagendra telah menentukan cita-cita yang ingin dia capai dengan tangannya sendiri tanpa bantuan dari keluarganya. Dan disinilah, diusia mudanya Kagendra telah berhasil menggapai cita-citanya sejak remaja. Sejak kuliah di luar negeri, Kagendra melakukan banyak kerja part-time di agensi-agensi terkenal di negara tempat ia kuliah. Kagendra mulai bekerja sebagai pesuruh, kurir, hingga menjadi asisten di tim kreatif. Semua pengalamannya sejak bekerja part-time dijadikan modal yang cukup mendukung untuk membangun kerajaan agensinya setelah dia lulus kuliah dan kembali ke tanah air.
*******
to be continued...
Hari Jumat sore, Sadiyah baru saja sampai di rumah minimalisnya setelah seharian berkutat dengan proyek terbaru dalam mengolah hasil pertanian dari perkebunan milik keluarga.
Sadiyah melihat nama Rostita, bibinya memanggil di ayar ponsel.
“Halo, assalamualaikum, bi Ita.”
“Waalaikumsalam. Neng, ada dimana? Kenapa sudah jam segini belum nyampe rumah?” tanya Rostita khawatir
“Ini baru pulang dari tempat kerja Bi. Insya Allah, besok pagi Iyah pulang,” jawab Sadiyah.
“Bibi khawatir sama kamu karena gak ada kabar. Biasanya jam segini kamu sudah sampai rumah. Neng, ada hal penting yang harus Bi Ita bicarakan sama kamu,” ungkap Rostita.
“Insya Allah, besok pagi Iyah pulang. Tadinya mau sore ini, tapi tadi Iyah keenakan garap pekerjaan jadi gak kerasa magrib baru selesai." Sadiyah memberikan alasan.
“Ya sudah, besok hati-hati bawa motornya. Jangan kebut-kebutan.” Rostita mengingatkan.
“Siapa yang suka kebut-kebutan atuh Bi? Iyah mah kalau bawa motor ya biasa aja, pelan-pelan,” ucap Sadiyah membela diri.
“Lah itu, minggu kemarin kamu datang dengan luka dimana-mana karena jatuh dari motor,” kata Rostita kesal sekaligus khawatir.
“Itu kan karena Iyah menghindari kucing yang nyebrang tiba-tiba, Iyah jadi jatuh,” ungkap Sadiyah membela diri.
“Ya pokoknya mah kamu harus hati-hati, jangan sampai celaka lagi.” Sekali lagi Rostita mengingatkan.
“Iya Bibiku tersayang. Assalamualaikum.” Sadiyah segera menutup telepon setelah mengucapkan salam pada Rostita.
*******************
“Assalamualaikum bi.” Sadiyah langsung menerobos masuk ke rumah sambil berteriak-teriak memanggil Rostita.
“Bi, Bi Ita dimana?” teriak Sadiyah lagi.
“Waalaikumsalam,” jawab Rostita.
Sadiyah segera mencium punggung tangan Rostita setelah melihat bibinya yang keluar dari kamar tidur.
“Bi, ada makanan gak? Iyah laper nih, belum sempat sarapan tadi.” Baru saja sampai rumah, Sadiyah sudah meminta makan pada Rostita.
“Duuuh, dasar anak gadis. Baru juga datang sudah teriak-teriak minta makan,” ucap Rostita sambil mencubit gemas pipi Sadiyah.
“Laper pisan, Bi,” sahut Sadiyah.
“Tuh ada goreng singkong sama goreng pisang di meja makan. Tadi ada yang ngirim,” kata Rostita sambil menunjuk ke arah meja makan.
Langsung saja, Sadiyah melesat dan menghabiskan singkong dan pisang goreng yang masih tersisa.
“Dasar anak gadis makannya meuni rewog (Makannya lahap sekali),” sindir Rostita.
"Lapar, Bi," ucap Sadiyah manja.
Setelah menghabiskan sisa singkong dan pisang gorengnya, Sadiyah menghabiskan satu teko teh tawar hangat. Rostita hanya bisa beristighfar dan mengelus dada melihat kelakukan Sadiyah.
“Neng, kalau sudah kenyang dan selesai makan dan minumnya, Bibi mau bicara hal yang penting.” Rostita berlalu meninggalkan Sadiyah di ruang makan menuju ruang keluarga.
Setelah menyimpan piring dan gelas kosong ke dapur, Sadiyah mengikuti Rostita ke ruang keluarga.
“Ada apa, Bi? Serius pisan.” tanya Sadiyah. Ia duduk di sebelah Rostita.
“Nanti tunggu Amang kamu pulang. Tadi Amang kamu pergi ke rumah pak RT, katanya ada hal penting yang harus diselesaikan dulu,” jawab Rostita.
“Ada apa Mang Awan pergi ke rumah Pak RT, Bi?” tanya Sadiyah curiga karena biasanya pa RT lah yang selalu berkunjung ke rumahnya.
“Kan sudah Bibi bilang kalau amang kamu mau menguruskan sesuatu,” jawab Rostita.
Setelah beberapa saat, Darmawan, suami Rostita menampakkan batang hidungnya.
“Assalamualaikum” Darmawan memberi salam sebelum masuk ke dalam rumah.
“Waalaikumsalam” jawab Sadiyah dan Rostita kompak.
"Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga," goda Sadiyah. Bi Ita udah gak sabar ingin segera bertemu suami tercinta. Padahal setiap hari bertemu, tapi tetap saja masih bucin."
“Sudah selesai urusannya, Bah?” tanya Rostita pada suaminya.
“Sudah, Mbu,” Jawab Darmawan.
"Kamu ini bisa saja kalau sudah menggoda Amang. Paling pintar memang dalam hal ejek-ejekan," sindir Darmawan.
Sadiyah terkekeh mendengar jawaban Darmawan. Ia sungguh merasa begitu beruntung memiliki paman dan bibi seperti Darmawan dan Rostita. Mereka ikhlas mengurus dan mendidik Sadiyah dan adiknya sejak kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan.
“Neng, ada yang mau Amang bicarakan sama Neng. Amang harap, Neng menanggapinya dengan kepala yang dingin dan hati yang tenang.” Darmawan mulai menjelaskan hal penting yang sejak kemarin diwacanakan Rostita.
“Ada apa, Mang. Apa kita dililit hutang banyak? Apa kita harus menjual tanah dan rumah kita? Bagaimana dengan para pekerja?” Sadiyah menanyakan beberapa pertanyaan langsung saking khawatir.
“Bukan itu Neng. Alhamdulillah, tanah dan rumah kita baik-baik saja, para pekerja juga semakin bertambah karena semakin banyak dan luas tanah yang harus kita garap,” jawab Darmawan menenangkan.
“Kalau begitu, ada apa Mang?” tanya Sadiyah masih khawatir.
“Iyah, dengarkan baik-baik apa yang akan dikatakan Amang kamu,” kata Rostita sambil mengelus puncak kepala Sadiyah yang tertutup jilbab.
Sadiyah mengangguk.
“Begini Neng. Satu minggu yang lalu, sahabat lama Aki kamu datang menemui kami. Pak Musa namanya. Pak Musa datang menemui kami untuk melaksanakan janji yang telah diikrarkan oleh beliau dan Aki sewaktu mereka masih muda. Janji mereka itu…” Darmawan menggantungkan kalimat.
“Janji apa, Mang?” tanya Sadiyah tak sabar.
“Mereka berjanji untuk menjadi besan dengan menikahkan anak-anak mereka,” jawab Darmawan.
“Lah, Ayah kan sudah meninggal, sudah menikah juga dengan ibu. Bibi juga sudah menikah dengan Amang kan? Gak mungkin Amang menceraikan Bi Ita, kan?” tanya Sadiyah sedikit heran dengan keadaan yang tak masuk akal dan di luar nalar.
“Ya gak mungkin atuh Neng, masa Bi Ita yang mau dinikahkan dengan anak beliau. Yang pasti anak-anak beliau juga sudah menikah semua,” sahut Rostita berusaha menjelaskan untuk meluruskan kesalahpahaman pikiran Sadiyah.
“Jadi siapa yang mau dinikahkan?” tanya Sadiyah semakin heran. "Bukan Iyah, kan?"
******************
to be continued...
“Jadi siapa yang mau dinikahkan?” tanya Sadiyah tak sabar dengan jawaban yang akan diberikan Darmawan.
"Amang mau cerita dulu alasan dari janji perjodohan antara aki dan sahabatnya. Dengarkan baik-baik dengan kepala dingin dan hati yang tenang," ucap Darmawan.
"Iya, Mang. Iyan dengarkan."
“Pak Musa dan Aki bersahabat sejak mereka masih muda. Beliau cerita kalau Aki Idi banyak membantu beliau saat beliau mulai merintis usahanya. Aki yang memberikan modal, Aki juga yang banyak mendukung beliau sampai akhirnya menggapai kesuksesan,” ungkap Darmawan.
Darmawan menarik dan menghembuskan napas dengan karena merasakan beban berat yang ada di pundaknya.
“Pak Musa memiliki cucu laki-laki yang sudah cukup usia untuk menikah. Beliau meminta kepada Bi Ita selaku wali kamu untuk menikahkan kamu dengan cucu laki-lakinya, Neng.” Darmawan mengungkapkan beban berat itu pada Sadiyah.
Seketika suasana menjadi hening.
“Ini gak salah, Mang?” tanya Sadiyah setelah beberapa saat terdiam mencoba mencerna kata demi kata yang terlontar dari mulut Darmawan.
“Pak Musa menjelaskan bahwa karena kesalahannya lah rencana menikahkan anak laki-lakinya dengan Bibi kamu batal dan rencana menikahkan anak perempuannya dengan ayah kamu gagal juga karena masing-masing dari kami memang sudah memiliki pilihan masing-masing. Oleh karena itu, Pak Musa tidak ingin lagi gagal dalam menunaikan janji pada Aki. Pak Musa tidak ingin lagi terlambat untuk meminang menantu.” Darmawan mencoba untuk menjelaskan sejelas mungkin maksud Pak Musa melamarkan Sadiyah untuk cucu laki-lakinya.
“Amang dan Bibi bisa menolaknya, kan?” tanya Sadiyah yang sedikit kesal karena menahan emosi yang tidak tahu emosi macam apa yang mucul, apakah marah, kecewa, atau malu.
“Bi Ita sudah mencoba menanyakannya pada Pak Musa tentang perjodohan ini. Bibi juga menyadari kalau sudah bukan zamannya memaksa anak-anak sekarang untuk menikah bukan dengan pilihannya, tapi Pak Musa memohon kepada kami untuk menerimanya. Pak Musa tidak mau mengingkari janji yang sudah dibuat beliau dan Aki kamu dulu. Beliau tidak mau mengulangi kesalahannya dalam menikahkan generasi kedua mereka, makanya beliau bersikeras untuk menjodohkan kalian, para cucu-cucunya.” Rostita ikut memberikan penjelasan kepada Sadiyah.
“Tapi kan Bi,” Sadiyah tidak bisa meneruskan kalimatnya karena bingung dengan apa yang akan dikatakannya.
“Rencananya siang ini mereka akan datang berkunjung,” ucap Rostita tiba-tiba.
“Kenapa mendadak sekali sih Bi? Iyah kan belum menyiapkan diri. Hati dan kepala Iyah masih syok mendengar kabar ini. Baru saja Bibi bilang kalau Iyah mau dilamar, eh ini dilamarnya hari ini juga. Iyah belum mempersiapkan hati dan diri Iyah, Bi.” Sadiyah mulai merajuk pada Bibinya. Walaupun Sadiyah merasa bahwa perjodohan ini adalah hal yang aneh tapi mau tidak mau Sadiyah harus menerimanya karena rasa sayangnya pada keluarga. Sadiyah tidak ingin dicap jadi anak durhaka jika tidak menuruti keinginan kakek dan mungkin juga ayahnya.
“Bi Ita juga merasa ini terlalu cepat, baru saja minggu yang lalu Pak Musa menemui Bibi. Dua hari yang lalu beliau menelepon bahwa hari ini akan datang untuk melamar kamu, Neng,” sahut Rostita.
“Maafkan Bibi ya Neng.” Rostita memeluk erat Sadiyah.
Sadiyah hanya sanggup mengangguk dan balas memeluk Rostita. Saat ini, Sadiyah sangat merindukan pelukan ibunya. Wulan, ibunya selalu memeluk dirinya jika dirinya merasa sedih. Sadiyah juga merindukan Nandang, ayahnya, yang selalu membela dan melidunginya dalam situasi apapun. Walaupun sepuluh tahun telah berlalu sejak kedua orangtuanya meninggal, tapi Sadiyah masih mengingat dan merasakan kehangatan yang selalu Wulan dan Nandang berikan.
**************
to be continued...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!