"Aku tidak setuju!"
Sebuah suara bernada tinggi menggema di sebuah ruangan kerja. Si pemilik suara, Dirga Surya, menampilkan raut wajah marah, napasnya tersengal ketika berhadapan dengan kekasihnya, Megan.
"Mengertilah, Dirga, ini peluang bagiku untuk bisa mewujudkan cita - citaku sejak kecil!" Megan ikut berteriak, tidak mau kalah.
Suasana di ruangan itu semakin memanas. Dirga mengusap wajahnya dengan kasar menggunakan kedua tangannya. Ia berusaha menahan amarahnya atas permintaan Megan di waktu yang menurutnya tidak tepat.
"Megan, tidak bisakah kau tinggal di Indonesia saja, tiga bulan lagi kita akan menikah. Kita berdua sudah mempersiapkan semuanya dengan sangat matang," lirih Dirga akhirnya pada kekasihnya Megan Conika Han, di ruang kerjanya.
"Tidak bisa Dirga, maafkan aku. Kau tahu ‘kan, aku sudah memimpikan kesempatan ini sejak kita masih SMU. Dulu, kau yang selalu mendukungku, kenapa kau sekarang berubah seperti ini? Tolong mengertilah Dirga," bujuk Megan pada pria tampan yang sudah menjadi tunangan dan akan menikahinya dalam beberapa bulan lagi.
Megan melangkah menuju sofa dan duduk di sana. Dirga mendekatinya dan ikut duduk di sana, bersisihan dengan wanita yang dicintainya itu.
"Ajang pencarian bakat ini sudah kutunggu-tunggu sejak lama." Megan berusaha membuat kekasihnya itu mengerti.
"Tapi kau bisa mengikutinya lain waktu, Megan. Kita menikah dulu." Dirga tetap bersikeras pada keinginannya untuk tetap melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat.
"Tidak bisa begitu, Dirga. Jika menunggu kita menikah, aku pasti terlambat, ajang itu kan akan dilaksanakan dua minggu lagi." Sahut Megan yang masih berusaha meyakinkan Dirga kekasihnya.
"Kalau begitu, sebelum dua minggu ini kita menikah saja. Aku tidak mau, bila sudah di sana, kau akan bertemu banyak pria dan akan melupakanku dan pernikahan kita," ujar Dirga berusaha memberi penawaran, supaya bisa tetap menikahi Megan.
"Tidak semudah itu, Dirga. Belum surat undangan yang harus kita buat, dan mengirimkannya pada para undangan, lalu persiapan ini dan itu. Waktunya tidak akan cukup dalam dua minggu," jelas Megan.
"Apakah kau sudah tidak mencintaiku lagi? Kumohon menikahlah denganku, Megan. Aku sudah menantikan momen pernikahan kita ini sejak awal kita berpacaran di bangku SMU.” Wajah Dirga nampak suram dan kusut, ia menatap lekat wajah kekasihnya itu.
"Jangan berkata begitu, Dirga. Aku tidak akan membiarkanmu jadi milik wanita lain. Tunggulah sampai aku kembali. Aku masih Megan yang dulu, wanita pertamamu yang masih sangat mencintaimu—"
Perkataan Megan terputus saat tangannya ditarik oleh Dirga. Dalam sekejap, Megan berada dalam rengkuhan lengan kekasihnya. Megan menghela napas tidak kentara, mulai merasa nyaman.
Dirga selalu mampu membuatnya tidak berkutik. Pesona pria rupawan itu, bukan hanya dirinya saja yang dibuat tertarik padanya. Ia bahkan rela berkelahi dengan para siswi lainnya, karena memperebutkan Dirga yang terlihat cool dan menjadi idola saat masih dibangku SMU dulu.
"Jangan pergi, Megan, kumohon. Ayo kita menikah, dan kau akan melahirkan banyak anak-anak kita. Saat aku pulang berkerja, aku akan melihatmu menyambutku, tersenyum padaku, memberikanku kecupan dan pelukan seperti ini,” lirih Dirga sambil mencium aroma wangi kekasihnya itu.
"Lalu aku tidak akan pernah bosan memakan hasil masakan tanganmu setiap hari. Kau tahu Megan, hal itulah yang selalu ku impikan sejak dulu," lirih Dirga lembut.
"Aku memimpikan menikah dengan cinta pertamaku, wanita yang memberi cinta dan hatinya, dan seluruh perhatiannya padaku. Dan aku ... aku akan menjadi laki-laki yang paling bahagia didunia. Aku akan tetap berkerja keras, untuk menafkahimu dan anak-anak kita nanti, mencukupi segala keperluanmu dan anak-anak kita. Mereka akan tumbuh bahagia dalam keluarga kita yang bahagia. Aku akan selalu menjaga dan melindungimu Megan, juga anak-anak yang akan kau lahirkan dalam pernikahan kita nanti. Aku akan memberikan seluruh hatiku, perhatianku, cintaku hanya untukmu."
Dirga Surya terus berujar, mengungkapkan segala angan, harapan, dan impiannya saat menikahi Megan Conika Han kelak, yang teramat sangat ia cintai.
Ia membelai rambut Megan yang tergerai panjang, hitam dan wangi.
Megan hanya bisa terdiam seribu bahasa mendengar segala perkataan Dirga yang masih memeluk erat tubuhnya. Ia merasa sangat dilema, antara harus pergi mèngejar cita-citanya menjadi seorang violinist atau harus tetap bertahan di samping Dirga, kekasihnya, dan menjadi seorang istri seperti impian dirinya dan Dirga.
Menjadi seorang violinist adalah impiannya sejak kecil, kedua orang tuanya selalu menentangnya, hanya Dirga selalu mendukung cita-citanya itu.
Kedua orang tua Megan selalu meminta dirinya menggeluti dan meneruskan bisnis restoran keluarga, yang sudah mereka rintis dengan susah payah bertahun-tahun lamanya.
Megan adalah anak tunggal, sama halnya dengan Dirga. Jadi kedua orang tua mereka saling menumpukan harapan pada masing-masing anak mereka dalam meneruskan usaha yang telah mereka rintis dari nol.
Orang tua Dirga dan orang tua Megan saling kenal satu sama lain karena hubungan kedua putra putri mereka yang akan menikah.
Brak!
Pintu ruang kerja Dirga tiba-tiba terbuka. Dirga dan Megan nampak terkejut. Dirga segera melepaskan pelukan eratnya pada tubuh Megan.
"Firans! Apakah kau tidak bisa mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk?" tegur Dirga dengan wajah gusarnya.
"Sorry, My Boss." Firans menyengir tanpa rasa bersalah, lalu datang mendekati Dirga dan Megan yang sudah duduk merenggang satu sama lain sambil menatap ke arah dirinya.
"Ada apa? Kalau sampai kedatanganmu tidak penting, aku akan memberikanmu surat peringatan!" ketus Dirga geram dengan tatapan tajamnya.
"Ada program baru, tour ke Jepang dari leasing PT. IFF, bila dalam waktu tiga bulan berrurut-turut, perusahaan kita selalu mencapai target bulanan, dengan memberikan penjualan kredit pada konsumen lewat leasing mereka," ucap Firans tanpa basa-basi.
"Ini daftar targetnya." Firans langsung menyerahkan berkas yang ia keluarkan dari amplop berwarna cokelat yang ia bawa kepada Dirga. Dirga langsug menyambut dan membacanya dengan teliti.
"Selain itu, ada penambahan program Advance payment. Untuk target penjualan mobil yang mencapai target, advance payment yang diberikan akan mencapai 37 Milyar. Untuk penjualan sepeda motor yang mencapai target akan diberikan advance payment 4,2 milyar perbulannya selama tiga bulan berturut-turut. Bagaimana? Lumayankan?" Ujar Firans penuh semangat.
"Dananya jauh lebih besar dibandingkan dengan penawaran yang diberikan oleh PT. Nusa Asia. Besok, saat makan siang, CEO PT. IFF meminta bertemu dengan pihak perusahaan kita."
"Ya, sekalian mengundang makan siang," jelas Firans secara terperinci, dengan gaya santai dan tidak mengurangi rasa hormatnya pada sahabat yang menjadi CEO-nya.
"Baiklah, kita akan memenuhi undangan mereka," sahut Dirga menyetujui.
"Keputusan yang tepat, aku suka ini. Oke, aku keluar dulu untuk melanjutkan pekerjaanku. Kalian silakan lanjutkan apa yang sempat tertunda saat aku datang tadi," ucap Firans penuh semangat dengan mulut usilnya.
Dirga langsung melemparkan bantal sofa ke arah Firans, namun tidak mengenai asisten pribadinya itu, karena laki-laki itu sudah lebih cepat berlalu sebelum hal buruk terjadi padanya.
Megan hanya menggelengkan kepalanya melihat Dirga dan juga Firans. Mereka bertiga memang sangat akrab sejak dibangku SMU.
"Sudah sore, aku pulang dulu, Dirga. Papa dan Mama pasti mencariku. Tadi aku meninggalkan restoran pada para karyawanku," ucap Megan, ia berdiri dari duduknya, meraih tas brandednya.
Dirga melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Pukul lima sore, waktunya jam pulang kerja. Ia merapikan berkas-berkas dimeja kerjanya. "Aku akan mengantarmu pulang."
"Tidak perlu, Dirga. Tadi aku bawa mobil sendiri kemari," tolak Megan, menunjukkan kunci mobil di tangannya.
"Baiklah, tapi kita sama-sama turun ke parkiran. Aku juga akan pulang." Dirga melangkah keluar ruangannya bersama Megan.
"Firans, aku dan Megan pulang duluan," ucap Dirga pada asistennya yang duduk di meja kerjanya, bersisian dengan pintu ruang kerja Dirga.
"Baik, My Boss, Megan. Hati-hati di jalan," sahut Firans dengan gaya cerianya seperti biasa sambil memamerkan senyum lesung pipitnya.
"Kau juga segeralah pulang jika pekerjaan sudah selesai," ucap Dirga, ia segera berlalu bersama Megan sambil membalas senyuman Firans.
"Tunggu sebentar ya sayang." Megan melepaskan tangannya dari lengan Dirga, saat mereka berdua melewati meja resepsionis di lobby kantor.
Sementara Dirga berdiri menentenng tas milik Megan, sambil menunggu apa yang sedang dilakukan Megan dimeja resepsionis itu.
Tanpa sengaja, Megan memergoki salah seorang resepsionis itu sedang memandang kearah Dirga yang sedang menerima telepon dari seseorang.
"Monaliza," panggil Megan. Namun pegawai resepsionis itu tidak mendengar karena masih fokus memandangi Dirga dari belakang meja kerjanya. Megan dapat merasakan ada kekaguman dari sorot mata gadis resepsionis itu.
"Monaliza!" Panggil Megan sedikit lebih keras pada resepsionis itu. Hingga membuat Dirga yang sedang asik dengan ponsel yang menempel di daun telinganya ikut menoleh kearah Megan.
"I-Iya, Bu," sahut pegawai resepsionis itu tergagap.
"Saat berkerja, apakah kau diperbolehkan melamun?! Kinerjamu sangat buruk!" ucap Megan dengan sorot mata tajam pada pegawai resepsionis itu.
"M-maafkan saya, Bu, saya bersalah. S-saya tidak akan mengulanginya lagi. Mohon maafkan saya," ujar pegawai resepsionis yang bernama lengkap Monaliza Zhue itu dengan tergagap, ia merasa sangat bersalah karena Megan merasa kurang nyaman akan pelayanannya.
"Baiklah, untuk kali ini saja. Tidak untuk lain kali, atau aku akan meminta Dirga memecatmu!" ketus Megan. Dirga yang masih menerima telepon sempat merasa heran, kenapa kekasihnya itu memarahi pegawai resepsionisnya.
"Berikan paper bag yang kutitipkan tadi di sini," pinta Megan dengan tatapan datarnya pada Monaliza.
"Ditunggu sebentar ya, Bu," ucap Monaliza. Ia segera beranjak menuju lemari - lemari loker yang ada dibelakang mejanya.
Megan memperhatikan setiap gerakan resepsionis itu, yang tengah mengambil barang titipannya yang ada didalam loker.
"Gadis ini memang sangat cantik, dan terlihat masih terlalu muda," batin Megan. Tiba - tiba saja ada rasa khawatir muncul dalam benaknya setelah sempat memergoki resepsionis muda itu menatap Dirga, namun ia segera menepisnya mengingat Dirga selama ini tidak pernah beralih dari dirinya.
"Ini, Bu." Monaliza Zhue, resepsionis cantik itu segera memberikan barang titipan Megan.
"Terima kasih," ucap Megan sambil meraih dan memeriksa sejenak isi paper bag-nya.
"Sama-sama, Bu." Balas Monaliza, ia berusaha mengembangkan senyum ramahnya, walau sedikit kikuk karena sempat didamprat oleh calon tunangan majikannnya itu.
Setelah selesai memeriksa, Megan langsung berlalu dan kembali menghampiri Dirga. Keduanya lalu menuju parkiran.
"Apa yang membuatmu marah-marah dengan resepsionis itu tadi?" tanya Dirga, sesaat setelah mereka menjauh dari meja resepsionis.
"Tidakkah kau lihat kalau resepsionismu yang bernama Monaliza itu sangat cantik, dan juga masih sangat belia. Apakah kau yakin, tidak memperkerjakan anak di bawah umur?" ucap Monaliza yang sengaja tidak menjawab pertanyaan Dirga.
"Tentu saja resepsionis itu cantik, dia 'kan wanita bukan pria," sahut Dirga asal. Ia membuka pintu mobil Megan dan memasukan tas dan paper bag milik Megan ke jok samping kemudi.
"Sepertinya, resepsionismu itu menyukaimu. Aku tadi memergokinya menatapmu dengan sorot penuh kekaguman saat kau sedang menerima telepon. Apakah kau sama sekali tidak tahu akan hal itu? Atau bahkan sudah mengetahuinya, tapi berpura-pura tidak tahu." Megan merasa perlu mengungkapkan hal itu pada Dirga, ia tidak ingin apa yang ia duga ini menjadi masalah dikemudian hari dalam hubungan mereka.
Dirga menghentikan kegiatannya, ia menegakkan tubuhnya yang semula membungkuk untuk meletakan barang-barang Megan di dalam mobil. Ia mengarahkan tatapannya pada Megan. Disentuhnya pundak tunangannya itu lembut dengan kedua tangannya sambil menatapnya lekat.
"Apakah itu alasannya kau memarahinya tadi, Megan?" tanya Dirga masih menatap megan yang juga sedang menatap dirinya.
Megan menganggukkan kepalanya pelan.
"Sepertinya kau sedang cemburu pada pegawai resepsionis itu. Tapi aku suka itu," ucap Dirga dengan tersenyum senang.
"Aku bisa pastikan, di hatiku, hanya ada dirimu. Itu sebabnya, aku memohon lagi padamu, janganlah pergi ke Jepang. Aku tidak bisa jauh darimu, aku pasti sangat merindukanmu. Kau tahu, bila seorang pria merindukan kekasihnya, ia akan melihat wanita-wanita lain mirip dengan kekasihnya. Maka jangan salahkan seorang pria bila ia tidak sengaja mengganti kekasih lamanya dengan kekasih yang baru," rayu Dirga dengan harapan Megan mendengarkan perkataanya, dan mengurungkan niatnya untuk keluar negeri.
"Aduh! Sakit, Sayang!" Dirga mengerang kesakitan karena Megan kembali mencubitnya. Kali ini bukan di lengan tapi di perutnya.
*
Megan Conika Han : Maafkan aku Dirga, hari ini aku harus berangkat ke Jepang. Aku harus mewujudkan cita-citaku menjadi seorang violinist. Aku akan kembali bila cita-citaku sudah tercapai. Tidak perlu menghentikanku, aku sudah ada di jalan tol menuju bandara.
Hati Dirga tiba-tiba terasa kosong, dan hampa, setelah membaca pesan dari Megan, tunangannya. Dengan kasar ia membanting ponselnya diatas meja kerjanya, hingga jatuh berserakan ke lantai.
"Pergilah! Pergilah! Bila itu membuatmu bahagia, Megan. Aku tidak akan pernah melarangmu lagi!" Teriak Dirga seorang diri diruang kerjanya dengan putus asa.
"Kenapa, Megan? Kenapa kau tidak mau mendengarkan kata-kataku? Kau anggap apa hubungan kita?" Dirga meremas rambutnya dan mengacak-acaknya hingga berantakan.
"Aku tidak pernah melarangmu mengejar cita-citamu, tapi waktunya tidak tepat, tiga bulan ke depan kita akan menikah, Megan. Kenapa kau seolah tidak perduli?" lirih pria itu dengan perasaan campur aduk.
Suara telepon dimeja kerja Dirga berdering berulang-ulang. Namun Dirga tidak memperdulikannya, ia masih sibuk dengan kekalutan hatinya. Rasa kecewanya pada keputusan Megan untuk tetap berangkat ke Jepang membuatnya tidak bersemangat berkerja dihari itu.
Tok! Tok! Tok!
Dirga tidak perduli pula pada suara ketukan pintu di ruang kerjanya itu, walau sebenarnya dirinya mendengarkan, ia masih fokus pada dirinya sendiri.
"Dirga!" Panggil Firans, yang terpaksa masuk karena tidak ada jawaban dari sahabat yang menjadi bosnya itu. Dirga tidak menjawab, wajahnya tertekuk.
Firans berjongkok, mengumpulkan ponsel Dirga yang berserakan di lantai dekat mejanya.
"Pantas saja ku telepon berada di luar area, rupanya seperti ini bentuknya," guman Firans di dalam hatinya, sambil membenarkan ponsel Dirga dan mengaktifkannya kembali.
"Dirga, ini ponselmu," panggil Firans lagi, sambil memberikan ponsel bosnya itu, yang berhasil ia benarkan, dan meletakkannya di atas meja. Masih tidak ada jawaban dari Dirga.
"Dirga, hari ini kita ada janji bersama pak Hirago dari PT. IFF untuk makan siang bersama sekalian membicarakan penawaran yang sempat pihaknya ajukan kemarin.
Dirga mendongakan wajahnya, namun tidak menatap Firans asistennya, ia lebih memilih meluruskan pandangannya kedepan dengan tatapan menerawang.
"Kau saja yang mewakiliku." Ucap Dirga tidak bersemangat.
"Hei! Kau kenapa?! Tidak biasanya kau seperti ini, Dirga," ucap Firans santai sambil menepuk punggung Dirga yang menatap kosong kedepan.
"Megan, dia tetap memaksa untuk pergi siang ini Firans. Pernikahan kami, sepertinya tiada artinya baginya." Keluh Dirga masih menatap kosong ke depan.
Firans terdiam sejenak. Ia bisa mengerti bila Dirga bersikap hingga seperti itu. Ia telah menjadi saksi kebersamaan antara Dirga dan Megan hingga delapan tahun ini. Bagaimana kedua sejoli itu selalu bersama dan merencanakan pernikahan mereka sejak mereka sama-sama lulus dari perguruan tinggi.
"Lihatlah pesan dari Megan, ia sudah menuju bandara, dan ia melarangku untuk menghentikan kepergiannya." Dirga memperlihatkan pesan Megan yang ada diponselnya pada Firans.
Firans membaca sekilas pesan Megan yang ditunjukan oleh Dirga padanya, lalu meletakannya kembali di atas meja kerja Dirga.
"Lalu apa yang akan kau lakukan?" tanya Firans sambil memperhatikan wajah Dirga yang masih terlihat kusut.
"Aku tidak tahu," sahut Dirga tambah tidak bersemangat.
"Dirga, Megan itu, tidak pergi untuk selamanya, ia hanya ke Jepang untuk sementara waktu demi cita-citanya. Bukankah selama ini kau yang begitu gigih mendukungnya dan mencari guru - guru private untuk Megan. Kenapa sekarang kau malah menentangnya?" ucap Firans.
"Tapi waktunya tidak tepat, Firans! Tiga bulan lagi kami akan menikah!" sahut Dirga dengan nada meninggi.
"Itu menurutmu, Dirga! Kau hanya melihat dari sudut pandangmu saja. Megan, dia pasti punya alasan tersendiri kenapa tetap pergi. Belum tentu ia akan mendapat kesempatan lagi setelah ini," ucap Firans yang berusaha membantu sahabatnya itu untuk memahami alasan Megan kekasihnya.
"Itu artinya Megan egois, mementingkan dirinya sendiri!" Dirga masih tidak mau menerima penjelasan apapun.
"Stop, Dirga! Kau lebih mengenal Megan lebih dari pada aku. Kau kekasihnya. Jangan berkata - kata, ataupun beropini sendiri, yang akhirnya akan membuatmu terluka sendiri akibat pikiran-pikiran sendiri," ucap Firans mengingatkan.
"Aku merasa, kepergian Megan, akan membuatku tidak pernah bertemu dengannya lagi Firans." Ucap Dirga sedih bercampur kecewa.
"Tidak boleh berkata demikian, Dirga. Ucapan adalah doa. Megan adalah wanita yang setia, bukan? Sama seperti dirimu. Jangan berpikir yang bukan-bukan. Berdoa sajalah supaya cita-cita Megan bisa tercapai, dan dia segera kembali, lalu kalian menikah," tegur Firans mengingatkan.
"Sekarang bersiaplah, waktunya kita bertemu Pak Hirago. Jangan sampai mereka lama menunggu. Sementara kau menunggu Megan pulang dari Jepang, tetaplah bekerja dengan giat, supaya tunanganmu itu semakin bangga padamu saat ia kembali nanti," ucap Firans memberi semangat.
Dirga menatap wajah Firans. Apa salahnya ia merelakan Megan untuk sementara waktu mengejar mimpinya selama ini. Toh, dia juga akan kembali, pikir Dirga di dalam hati.
"Kau benar Firans. Aku beruntung mempunyai sahabat sepertimu. Terima kasih sudah mengingatkanku," ucap Dirga seraya tersenyum.
"Jangan terima kasih saja. Bonusnya harus double, selain jadi karyawan, aku juga kan merangkap jadi penasihatmu bukan?" seloroh Firans sambil terkekeh.
"Tidak masalah, aku akan memberikanmu bonus tambahan kalau penjualan kita mencapai target selama tiga bulan kedepan secara berturut-turut," ucap Dirga memberi syarat atas permintaan sahabatnya itu.
"Aku suka itu! Ayo, kita berangkat, aku tidak sabar mendapat bonus tambahan juga dari PT. IFF kalau kita bisa menjalin kerjasama lewat pertemuan kita siang ini," ucap Firans penuh semangat.
"Baiklah, kita berangkat sekarang. Lets go!" Dirga tidak kalah bersemangat. Ia berusaha mengesampingkan masalah pribadinya diluar pekerjaan. Keduanya buru-buru keluar dari ruangan dengan langkah cepat.
Begitulah Firans, ia selalu bisa membuat sahabatnya itu kembali bersemangat setiap kali berkeluh kesah dengannya.
*
"Bagaimana pak Dirga? Apakah anda setuju dengan penawaran yang kami ajukan," ucap Hirago, CEO PT. IFF setelah ia menyelesaikan penjelasan program kerjasamanya.
"Saya terima penawaran Anda, Pak Hirago, segera buat MoU-nya, dan serahkan pada asisten saya, Pak Firans. Dia yang akan mengatur semuanya," sahut Dirga menyetujui sambil mengulas senyum tipisnya.
Ponsel Dirga tiba - tiba berderit di sakunya, ia segera meraihnya. Saat dilihatnya dari calon ibu mertuanya. Dirga langsung permisi memberi isyarat untuk mengangkat teleponnya di hadapan para tamunya.
"Halo, Ma," sambut Dirga, sambil menempelkan ponsel didaun telinganya.
"Dirga ...." Terdengar suara tangisan tertahan dari calon ibu mertuanya.
"Ma, Mama kenapa? Mama baik-baik saja, ‘kan?" tanya Dirga merasa cemas.
"Kau harus ke Rumah Sakit Nusa Asia sekarang. Megan kecelakaan lalu lintas di jalan tol menuju bandara," ucap Ibu Han masih menangis di ujung sambungan telepon.
"Megan, bagaimana keadaannya, Ma?" Dirga langsung merasakan lemas di seluruh sendi-sendi tulangnya. Berita kecelakaan Megan bagai petir di siang hari baginya.
Firans dan kedua rekanan kerja dari PT. IFF itu saling berpandangan satu sama lain, saat melihat wajah Dirga menegang.
"Megan, keadaannya tidak baik. Segeralah kemari, Dirga." Belum sempat Dirga bertanya lebih lanjut, Ibu Han sudah memutuskan sambungan teleponya.
Dirga terhenyak di tempat duduknya, ia seketika bingung harus berbuat apa. Dirinya benar-benar tidak siap menerima berita yang mengejutkan itu.
"Apa yang terjadi pada Megan, Dirga?" tanya Firans turut merasa khawatir.
"Megan, dia kecelakaan lalu lintas di jalan tol menuju bandara tadi, sekarang sudah berada di rumah sakit." Sahut Dirga dengan wajah kalut.
"Tunggu apa lagi! Ayo kita ke rumah sakit, Dirga. Cepat!" seru Firans menyentak Dirga yang terlihat binggung harus bertindak dan berbuat apa.
"Pak Hirago, Pak Bonarly, kami mohon maaf tidak bisa menemani makan siang. Ibu Megan, tunangan Pak Dirga sekarang ada di rumah sakit karena kecelakaan lalu lintas. Kami akan segera kesana sekarang." Pamit Firans pada kedua rekanan kerja mereka dari PT. IFF itu.
"Baik, Pak Firans. Kami turut prihatin dan kami sangat memakluminya," sahut Hirago. Ia menatap kepergian Dirga dan Firans yang nampak tergesa-gesa keluar dari restoran.
*
Dirga semakin lemas, saat calon ibu mertuanya itu bukan membawanya ke IGD ataupun ICCU, melainkan ke ruang jenazah.
"Tidak. Aku tidak bisa masuk, Ma." Dirga menghentikan langkahnya di depan pintu.
"Mama pasti salah membawaku kemari," ucap Dirga dengan lutut semakin lunglai.
"Tidak, Dirga. Mama tidak salah." Ibu Han ikut menghentikan langkahnya dan berbalik kearah Dirga yang masih berdiri di ambang pintu.
"Ayo kita lihat Megan, Dirga. Dia sudah ada di sini dan sudah dimandikan oleh para perawat," ucap Ibu Han dengan berurai air mata.
Dirga melangkah tertatih-tatih, kakinya serasa tidak berpijak pada lantai. Namun ia tetap berjalan dengan langkah beratnya menuju meja jenazah, di mana Megan dibaringkan.
Ia menatap pilu tubuh yang sudah terbujur kaku dihadapannya, dan sudah tertutup kain putih dari ujung kaki hingga ujung kepalanya.
Tangan kanannya terulur gemetar menyentuh kain putih yang menutupi wajah jenazah yang ada di hadapannya.
"Tidak mungkin, Ma. Ini pasti bukan Megan." Dirga menarik tangannya, ia tidak jadi menyingkapkan kain putih penutup jenazah di hadapannya. Ia tidak berani menghadapi kenyataan yang ada.
"Dirga." Ibu Han merasa terenyuh melihat sikap Dirga, calon menantunya.
"Ma, Megan sekarang sedang dalam perjalanan ke Jepang, ia masih ada di pesawat sekarang. Besok, bila ia sudah tiba, ia pasti akan menelepon kita untuk memberi kabar." Suara Dirga bergetar, ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa jenazah yang ada dihadapannya bukanlah Megan, tunangannya. Ia memberi harapan palsu pada dirinya sendiri.
"Lihatlah, Ma. Ini bukti pesan yang Megan kirim ke ponselku," kata Dirga sambil memperlihatkan pesan Megan yang dikirim siang tadi.
"Megan mengatakan kalau hari ini dirinya berangkat ke Jepang untuk menjadi seorang violinist, dan aku tidak boleh menghentikannya," kata Dirga lagi.
"Dirga." Ibu Han kembali terenyuh, ia tidak menyangka calon menantunya itu serapuh itu. Ia mendekati Dirga, lalu memeluk pria muda itu sambil menangis. Dirga sudah seperti putranya sendiri.
"Maafkan Mama dan Papa, Dirga. Kami tidak sanggup melarangnya untuk tetap pergi ke Jepang." Suara ibu Han terdengar bergetar dalam tangisnya. Dirga hanya berdiri terpaku dalam pelukan calon ibu mertuanya itu.
"Andai saja, andai saja kami tidak membiarkannya pergi tadi siang, musibah kecelakaan lalu lintas itu pasti tidak akan menimpanya." Ibu Han terus berbicara sambil sesenggukan.
"Mama sangat menyesal, Dirga." Ibu Han terus menangis pedih. Kesedihan hatinya begitu menyesakan dadanya yang sudah mulai menua.
Pak Han, yang sedari tadi berdiri disudut meja jenazah putrinya, mendekati Ibu Han. Ia lalu ikut memeluk istrinya itu bersama calon menantunya sambil ikut menangis pedih.
Firans yang melihat semuanya itu turut menitikkan air mata. Dirinya, Dirga, dan Megan sudah bersahabat sejak dibangku SMU, sudah sangat mengenal satu sama lain. Kepergian Megan yang disebabkan kecelakaan lalu lintas ini memang sangat mengejutkan semua pihak, termasuk dirinya Ia tidak percaya bila Megan, sahabatnya, telah pergi secepat itu.
Dirga tiba-tiba terbelorot ke lantai, ia sudah tidak sanggup menahan sendi-sendinya untuk tetap berdiri. Tenaganya serasa lenyap begitu saja, seolah kekurangan kalium dalam tubuhnya.
"Dirga, bangunlah, Nak!" panggil ibu Han sambil menarik lengan tunangan putrinya itu.
Dirga tidak menjawab, matanya nanar menatap ke lantai, ia merasa sudah tidak punya harapan lagi dalam hidupnya.
Semua mimpi dan harapan dalam hidupnya sudah dibawa pergi bersama Megan yang telah meninggalkannya untuk selamanya.
Dirga merasa dadanya begitu sesak, tapi ia tidak sanggup menangis, kekuatannya seakan sirna, ia hanya bisa terdiam seribu bahasa. Akal sehatnya benar - benar tidak bisa menerima kenyataan pahit itu. Semuanya seperti mimpi buruk. Ia ingin bangun, tapi tidak tahu caranya.
"Firans! Tolong bawa Dirga pulang saja, ia perlu isrirahat. Ia sepertinya shock atas apa yang telah menimpa Megan," panggil ibu Han pada Firans yang sudah ia kenal baik pula, karena bersahabat dengan putri dan calon menantunya.
"Baik, Bu." Firans segera mendekati Dirga yang masih terkulai di lantai. Ia lalu memapah Dirga untuk berdiri dan menggandengnya berjalan menuju parkiran di mana mobil Dirga diparkir.
Setelah mendudukan Dirga dijok samping kemudi, Firans memasang sabuk pengaman pada tubuh Dirga. Tatapan Dirga nampak kosong menatap kedepan, tidak ada semangat kehidupan di sana.
Firans mengemudikan mobil Dirga, meninggalkan Rumah Sakit Nusa Asia, menuju kediaman kedua orang tua Dirga.
Tin! Tin!
Firans membunyikan klakson mobil begitu tiba didepan pagar kokoh rumah mewah milik orang tua Dirga.
Seorang security dengan sigap membuka pintu pagar dan mempersilahkan Firans masuk dengan sikap sopannya.
Bibi Mila, seorang asisten rumah tangga tergopoh-gopoh membuka pintu rumah, demi mendengar suara mobil Dirga sudah datang lebih awal dari biasanya.
"Den Dirganya kenapa, Mas Firans?" tanya Bibi Mila khawatir, saat melihat Dirga dipapah oleh asistennya keluar dari mobil. Ia tidak pernah melihat kondisi anak majikannya seperti itu.
"Pak Dirga sepertinya shock, Bi. Ibu Megan meninggal karena kecelakaan lalu lintas tadi siang," jelas Firans sambil memboyong Dirga masuk ke rumah.
"Inalillahi wainailaihi rojiun," ucap Bibi Mila sambil mengusap wajahnya, ia menutup pintu dengan rapat, lalu mengikuti langkah Firans dan Dirga dari belakang.
"Ibu Surya ada di rumah, Bi?" tanya Firans, ia terus melangkah menaiki anak-anak tangga sambil memapah tubuh Dirga.
"Ibu ada di kamarnya, Mas Firans. Tadi sepertinya bersiap-siap mau ke rumah sakit," sahut bibi Mila.
"Mas Firans mau minum apa?" tanya bibi Mila.
"Tidak, terima kasih. Saya sebentar saja, hanya mengantar Pak Dirga pulang. Buatkan minuman hangat untuk Pak Dirga saja, sepertinya ia sangat membutuhkannya," ucap Firans.
"Iya, Mas Firans." Setelah mendengar ucapan Firans, Bibi Mila berlalu menuju dapur untuk membuat minuman seperti yang dikatakan Firans padanya.
Firans membawa Dirga masuk ke kamarnya. Tak lama Ibu Surya datang menghampiri Firans dan Dirga yang masuk ke dalam kamar.
"Saya permisi dulu, Bu, mau kembali ke kantor lagi," ucap Firans, ia berdiri dan berpamitan pada Ibu Surya.
"Terima kasih sudah mengantarkan Dirga pulang, Firans," ucap Ibu Surya tersenyum tipis.
"Sama-sama, Bu." Firans lalu beranjak dari kamar, meninggalkan Dirga dan ibunya berdua di kamar.
"Dirga?" Ibu Surya mendekati putra tunggalnya itu. Ia turut sedih melihat kondisi Dirga yang sangat terpukul atas kepergian Megan, tunangannya.
"Ma, aku hanya ingin beristirahat saja dulu untuk saat ini," ucap Dirga masih dengan tatapan kosongnya.
"Baiklah, Sayang. Kau beristirahatlah. Mama mau kerumah sakit dulu menemani keluarga Bapak dan Ibu Han, kasihan mereka. Mereka pasti lebih sangat kehilangan," uap Ibu Surya sambil menatap wajah putranya.
Dirga hanya mengangguk lemah. Ia masih duduk terpaku di tepi tempat tidurnya. Ia masih tidak percaya, bila Megan kekasihnya telah pergi untuk selamanya meninggalkan dirinya. Ia berharap bila Megan benar berada di Jepang, di belahan dunia lain yang masih satu dunia dengannya bukan didunia yang berbeda.
*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!