NovelToon NovelToon

Sunshine

Chapter 1

Menjauh dari keramaian, Theo terduduk di sebuah kursi memanjang dengan memangku putranya. Sudut-sudut bibirnya terangkat menyaksikan kegembiraan anak-anak yang bermain di sekelilingnya. Ada yang menaiki jungkat-jungkit, berkeliling dengan skuter, sepeda atau sekadar jalan kaki. Pukul empat sore memang waktu yang tepat untuk bersantai sembari menikmati sinar mentari.

Suara-suara ceria bersahutan bersama terpaan angin musim semi. Kesejukan dan kenyamanan membelai kulitnya yang putih berseri. Dari arah yang berlawanan, tertangkap siluet anak laki-laki yang sedang berlari. Poni rambut yang tebal tampak bergoyang-goyang mengikuti arus pergerakan. Theo menoleh, tersenyum pada sosoknya yang melambaikan tangan.

“Archie!”

“Hi, Kai.” Theo merespons ramah, sedangkan anak di pangkuannya tertawa renyah.

Kaiden adalah tetangga Theo yang juga teman bermain putranya. Mereka sebaya. Lahir di tahun yang sama dengan tanggal dan bulan yang berbeda. Kaiden anak yang ramah dan mudah akrab dengan siapa saja. Hampir setiap hari anak itu berkunjung ke rumahnya. Berkat keberadaan Kaiden, putranya kini memiliki teman yang tak hanya baik, tapi juga setia.

“Archie, aku mau main perosotan di sana. Apa kau mau menjaga Dino untukku?” Kaiden berbicara sembari menunjuk area di bawah, sedangkan tangan yang lain menyerahkan miniatur dinosaurus pada putra Theo yang tersenyum merekah.

“Wah, tentu saja, Kai. Archie pasti akan menjaganya dengan baik,” ujar Theo setuju. Archie tertawa.

“Kau boleh meminjamnya, sementara aku bermain di sana.” Kemudian benda hijau berwujud hewan purba itu berpindah tangan. “Aku pergi dulu, Archie. Sampai nanti, Paman.” Kaiden membungkuk sopan dan segera beranjak setelah Theo mengizinkan.

“Selamat bermain, Kai.”

Di sela ayunan kakinya, Kaiden menyengir sembari melambaikan tangan sebagaimana saat dia menyapa. Kemudian bayang-bayangnya menghilang perlahan seiring langkah kecilnya yang menuruni tangga, menuju area perosotan di mana anak-anak sebayanya sedang bermain dan bercanda.

Pandangan Theo kemudian beralih pada putranya. Mengusap lengan mungil itu dengan segenap kasih sayangnya. Tak jemu menyaksikan gurat bahagia yang terukir di wajah tampan yang serupa dengannya. Theo bersyukur putranya tumbuh sehat dan juga fisik yang cenderung mewarisinya. Meski kadang kala ia berandai, bila saja Archie terlahir lebih beruntung dari ini.

Theo menarik napas panjang. Sisi lain dirinya mencaci lantaran ia yang lagi-lagi mengeluhkan kondisi sang putra. Seharusnya ia bisa lebih bersabar dan belajar menerima apa adanya. Archie memang berbeda. Dan ia sudah berkali-kali meyakinkan diri bahwa Archie akan tumbuh lebih baik suatu hari nanti. Keikhlasan dan doa adalah yang diperlukan saat ini.

Tak berselang lama, Theo tiba-tiba menangkap sesuatu yang janggal terjadi pada putranya. Anak itu bergerak gelisah, demikian bibir yang menggumam tak jelas. Lantas ketika ia menunduk, tahu-tahu ia mendapati alis tipis itu yang berkerut-kerut resah dan kemudian disusul oleh celananya yang berangsur-angsur basah. Theo hanya terkekeh, tak sanggup untuk marah.

“Archie, lain kali kau harus bilang pada Ayah kalau kau ingin wee-wee, mengerti?”

Archie hanya tertawa. Sesekali anak laki-laki itu berseru dengan vokal yang sama. Putra Theo memang belum bisa mengatakan kalimat lain kecuali ‘Em’ dan ‘Ah’.

Theo berdiri. Menggendong putranya seraya mengarungi taman bermain yang dipadati pepohonan rindang nan menyegarkan. Dia memanggil Kaiden yang berada tak jauh darinya. Anak itu tampak menoleh begitu menyadari posisinya yang sudah mencapai anak tangga.

“Kai, Archie harus pulang sekarang. Kau masih ingin bermain atau mau pulang bersama kami?”

Di tempatnya, Kaiden berseru lantang bahwa ia belum puas main perosotan, jadi dia meminta Theo agar meninggalkannya saja. Theo mengangguk, dia percaya Kaiden bisa menjaga dirinya sendiri. Lagi pula lokasi taman masih satu wilayah dengan apartemen yang mereka tinggali. Maka dengan tidak merasa cemas, Theo berlalu pergi.

Lantas, begitu keluar dari elevator, ia bergegas menuju unit yang mereka huni selama tujuh tahun belakangan. Beberapa kali Archie merengek ingin diturunkan, bahkan ia menunjukkan wajah menggemaskan pada ayahnya berharap dapat meluluhkan, namun Theo hanya merespons dengan tawa dan tak mengindahkan keinginan sederhana putranya yang ingin berjalan.

Saat kondisi darurat seperti sekarang, mustahil ia membiarkan Archie merangkak di lantai dengan kondisinya yang tak memungkinkan. Archie sejatinya belum mampu berjalan sendiri tanpa pegangan. Anak laki-laki itu akan terjatuh setiap kali melangkah, jadi keputusan untuk tetap menggendongnya adalah yang paling tepat, kendati ia tak tega melihat ekspresinya yang menyedihkan.

Segera Theo pergi ke kamar mandi dan membersihkan tubuh Archie dengan telaten dan hati-hati. Handuk biru terbungkus di tubuh kecilnya, handuk yang kini menjadi favorit Archie sejak ia mulai memahami warna. Tak lupa Theo membalurkan minyak eucalyptus sebelum memakaikannya baju dan celana. Setidaknya pelajaran mengasuh anak yang didapatkannya dari sang istri sangat berguna.

Ya, semenjak istrinya memutuskan untuk membantu mengelola rumah makan keluarga, ia jarang tinggal di rumah, sehingga Theo pun menjadi lebih sering turun tangan mengurus putra mereka. Theo tidak melarang meskipun ia kesulitan menjaga Archie yang sudah mulai aktif melangkah ke sana kemari. Memang ini perkembangan yang bagus untuk Archie. Tapi Theo juga harus pergi ke sekolah hingga petang hari.

Jika dipikir-pikir, istrinya memang butuh pengalihan, atau setidaknya dia sangat memahami wanitanya yang tak pernah bisa diam atau hanya tinggal di rumah. Maka memberinya kebebasan adalah hadiah paling benar dan mewah. Memikirkan istri, membuat kerinduan di hati kian melambung tinggi. Mendesah lelah, setidaknya dia lega telah berhasil merampungkan pekerjaannya.

“Archie, Ayah akan membuatkanmu makan malam. Cukup di sini dan bermain dengan mereka, oke?”

Dia berpamitan pada putranya untuk memasak. Anak itu tak memberi reaksi yang berarti sebab terlalu sibuk dengan mainan yang bercecer di lantai. Theo tersenyum, mengusap kepala putranya, lalu bangun dari posisi duduknya dan berderap meninggalkannya. Sesekali iris gelapnya mengawasi pergerakan Archie dari jarak yang masih dapat dijangkaunya.

Bila dihitung dengan teknik Korea, Archie berusia enam tahun saat ini. Dia anak yang terlahir prematur. Sering keluar masuk rumah sakit sejak ia bayi. Archie memiliki sistem kekebalan tubuh yang rendah, dia gampang sakit jika kelelahan sedikit saja. Komplikasi lain kemudian muncul ketika Archie menginjak usia enam bulan.

Saat seharusnya ia sudah bisa duduk, dia hanya berbaring. Saat anak lain belajar berjalan, Archie belum bisa melakukannya. Saat teman-temannya pandai berbicara, Archie masih mengeluarkan suara-suara khas bayi. Dokter memberitahunya bahwa Archie mengidap dispraksia, sebuah gangguan perkembangan yang mempengaruhi motoriknya.

Namun demikian, Archie tetaplah anak yang istimewa. Sebab keistimewaannya, ia pun juga harus diperlakukan lebih istimewa. Berkat kegigihan Theo dan istrinya, kini Archie sudah bisa berjalan meski tertatih dan gerakan yang masih kaku seperti robot mainan miliknya.

Meski begitu, Theo tetap merasa lapang dan bahagia. Di sudut hatinya, ia berharap sebuah keajaiban segera menyambut hangat putra kecilnya. Archie pantas mendapat kebaikan. Dia masih terlalu muda, masa depannya sangat panjang dan perlu diraih.

-:-

Tirai-tirai yang melapisi jendela telah tersingkap sebagian, membebaskan kehangatan matahari pagi menembus hingga ke seluruh ruangan. Esther mengenakan apron merah muda, berkeliaran mengelilingi rumah dengan berbagai kesibukan. Sebagai istri dan ibu, ia terbiasa mengerjakan segalanya sendirian. Meski seringkali sang suami ikut turun tangan.

Bukan hal asing bila melihat suaminya mencuci piring, baju kotor, membersihkan lantai, kamar mandi bahkan hingga memasak untuk mereka. Suaminya adalah tipikal lelaki yang tak peduli gender bila menyangkut pekerjaan rumah tangga. Sebab demi mewujudkan keluarga yang harmonis dan bahagia, maka harus ada kontribusi seimbang di antara mereka.

Esther menyiapkan meja makan, menata aneka ragam masakan tradisional Korea di sana. Bersamaan itu pintu kamar utama terbuka dan menyajikan sesosok pria tinggi berpiama dengan mata yang belum melek sempurna serta rambut hitam mencuat ke mana-mana, demikian makhluk kecil di gendongan yang masih mengantuk dan bersembunyi di bahu kokoh ayahnya.

“Selamat pagi, Archie. Selamat pagi Ayah Archie.”

Senyum teduh menjemput kedatangan dua lelaki tercintanya, yang kemudian lekas disambut oleh rengkuhan hangat dan kecupan mesra sosok bermuka bantal di hadapannya.

“Oppa.” Esther menahan suaminya yang tak henti menciuminya. “Ajaklah Archie ke kamar mandi. Kau perlu berbenah, hari ini murid-muridmu ujian, kan?”

Pria itu mengangguk. Meski dengan wajah yang tercoreng lipatan sarung bantal, ia tetap memesona dan selalu indah menyejukkan mata. Bahkan sosok itu tampak berkali lipat lebih rupawan hanya dengan penampilan sederhana. Esther acapkali tak mampu mengatasi kekagumannya terhadap sang pria.

“Archie. Ayo, bangun, kau juga harus pergi sekolah.”

Esther melirik Archie yang enggan menatap dan justru semakin tenggelam di bahu sang ayah tanpa berniat melepas. Anak itu bak koala yang menempel erat pada induknya dan tak mau terpisah. Hingga si ayah pun tertawa mendapati anaknya yang mulai bertingkah.

“Archie, sudah siang, Nak. Palli ireona (cepat bangun).”

Esther senantiasa menggoda putranya yang enggan mengubah posisinya. Diiringi tawa rendah suaminya, dia tak menyerah terhadap sang putra yang terus-menerus membenamkan wajah tiap kali dia menyentuh punggungnya. Hingga akhirnya anak itu tertawa geli kala dia mengecupi pipinya. Mengerjap-ngerjap memandanginya dengan sisa tawa, Archie memanggil-manggil dengan ceria.

“Ah! Ah!”

“Ppoppo? Kau mau Mama menciummu lagi?” tanyanya yang langsung dijawab antusiasme putranya.

Ciuman gemasnya serta merta mendarat hingga membuat sang anak tergelak. Seraya menjulurkan tangan meminta gendong padanya, anak itu memandang penuh damba. Namun, sayangnya, sang ayah lebih cepat bereaksi dan mencoba untuk menghalangi.

Bukan maksudnya kejam terhadap Archie yang kini merengek menginginkan pelukan sang istri. Archie sekarang sudah cukup besar dan berat badannya semakin bertambah. Tak mungkin dirinya tega membiarkan Esther memikul beban sedangkan akhir-akhir ini ia mudah tumbang.

"Andwae, andwae (Tidak, tidak). Archie, hajima. Hajimalago (Jangan lakukan itu)."

"Oppa, gwaenchana (Tidak apa-apa)."

Esther menenangkan suaminya, merasa iba melihat sang putra yang menangis kencang akibat dilarang berpindah gendongan. Kendati ia tak mempermasalahkannya, tapi pria itu sangat keras kepala.

"Aku akan memandikannya. Jangan khawatir. Aku bisa mengurus anak kita," ujar pria itu seraya berlalu.

Takada pilihan lain, Theo segera membawa pergi Archie dari jangkauan istrinya. Hari ini dia bertugas menjadi panitia, karenanya pula ia harus berangkat lebih pagi sebelum murid-muridnya tiba. Pun dia perlu mengantar putranya ke sekolah khusus seperti biasa. Benar-benar takada waktu untuk bersantai ria. Meskipun mendung masih menyelimuti wajah sang putra, pada akhirnya Archie berhenti rewel dan menuruti kata-katanya.

-:-

Kesibukan di luar rumah acapkali sukar dicegah. Theo terbiasa menghabiskan sebagian waktunya di sekolah. Kadang-kadang ia juga dibebani menjaga murid-murid yang mengikuti ekstrakurikuler musik sampai larut. Bila ia mendapat lebih banyak durasi di rumah, maka itu adalah jackpot. Tak tanggung, ia memanfaatkan kesempatan dengan bermalas-malasan, bermain dengan putranya, atau menggoda istrinya.

Lengkung bibirnya tak luntur kala mengamati wajah ayu sang istri. Dengan berbaring di pangkuannya, Theo dapat leluasa melihat keindahan yang tak manusiawi. Titik ternyaman baginya adalah ketika jarak tak lagi menjadi penghalang untuk mereka dan ia bisa membaui aroma istrinya berlama-lama. Kendati tatapan itu tertuju pada layar televisi, namun setidaknya Theo masih mendapatkan satu hal yang ia syukuri.

Putranya tertidur setelah lelah dengan terapi. Sesuai jadwal yang tertera, siang tadi Archie mengikuti terapi wicara. Perkembangan putranya memang meningkat setiap harinya. Ia tak perlu lagi dijaga saat berjalan, tetapi hingga detik ini Archie belum mampu berbicara. Meski begitu, Archie tetap bersemangat lantaran sudah bisa melangkah tanpa pegangan. Bahkan sepanjang hari anak itu terus berlarian mengitari taman.

Theo kadang merasa waspada, tapi seorang terapis berkata bahwa ia harus menanamkan kepercayaan yang kuat terhadap putranya. Bila Archie tak diberi kebebasan, maka perkembangannya pun akan terhambat. Orang tua cukup mendampingi, mengajari dan mengawasi secukupnya. Sebab bagaimana pun, Archie tetap butuh privasi. Ia juga harus melatih dirinya untuk menjadi lebih berani.

Perhatian Theo kemudian teralih pada sang istri. Sudah dua jam mereka hanya berduaan di ruang televisi. Esther tak pernah mau ketinggalan drama favoritnya. Meski sejujurnya ia terpaksa, Theo harus tetap rela berbagi dengan mereka yang memenuhi layar kaca. Dan ketika tiba-tiba wanita itu berbalik menatapnya, anehnya ia merasa bahagia.

“Oppa, tadi ....”

“Ya, Sayang?” Theo penasaran karena Esther menggantung kalimatnya.

Wanita itu tampak bimbang dan justru mengalihkan pandang pada si aktor tampan. Theo seketika berubah masam dengan hati yang dilanda kecemburuan.

“Um, kau ... tadi kau mengunjungi keluargamu—”

“Keluargaku keluargamu juga, Sayang,” sahut Theo cepat, meralat kalimat istrinya menjadi lebih tepat.

Esther mendadak kikuk melihat wajah Theo yang ditekuk.

“Maaf,” cicitnya takut-takut.

Mengembuskan napas, Theo gegas bangkit dan perlahan membimbing istrinya untuk menghadap padanya. Memperhatikan wajah tertunduk itu saksama dengan kedua tangan yang meremat pundaknya.

“Kita sepakat untuk berjuang bersama. Jangan merasa terasingkan seperti itu. Katakan apa yang ingin kau katakan, aku akan mendengarmu.”

Esther masih enggan menatap, namun lirih dia berucap, “Apa ... apa terjadi sesuatu di sana?”

Theo tersenyum tipis mendengarnya, seolah ia telah memahami kekhawatiran istrinya. “Tidak ada. Tidak ada apa pun yang perlu dikhawatirkan. Semua baik-baik saja,” jawabnya berusaha bersikap biasa. “Ibu merindukanku, itu saja.”

Walau nyatanya Esther tak bisa percaya sepenuhnya. Bisa saja Theo mengatakan yang sejujurnya, tapi mungkin dia juga menyembunyikan sesuatu yang lainnya. Dan memang demikian adanya. Ada sesuatu yang Theo tak mampu katakan sebab bisa mengundang kehancuran.

Sejatinya ada hal yang perlu dan memang tak perlu untuk diceritakan. Sebagaimana nenek yang lagi-lagi mengenalkannya pada gadis pilihan, sungguh tak patut untuk dibicarakan, apalagi dengan istri yang dirinya tak sanggup kehilangan. Theo tak bisa melukai perasaan wanita yang dicintainya.

“Oh.”

Meski terdengar lega, ada sebagian diri Esther yang belum puas akan penjelasan suaminya. Esther tak memungkiri kebencian keluarga Theo terhadapnya. Bila mereka mengundang Theo seorang diri untuk pulang ke rumah, maka ada sesuatu yang sedang direncanakan di belakangnya.

Kadang ia tak habis pikir dengan dirinya sendiri. Namun bila mengenang kejadian lalu ketika dengan terang-terangan dirinya diminta untuk meninggalkan, ia makin kesulitan mengendalikan pikirannya yang melanglang. Seharusnya ia menyadari bahwa pernikahnnya memang tak direstui sejak awal.

“Sayang,” tegur pria itu, mengusap pipinya yang tampak bersemu. Sekejap itu pula ia terbangun dari lamunannya.

“Hm?” balasnya menaikkan pandang hingga mata mereka saling berbenturan. Sesaat ia terpukau akan paras rupawan yang merangkai senyuman.

“Archie sudah tidur.”

Menaikkan dua alisnya bersamaan, Esther merasa tidak paham. “Y-ya ... ya, aku tahu”

Theo menggaruk rahang. Kebingungan mencari kata untuk menyampaikan keinginan terpendam.

“Lihat aku, Esther.”

Mengedipkan matanya, Esther semakin tak mengerti apa yang hendak Theo maksudkan. Bukankah sedari tadi mata mereka saling berpandangan?

“Ya. Aku sudah melihatmu,” jawabnya terdengar begitu polos. Theo sampai tak mampu mencegah senyumnya yang terekspos.

“Tidak, bukan seperti itu, Sayang. Ayolah, kau tahu maksudku.”

“Apa—”

Ucapan Esther terputus saat tahu-tahu Theo mengecup bibirnya. Tangan pria itu pun tak luput meraba sofa, meraih remote dan langsung menekan tombol power hingga tak ada lagi suara yang mengganggunya.

“Theodore Park.” Ia merengut, merajuk pada suaminya yang justru kembali merebut bibirnya.

“Neomu bogosipeo, Chagiya." (Aku sangat merindukanmu, Sayang)

Esther tiba-tiba merasa sedih oleh ucapan suaminya. "Benarkah kau rindu padaku, Theo? Mana yang lebih membuatmu rindu? Aku atau Esther?" tukasnya berkerut alis.

Masih memandanginya, pria itu meraba pipi hingga tengkuk, lalu menangkupnya sembari mata menyorot intens padanya. Theo kian menipiskan jarak antara mereka dan seolah pria itu hendak melahapnya, namun dia salah sangka sebab pendaratannya justru mampir di telinga. Seketika kulit wajahnya membentuk gradasi warna kala pria itu berbisik di sana.

"I miss my wife when she screams my name."

Menggigit bibirnya, Esther menghindari tatapan suaminya kala gugup merajai hatinya. Dia suka Theo menggodanya, tapi bukan hal demikian yang diharapkannya. "Theo, apa kau sudah jujur pada dirimu sendiri? Apa kau yakin kau tidak berbohong padaku?"

Tanya yang terlontarkan tak ayal membuat Theo mengernyit dahi, demikian kepala yang bergerak mundur dengan pandangan tertuju pada sang istri. Yang dia sadari tubuh Esther berubah tegang dan seakan menolak sentuhan.

"Kenapa kau bertanya seperti itu? Apa aku terlihat sedang berbohong?"

Mengangguk lirih, Esther tersenyum sendu pada suaminya. "Kau tidak akan bilang rindu padaku karena kau selalu bilang mencintaiku. Kau hanya sedang mendistraksiku, kau hanya ingin menghiburku agar aku melupakan kekhawatiranku. Kau tidak ingin aku tahu, Theo?"

Seolah tertangkap basah telah berbuat jahat, Theo bahkan tak bisa membalas istrinya sebab bibirnya pun terkunci rapat. Dia salah perhitungan bila mengira Esther akan berhenti membahas. Istrinya adalah orang yang paling mengerti dirinya, maka bukan tidak mungkin jika ia tak bisa berbohong sedikit pun di hadapannya.

"Maafkan aku, Sayang. Aku tidak ingin berbohong padamu. Aku hanya mencintaimu, dan aku tidak ingin mengatakan apa-apa selain itu. Tolong, maafkan aku."

Esther tak menjawab dan hanya terdiam dengan senyum sendu yang belum hilang. Menyaksikan istrinya yang enggan merespons, Theo segera meraihnya, merengkuh tubuhnya dan memeluknya hangat dan juga erat.

Theo, aku juga mencintaimu, tapi jika cinta kita tak bisa bersatu, apa aku masih bisa bersamamu?

.

.

.

To be continued.

Chapter 2

Libur panjang musim panas telah berakhir. Gerbang-gerbang sekolah kembali dibuka setelah sekian lama tak berpenghuni. Semester genap dimulai pada pekan ini. Theo sedikit malas pergi bekerja. Kurang rela waktu santainya di rumah habis begitu saja. Kebersamaan dengan istri dan anaknya terasa lebih cepat dari bayangannya. Bagaimana mungkin ini terjadi? Kenapa waktu tidak berjalan lambat saja agar ia bisa lebih lama berkumpul bersama keluarga kecilnya?

Dia berjalan memasuki kamar, menuju putranya yang bermain sendiri di atas ranjang—sembari membawa botol susu di tangan. Sejenak, ia berhenti, mengamati anak laki-laki yang bagai replika dirinya dengan senyuman. Cukup lama ia terhanyut dalam lamunan, hingga tiba-tiba ia tersadar begitu mendengar seruan Archie yang memanggilnya. Tangan mungil itu melambai, seolah berkata; aku haus, Ayah. Ia tertawa sendiri membayangkannya.

“Archie, sebelum Ayah memberikan botol susu ini padamu, bolehkah Ayah mendengarmu memanggilku ‘Ayah’?”

Theo menguji putranya. Sesungguhnya belum ada perkembangan, bahkan setelah mengikuti terapi wicara selama beberapa pekan, Archie masih sama. Pun setiap ada luang, ia tak bosan melatih putranya untuk berbicara. Dimulai dari hal-hal sederhana, seperti mengenalkan Archie pada huruf-huruf vokal maupun konsonan. Namun segalanya memang tidak mudah dan butuh perjuangan.

“Archie, perhatikan Ayah, oke?” Theo meminta perhatian putranya yang hanya menatap bingung padanya. “Sekarang, katakan A-yah. Aaa-yah.” Dia mengulang dan mengajari Archie pelan-pelan, bahkan hingga bibirnya terbuka pun tetap tidak ada perubahan.

Archie justru memandangnya kebingungan. Theo yang sudah mengerti akan seperti apa reaksinya, hanya mampu mengulas senyum maklumnya. Tangannya lantas mengusap kepala Archie dengan penuh rasa sayang.

“Archie, tidak apa-apa jika sekarang kau belum bisa melakukannya. Nanti kau akan belajar lebih banyak lagi dengan Ayah. Tenang, waktu kita masih panjang.”

Tuhan, berikanlah keajaibanMu pada anakku.

Theo cukup menyadari kondisi Archie yang demikian memang membuatnya sulit berkonsentrasi, lamban dalam menerima informasi atau bahkan mempelajari hal-hal baru yang belum dia mengerti. Realitasnya, apabila aliran sinyal saraf dari otak ke seluruh tubuh terganggu, maka tidak menutup kemungkinan terjadi keterlambatan untuk sekadar memroses sesuatu.

Dari sumber yang berkaitan, dispraksia tak dapat disembuhkan. Seseorang akan mengalami kondisi seperti itu seumur hidup. Hatinya seketika berselimut kabut, ia terluka mengetahui fakta tersebut. Kendati ia pernah berkonsultasi pada dokter spesialis tumbuh kembang anak dan diberitahu bahwasanya Archie akan menjadi lebih baik bila rutin melakukan terapi, namun mengingat fakta anaknya tak bisa sembuh membuat pikirannya keruh.

Theo berharap Archie memiliki kesempatan untuk tumbuh seperti anak normal lainnya. Ia tak sanggup membayangkan bila ini terjadi selamanya. Ketakutan itu sama besarnya dengan harapannya. Memeluk putranya, Theo membisiki kalimat-kalimat terbaik untuk menenangkan hatinya. Dan untuk kesekian kali, ia tak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Air matanya runtuh. Hatinya sungguh terenyuh.

Lantas tangisnya berubah tawa kala menyadari Archie yang menggeliat dalam peluknya. Anak itu tak ubahnya belut yang tertangkap tangan. Pada akhirnya dia menyerah, tak tega melihat wajah Archie yang merebak merah. Segera ia mengangsurkan botol pada putranya yang kehausan. Jemarinya menyibak poni yang menutupi dahi, memerhatikan Archie yang meminum susu seperti bayi.

Dari ambang pintu kamar mandi, Esther keluar mengenakan bathrobe navy. Aromanya yang mewangi mengalihkan atensi sang suami. Melirik sekilas dua lelaki yang saling berinteraksi, Esther mencoba tak peduli. Belakangan ia lebih pendiam, terutama bila dengan Theo ia berhadapan. Tak ada perintah untuk berlaku demikian, tubuhnya bergerak begitu saja secara spontan. Bahkan saat pria itu menegur, ia selalu mencoba untuk kabur.

Seperti sekarang, saat sosok itu memanggilnya, “Sayang, ayo kita bicara.” Barangkali pria itu telah menyadari sikap anehnya akhir-akhir ini.

Sebagaimana sosoknya yang kini membimbingnya menuju sofa yang berada di bawah jendela. Duduk berdampingan dengan cahaya keemasan yang menerpa, sesekali mata obsidian itu mencuri pandang anak mereka yang berguling-guling di ranjang sembari menjaga botol susu di tangan. Archie tampak tak peduli atas kepergian ayahnya. Anak laki-laki itu seolah telah tenggelam dalam dunianya.

“Esther.”

Pandangan itu merendah, mengamati tangan yang menggenggam hangat. Namun saat kepalanya terangkat dan menemukan manik gelap yang memandang lekat, seketika ia tersentak. Sorot itu selalu mengingatkan ia pada kenangan menyayat ketika tanpa sengaja ia melihat suaminya bergandengan tangan dengan seorang wanita yang tampak begitu akrab. Bayangan itu muncul seperti film yang terus berputar-putar di benak.

“Aku ... mungkin siang nanti aku tak bisa menjemput Archie.” Nada bicaranya terdengar hati-hati, Theo menatap tak enak pada sang istri. “Aku minta maaf, Sayang. Seharusnya aku bisa meluangkan waktu, tapi sejak memasuki semester genap, tugasku semakin banyak.”

Esther tak menjawab. Dadanya terasa sesak mendengar Theo yang lagi-lagi berdalih tak bisa menjemput putra mereka lantaran kegiatan sekolah. Entah pria itu berkata jujur atau dusta, yang ia tahu kini hatinya perih luar biasa. Pikirannya dipenuhi bayang-bayang perselingkuhan suaminya. Sebuah ketakutan yang menyerang berkala, hingga seolah ia mampu melihat pria itu meninggalkannya.

Esther bahkan mengingat mimpinya. Mimpi buruk yang datang sebelum ia memergoki suaminya bercengkrama dengan wanita, sebelum ia melihat keakraban yang terjalin mesra di antara keduanya. Mimpi yang terasa nyata ketika Theo melepas tangannya, berjalan menjauh tanpa menatapnya, membawa pergi putra mereka, meninggalkannya sendirian dengan perasaan bimbang, dan ucapan selamat tinggal.

“Sayang?”

Mengerjap, keterkejutan samar terlukis di parasnya. Esther kesulitan mengontrol detak jantung yang terasa menyakitinya.

“Kau baik-baik saja? Apa kau baik-baik saja?” Tersirat kekhawatiran dalam suara beratnya. Theo tampak kebingungan menangkap gelagat aneh istrinya.

Esther menggeleng dan mencoba tersenyum meski itu melukainya. “Tidak,” lirihnya. “Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Kau tak perlu khawatir, biar aku yang menjemput Archie. Fokus saja dengan pekerjaanmu. Maaf, telah merepotkanmu akhir-akhir ini.”

Dia lekas berdiri dan berniat menghampiri putranya yang harus segera mandi. Namun, sebuah tangan menahan pergerakannya hingga ia terkesiap dan langsung terhenti. Sepanjang hidup bersama, baru kali ini ia merasa risi disentuh oleh suaminya sendiri. Teringat tangan itu pernah menggenggam tangan wanita lain membuatnya refleks menghempas tautan itu dengan gemetar.

Theo tercenung mendapat perlakuan asing istrinya. Esther tak pernah mengabaikan, bahkan menolaknya. Esther tak pernah bersikap sedingin itu terhadapnya. Esther tak pernah melupakan panggilan sayangnya ketika mereka berbicara. Esther yang ada di hadapannya adalah istri yang sedang marah karena kesibukannya. Mungkin ia telah melampaui batas hingga membuat wanita itu kesal dan cenderung tak menghiraukannya. Kini ia mengaku dirinya bersalah.

“Sayang, aku minta maaf,” sesalnya, merengkuh wanita itu dari belakang tubuhnya.

-:-

Di tengah padatnya aktivitas mengelola rumah makan sang ayah, Esther juga harus menjemput Archie di sekolah. Terkadang ia menyesali keputusannya. Semenjak menuruti egonya, tugas sebagai ibu sering kali terbengkalai, hingga terpaksa ia melibatkan sang suami mengurus putra mereka. Meski pria itu tak mengatakan keberatannya, tapi ia tahu, Theo terbebani sebab kegiatan mengajarnya jadi terganggu.

Siang itu harusnya ia membawa Archie pulang ke rumah, namun karena sang ayah sendirian menjaga restoran dan cuaca tak lagi cerah, ia memutuskan untuk tinggal sementara sembari menunggu hujan mereda. Dia mengucap syukur dalam hati sebab tak nekad pulang di saat cuaca buruk seperti ini. Jika tidak, barangkali ia akan basah kuyup di perjalanan dan fatalnya Archie akan langsung terkena demam.

Menghela napas panjang. Paru-parunya terasa berat lantaran hidung yang tersumbat. Tak ada yang bisa dia lakukan kecuali duduk di salah satu kursi pelanggan. Rumah makan tidak begitu ramai setelah langit meruntuhkan hujan. Archie terlelap di pangkuan dengan nyaman. Sedangkan ayahnya berdiri di seberang sembari membaca sebuah tajuk berita di koran. Pria yang hampir mendekati kepala lima itu sesekali meliriknya yang tampak kedinginan.

Sosok ayah yang dia kenal selama ini adalah orang yang jarang bicara. Jika bukan hal penting, beliau memilih tak bersuara. Esther tahu betul karakter sang ayah sebab mereka hanya tinggal berdua. Namun kali ini ia melihat gestur berbeda dari ayahnya. Pria yang nyaris awet muda di usia pertengahan abad itu seolah memberi isyarat bahwa ia ingin menyampaikan sesuatu yang krusial padanya.

Meski lebih sering bersikap pasif, namun ia bisa membaca kekhawatiran di wajah ayahnya saat tahu-tahu sosoknya sudah duduk di hadapan dengan secangkir teh jahe yang langsung diberikan padanya.

“Minumlah, kau terlihat kedinginan.”

Sedingin apa pun sosoknya, ayah tetaplah seorang ayah yang menyayangi putrinya. Esther merasa hangat dan lega di waktu yang sama.

“Terima kasih, Ayah.”

Tersenyum sebentar dan kemudian rautnya kembali datar. Auranya seketika berubah sedingin temperatur di luar. Ayahnya memanglah orang yang irit ekspresi dan Esther telah memahami.

“Esther Jo.”

“Ya, Ayah.”

Esther memandang ayahnya yang tampak berpaling arah. Mata tajam itu melembut walau hanya sesaat.

“Beberapa hari ini kau sering menjemputnya. Apa kau baik-baik saja dengan itu?” Lidahnya tak selaras dengan kata hati yang ingin bertanya, apa kau baik-baik saja dengan kehidupanmu?—pada putrinya. Namun ia enggan. Hal mudah tapi terasa berat baginya.

“Aku baik-baik saja, Ayah.” Esther ingin sekali mengusap leher belakangnya. Pertanyaan ayahnya terlalu mengada, bukankah wajar seorang ibu menjemput anaknya?

Berdeham, pria berkemeja garis-garis vertikal itu memalingkan pandang ke arahnya. “Apa kau diperlakukan dengan baik?”

“Eh?”

Terpana, Esther tidak tahu mengapa ayah tiba-tiba menginterogasinya, namun karenanya pula ingatan tentang suaminya yang diam-diam menemui wanita lain kontan memicu debaran keras di dadanya. Theo memang sangat baik di depannya, tapi ia sangsi terhadap kelakuan pria itu di belakangnya. Apa mungkin ayahnya tahu hal yang tidak ia ketahui?

“Um, i-iya, Theo baik padaku, dan kami baik-baik saja. Ayah, jangan mengkhawatirkan sesuatu yang tidak perlu dikhawatirkan. Theo hanya sibuk di sekolah. Dan kami—”

“Aku tidak bertanya tentang hubunganmu dengannya.”

“Oh.” Sekali lagi, Esther terpana. "Ma-maksud Ayah bagaimana?" Terkadang ia tidak bisa memahami permainan kata ayahnya.

Pria beralis tebal itu menarik tipis sudut bibirnya. “Apa mereka bersikap baik padamu?” Sorotnya yang tegas mengunci iris coklat di hadapannya. Wajah yang lamat-lamat berubah pias itu menatap segan terlebih setelah ia melanjutkan, “Orang tua suamimu dan wanita tua itu, apa mereka bersikap baik padamu?”

“Ayah, a-apa maksud Ayah? Kenapa tiba-tiba ...?” Menggigit bibirnya dengan perasaan gugup. Ditanyai seperti itu sungguh Esther merasa tak sanggup. "Mereka baik, mereka sangat baik padaku," sambungnya menunduk. Esther mendadak takut karena sudah berkata tidak jujur dan membuat ayahnya semakin curiga dengan kening berkerut.

Menghela napas, Marc merasa sedih sekaligus marah melihat respons putrinya yang seolah tertekan. Sejak awal ia sudah menduga ada yang tidak beres dengan pernikahan putrinya dan putra kedua keluarga Park. Pikirnya, Esther akan menjalani kehidupan yang bahagia bersama pria yang dicintainya, namun ternyata tidak demikian, ada banyak hal yang terasa janggal. Terutama hubungan putrinya dengan keluarga chaebol itu yang mungkin tidak baik-baik saja. 

“Ibumu meninggal karena depresi.”

Kedua alisnya terangkat, Esther memandang ayahnya dengan sorot tidak paham. Kematian ibunya tentu saja tidak berhubungan dengan pertanyaan sebelumnya.

Kendati pandangannya lurus ke depan, namun matanya menerawang ke masa silam. “Kakekmu menentang hubungan kami, dan ia memperlakukan ibumu dengan buruk. Sangat buruk.”

Mata itu berembun. Esther tersentuh menyaksikan kesedihan yang terpancar di wajah ayahnya. Ia menyesal karena tak pernah mengingat bagaimana rupa ibunya. Wanita itu telah tiada bahkan sebelum ia bisa merekam wajahnya. Esther tak bisa merindukan ibu meski ia sangat menginginkan sosok itu ada di sini untuk mendampinginya.

“Seandainya aku tahu itu akan terjadi, aku lebih memilih untuk tak mengenalnya sama sekali.” Marcus Jo menelusuri inci wajah putrinya yang merefleksikan sang istri. Berharap gadis kecil itu merenungi. Matanya terpejam, lalu kembali terbebas serupa kepakan sayap elang di langit kelam. “Tapi aku mencintai ibumu, aku sangat mencintainya melebihi apa pun di dunia,” tegasnya seolah mendeklarasikan seluruh perasaannya.

“Kurasa ... suamimu juga sedang melakukan hal yang sama. Dia mencintaimu seperti aku mencintai ibumu. Dia rela meninggalkan keluarganya demi bersamamu. Dan saat aku melihatnya, aku seperti melihat diriku sendiri di masa lalu.”

Wajah Esther berubah sendu. Kaca-kaca bening melapisi mata. Kisah orang tuanya memanglah berakhir tragis. Sebagaimana Kakek yang tak merestui hubungan keduanya hingga mengusir ayah serta mencoretnya dari ahli waris keluarga. Ayah telah memutuskan untuk bersama ibu, maka ayah pun tak menghiraukan ancaman kakek terhadapnya.

Bagi Esther, ayah adalah pejuang tangguh yang tak pernah mengenal rasa takut. Ayah bersedia melepaskan hidupnya yang serba mewah dan terarah hanya demi ibu. Dan mungkin benar, perkataan ayahnya mengenai Theo yang rela meninggalkan kemewahan demi dia. Tapi Esther meragu, apa benar pria itu bisa mencintainya sedalam cinta ayah terhadap ibu?

“Kau adalah putriku yang sangat berharga.”

“Ayah.” Mata Esther bergetar. Kata-kata ayahnya yang rumit tapi penuh makna itu kini telah dipahaminya.

“Ingatlah, Esther, jika ada salah satu dari mereka yang berani melukaimu, maka pulanglah padaku.”

Jangan seperti ibumu, cukup ibumu yang pergi meninggalkanku, tidak denganmu, Gadis kecilku.

Esther mengangguk. Tak memberi batasan seberapa banyak air matanya akan mengalir. Saat ia menerima kehangatan yang luar biasa dari ayahnya, ia tak memerlukan hal lain lagi di dunia. Ini kali pertama ayah menyampaikan kata-kata romantis padanya. Dan ia menerima undangan kasih sayang itu dengan tangan terbuka.

@#$%&

Chapter 3

Ketika terpaan angin menembus pori-pori, Esther merapatkan mantel yang membungkus tubuhnya dan Archie. Bagusnya anak itu tidak rewel saat bangun tidur dan tak mendapati wajah sang ayah di sisi. Archie terbiasa dengan keberadaan Theo di sekitarnya, pun ia tak bisa tidur malam bila tak berada di pelukan ayahnya. Mereka dekat satu sama lain, seolah tak bisa hidup tanpa salah satunya. Ikatan mereka terlalu kuat dan takada seorang pun yang dapat memisahkan keduanya.

Hujan telah mereda, Esther dan putranya dalam perjalanan pulang menuju apartemen mereka. Dia duduk di belakang, membiarkan sepupu laki-lakinya menyetir di depan. Kebetulan laki-laki itu datang dan menawarkan bantuan. Ayahnya juga memaksanya untuk diantarkan oleh anak bibinya. Walaupun ia sempat cemas saat mendengar kakeknya masuk rumah sakit, namun ia juga merasa lega begitu melihat ayahnya yang lekas bangkit.

Esther tidak tahu hubungan keduanya saat ini seperti apa. Setahunya, kakek telah berulang kali minta maaf pada ayah dan menyesali perbuatannya, namun ia juga memahami betapa keras hati ayahnya. Mungkin sulit bagi ayah untuk membangun lagi hubungan yang telah porak-poranda. Meski di sisi lain ia juga tak tega mendengar kakek yang selalu bertanya kabar ayah sambil berderai air mata.

Skuter yang ditumpanginya telah berhenti di depan toko bakery. Esther merasa perutnya sering kembung belakangan ini. Maka, menggandeng Archie di sisi, ia segera memasuki toko yang hari ini tampak begitu sepi. Aroma kayu manis sepertinya cocok untuk meredakan ketidaknyamanan yang mendera sejak tadi. Cinnamon roll kiranya pilihan yang tepat untuknya saat ini.

Menggenggam tangan Archie, Esther mengajak putranya mengelilingi rak-rak tanpa kaca berisi roti yang tertata rapi. Di kala ia mengambil nampan dan alat pencapit, Archie tampak bersemangat dan berlari menuju rak yang sejak awal mencuri atensi. Tangan mungil itu menunjuk roti persegi bertabur sosis dan keju dengan mata yang memandang dirinya lucu. Esther tersenyum, menghampiri sang putra dan merendahkan tubuhnya.

“Archie, apa kau tahu roti itu bernama roti pizza?”

Laki-laki kecil itu mengerjap. Esther memandangi wajah putranya yang berbinar bahagia. Archie seperti ingin menyampaikan sesuatu, tapi ia tak mengatakan apa-apa dan terus mengarahkan telunjuknya pada objek yang tak terjangkau tangannya.

“Baiklah. Jadi kau menginginkan roti pizza? Apa kau akan menyukainya?”

Saat Archie merespons dengan anggukan kepala, Esther merasa takjub dan hampir tak percaya. Terlebih ketika anak itu terus berceloteh dengan bahasa Korea yang meski pelafalannya tak sempurna namun masih mampu dimengertinya. Esther berdebar menyaksikan perkembangan luar biasa putranya. Theo harus tahu, suaminya pasti senang mendengar kabar tentang putra mereka.

Esther segera mengambilkan roti yang diinginkan Archie dan meletakkannya di atas nampan. Archie tampak gembira, kakinya melompat-lompat di lantai sambil bertepuk tangan. Esther terharu melihatnya. Setetes air mata tanpa sadar mengalir di pipinya. Namun dengan cepat ia menghapusnya, lalu memeluk Archie dan membisikinya, “Mama bangga sekali padamu. Terima kasih, Sayang. Archie sudah berusaha keras selama ini. Terima kasih.”

Esther menangkup sepasang pipi gembul di hadapannya, merangkum detail wajah itu dengan sorot lega dan bahagia. Sesaat kemudian, ia melabuhkan kecupan sayangnya di kening sang putra. Barangkali ia akan tetap pada posisinya bila tak mengingat Johnny yang menunggu di luar sana.

Melepas pelukan, Esther meminta Archie agar tak berlarian sementara ia membayar belanjaan. Namun baru menoleh sebentar untuk mengambil kartu pembayaran, Archie tiba-tiba menghilang dari pandangan. Esther buru-buru melempar atensi ke titik terakhir ia melihat Archie. Detak jantungnya bereskalasi. Archie tidak ada. Putranya benar-benar tidak ada.

Dengan hati kalut, kakinya berderap mengelilingi toko, mencari keberadaan sang putra yang terlepas dari pengawasan. Pikirannya mengeruh seiring tak ditemukannya sosok kecil bermantel hitam. Telapak tangannya pun dingin dan gemetaran. Dia panik, meletakkan nampan sembarangan. Berlari keluar toko seperti orang tidak waras, Esther celingukan mengais siluet putranya di jalanan yang luas.

Debar jantungnya mengeras, bahkan ia sulit untuk bernapas. Lalu, datang waktu ketika ia benar-benar tak sanggup lagi untuk berdiri, kala gemetar hebat menguasai. Adalah detik di mana rungunya menangkap teriakan sang sepupu di tengah-tengah jalan raya, memanggil nama putranya seperti orang gila, memeluk sosok kecil yang berlumuran darah di pangkuannya. Lalu lalang terhenti, orang-orang berkerumun mengelilingi, dan suara-suara panik menjadi pemandangan yang cukup mencekam saat ini.

Esther hilang pijakan, tubuhnya lemas dan air mata mengalir tanpa suara. Tak ada satu pun yang mampu didengarnya, segalanya berubah menjadi dengungan panjang di telinga. Menekan kuat dadanya, ia terjatuh di depan Johnny yang memangku putranya. Pemuda itu terus memanggilnya, namun ia tuli, tak mampu mendengar apa-apa kecuali deru napas putranya dan jantung yang seperti tak berirama.

“Archie, Archie, Archie ....”

Tangisnya tak terbendung, Esther memeluk erat putranya dengan hati yang hancur. Detik ini, ia kehilangan separuh jiwanya.

-:-

Mercedes Benz platinum yang Theo kendarai baru saja meninggalkan Sinsa-dong dengan kecepatan sedang. Seharusnya sore ini dia pulang pukul lima seperti biasa. Bila saja ia tak mendapat kabar dari rumah perihal kondisi kesehatan nenek yang menurun akibat sakit punggungnya kambuh, mungkin ia sudah tiba di apartemen dan bertemu keluarga kecil yang dia rindukan.

Namun nahas, ia justru terkelabui begitu melihat nenek yang bisa berjalan bahkan sangat sehat. Neneknya memang selalu punya cara sampai tega menggunakan sakit sebagai alasan. Padahal tidak perlu berbohong pun bila sosok itu merindukannya pasti dia pulang. Sayangnya, nenek selalu menyalahkan Esther dan menuduh sudah menghasutnya hingga ia tak kunjung datang.

“Mana ada wanita baik-baik yang membiarkan seorang anak, seorang cucu meninggalkan keluarganya?”

“Kau tidak akan tahu, kalau-kalau di masa depan dia menunjukkan sifat aslinya dan memanfaatkan kebaikanmu. Theo, orang-orang seperti itu sangat mudah dibaca.”

Bila saja nenek mampu menjaga lisannya, barangkali ia takkan malas untuk sekadar mampir ke rumah orang tuanya. Selain itu, nenek juga seringkali menjodoh-jodohkannya dengan perempuan yang katanya sepadan dan dari keluarga terpandang. Theo yang mendengarnya merasa tersinggung dan marah. Sebab secara tak langsung, nenek telah menghina dan merendahkan istrinya.

Esther memang bukan dari keluarga yang bergelimang harta, ia hanya seorang wanita sederhana dan bukan pula putri seorang raja. Namun Esther memiliki sesuatu yang tak dimiliki wanita lain di luar sana. Cinta. Dan Theo tak bisa mencintai selain istrinya.

Namun, nenek tak sekalipun menyerah dan bahkan berani mempertemukannya dengan teman lama. Pada awalnya ia bingung bagaimana bisa nenek mengenal perempuan yang tak pernah ia perkenalkan pada keluarganya? Usut punya usut, ternyata perempuan itu bekerja di tempat yang sama dengan ayahnya.

Dia punya prestasi yang bagus di bidangnya. Karena unggul dari rekan-rekannya, perempuan itu menjadi lebih dikenal dan sempat diundang makan malam di kediaman keluarga Park sebagai tamu istimewa. Maka tak heran bila nenek bersikeras menanyakan hubungan mereka, kendatipun ia jengkel karena nenek terlalu mencampuri urusannya dan mengatur seluruh hidupnya.

Terlebih sosok itu pula yang telah merencanakan pertemuannya dengan sang perempuan di kafe dua hari lalu. Dia sungkan untuk menolak datang sementara perempuan itu sudah menunggu. Pada akhirnya ia melancarkan basa-basi sebagai teman lama yang baru bertemu setelah sekian tahun tak berjumpa. Hanya sebatas itu, dan nenek berpikir jauh tentangnya yang mungkin telah menjalin asmara.

Salahnya juga yang bersikap tak tegas dan mudah tertipu oleh nenek yang penuh muslihat. Selaras dengan rasa kesal di hatinya, ponselnya tiba-tiba bersuara. Dia segera menepikan mobil ke bahu jalan begitu membaca nama istrinya yang tertera. Esther seperti aspirin yang mampu meredakan sakit kepala dan menerbitkan senyum kecil di bibirnya.

“Yeobo (Sayang)?” sapanya setelah memasang handsfree di telinga kanan.

“Hyeong (Kak) ....”

Alis Theo terangkat sebelah mendengar bukan suara istrinya yang menyambut.

“Halo? Siapa?”

“Hyeong, aku Johnny, sepupu Noona.”

Theo mengernyitkan keningnya. Mencoba mengingat nama Johnny yang tidak asing di pendengarnya.

“Kenapa kau memakai ponsel istriku?”

“Aku minta maaf soal itu, tapi keadaan Noona sedang tidak baik-baik saja, jadi aku yang harus menghubungimu.”

Theo menyalakan mesin mobil, kembali menyetir mobilnya ke jalan raya. “Apa yang terjadi padanya? Istriku kenapa?” cecarnya dengan suara cemas. Sekelebat pandangannya terlempar pada luar jendela, menemukan mobil polisi yang terparkir di dekat telepon umum. Beberapa orang dan para petugas kepolisian tampak bergerombol menyesaki jalan di sekitar Apgujeong. Segelintir perasaan tidak nyaman tiba-tiba meliputi hatinya.

“Archie, Archie mengalami kecelakaan. Dia kritis.”

Kakinya menginjak pedal rem dengan mendadak. Dadanya seperti dipukuli benda berat yang membuat jantungnya seolah berhenti berdetak dan dunianya tiba-tiba menggelap.

“Jelaskan padaku!” bentaknya dengan amarah. Gemuruh hebat yang melanda membuatnya tak memedulikan pengemudi lain yang memaki keras dirinya, atau bahkan melayangkan kata-kata kotor untuknya lantaran mendadak berhenti di tengah jalan dan mengganggu lalu-lintas.

“Archie terlepas dari pengawasan Noona. Kami tidak menyadari dia sudah berlari ke tengah jalan saat mobil sedang melintas. Dan...”

Tangannya yang masih menggenggam setir kemudi, bergetar. Untuk sesaat dia merasa linglung, kacau dan tak tahu harus bagaimana. Theo bukan hanya lupa kapan terakhir kali tersenyum bahagia, dia juga lupa kapan terakhir kali merasakan jiwanya terlepas dari raga lantaran tenggelam dalam duka. Air matanya bahkan menetes hingga tanpa sadar menimbulkan sesak di dada.

“Hyeong? Cepatlah kemari, Noona sedang membutuhkanmu.”

Theo memejam, menahan semua rasa yang kini berkecamuk di dada. Dengan serak, dia bertanya, “Di mana? Mereka ada di mana sekarang?”

“Rumah sakit keluargamu.”

Telepon ditutup. Theo menengadahkan kepala menghadap langit senja. Warna jingga mengingatkannya pada senyum Archie saat mereka menyaksikan matahari terbenam di atas bukit. Wajah bahagia itu masih terekam jelas di memorinya. Suara Archie yang berusaha memanggilnya Ayah masih terdengar jernih di telinganya. Mengusap kasar wajahnya, Theo merasa dunianya terhenti detik ini juga.

“Archie, Ya Tuhan.”

@#$%^&

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!