Menjauh dari keramaian, Theo terduduk di sebuah kursi memanjang dengan memangku putranya. Sudut-sudut bibirnya terangkat menyaksikan kegembiraan anak-anak yang bermain jungkat-jungkit, ada pula yang berkeliling dengan skuter, sepeda atau sekadar jalan kaki. Pukul empat sore memang waktu yang tepat untuk bersantai sembari menikmati sinar keemasan matahari.
Suara-suara ceria bersahutan bersama terpaan angin musim semi. Kesejukan dan kenyamanan membelai kulit putihnya dengan lembut. Dari arah barat, ia menangkap siluet anak laki-laki yang berlari. Poni rambutnya tampak bergoyang-goyang mengikuti arus pergerakan. Ia menoleh, tersenyum pada sosok itu yang melambaikan tangan.
“Archie!”
“Hi, Kaiden.” Theo menjawab ramah, anak di pangkuannya berceloteh riang.
Kaiden adalah tetangga Theo yang juga teman bermain putranya. Mereka sebaya. Lahir di tahun yang sama dengan tanggal dan bulan yang berbeda. Kaiden anak yang ramah dan mudah akrab. Hampir setiap hari anak itu berkunjung ke rumahnya selepas pulang sekolah. Berkat keberadaan Kaiden, putranya kini memiliki teman.
“Archie, aku mau main perosotan di sana. Maukah kau menjaga Dino untukku?” Kaiden berbicara sembari menunjuk area bermain di bawah, sedangkan tangan yang lain menyerahkan miniatur dinosaurus pada putra Theo yang berbinar.
“Wah, tentu saja, Kai. Archie pasti akan menjaganya dengan baik,” ujar Theo setuju. Archie tertawa.
“Kau boleh meminjamnya dulu sementara aku bermain.” Kemudian benda hijau berwujud hewan purba itu berpindah tangan. “Aku pergi dulu, Archie. Sampai nanti, Paman.” Kaiden membungkuk dan merasakan tangan besar mengusak gemas surai hitamnya.
“Selamat bermain, Kai.”
Laki-laki kecil itu menyengir, sebelum akhirnya mengiyakan ucapan Theo dan menghambur pergi. Kakinya mengayun menuruni tangga menuju area perosotan yang dikerumuni anak-anak seusianya.
Pandangan Theo kemudian beralih pada putranya. Usapan lembut tersalurkan di lengan kecil itu. Mata hitamnya memerhatikan gurat bahagia yang terukir di wajah tampan yang serupa dengannya. Theo bersyukur putranya tumbuh dengan sehat, terlebih fisik yang cenderung mewarisinya. Meski kadang kala ia berandai, bila saja Archie terlahir lebih beruntung dari ini.
Theo menarik napas dalam. Sisi lain dirinya mencaci lantaran ia yang lagi-lagi mengeluhkan kondisi sang putra. Seharusnya ia tak seperti itu. Archie memang berbeda. Dan ia sudah berkali-kali meyakinkan diri bahwa Archie akan tumbuh lebih baik suatu hari nanti. Keikhlasan dan doa adalah yang diperlukan saat ini.
Limabelas menit setelah kepergian Kaiden, Theo mulai merasakan kejanggalan yang terjadi pada putranya. Anak itu bergerak gelisah, berikut gumaman tak jelas keluar dari bibir mungilnya. Ia segera menunduk, mengamati alis tipis yang berkerut-kerut, Archie seperti sedang menahan sesuatu dalam dirinya. Pun ia langsung paham begitu aliran hangat nan basah menyiram celana bahan yang ia pakai. Theo terkekeh.
“Archie, lain kali kau harus bilang pada Ayah kalau ingin buang air kecil, mengerti?”
Archie hanya tertawa. Sesekali anak laki-laki itu berseru dengan vokal yang sama berulang-ulang. Putra Theo memang belum bisa mengatakan kalimat lain kecuali ‘A’, ‘Ah’ dan ‘Em’.
Theo berdiri. Dia mendekap tubuh ringan putranya, mengarungi taman bermain yang dipadati pepohonan hijau tersebut dengan perlahan. Dia memanggil Kaiden yang berdiri tak jauh darinya. Tampak anak itu baru saja turun dari perosotan, raut mukanya pun terlihat gembira. Kai lantas menoleh setelah menyadari keberadaannya yang menggendong Archie di bawah anak tangga.
“Kai, Archie harus pulang sekarang. Kau masih ingin bermain atau mau pulang bersama kami?”
Di tempatnya, Kaiden berseru lantang bahwa ia belum puas main perosotan, jadi dia bilang pada Theo untuk meninggalkannya saja. Theo mengangguk, dia percaya Kaiden bisa menjaga dirinya sendiri. Lagi pula taman ini masih dalam wilayah apartemen yang mereka tinggali. Maka dengan tidak merasa cemas, Theo berlalu pergi.
Mereka keluar dari lift, kemudian bergegas menuju unit yang mereka huni selama tujuh tahun belakangan. Beberapa kali Archie merengek ingin turun, bahkan ia menunjukkan wajah menggemaskan pada ayahnya, namun Theo hanya merespons dengan tawa dan tak mengindahkan keinginan sederhana putranya.
Saat ini kondisi sedang darurat, tak mungkin ia membiarkan Archie merangkak di lantai yang kotor. Archie belum mampu berjalan sendiri tanpa pegangan. Anak laki-laki itu akan terjatuh setiap kali melangkah, jadi keputusan untuk tetap menggendong putranya adalah yang paling tepat, kendati ia tak tega melihat ekspresi Archie yang menyedihkan.
Kemudian dia membersihkan tubuh Archie dengan telaten dan hati-hati. Handuk biru terbungkus di tubuh kecil itu, handuk yang selalu menjadi favorit Archie sejak ia mulai memahami warna. Theo lalu membalurkan minyak eucalyptus di bagian perut dan punggung putranya sebelum memakaikan baju. Tutorial ini dia dapat langsung dari istri.
Kali ini ia melakukan semua itu sendirian, tanpa bantuan istrinya. Semenjak wanita itu memutuskan untuk membantu mengelola rumah makan keluarga, ia jarang di rumah. Theo tidak melarang meskipun ia sendiri kesulitan mengurus Archie yang sudah sangat aktif. Memang ini perkembangan yang bagus untuk Archie. Tapi Theo juga harus pergi ke sekolah untuk mengajar.
Jika dipikir lagi, istrinya memang butuh pengalihan, atau setidaknya dia sangat memahami wanita itu yang tak pernah bisa diam dan tinggal di rumah saja. Jadi memberinya sedikit kebebasan merupakan hadiah paling benar. Memikirkan istri, membuat kerinduan yang terkumpul semakin menumpuk. Dia mendesah lelah, tapi juga lega karena pekerjaannya telah usai.
“Archie, Ayah akan membuatkanmu makan malam. Cukup di sini dan bermain dengan mereka, oke?”
Dia berpamitan pada putranya untuk pergi ke dapur. Anak itu tak memberi respons apa pun, terlalu sibuk dengan mainan yang berceceran di lantai. Theo tersenyum, mengusap kepala Archie, lalu bangun dari posisi jongkoknya dan berderap ke arah kulkas. Sesekali iris gelapnya mengawasi pergerakan Archie dari jarak tiga meter.
Bila dihitung secara teknik Korea, Archie berusia enam tahun saat ini. Dia anak yang terlahir prematur. Sering keluar masuk rumah sakit semenjak ia masih bayi. Archie memiliki sistem kekebalan tubuh yang rendah, dia gampang sakit jika kelelahan sedikit saja. Komplikasi lain lalu muncul ketika Archie menginjak usia enam bulan.
Saat seharusnya ia sudah bisa duduk, dia hanya berbaring. Saat anak lain belajar berjalan, Archie belum bisa melakukannya. Saat teman-temannya pandai berbicara, Archie masih mengeluarkan suara-suara khas bayi. Dokter bilang, Archie mengidap dispraksia, sebuah gangguan motorik yang mengakibatkan terlambatnya perkembangan.
Archie adalah anak yang istimewa, maka ia pun harus diperlakukan lebih istimewa. Berkat kegigihan mereka, Archie kini sudah bisa berjalan walau tertatih dan gerakannya cukup kaku seperti robot.
Kendatipun begitu, Theo tetap merasa lapang dan bahagia. Di sudut hatinya, ia berharap sebuah keajaiban segera menyambut hangat putra kecilnya. Archie pantas mendapat kebaikan. Dia masih terlalu muda, masa depannya sangat panjang dan perlu diraih.
-:-
Tirai-tirai yang melapisi jendela, telah tersingkap sebagian, membebaskan kehangatan matahari pagi menembus hingga ke seluruh ruangan. Esther mengenakan apron merah muda, berkeliaran mengelilingi rumah dengan berbagai kesibukan. Sebagai seorang istri dan ibu, ia terbiasa melakukan segalanya sendirian. Meski acapkali sang suami turut terjun dalam urusan rumah tangga.
Bukan hal asing lagi bila melihat suaminya mencuci piring, baju kotor, menyapu lantai, mengepel, membersihkan kaca jendela, kamar mandi bahkan memasak. Pria itu pernah berkata bahwa keluarga ini hanya milik mereka, maka apa pun yang terjadi, mereka harus bekerjasama dan saling membantu. Suaminya tak peduli masalah gender, karena untuk mewujudkan rumah tangga yang harmonis, harus ada kontribusi seimbang di antara mereka.
Kini ia menyiapkan meja makan, menata aneka ragam masakan tradisional Korea di sana. Saat fokusnya hanya tertuju pada hidangan sarapan, terdengar pintu yang terbuka dari kamar utama, menyajikan sesosok pria berpiama kotak-kotak dengan mata yang sedikit mengeryip dan rambut hitam mencuat ke mana-mana, begitu pun makhluk kecil di gendongannya yang masih mengantuk.
“Selamat pagi, Archie. Selamat pagi Ayah Archie.”
Senyum teduh menjemput kedatangan dua anggota keluarga. Si pria bermuka bantal sekonyong-konyong merengkuhnya, mencumbui bibirnya seperti selalu.
“Sayang.” Esther mencoba menahan pergerakan suaminya yang tak sabaran ingin menciumnya lagi. “Ajaklah Archie ke kamar mandi. Kau perlu berbenah, hari ini murid-muridmu ujian, kan?”
Pria itu mengangguk. Meski dengan wajah yang tercoreng lipatan-lipatan bantal, ia tetap memesona, indah dan selalu menyejukkan mata. Bahkan ia terlihat sangat tampan hanya dengan penampilan sederhana.. Esther selalu jatuh cinta padanya, setiap waktu, setiap perilaku, entah itu liar maupun manis, suaminya selalu berhasil memancing debar harmonis.
“Archie, mandi dulu, Nak. Ayo bangun, kau juga harus berangkat sekolah.”
Esther melirik Archie yang enggan menatapnya, justru semakin pandai berlindung di bahu sang ayah tanpa berniat mengubah posisi. Anak itu seperti sedang beralasan untuk tak pergi ke kamar mandi. Archie memang sedikit malas bangun di pagi hari, walau sejujurnya ia mudah dibujuk. Putra kebanggaan Theo itu lantas mengeratkan pelukan. Si empunya tubuh pun kontan melepas tawa pendek.
“Archie ... sayangnya Mama, sudah siang, Nak, cepat bangun.”
Esther paham putranya senang bila ia menyeru dengan suara lembut. Archie suka kelembutan. Tak ayal, laki-laki kecil itu menoleh setelah merasakan belaian halus pada surainya. Ia mengerjap-erjap memandangi sang ibu.
“Ung, ung.”
“Ayo pergi mandi, Nak.”
Esther mencium pipi bulat putranya. Anak itu tersenyum riang. Tangannya terjulur hendak meminta gendong sang ibu, namun ayahnya lebih cepat bereaksi. Bukannya tak diizinkan memeluk sang ibu. Archie sekarang sudah cukup besar, berat badannya bertambah, Theo tak mungkin tega membiarkan Esther menahan beban seberat itu. Istrinya akan kuwalahan, apalagi akhir-akhir ini ia mudah tumbang.
Tak ada pilihan lain, ia segera membujuk putranya. Pukul tujuh ia wajib tiba di sekolah sebelum murid-muridnya berdatangan. Dia bertugas menjadi panitia ujian sekolah, jadi ia harus melakukan persiapan lebih awal. Pun sebelum berangkat, ia juga perlu mengantar putranya ke sekolah khusus. Benar-benar tak ada waktu untuk bersantai. Meski dengan sedikit terpaksa, Archie akhirnya berhenti rewel.
-:-
Kesibukan di luar rumah acap kali sukar untuk dicegah. Theo terbiasa menghabiskan sebagian waktunya di sekolah. Kadang-kadang ia juga dibebani menjaga murid-murid yang mengikuti ekstrakurikuler musik sampai menjelang larut. Bila ia mendapat lebih banyak durasi di rumah, maka itu adalah jackpot. Tak tanggung, ia akan menggunakan kesempatan itu untuk bermalas-malasan, bermain dengan putranya, atau menggoda istrinya.
Theo tak berhenti tersenyum sejak tadi. Sangat menyenangkan mengamati wajah ayu istrinya dari bawah. Oh, benar, dia sedang berbaring di pangkuan istrinya. Titik ternyaman yang sukses menggelitik relung hati, terlebih jemari sang istri yang menjelajah di sekitar garis rahang hingga pipi. Tatapan istrinya memang tertuju pada layar televisi, namun setidaknya Theo masih mendapat perhatian kecil yang ia syukuri.
Putranya tertidur beberapa saat lalu. Sepertinya Archie cukup lelah setelah mengikuti terapi tadi siang. Perkembangan Archie meningkat setiap hari. Ia tak perlu lagi dijaga saat berjalan. Saking bahagianya bisa melakukan yang seharusnya sejak dulu anak itu lakukan, Archie tampak begitu bersemangat. Sepanjang sore, ia berlarian memutari rumah.
Theo kadang merasa waspada, tapi seorang terapis bilang bahwa ia harus menanamkan kepercayaan yang kuat terhadap putranya. Bila Archie tak diberi kebebasan, maka perkembangannya pun akan terhambat. Orang tua cukup mendampingi, mengajari dan mengawasi secukupnya. Karena bagaimana pun, Archie tetap butuh privasi. Ia juga harus melatih dirinya untuk menjadi lebih berani.
Perhatian Theo kembali teralih pada sang istri. Sudah dua jam mereka berduaan di ruang keluarga. Esther tak pernah mau ketinggalan drama favoritnya, jadi rela atau terpaksa, ia harus tetap rela berbagi dengan mereka yang memenuhi layar televisi. Tapi saat tiba-tiba wanita itu balik menatapnya—tanpa ekspresi, anehnya ia merasa senang.
“Theo, tadi ....”
“Ya?” Theo penasaran karena Esther menggantung kalimatnya.
Wanita itu tampak ragu. Bibir Theo mengerucut begitu istrinya memilih memandang si aktor tampan.
“Kau mengunjungi keluargamu—”
“Keluargaku keluargamu juga, Sayang.”
Esther berubah kikuk. Alis Theo menukik, tak suka.
“Maaf.”
Melihat perilaku istrinya yang sebentar-sebentar menggigit bibir, tak ayal menumbuhkan rasa gemas yang tak tertolong.
“Katakan saja, Sayang, jangan cemas seperti itu.”
“Hng, apa terjadi sesuatu di sana?”
“Tidak ada.” Theo menjawab dengan santai. “Ibu merindukanku, itu saja.”
Jawaban Theo mengandung makna jamak. Boleh jadi ia mengatakan yang sejujurnya, atau mungkin tidak. Theo memang cukup cerdas menutupi ekspresi. Ada hal yang perlu dan tak perlu untuk diceritakan. Dan masalah nenek yang lagi-lagi mengenalkannya pada gadis pilihan keluarga, sungguh tak patut untuk dibicarakan, apalagi dengan istrinya. Theo tak sanggup melukai perasaan wanita yang ia cintai. Bahkan ia rela mati daripada harus melihat kehancuran sang istri.
“Oh.”
Suara Esther kali ini terdengar lega. Ada sebagian dirinya yang belum puas dengan jawaban Theo. Esther hafal bagaimana tabiat keluarga suaminya, terutama sang nenek. Bila mereka hanya mengundang Theo untuk pulang ke rumah, maka ada sesuatu yang disembunyikan di belakangnya.
Kadang ia merutuki pola pikirnya yang terlalu rumit. Bayangan lain turut menghantui. Esther mengingat kejadian dulu ketika secara terang-terangan diminta untuk berpisah. Sayangnya, ia perempuan tangguh, tak sekalipun berniat mengabulkan perintah tak manusiawi itu. Sejak awal, pernikahan mereka memang tak pernah direstui.
“Sayang.”
“Hm?”
“Archie sudah tidur.”
“Aku tahu.”
Theo menggaruk rahangnya. Respons cuek istrinya menyiratkan bahwa ia sedang tak ingin diganggu. Benar sih Theo cemburu bila fokus Esther sudah terpecah begini. Tapi dia tetaplah seorang suami, yang ada saatnya untuk bersabar, dan ada kalanya butuh didengar.
“Esther, lihat aku.”
Esther mengerjap. Matanya merendah.
“Aku sudah melihatmu.”
“Tidak, bukan seperti itu.” Theo segera bangkit. Dia menekan bahu istrinya. Memerintahkan wanita itu agar tak berpaling darinya. Setidaknya untuk saat ini.
“Sayang, ayolah, kau tahu maksudku.” Dia memohon, sedikit frustrasi.
“The—”
Ucapan Esther terputus saat tahu-tahu Theo mengecup bibirnya. Tangan pria itu lantas meraba permukaan sofa, memungut remote dan langsung memadamkan televisi. Esther terkejut, matanya melebar, bahkan ia belum menonton adegan yang ditunggu-tunggunya sejak tadi.
“Theodore Park!” Ia merajuk, kesal pada sikap suaminya yang semena-mena.
“Jangan cemberut, Sayang. Kita bisa melanjutkannya sendiri.”
Esther akan mengajukan perlawanan, namun tak disangka Theo bergerak lebih gesit. Pria itu mengecupnya lagi. Bibir mereka menyatu cukup lama. Anggota tubuh Theo yang sinkron, berhasil mengambil alih perhatian sang istri. Tangan itu lantas merambat ke dalam piama, menelusuri punggung, turun ke pinggang dan memeluknya mesra, lalu ia semakin merayap ke bawah dan berhenti di tulang pinggul.
Kini ia tahu, istrinya telah terbuai oleh ciuman menuntutnya. Ia merasa lega begitu menyadari Esther telah terlena, mungkin juga melupakan rasa kesal yang terpercik di mata cokelatnya beberapa saat lalu. Sementara istrinya lengah, ia buru-buru menyiasati dengan mengangkat wanita itu duduk di pangkuannya.
Tautan terlepas sesaat. Theo merapatkan dahi mereka. Bola kelamnya menyelami milik istrinya. Esther seakan terlempar dari ketinggian tebing kala disuguhi tatapan teduh penuh harap suaminya, rasa bersalah turut menggenggam kala mengetahui betapa putus asa pria itu terhadapnya.
Sekonyong-konyong ia terjebak dalam manik gelap berselimut kabut di hadapannya. Ia menemukan sebuah kemarahan, kecemburuan, dan kerinduan tak terbendung tersirat cukup jelas di sana. Penyampaian itu terlalu kuat hingga ia sulit bernapas.
Esther refleks menarik tengkuk suaminya, mencari kenyamanan kala bibir mereka kembali berpagut. Pria itu tak hanya diam, dia tersenyum menang, tentu saja. Satu lengannya mulai sibuk mengelilingi punggung sempit itu, kemudian meletakkan lengan yang lain di belakang lutut istrinya.
Tanpa memutus pertautan, Theo membopong tubuh ringan itu menuju kamar mereka. Di sisi lain, tangan Esther melingkari bahu lebar sang suami dengan perasaan meletup-letup dan dada yang berdegup kencang.
Libur panjang musim panas telah berakhir. Gerbang-gerbang sekolah kembali dibuka setelah sekian lama tak berpenghuni. Semester genap dimulai pada pekan ini. Theo sedikit malas pergi bekerja. Kurang rela waktu santainya di rumah habis begitu saja. Kebersamaan dengan istri dan anaknya terasa lebih cepat dari yang ia bayangkan. Bagaimana mungkin ini terjadi? Kenapa waktu tidak berjalan lambat saja agar ia bisa lebih lama berkumpul bersama keluarga kecilnya?
Dia berjalan masuk ke kamar, menuju putranya yang bermain sendiri di atas ranjang—sembari membawa botol susu di tangan. Untuk sejenak, ia berhenti, mengamati anak laki-laki yang bagai replika dirinya di masa kecil dengan senyum teduh. Cukup lama ia terhanyut dalam lamunan, hingga tiba-tiba ia tersadar begitu mendengar gumaman Archie yang mengarah padanya. Tangan mungil itu melambai, seolah mengatakan; aku haus, Ayah. Ia tertawa sendiri membayangkan suara Archie yang meminta susu.
“Archie, sebelum Ayah memberikan botol susu ini padamu, bolehkah Ayah mendengarmu memanggilku ‘Ayah’?”
Theo menguji putranya. Sejujurnya belum ada perkembangan, bahkan setelah mengikuti terapi wicara selama beberapa waktu, Archie masih sama. Pun setiap ada luang, ia tak bosan-bosan melatih putranya untuk berbicara. Dimulai dari hal-hal sederhana, seperti mengenalkan Archie pada huruf-huruf vokal. Namun segalanya memang tidak mudah.
“Nak, perhatikan Ayah, oke?” Theo mencari perhatian putranya yang hanya menatapnya bingung. “Sekarang, coba katakan A-yah. Aaa-yah.” Dia mengulang, mengajari Archie pelan-pelan, bahkan hingga bibirnya terbuka penuh.
Anak itu tampak melamun. Theo sudah mengerti akan seperti ini reaksinya. Maka ia hanya mampu mengulas senyum. Tangannya lantas mengusap kepala Archie dengan sayang.
“Nak, tidak apa-apa jika sekarang kau belum bisa melakukannya. Nanti kau akan belajar lebih banyak lagi dengan Ayah. Tenang, waktu kita masih panjang.”
Tuhan, beri kemudahan pada anakku.
Theo menyadari, kondisi putranya yang berhubungan langsung dengan sistem saraf memang membuat anak itu sulit berkonsentrasi, lamban dalam menerima informasi atau mempelajari hal-hal baru. Karena pada realitasnya, apabila aliran sinyal saraf dari otak ke seluruh tubuh terganggu, maka tidak menutup kemungkinan terjadi keterlambatan untuk sekadar memroses sesuatu.
Dari artikel yang dia pelajari, dispraksia tak dapat disembuhkan. Seseorang akan mengalami kondisi seperti itu seumur hidupnya. Bagaikan belati yang tertancap di jantung, ia sangat terluka saat mengetahui fakta tersebut. Satu hari ia pernah berkonsultasi pada dokter spesialis tumbuh kembang anak. Dijelaskan, meski tak bisa sembuh, jika melakukan terapi secara rutin, maka potensi meningkatkan kualitas motorik putranya akan cukup besar. Setidaknya Archie menjadi lebih baik setelah perawatan.
Theo berharap, Archie memiliki kesempatan untuk tumbuh seperti anak normal lainnya. Ia tak sanggup membayangkan bila ini terjadi sampai jangka panjang. Ketakutan itu sama besarnya dengan harapannya saat ini. Sekejap kemudian, ia memeluk putranya, membisiki kalimat-kalimat terbaik sebagai penyemangat. Dan untuk kesekian kali, ia tak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Air matanya runtuh. Hatinya terenyuh mendapati kemalangan sang putra. Mengapa ini harus terjadi pada putranya?
Tak berapa lama, tangisnya berubah menjadi tawa begitu menyadari Archie yang menggeliat ingin dilepaskan. Anak itu tak ubahnya belut yang tertangkap tangan. Pada akhirnya dia menyerah, tak tega melihat wajah sendu Archie, ia segera mengangsurkan botol susu pada putranya yang kehausan. Jemarinya lantas menyibak poni yang menutupi dahi kecil itu, memerhatikan Archie yang meminum susu seperti bayi.
Dari ambang pintu kamar mandi, Esther keluar mengenakan bathrobe abu-abu. Aroma sabun yang lembut menguar hingga mengalihkan atensi sang suami terhadapnya. Dia melirik sebentar interaksi kedua pria yang duduk di atas ranjang tanpa kata. Belakangan ia lebih banyak diam, terutama bila berhadapan dengan sang suami. Tak ada perintah untuk menghindar, tubuhnya bergerak begitu saja secara spontan. Bahkan saat pria itu menegurnya, ia hanya menatap sekilas dan menjawab sekenanya.
Seperti sekarang, saat sosok itu berkata padanya, “Sayang, ayo kita bicara.” Mungkin suaminya sudah menyadari sikap anehnya akhir-akhir ini.
Pria itu membimbingnya agar mendekat. Kemudian tangannya digenggam, dan dituntun menuju sofa di bawah jendela yang memantulkan cahaya keperakan matahari. Sesekali mata obsidian suaminya mencuri pandang anak mereka yang berguling-guling sembari menjaga botol susu. Archie tampak tak peduli atas kepergian sang ayah, anak laki-laki itu barangkali terlalu menikmati empeng di dalam mulutnya.
“Sayang.”
Esther menoleh ke samping, mengamati tangan yang kembali menggenggamnya. Sepasang matanya lalu terangkat, menemukan manik gelap yang seketika membuatnya tersentak. Setiap kali mata itu menyorotnya, ingatan peristiwa di hari itu kembali menghantui. Ketika tanpa sengaja ia melihat suaminya keluar dari coffee shop dengan menggandeng seorang wanita. Bayangan itu muncul seperti film yang terus berputar-putar di kepala. Dan terus berputar di titik yang sama; adegan di mana senyum hangat suaminya tersaji untuk wanita lain.
“Aku, mungkin siang nanti aku tak bisa menjemput Archie.” Nada bicaranya terdengar hati-hati, Theo menatap tak enak pada istrinya. “Aku minta maaf. Seharusnya aku bisa meluangkan waktu, tapi sejak memasuki semester genap, tugasku semakin banyak.”
Tak terhitung sudah berapa lama mereka terdiam. Suasana kamar tiba-tiba berubah tanpa nyawa. Hening. Esther menghela napas, merasa sesak untuk kesekian kali mendengar suaminya yang lagi-lagi berdalih tak bisa menjemput putra mereka lantaran kegiatan sekolah. Entah pria itu berkata jujur atau dusta, yang ia tahu kini hatinya menyempit. Pikirannya dipenuhi bayang-bayang sang suami yang menemui wanita lain, menjalin hubungan di belakangnya, dan lebih parah lagi, pria itu akan meninggalkannya.
Esther mengingat mimpinya malam itu, sebelum ia menangkap basah suaminya bercengkrama dengan wanita lain. Sebelum ia melihat keakraban yang terjalin hangat di antara keduanya. Bahkan ia tak mengenali siapa wanita itu, ia belum pernah melihat sosoknya sebagai saudara, rekan atau teman suaminya. Bila hanya sebatas hubungan pertemanan, tak mungkin ‘kan mereka semesra itu? Jantungnya berdenyut sakit melihat kembali aksi pengkhianatan sang suami yang tepat di depan mata.
Lalu mimpi itu, rasanya seperti bukan mimpi kala sosok yang ia cintai melepas tangannya, berjalan menjauh tanpa menatapnya, membawa putra mereka pergi, meninggalkannya sendirian dengan perasaan bimbang, dan ucapan selamat tinggal. Sungguh ia ketakutan, ia terlalu takut bila mimpi buruk itu menjadi sebuah kenyataan. Akankah ia hancur bila perpisahan itu benar-benar terjadi?
“Sayang?”
Esther mengerjap, keterkejutan samar terlukis di paras ayunya. Dia mengambil napas pendek, mengendalikan detak jantung yang terasa menyakitinya.
“Ada apa?” Tersirat kekhawatiran dalam suara berat itu. Theo tampak kebingungan menangkap gelagat aneh istrinya.
Esther menggeleng. Pandangannya menghindar dari sang suami. “Tidak,” ujarnya. “Tidak apa-apa. Biar nanti aku yang menjemput Archie. Kau tak perlu khawatir. Fokus saja pada pekerjaanmu. Maaf, telah merepotkanmu akhir-akhir ini.”
Dia segera berdiri, hendak menghampiri putranya yang harus berganti pakaian. Namun tak disangka sebuah tangan menahan lengannya. Ia terkesiap. Untuk pertama kali selama hidup bersama, ia merasa risi disentuh oleh suaminya sendiri. Tangan itu, pernah menggenggam tangan wanita lain. Membayangkannya membuat sekujur tubuhnya merinding. Spekulasi tentang pengkhianatan suaminya telah menguasai dirinya tanpa menyisakan ruang. Refleks ia menghempas tautan itu dengan tangan gemetar.
Theo tercenung mendapat perlakuan berbeda dari istrinya. Esther tak pernah mengabaikan, bahkan menolaknya. Esther tak pernah bersikap sedingin itu terhadapnya. Esther tak pernah melupakan panggilan ‘Sayang’ setiap kali mereka berbicara. Esther yang ada di hadapannya adalah istri yang sedang marah karena kesibukannya. Mungkin ia telah melampaui batas hingga membuat wanita itu kesal dan cenderung tak menghiraukannya. Kini ia mengaku salah.
“Sayang, aku minta maaf,” sesalnya, merengkuh wanita itu dari belakang.
-:-
Di tengah kepadatan aktivitasnya mengelola rumah makan sang ayah, Esther juga harus menjemput Archie. Terkadang ia menyesali keputusannya yang ingin kembali bekerja. Semenjak menuruti kemauan egoisnya tersebut, tugas sebagai ibu sering kali terbengkalai, hingga terpaksa ia melibatkan sang suami untuk mengurus putra mereka di siang hari. Meskipun pria itu tak mengatakan keberatannya, tapi ia tahu, Theo sedikit terbebani karena kegiatan mengajarnya jadi terganggu.
Siang itu seharusnya ia membawa Archie pulang ke apartemen, namun karena sang ayah sendirian menjaga rumah makan, juga cuaca yang sedikit mendung, ia memutuskan untuk tinggal sementara. Tak lama setelah ia mengamankan putranya, hujan benar-benar mengguyur dengan lebat disertai angin kencang. Dia mengucap syukur dalam hati. Seandainya ia nekad mengendarai motor di saat cuaca buruk seperti ini, sudah pasti mereka basah kuyup di tengah perjalanan. Dan fatalnya, mungkin Archie akan langsung terkena demam.
Dia menghela napas panjang. Paru-parunya terasa memberat lantaran hidung yang tersumbat. Setiap kali hawa dingin menyerang, alerginya selalu kambuh. Tak ada yang bisa dia lakukan kecuali duduk di salah satu kursi pelanggan. Rumah makan tidak begitu ramai setelah langit meneteskan gerimis kecil. Archie terlelap di pangkuannya sejak mendengar suara hujan. Ayahnya ada di seberang, berdiri di dekat meja pantry sembari membaca sebuah tajuk berita di koran yang terlipat. Pria yang hampir mendekati kepala lima itu sesekali melirik ke arahnya.
Sosok ayah yang dia kenal selama ini adalah orang yang jarang bicara, jika bukan hal penting, beliau memilih diam. Esther tahu betul karakter sang ayah karena mereka hanya tinggal berdua. Dan kali ini ia melihat gestur tak asing dari ayahnya. Pria yang nyaris awet muda di usia pertengahan abad itu seolah memberi isyarat bahwa ia ingin menyampaikan sesuatu yang krusial padanya. Meski ayahnya lebih sering bersikap pasif, namun ia bisa membaca kecemasan di wajah itu saat tahu-tahu beliau duduk di hadapannya dengan secangkir teh jahe.
“Minumlah, alergimu sedang kambuh.”
Sedingin apa pun perangainya, sosok itu tetaplah seorang ayah yang penuh perhatian. Esther merasa hangat dan lega di waktu bersamaan.
“Terima kasih, Ayah.”
Ayahnya tersenyum yang hanya sebentar. Baru satu detik, raut datar kembali menemani temperatur rendah di luar sana. Ayahnya memang sangat irit berekspresi, dan Esther sudah memahami itu.
“Esther Jo.”
“Ya.”
Esther memandang ayahnya yang tampak berpaling muka ke arah lain. Mata tajam itu melembut walaupun hanya terlihat dari samping. Esther menanti ucapan selanjutnya dari sang ayah dengan kening berkerut.
Setelah sekian menit terjebak dalam situasi sunyi, pria berkemeja biru dengan garis-garis vertikal itu menatap teduh matanya. “Beberapa hari ini kau sering menjemputnya. Apa kau baik-baik saja dengan itu?” Lidahnya tak selaras dengan isi hati, padahal ia ingin menanyakan, apa kau baik-baik saja dengan kehidupanmu?—pada putrinya. Namun ia enggan. Hal mudah tapi terasa berat baginya.
“Aku baik-baik saja, Ayah.” Esther tak bisa mengusap leher belakangnya yang sedikit geli. Ia merasa aneh ayah menanyakan hal seperti itu padanya, bukankah wajar seorang ibu menjemput anaknya di sekolah?
Pria itu berdeham. “Apa kau diperlakukan dengan baik?”
“Eh.” Esther terkejut untuk sesaat. Memori seputar sang suami yang menemui wanita lain kontan terbuka seiring dengan debaran keras di dadanya. Dia akui suaminya sangat baik di hadapannya, namun ia benar-benar tidak tahu bagaimana kelakuan pria itu di belakangnya. Apa mungkin ayahnya tahu hal yang tak ia ketahui? Bulu matanya yang lentik bergetar tatkala ia mengerjap. “I-iya, Theo baik padaku, dan kami baik-baik saja. Ayah, jangan mengkhawatirkan sesuatu yang tidak perlu dikhawatirkan. Theo hanya sibuk di sekolah. Dan aku me—”
“Aku tidak menanyakan tentang hubungan kalian.”
“Eh?!” Esther tercengang mendengar pernyataan itu. Archie yang berada di pelukannya pun tampak terganggu. Ia menepuk-nepuk pelan pantat putranya dengan mata yang masih melebar. Kenapa sih ayahnya suka sekali mempermainkan kata-kata seperti itu? Membuatnya kaget saja.
Pria beralis tebal itu menarik tipis sudut bibirnya. Dia menahan tawa melihat ekspresi putrinya yang sesuai perkiraan. “Apa mereka bersikap baik padamu?” Secepat ia menghapus rona geli, secepat itu pula ia mengembalikan raut tegas. “Orang tua suamimu dan wanita tua itu, apa mereka bersikap baik padamu?” tekannya.
“A-apa? Apa maksud Ayah? Kenapa tiba-tiba ...?” Perasaan gugup mengacaukan konsentrasi. Tubuh Esther membeku, degup jantungnya semakin menderu. Ada apa dengan ayahnya hari ini?
Pria Jo itu menurunkan pandangan. Merasa sedih setelah melihat respons putrinya. Kesimpulan akhir kini telah ia pegang. Menyayangkan bahwa kecurigaannya selama ini benar. Bila gadis kecil itu diperlakukan baik, maka ia takkan setakut itu menjawab pertanyaannya. Bahkan ia merasa ada yang tidak beres sejak pernikahan putrinya dan putra kedua keluarga Park digelar beberapa tahun lalu. Orang tua menantunya memang menghadiri dan bertegur sapa dengannya, masih menjunjung sopan santun sebagai besan. Namun ia menemukan keganjilan kala tak menjumpai sosok wanita tua yang ia tahu adalah nenek menantunya.
“Ibumu meninggal karena depresi.”
Dua alis Esther terangkat, mendapati sepasang mata coklat sang ayah yang kembali menatapnya. Ia diserang bingung, batinnya bertanya-tanya, mengapa ayah membuka topik lain yang tidak berhubungan dengan pertanyaannya tadi?
Kendati pandangannya lurus, namun pria itu tengah menerawang ke masa lalu. “Kakekmu menentang hubungan kami, dan ia memperlakukan ibumu dengan buruk. Sangat buruk.”
Mata itu berembun. Esther tersentuh menyaksikan kesedihan ayahnya. Ia menyesal karena tak pernah mengingat bagaimana rupa ibunya. Wanita itu telah tiada bahkan sebelum ia bisa merekam wajahnya. Esther tak bisa merindukan ibu meski ia sangat menginginkan sosok itu ada di sini untuk mendampinginya.
“Seandainya aku tahu hal itu akan terjadi, aku lebih memilih untuk tak mengenalnya sama sekali.” Marcus Jo menelusuri inci wajah putrinya yang merefleksikan sang istri. Ia berharap gadis kecil itu merenungi ucapannya. Matanya terpejam. Lalu kembali terbebas serupa kepakan sayap elang di langit kelam. “Tapi aku mencintai ibumu, aku sangat mencintainya. Mencintainya melebihi apa pun di dunia ini,” tegasnya seolah mendeklarasikan sebuah ketetapan yang mutlak.
“Kurasa, hal itu juga yang dilakukan suamimu saat ini. Dia mencintaimu seperti aku mencintai ibumu. Dia rela meninggalkan keluarganya demi bersamamu. Dan saat aku melihatnya, aku seperti melihat diriku sendiri di masa lalu.”
Wajah Esther berubah sendu. Kaca-kaca bening melapisi mata. Dia membenarkan kisah orang tuanya yang berakhir tragis. Kakek memang tak merestui hubungan keduanya. Bahkan kakek mengusir ayah dan mencoretnya dari ahli waris keluarga. Benar, ayah telah memutuskan untuk bersama ibu tanpa menghiraukan ancaman kakek. Bagi Esther, ayah adalah pejuang tangguh yang tak pernah mengenal rasa takut. Ayah bersedia melepaskan hidupnya yang serba mewah dan terarah hanya demi ibu. Dan benar, perkataan ayahnya tentang Theo yang rela meninggalkan kemewahan demi dia. Tapi Esther meragu, apa benar pria itu bisa mencintainya sedalam cinta ayah terhadap ibu?
“Kau adalah putriku yang sangat berharga.”
“Ayah.” Mata Esther bergetar. Kata-kata ayahnya yang rumit tapi penuh makna itu kini telah ia pahami.
“Ingatlah, jika mereka bersikap buruk padamu, bahkan hingga menyakitimu, maka pulanglah padaku.”
Jangan seperti ibumu, cukup ibumu yang pergi meninggalkanku, tidak denganmu, Gadis kecilku.
Esther mengangguk. Tak memberi batasan seberapa banyak air matanya akan mengalir. Saat ia menerima kehangatan yang luar biasa dari ayahnya, ia tak memerlukan hal lain lagi. Ini kali pertama ayah menyampaikan kata-kata romantis padanya. Dan ia menerima undangan kasih sayang itu dengan tangan terbuka.
Ketika terpaan angin menembus pertahanan epidermis, Esther merapatkan mantel yang membungkus tubuhnya dan Archie. Bagusnya anak itu tidak rewel saat bangun tidur dan tak mendapati wajah sang ayah di sisinya. Archie terbiasa dengan keberadaan Theo di sekitarnya, pun ia tak bisa tidur malam bila tak berada di pelukan ayahnya. Mereka dekat satu sama lain, seolah tak bisa hidup tanpa salah satunya. Ikatan mereka terlalu kuat untuk ukuran ayah dan anak.
Hujan telah mereda sejak beberapa saat lalu, Esther dan putranya dalam perjalanan pulang menuju apartemen. Dia duduk di belakang, membiarkan sepupu laki-lakinya untuk menyetir. Kebetulan sekali laki-laki itu datang dan menawarkan bantuan. Ayahnya juga berkonspirasi, memaksanya agar diantar oleh anak bibinya itu. Walaupun ia sempat cemas saat mendengar kabar kakeknya masuk rumah sakit, namun ia juga merasa lega begitu melihat ayahnya yang bergegas menjenguk.
Esther tidak tahu hubungan keduanya sudah membaik atau masih sama. Setahunya, kakek telah berulang kali minta maaf pada ayah dan menyesali perbuatan jahatnya di masa lalu, namun ia juga memahami betapa keras hati ayahnya. Dia berharap, ayah bisa berhubungan baik lagi dengan kakek. Rasanya tidak tega setiap ia berkunjung, kakek selalu menanyakan kabar ayah sambil berderai air mata. Bagaimana pun, ia hanya seorang perempuan lemah, hatinya tidak cukup kuat melihat pria renta yang terus menangisi putra satu-satunya.
Motor skuter yang ditumpanginya berhenti di depan toko bakery. Esther merasa perutnya kembung setelah minum teh jahe. Pada dasarnya, udara dingin dan tubuh rapuhnya tak cocok bila dibaurkan. Esther benci udara dingin di musim gugur, tapi suaminya lahir di musim gugur. Terkadang ia harus membuat pertimbangan bila tak menyukai sesuatu. Sepasang kakinya lantas berpijak di beranda toko, ia menjaga Archie yang berdiri di sebelahnya. Aroma kayu manis sepertinya menenangkan, jadi ia berencana membeli cinnamon roll.
Ia menggenggam tangan putranya, mengajak anak itu masuk melewati pintu kaca. Beraneka ragam roti tertata rapi dalam etalase dan rak-rak tanpa kaca, dia mengambil nampan serta alat pencapit. Ia memerhatikan putranya yang berlari kecil menuju rak berisi roti pizza, tangan mungilnya menunjuk roti persegi bertabur sosis dan keju tersebut dengan mata yang memandangnya lucu. Ia tersenyum gemas, menghampiri sang putra dan merunduk di sebelahnya.
“Archie, apa kau tahu roti itu bernama roti pizza?”
Laki-laki kecil itu mengerjap. Esther memandangi wajah putranya yang berbinar. Archie seperti ingin menyampaikan sesuatu, tapi ia tak mengatakan apa-apa dan terus mengarahkan telunjuknya pada objek yang tak terjangkau tangannya.
“Baiklah. Jadi kau menginginkan roti pizza? Apa kau akan menyukainya?”
Saat Archie merespons dengan anggukan tiga kali, Esther merasa takjub. Terlebih anak itu terus berceloteh dengan bahasa lain yang seketika membuat Esther berdebar. Ini perkembangan yang bagus. Theo harus tahu. Suaminya pasti senang mengetahui putra mereka yang sudah pandai menangkap informasi.
Esther segera mengambilkan roti yang diinginkan Archie dan meletakkannya di atas nampan. Archie tampak gembira, kakinya melompat-lompat di lantai sambil bertepuk tangan. Esther terharu melihatnya. Setetes air mata tanpa sadar jatuh di pipi. Dia menghapusnya dengan cepat, lalu memeluk Archie erat dan mengucapkan “Mama bangga sekali padamu” berulang kali seraya menciumi wajah kecil itu.
Bahagia tak perlu dengan sesuatu yang mewah, cukup melalui hal-hal kecil seperti ini sudah mampu menggetarkan hatinya. Esther menangkup sepasang pipi gembul di hadapannya, merangkum detail wajah itu dengan sorot lega dan bahagia. Sesaat kemudian, ia melabuhkan kecupan sayangnya di kening sang putra. Barangkali ia akan tetap pada posisinya bila tak mengingat Johnny yang menunggu di luar.
Perlahan Esther melepas pelukan mereka. Ia meminta Archie agar tak berlarian di dalam toko. Setelah memastikan keadaan aman, ia bergegas melangkah ke arah roti gulung kayu manis. Ia juga memilih beberapa buah muffin coklat, bagel dan donat kesukaan Archie untuk ditambahkan dalam list belanja. Pandangannya lalu menyebar ke rak-rak lain, meneliti varian roti yang mungkin menarik minatnya. Namun di detik itu juga, ia merasakan sesuatu yang janggal dan membuatnya tidak nyaman.
Esther buru-buru melempar atensi ke tempat terakhir kali ia melihat Archie. Detak jantungnya mulai tak normal. Archie tidak ada. Putranya benar-benar tidak ada. Dengan hati kalut, kakinya berderap mengelilingi toko, mencari keberadaan sang putra yang menghilang tiba-tiba. Pikirannya berubah keruh begitu tak mendapati anak itu di mana-mana. Telapak tangannya yang membawa nampan seketika dingin dan basah. Dia panik, meletakkan nampan di sembarang tempat. Dia berlari keluar toko seperti orang tidak waras. Celingukan mengais siluet putranya di seluruh penjuru.
Tubuhnya yang sempat kedinginan kini berkeringat. Debar jantungnya semakin menggila, bahkan rasanya ia sulit sekali untuk bernapas. Lalu, datang waktu ketika ia benar-benar tak sanggup lagi untuk berdiri, kala gemetar hebat menguasai. Adalah detik di mana rungunya menangkap teriakan sang sepupu di tengah-tengah jalan raya, memanggil nama putranya seperti orang gila, memeluk sosok kecil yang berlumuran darah di pangkuannya. Lalu lalang terhenti, orang-orang berkerumun mengelilingi, dan suara-suara panik menjadi pemandangan yang cukup mencekam saat ini.
Esther hilang pijakan, tubuhnya lemas, nyawanya seakan dicabut paksa hingga ia tak berdaya. Ia lantas berjalan dengan langkah tak sempurna, air matanya mengalir tanpa suara. Tak ada satu pun yang mampu dia dengar, segalanya berubah menjadi dengungan panjang. Ia menekan kuat dadanya, lalu terjatuh di depan Johnny yang bersimbah air mata. Johnny terus menggumam panggilan untuknya, namun ia tuli. Bahkan saat laki-laki itu berteriak meminta orang-orang untuk memanggil ambulans, ia hanya mampu mendengar deru napas putranya yang melemah.
“Archie, Archie, Archie ....”
Tangisnya tak terbendung. Bibirnya yang bergetar tampak pasi, kepalanya pening, ketakutan besar tergambar jelas di matanya. Detik ini, ia kehilangan separuh jiwanya.
-:-
Mercedes Benz platinum yang Theo kendarai baru saja meninggalkan Sinsa-dong dengan kecepatan sedang. Seharusnya hari ini dia pulang pukul lima sore seperti biasa. Kalau saja ia tak mendapat kabar dari pelayan rumah perihal kondisi kesehatan nenek yang menurun akibat sakit punggungnya kambuh, mungkin ia sudah tiba di apartemen dan bertemu keluarga kecilnya.
Namun nahas, ia justru terkelabui begitu melihat nenek yang bisa berjalan bahkan sangat sehat. Neneknya memang terlalu jail sampai tega menggunakan sakit sebagai alibi. Padahal tidak perlu berbohong, pun bila wanita renta itu merindukannya pasti ia pulang. Sayangnya, nenek selalu menyalahkan Esther dan menuduh sudah menghasutnya hingga tak kunjung pulang ke rumah. Faktanya, ia memiliki alasan lain. Di antaranya adalah perkataan buruk nenek tentang Esther yang membuatnya marah.
“Mana ada wanita baik-baik yang membiarkan seorang anak, seorang cucu meninggalkan keluarganya?”
“Kau tidak akan tahu, kalau-kalau di masa depan dia menunjukkan sifat aslinya dan memanfaatkan kebaikanmu. Theo, orang-orang seperti itu sangat mudah dibaca.”
Bila saja nenek mampu menjaga lisan, barangkali ia takkan malas untuk berkunjung ke rumah.
Dan lagi, nenek sering kali menjodoh-jodohkannya dengan perempuan yang katanya sepadan dan dari keluarga terpandang. Theo yang mendengarnya merasa tersinggung, jelas baginya kalimat tersebut berkonotasi negatif. Secara tak langsung, nenek telah menghina dan merendahkan istrinya. Esther memang bukan dari kalangan atas, ia hanya seorang wanita sederhana dan bukan pula putri seorang bangsawan. Namun Esther memiliki sesuatu yang tak dimiliki wanita lain. Cinta. Dan Theo tak bisa mencintai selain istrinya.
Beberapa waktu lalu, nenek bahkan mempertemukannya dengan teman SMP, alih-alih mantan pacar. Awalnya ia bingung bagaimana bisa nenek mengenal perempuan yang tak pernah ia perkenalkan pada keluarganya? Usut punya usut, ternyata perempuan itu bekerja di tempat yang sama dengan ayahnya. Dia punya prestasi yang bagus di bidangnya. Karena unggul dari rekan-rekannya, perempuan itu menjadi lebih dikenal dan sempat diundang makan malam di kediaman keluarga Park, sebagai apresiasi.
Maka tak heran bila sore tadi nenek bersikeras menanyakan hubungan mereka, kendatipun ia jengkel setengah mati. Terlebih nenek pula yang telah merencanakan pertemuannya dengan perempuan itu di coffee shop dua hari lalu. Dia sungkan untuk menolak datang sementara teman SMPnya sudah menunggu. Pada akhirnya ia melancarkan basa-basi sebagai teman lama yang baru bertemu setelah belasan tahun. Hanya sebatas itu, dan nenek berpikir jauh tentangnya yang mungkin berhubungan kembali.
Dia bersalah karena bersikap kurang tegas, dan ia menyesal telah tertipu oleh nenek, dan mendengar kicauan-kicauan yang memuakkan, dan membuatnya harus putar balik ke Seongsu untuk pulang. Bersamaan dengan rasa kesal yang menumpuk, ponselnya tiba-tiba bergetar. Dia segera menepikan mobil ke bahu jalan begitu membaca nama istrinya yang tertera. Esther seperti aspirin yang mampu meredakan sakit kepala dan menerbitkan senyum kecil di bibirnya.
“Sayang?” sapanya setelah memasang handsfree di telinga kanan.
“Kak ....”
Alis Theo terangkat sebelah mendengar bukan suara istrinya yang menyambut.
“Halo? Siapa?”
“Kak, aku Johnny, sepupu kak Esther.”
Theo mengernyitkan kening. Mencoba mengingat nama Johnny.
“Kenapa kau memakai ponsel istriku?”
“Aku minta maaf soal itu, tapi keadaan kak Esther sedang tidak baik, jadi aku yang harus menghubungimu.”
Theo menyalakan mesin mobil, kembali menyetir mobilnya ke jalan raya. “Apa yang terjadi padanya? Istriku kenapa?” cecarnya dengan suara sedikit panik. Sekelebat pandangannya terlempar pada luar jendela, menemukan mobil polisi yang terparkir di dekat telepon umum. Beberapa orang dan para petugas kepolisian tampak bergerombol menyesaki jalan sekitar Apgujeong. Segelintir perasaan tidak nyaman tiba-tiba meliputi hatinya.
“Archie, Archie mengalami kecelakaan.”
Kakinya menginjak pedal rem dengan spontan. Dadanya seperti dipukuli benda berat yang membuat jantungnya seolah berhenti berdetak dan dunianya runtuh seketika.
“Jelaskan padaku!” bentaknya dengan amarah. Gemuruh hebat telah mengendalikan kewarasannya, ia tak memedulikan pengemudi lain yang memaki keras dirinya, atau bahkan melayangkan kata-kata kotor untuknya lantaran mendadak berhenti di tengah jalan dan mengganggu lalu-lintas.
“Archie terlepas dari pengawasan kak Esther. Kami tidak menyadari dia sudah berlari ke tengah jalan saat mobil sedang melintas. Dan...”
Tangannya yang masih menggenggam setir kemudi, bergetar. Untuk sesaat dia merasa linglung, kacau dan tak tahu harus bagaimana. Theo bukan hanya lupa kapan terakhir kali tersenyum bahagia, dia juga lupa kapan terakhir kali merasakan jiwanya terlepas dari raga lantaran tenggelam dalam duka. Air matanya bahkan menetes hingga tanpa sadar menimbulkan sesak di dada.
“Kak? Cepatlah kemari, kak Esther sedang membutuhkanmu.”
Theo memejam, menahan semua rasa yang kini berkecamuk dalam dirinya. Dengan suara serak, dia bilang, “Di mana? Mereka ada di mana sekarang?”
“Rumah sakit keluargamu.”
Telepon ditutup. Theo menengadahkan kepala menghadap langit senja. Warna jingga mengingatkannya pada senyum teduh Archie saat mereka menyaksikan matahari terbenam di atas bukit. Wajah bahagia itu masih terekam jelas di memorinya. Suara Archie yang berusaha memanggilnya Ayah masih terdengar jernih di telinganya. Archie seperti baru saja menyapanya dengan kecupan manis di pipi. Namun saat ia merabanya, hanya bekas air mata yang ia temukan. Ia tersadar, ia telah jatuh dalam perangkap ilusi.
“Archie, anakku, Ya Tuhan.”
Hatinya remuk.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!