"Aku gak bisa menikah dengan dia, Pa."
"Kenapa gak bisa, ha? Apa lagi alasan kamu sekarang, Abian?"
"Alasannya ... cinta, Pa. Aku gak cinta dengan dia. Dan aku juga baru kehilangan istriku."
"Baru? Kau sudah kehilangan istrimu enam bulan yang lalu. Jadi, itu sudah tidak baru lagi. Lagian, persetan dengan cinta, Abian. Cinta itu tidak akan menjamin hidupmu bahagia. Mengerti?"
"Yang papamu katakan itu sangat benar, Abian. Kau sudah kehilangan istrimu enam bulan yang lalu. Jadi itu bukan baru lagi. Lagian, jika soal cinta, mama yakin, setelah menjalin rumah tangga bersama dia, maka cinta akan tumbuh dalam hati kamu. Percaya deh apa yang mama katakan."
"Mama, papa. Kenapa kalian tidak mengerti juga apa yang aku rasakan, hah? Aku tidak bisa menggantikan dia dalam hatiku. Jadi tolong, jangan paksa aku buat menikah dengan perempuan lain. Perempuan yang sama sekali tidak aku cintai sedikitpun."
"Abian! Jangan kau kikis lagi kesabaran yang aku miliki. Sudah cukup aku bersabar selama ini. Kau menolak perjodohan yang pertama dengan dia. Kau nikah lari dengan perempuan yang kau anggap cinta sejati dalam hidupmu itu. Aku sudah cukup bersabar dengan kamu, Abian. Andai aku punya anak lain selain kamu, tidak akan pernah aku perduli kan kamu lagi sampai kapanpun. Kau tahu itu?"
Orang tua paruh baya itu benar-benar meradang. Dia sudah tidak tahan lagi dengan sikap keras kepala yang anak satu-satunya ini miliki. Bagaimana tidak? Sudah menolak perjodohan yang pertama. Lah sekarang, malah menolak perjodohan yang kedua kalinya lagi. Mana ada kesabaran lagi yang tersisa buat menghadapi sikap keras kepala anaknya itu.
"Jika kau masih tidak ingin menerima perjodohan kali ini. Maka aku akan pindahkan makam almarhumah istri juga anakmu dari pemakaman keluarga Sudirya. Dan kau tidak akan pernah menemukan makan mereka di manapun. Kau mengerti?"
Selesai berucap, orang tua paruh baya yang tak lain adalah papa Abian Hutama Sudirya itupun langsung beranjak meninggalkan ruang keluarga. Tidak dia hiraukan tatapan anaknya yang membelalak menatap dirinya dengan tatapan tak percaya juga kecewa.
Merasa tidak terima dengan apa yang papanya katakan barusan. Abian langsung bangun dari duduknya.
"Papa tidak bisa melakukan hal itu pada almarhumah istri juga anakku, Pa! Karena mereka juga bagian dari keluarga Sudirya."
Mendengar ucapan itu, Agung Hutama Sudirya langsung menghentikan langkah kakinya. Dengan wajah kesal, dia menoleh untuk melihat Abian.
"Kenapa aku tidak bisa melakukan semua itu, Bian? Kau menikah tanpa restu aku sebagai kepala keluarga Sudirya, bukan? Jadi, siapa bilang istri dan anakmu adalah bagian dari keluarga Sudirya?"
"Mereka bisa di makamkan di pemakaman keluarga itu hanya karena memandang kamu sebagai anakku saja. Jika kamu juga bikin ulah, maka jangan salahkan aku."
"Kenapa papa begitu kejam pada anak dan istriku, Pa? Kenapa papa masih memusuhi istriku sampai sekarang? Dia sudah tidak ada di dunia ini. Kenapa papa masih saja kejam padanya, hah!"
"Aku tidak akan kejam jika kamu tidak keras kepala. Semua keputusan ada di tangan kamu. Jika kamu ingin tetap melihat makam anak dan istrimu, maka menikah dengan gadis yang aku pilihkan buat kamu. Selain dia akan diakui sebagai menantu, kamu juga bisa melihat makam anak dan istrimu tetap ada di pemakaman keluarga Sudirya."
Selesai berucap kata-kata yang panjang dan lebar itu, Agung langsung kembali melanjutkan perjalanannya meninggalkan ruang keluarga. Sementara Abian, dia langsung terduduk lemah tanpa bisa berucap apa-apa lagi.
Mama Abian langsung beranjak mendekati anaknya. Dia belai pundak kekar yang sekarang seperti sedang memikul beban yang cukup berat dengan wajah yang sangat sedih.
"Mama .... "
"Abian. Mama tahu, permintaan papa kamu memang cukup berat buat kamu. Tapi, semua itu demi kebaikan juga kelanjutan masa depan kamu, Nak. Saran mama, menikahlah dengan Putri. Turuti apa yang papa kamu inginkan kali ini saja."
"Ma .... Aku tidak bisa menikah dengan dia. Selain aku tidak bisa menggantikan Tiara dalam hatiku, aku juga merasa, dia dan aku sekarang sangat tidak cocok."
"Tidak cocoknya di mana, Bian? Mama pikir, Putri itu adalah gadis baik yang sangat cantik lagi. Dia penuh dengan kelembutan. Anak manis yang sangat bersahaja."
"Karena itu, Ma. Aku dan dia sepertinya sangat berbeda. Karena sekarang, aku bukan perjaka lagi. Aku sudah duda, sementara dia masih gadis. Status kita sudah berbeda."
Tika terdiam. Dia mengerti juga apa yang anaknya rasakan. Memang, Putri gadis cantik, sedangkan anaknya sudah duda. Berantakan lagi sekarang. Tapi, tuntutan bisnis membuat dia harus memaksa pernikahan itu harus terjadi.
Tika mendengus pelan, lalu berucap.
"Abian, pernikahan ini harus terjadi. Karena di dalamnya ada unsur bisnis yang akan saling menguntungkan. Kalian berdua adalah pewaris dari satu perusahaan besar yang selama berdiri kokoh. Jika kalian tidak dipersatukan dalam pernikahan. Maka perusahaan itu akan berakhir, cepat atau lambat, namun pasti."
"Sudah aku duga sebelumnya. Kalian pasti punya maksud tertentu dalam perjodohan ini. Sekarang katakan padaku, Ma! Jika istriku tidak meninggal, apa kalian juga akan memaksa aku untuk melanjutkan pernikahan ini?"
Tika awalnya terlihat cukup kaget dengan pertanyaan yang Abian lontarkan barusan. Terlihat dari matanya yang tiba-tiba melotot saat mendengar ucapan itu. Namun, dengan cepat dia merubah raut kaget itu dengan raut tenang kembali.
"Kau tahu, demi perusahaan itu, papamu dan papa Putri berencana menikahkan kalian meskipun kau sudah menikah. Karena pernikahanmu dengan almarhumah istrimu itu hanya sebatas pernikahan siri dan tidak diakui oleh keluarga kita, maka mereka berencana membiarkan kau punya dua istri dengan satu istri sah, sementara yang satunya lagi adalah istri siri yang tentunya tetap tidak akan dianggap ada oleh pihak keluarga kita."
Mata Abian melebar mendengarkan penuturan itu. Sungguh, dia sungguh-sungguh tak percaya dengan apa yang baru saja mamanya katakan barusan. Sekejam itukah keluarga yang dia miliki selama ini? Jika begitu, pantas kalau papanya sangat tega ingin melenyapkan makam anak juga istrinya dari pemakaman keluarga mereka.
Namun, belum sempat dia berucap kata-kata untuk menanggapi apa yang mamanya katakan barusan, mamanya kembali berucap mendahului dia.
"Tapi, Putri bukan wanita kejam ternyata. Dia menolak permintaan itu secara terang-terangan. Dia bilang, tidak ingin merusak rumah tangga orang lain. Dia juga bilang, minta kami merestui kamu dengan istri siri mu itu. Dia perempuan yang luar biasa, bukan?"
Pemikiran luar biasa yang Tika pikirkan itu tidak sama dengan apa yang Abian pikirkan. Karena dalam pikiran Abian, Putri menolak perjodohan, mungkin karena dia sudah punya laki-laki lain. Atau bahkan, mungkin juga Putri sama seperti dirinya, tidak suka dijodohkan.
Namun, karena tidak punya pilihan lain. Abian terpaksa menerima perjodohan yang papanya inginkan. Selain merasa kalau Putri itu termasuk gadis yang lumayan baik, dia juga memikirkan soal ancaman si papa yang begitu kejam pada orang yang sudah tiada.
Sebisa mungkin, dia akan mempertahankan tempat terakhir yang bisa dia lihat dari orang yang paling dia cintai. Dia akan lakukan itu demi almarhumah istri juga anaknya yang telah tiada.
_____
Satu minggu kemudian, Putri dan Abian bertemu di salah satu cafe samping butik. Mereka akan mencoba baju pengantin hari ini. Namun, sebelum menuju butik, mereka janjian di cafe itu terlebih dahulu.
Abian yang duluan datang, langsung menduduki tempat yang sudah mereka booking sama-sama lewat ponsel. Ketika Putri datang, dia agak kaget, juga merasa sedikit tak percaya dengan apa yang matanya lihat.
Bagaimana tidak? Orang yang sedang duduk di meja yang sama-sama mereka pesan itu bukanlah seperti Abian tiga tahun yang lalu. Abian yang dia kenal tiga tahun yang lalu, yang berparas tampan dengan dada bidang, juga wajah bersih.
Abian yang sekarang terlihat sangat berantakan. Rambut panjang acak-acakan dengan kumis dan jengot tebal yang menyeliputi wajah. Benar-benar tidak ada tampan-tampannya sama sekali.
Putri terdiam sejenak sambil terus memperhatikan laki-laki itu. Lalu, dia mantapkan langkah setelah berusaha meyakinkan hati untuk tetap maju menemui laki-laki tersebut.
"Mas ... mas Abian ya?" Benarkah?" tanya Putri dengan sangat hati-hati.
"Iya. Aku Abian Hutama Sudirya." Abian berucap dengan nada santai tanpa menoleh sedikitpun. Dia sama sekali tidak melihat Putri yang ada di sampingnya.
"Oh ... aku pikir, aku salah orang," ucap Putri dengan nada santai sambil menarik kursi yang ada di depan Abian. Lalu, dia duduk dengan anggun di kursi itu.
Karena duduk berhadapan, Abian tidak bisa untuk tidak melihat perempuan yang ada di depannya. Seketika, suapan nasi goreng yang ingin dia masukkan ke dalam mulut tertahan saat melihat wajah gadis yang ada di depannya.
Satu kata yang terbesit dalam pikiran Abian saat ini. Cantik. Dia tidak bisa untuk tidak memikirkan kata itu sebagai bukti kekaguman atas apa yang baru saja matanya lihat. Sementara Putri, dia yang sibuk dengan buku menu yang dia lihat, tidak menyadari tatapan kagum itu buatnya.
"Mas Abi pesan duluan? Kok gak barengan sama aku aja," ucap Putri berusaha akrab dengan laki-laki yang ada di hadapannya sekarang.
Bukannya menjawab. Abian malah sibuk melanjutkan sesi makannya kembali. Itu dia lakukan bukan karena tidak peduli, tapi karena ingin menenangkan hati yang sedang berkecamuk. Antara rasa bersalah, dengan rasa aneh tiba-tiba menggetarkan jiwanya.
"Mm ... ya sudahlah. Kamu fokus saja makan dulu. Aku pesan jus buah aja."
Sedikit kesal juga tidak enak hati karena diabaikan, Putri langsung memanggil pelayan untuk membuat pesanan. Sejujurnya, dia tidak suka diabaikan. Tapi, karena yang mengabaikan ini adalah orang yang dia cintai, maka dia anggap itu tidak berarti. Walau hatinya terasa sedikit perih sebenarnya.
Tidak ada kata yang terucap. Setelah menikmati makanan masing-masing, mereka langsung menuju butik untuk melihat baju mereka.
Sedikit risih sebenarnya, itulah yang mereka berdua rasakan sepanjang perjalanan bersama. Karena ada banyak mata yang memperhatikan mereka berdua. Ada pula yang tak hanya memperhatikan, melainkan, ikut berbisik mengatakan hal yang entah apa. Yang tidak bisa mereka dengar. Tapi yang pastinya, bisikan-bisikan itu jelas saja membicarakan soal mereka berdua.
Tapi, keduanya berusaha bersikap acuh tak acuh saja. Pura-pura tidak tahu dengan apa yang terjadi. Berjalan santai, lalu melakukan segala hal sewajarnya, itu adalah pilihan yang paling tepat buat mereka berdua.
Saat mencoba gaun, Putri terlihat semakin cantik. Beberapa pelayan langsung muji dia dengan ucapan-ucapan pujian yang tak habis-habisnya mereka ucapkan.
"Mbak, kamu cantik sekali."
"Iya, mbak. Sangat-sangat cantik. Wajahmu yang cantik ini, tidak perlu polesan make-up pengantin lagi, sudah terlihat aura kecantikannya, mbak. Luar biasa ayu deh pokoknya."
"Kalian bisa aja. Tapi, terima kasih banyak untuk pujiannya," ucap Putri sambil tersenyum ramah.
"Sama-sama, mbak. Kamu memang pantas dapat pujian ini kok." Salah satu pelayan itu berucap sambil tersenyum manis.
"Mm ... tapi maaf sebelumnya ya, mbak. Apa mbak yakin mau menikah dengan pria itu? Maksudku, itu emang benar-benar pasangan mbak buat nikah ya?"
Pertanyaan yang paling tidak ingin Putri dengan itu akhirnya terucap juga. Dia yang tidak ingin menjawab, hanya bisa tersenyum kecut sambil berusaha biasa-biasa saja. Walau pada dasarnya, dalam hati dia merasakan pemberontakan. Ingin marah juga ingin bicara kasar. Tapi, dia tahan dengan sekuat tenaga.
"Kenapa memangnya? Apa ada yang salah dengan calon suami saya?" tanya Putri sambil berusaha tersenyum.
"Ada dong, mbak. Gini deh, kita bicara soal fakta aja ya. Secara itukan, mbak sangat cantik. Cantik banget malahan. Masa iya calon suami mbak kek gitu. Hei ... kalo aku jadi mbaknya, gak mau aku nikah ama laki-laki yang seperti itu, mbak. Masih banyak laki-laki lain yang tampan di luar sana. Yang cocok sama kecantikan yang mbak milik. Yang sepadan gitu, mbak."
Mulut, memang terkadang suka tidak memikirkan perasaan orang jika melepas kata-kata. Pelayan yang tidak tahu menjaga perasaan pembelinya ini, bisa-bisanya bicara secara langsung kata-kata yang mungkin akan melukai perasaan orang lain.
"Hush ... apa sih yang kamu bicarakan? Mau nikah dengan siapa saja, itu urusan si mbak ini. Terserah dia dong, siapa calon suaminya. Yang menjalani hidup itu dia, bukan kamu."
"Lagian, kalau sudah cinta itu gak akan mikir soal wajah. Wajah itu nomor dua, cinta itu nomor satu. Urusan hati yang paling diutamakan. Iyakan, mbak? Oh ya, maafkan kata-kata teman saya barusan. Dia mulutnya emang gak baik, mbak. Main lepas aja."
"Tahu bos baru tahu rasa kamu," ucap pelayan itu pada temannya yang bicara lepas-lepas aja.
"Eh, aku bicara apa adanya kok. Kenapa malah ngomong gitu sama aku. Mbaknya aja gak marah. Kok kamu yang malah sewot."
Benar-benar bikin naik darah. Putri tidak ingin menghiraukan apa yang kedua pelayan itu katakan lagi. Dia langsung saja pamit meninggalkan kedua pelayan itu untuk menukar kembali gaun yang sedang melekat di tubuhnya.
Saat dia keluar dari ruang ganti, dia kembali mendengarkan kata-kata pedas yang pelayan itu ucapkan. Kali ini, kata-kata pedas itu teruntuk buat dia. Bukan buat Abian lagi.
"Eh, aku rasa, mbak itu mau menikah dengan laki-laki yang tidak sepadan dengan wajah cantiknya pasti karena uang, kan? Laki-laki itu banyak uang, makanya dia mau menikah."
"Eh, aku rasa, mbak itu mau menikah dengan laki-laki yang tidak sepadan dengan wajah cantiknya pasti karena uang, kan? Laki-laki itu banyak uang, makanya dia mau menikah."
Ingin melabrak. Tapi tangannya segera tertahan saat ingin melangkah. Putri yang kesal, langsung menoleh ke arah samping di mana seseorang sedang menahan tangannya.
"Mas, Abian."
"Ayo pulang! Jangan bikin masalah lagi di sini. Aku sudah capek mendengar ucapan-ucapan yang tidak enak yang diucapkan oleh semua orang. Dan, ada yang ingin aku bicarakan dengan kamu. Bisa ikut mobil aku aja, kan?"
"Mm ... ya sudah. Kebetulan, mobil aku sedang di perbaiki oleh pak sopir ke bengkel. Jadi, aku bisa."
Tanpa berucap lagi, Abian langsung melepaskan tangan Putri. Lalu kemudian, langsung beranjak duluan berjalan cepat meninggalkan Putri yang masih diam kebingungan.
Sampai ke mobil, Abian sudah duduk di depan kemudian. Tanpa membukakan pintu buat Putri, juga tidak mempersilahkan Putri masuk terlebih dahulu. Abian langsung saja menghidupkan mesin mobil, hal itu langsung membuat Putri masuk dengan cepat.
"Mau bicara apa, Mas?" tanya Putri tak sabar lagi untuk menunggu setelah mereka diam lebih dari lima menit.
"Aku ingin tahu, apakah kamu masih bersedia melanjutkan pernikahan ini atau tidak?"
Putri tidak langsung menjawab. Dia menoleh ke samping untuk melihat wajah kusut Abian yang sedang fokus dengan jalan yang sedang mereka lewati.
"Tentu saja aku bersedia melanjutkan pernikahan kita, Mas Abian."
Ciiit ....
Abian yang kaget dengan jawaban itu langsung menginjak rem dengan kuat. Sangking kuatnya, mereka harus menabrak kepala mereka ke depan mobil.
"Aduh ... mas Abian ini kenapa sih? Kok malah ngerem mendadak. Sakit tahu," ucap Putri sambil menggosok-gosok jidatnya.
"Kau masih bersedia menikah dengan aku setelah apa yang baru saja kita lewati barusan, Putri? Apa kau tidak punya pikiran, ha?"
Dengan memasang wajah kaget sekaligus tak percaya dengan apa yabg Abian ucapkan barusan. Putri menatap lekat wajah kusut calon suaminya itu dengan seksama.
"Apa yang salah dengan aku, Mas? Apakah pernikahan yang aku sanggup kan itu salah menurut kamu? Bukankah yang menjalani hidup itu kita? Bukan mereka, kan? Jadi ... aku rasa tidak ada yang salah dengan semua itu."
Jawaban itu membuat Abian merasa tidak berdaya untuk membantah. Dia melepas napas kasar, kemudian kembali melanjutkan perjalanan.
"Katakan padaku apa alasan kamu ingin menikah dengan aku, Putri! Sementara kau tahu apa statusku sekarang, bukan?"
Abian kembali melanjutkan kata-katanya.
"Jika cinta, aku rasa itu tidak benar. Jika harta, itu lebih tidak tepat lagi."
'Jika bukan karena aku mencintai kamu? Lalu apa lagi yang bisa aku jawab untuk pertanyaan yang kamu berikan padaku, Mas? Aku tidak punya alasan selain cinta. Kau tahu? Aku mencintaimu sejak lama. Sejak pertama kita bertemu. Sayangnya, hanya aku yang jatuh cinta. Sedangkan kamu tidak.' Putri bicara dalam hati.
Karena tidak ingin mengutarakan perasaan secara langsung. Dia malah memilih diam. Karena sebenarnya, Putri cukup tahu siapa yang sangat Abian cintai. Dia tak lain adalah, mantan istri Abian yang sudah tiada.
"Putri!"
"Eh, mm."
"Kenapa diam saja? Kenapa tidak menjawab apa yang aku tanyakan?"
"Aku tidak perlu menjawabnya sekarang, Mas. Karena semua jawaban yang ingin aku ucapkan, telah kamu katakan tidak mungkin. Jadi, aku rasa, aku tidak perlu lagi menjawab. Namun, aku yakin, cepat atau lambat, kamu akan tahu apa alasan aku menerima kamu sebagai suamiku."
"Perempuan aneh."
Putri langsung menoleh.
'Biarlah aku aneh, Mas. Karena rasa cinta ini juga cukup aneh menurut aku. Walau kau sudah duda, berantakan tak karuan seperti sekarang. Namun hati ini tetap saja suka padamu. Tidak ingin melepaskan kamu. Dan yang paling tidak aku mengerti, aku bahkan sangat bahagia berada di sisi kamu, walau dengan keadaan kamu yang sekarang. Hadeh ... virus cinta yang kau punya ternyata luar biasa, Mas Abian. Tak mampu aku menolaknya.'
Akhirnya, setelah diam dengan pikiran masing-masing, mobil itu sampai juga ke tempat yang dituju. Itu kediaman keluarga Respati. Kediaman keluarga Putri.
"Mampir dulu, Mas." Putri berucap sebelum dia turun.
"Gak usah. Aku ada kerjaan kantor yang cukup penting sebenarnya. Karena paksaan papa dan mama, aku harus meninggalkan pekerjaanku demi menemani kamu."
Ada sedikit goresan yang tepat mengenai ke hati Putri. Namun, dia berusaha mengabaikan goresan itu di depan Abian.
"Aku minta maaf karena sudah menjadi penyebab terganggunya pekerjaanmu, Mas. Tapi, aku gak bermaksud ganggu kamu kok."
"Sudahlah. Semua sudah terjadi. Aku harus kembali ke kantor sekarang."
"Iya deh. Hati-hati di jalan. Jangan ngebut-ngebut. Jangan .... "
"Tidak perlu mengingatkan aku. Karena yang bawa mobil itu aku sendiri. Bukan ada kamu di dalamnya."
"Ya karena aku gak ada, makanya aku ingatkan kamu biar hati-hati, Mas Abi."
"Tidak perlu. Karena aku tidak suka diingatkan. Permisi."
Abian langsung menjalankan mobil setelah Putri turun. Dia langsung tancap gas dengan cepat meninggalkan tempat tersebut. Putri yang melihat hal itu hanya bisa mendengus pelan saja. Dia tidak ingin memikirkan semua itu, karena semakin dia pikirkan, maka hatinya akan semakin merasa tidak nyaman.
"Kenapa diam di situ, sayang? Kenapa gak langsung masuk aja?"
Tias, mama Putri yang sedari tadi melihat anaknya diam mematung sambil melihat jalanan langsung menghampiri si anak. Dia tahu apa yang sedang anaknya pikirkan.
Semua itu karena perjodohan dengan laki-laki yang tidak mencintai anaknya. Sedari awal, Tias tidak pernah merestui perjodohan itu. Tapi sayangnya, dia kalah karena si anak juga sangat menyambut baik perjodohan tersebut.
Tidak bisa berbuat apa-apa. Tias hanya bisa mendukung semua keputusan yang anak juga suaminya ambil. Dengan hati yang penuh harap, Tias selalu berdoa, kalau apa yang anak dan suaminya ambil itu adalah keputusan terbaik buat anaknya.
"Mama .... " Putri langsung sadar dengan apa yang dia lakukan barusan. Termenung sambil memikirkan Abian, itu bukanlah jalan yang tepat. Karena jika mamanya tahu apa yang hatinya rasakan sekarang. Maka sang mama pasti akan kembali meminta dia membatalkan pernikahannya yang hanya tinggal selangkah saja lagi.
"Kenapa melamun di sini, Sayang? Kenapa gak langsung masuk aja, hm?"
"Putri gak melamun kok, Ma. Putri hanya melihat mobil mas Abian pergi saja."
"Hm ... sekarang, udah melihatnya, bukan? Ayo masuk! Ada yang ingin mama bicarakan dengan kamu."
"Mau bicara apa lagi, Ma? Bukankah kita sering bicara berdua, mamaku sayang."
"Anak mama semakin dewasa, tapi kok semakin manja ya. Ayo aja masuk dulu, nanti kamu tahu apa yang ingin mamamu ini katakan."
"Penting gak?" tanya Putri dengan nada yang semakin manja.
"Ya jelas penting lah. Kalo gak penting, mana mungkin mama ajak kamu masuk secepatnya. Kan bisa bicara kapan-kapan, Putri."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!