NovelToon NovelToon

My Possessive Billionaire

BAB 1 - Awal Pertemuan

Tiada yang lebih sakit daripada kehilangan seseorang yang menjadi belahan jiwa. Pernikahan yang begitu dia damba, nyatanya hanya menjadi mimpi buruk semata. Syakil Agha Mahendra, pria tampan dengan sejuta kesempurnaan itu menelan pil pahit di hari pernikahannya. Tanpa sepengetahuan mereka, sang kekasih menghilang tepat di hari pernikahan.

Lama menghilang, setelah kejadian memalukan yang membuat nama keluarga Megantara tercoreng itu, kini Syakil kembali. Hanya untuk liburan sebenarnya, melepas rindu lantaran sang mama yang menangis setiap malam menanti kepulangannya.

Malam ini, di sebuah club malam terkenal di ibu kota, Syakil memenuhi undangan teman lamanya. Bertemu di saat dewasa dengan berbagai kisah yang berbeda itu memang terasa amat menyenangkan.

"Syakil!! Gila-gila, gue gak salah lihat kan? Widih beneran dateng nih, Tuan muda."

Semenjak dirinya mulai dikenal di kancah internasional, para teman-temannya memberikan julukan itu sebagai bentuk penghargaan. Meski sejak zigot memang Syakil sudah kaya, akan tetapi tidak bisa dipungkiri kekayaan yang dia miliki saat ini berkali lipat dari kekayaan Ibra, sang papa.

"Ck, berlebihan ... kebetulan aku pulang, dan kalian reuni dadakan ya sudah aku ikut saja."

Sejak dahulu Syakil tidak pernah berubah, tutur bahasanya selalu merendah dan tidak pernah merasa dirinya tinggi meski pencapaiannya memang tidak main-main.

"Btw masih sendirian? Lama banget bertahan, lumutan bahaya, Syakil ... Zidan aja udah gol."

Tidak ada hari tanpa bercanda, ya bagi Pedro hidup jangan terlalu kaku nanti ke depannya juga kaku semua. Syakil hanya menarik sudut bibir mendengar pernyataan Pedro, pertanyaan yang menurutnya paling tidak berguna untuk saat ini.

"Kalau si Syakil mah gampang, tinggal tunjuk aja kalau dia mau ... wanita mana yang bisa menolak seorang Syakil gue tanya!" seru Kevin heboh sendiri, kesuksekan Syakil yang luar biasa mengejutkan ini masih menjadi pertanyaan bagi mereka, sekeras apa Syakil berusaha hingga hasilnya segila ini.

"Ada, buktinya Ganeta kabur pas mau nikah sama dia."

Sudah diwanti-wanti agar hal ini jangan dibahas, tapi mulut Pedro seenaknya berucap. Syakil masih menanggapi dengan senyum tipisnya. Susah payah dia coba lupakan, ketika kembali sahabatnya justru kembali membuka luka lama.

"Ck yaelah, itu mah karena dia aja yang buta ... mau dikawinin pakek drama kabur-kaburan segala, aneh banget jadi manusia."

Benar, aneh sekali memang. Bahkan hingga saat ini Syakil juga tidak habis pikir dimana kesalahannya. Hubungan mereka murni karena cinta, tiga tahun menjalani hubungan sebagai sepasang kekasih. Di tahun keempat, kala Syakil berusia 25 tahun dia mengutarakan niatnya untuk menjalani hubungan serius bersama kekasihnya.

Semua memang berjalan sempurna dan wajar saja, pihak keluarga setuju dan bahkan pesta besar-besaran sudah Ibra persiapkan untuk putra bungsunya. Hingga tiba di hari pernikahan, Syakil dibuat bingung kala hampir satu jam dia menunggu di hadapan penghulu dan Ganeta tidak juga berhasil ditemukan.

Lamunan panjang Syakil membawanya ke dalam kenangan empat tahun lalu, hari dimana dia menangis menelusuri jalan hingga kakinya terluka demi mencari mempelai wanita.

"Ganeta!! Kamu dimana?"

Waktu itu sudah malam, masih dengan jas hitam dan bunga yang tersemat di dadanya. Syakil benar-benar dibuat porak poranda dengan kepergian Ganeta tanpa pamit.

Masih menjadi hal yang tidak bisa dia percayai, Syakil sesakit itu kala menyadari wanita yang dia impikan mampu berbuat semenyakitkan itu jika mau.

Habis sudah air matanya malam itu, untuk kali pertama Syakil menitikkan air mata demi seorang wanita. Kisah cinta yang berjalan begitu manis, harus hancur kala langka terakhir hampir mereka pijaki bersama.

"Pulang, Syakil!! Jangan bodoh, kamu dihina ... sadar itu!!"

Amarah membuncah dalam diri Mikhail, melihat adiknya yang bahkan pucat pasi karena mencari calon istrinya, hati Mikhail terasa sakit dihantam bongkahan batu besar.

"Kakak tau? Semua yang terjadi padaku itu karma dari perbuatanmu!!" pekik Syakil dengan suara paraunya, di saat begini tidak ada yang mendukungnya. Baik Ibra maupun Mikhail selalu mengatakan hal yang sama.

PLAK

"Tidak ada hubungannya, ayo pulang ... dia menolakmu bahkan membuat keluarga kita malu, Syakil!! Apa yang kau harapkan dari perempuan itu!!"

Setelah susah payah meminta restu dari kedua belah pihak, Syakil justru ditampar keadaan dengan kejadian ini. Sungguh lucu sekall takdirnya, sulit menemukan cinta. Namun, sekalinya dia berhasil takdir mematahkan dengan cara yang seperti ini.

"Woey!! Ngelamun lu ya?"

"Hah? Nggak ... sorry-sorry, sampai mana tadi?"

Kevin menghela napas kasar, sudah dia duga Syakil akan terus begini. Sorot tajam Syakil tak dapat dibohongi. Dia masih memendam luka meski jika ditanya hanya senyum tipis dia berikan.

"Ngantuk lo ya? Nih minum dulu biar segeran dikit," tutur Kevin menuangkan minuman haram itu untuk Syakil, kali ini dia menolak karena memang Mikhail tidak menyukainya.

"Gue ke toilet dulu bentar, nggak nyaman."

"Yaelah ni anak cupu banget heran, dia di LA lempeng aja gitu?" Kevin bertanya-tanya dan menatap bingung Pedro yang kini menikmati kesenangannya, pelukan dengan wanita penghangat saja sudah cukup baginya.

"Woey!! Lo dengerin gue gak?" sentak Kevin merasa Pedro mengacuhkannya.

"Apaan? Lo nggak usah macem-macem deh, udah tau Syakil nggak mood jangan dipaksa." Meski fantasynya kemana-mana, Pedro masih bisa memahami kenapa Syakil pergi meninggalkan mereka.

-

.

.

.

Syakil menyendiri. Dia sudah terlihat begitu dewasa, gurat wajahnya bukan lagi anak yang baru lulus kuliah. Tangan Syakil mengepal kuat-kuat, mengingat semua ucapan yang kevin.

"Aaaarrggghhh, Ganeta!!"

Napas syakil masih memburu, sungguh kesakitan itu muncul lagi dan ini adalah alasan kenapa dia enggan pulang. Syakil menjadi lemah, lupa tujuan dan bahkan bisa kehilangan dirinya.

Cukup lama dia berdiam diri di sana, hingga Syakil merasa terganggu dengan suara-suara yang mengusik gendang telinganya. Pria itu berdecih kemudian hendak berlalu dari sana, seperti tidak punya tempat lain, mereka tidak mampu membayar ruangan khusus atau bagaimana, pikir Syakil muak.

Dengan langkah panjang dia hendak kembali ke tempat Kevin dan Pedro menunggu. Namun, mata Syakil dibuat terkunci kepada salah satu wanita yang duduk terdiam di sisi pria yang dia yakin lebih tua darinya.

Jantung Syakil berdetak dua kali lebih cepat, pria itu memegang dadanya. Dia tidak salah lihat, matanya masih sehat dan dengan jelas wajah cemberut itu adalah wajah yang selama ini dia rindukan.

Beberapa menit dia berdiam diri, hingga Syakil dibuat tercengang kala pria di sisi wanita itu kini mengikis jarak. Syakil melangkah cepat dan tidak peduli berapa orang yang terganggu dengan aksinya ini.

BUGH

"Jangan menyentuhnya, Badjingan!!" sentak Syakil usai menghadiahkan bogem mentah di wajah pria itu hingga terhuyung ke lantai.

"Apa maksudmu? Tiba-tiba datang dan memukulku seperti ini? Dia kekasihku, orang asing sepertimu punya hak apa?" Pria itu bangkit dan tidak terima dengan pukulan yang Syakil layangkan untuknya.

"Kekasihmu? Kau sentuh saja dia berusaha menghindar, artinya dia bukan kekasihmu." Syakil tidak begitu bodoh dalam hal ini, siapapun yang melihat jelas bisa menyimpulkan jika di antara mereka tidak ada hubungan apa-apa.

"Cih, berani sekali ikut campur ... kau memang cari mati sepertinya!! Kalau wanita ini bukan kekasihku kau mau apa? Lagipula aku sudah membayarnya, bukankah itu kewajiban dia?!"

"350 juta, kurang?"

Syakil bermaksud membawa gadis itu apapun caranya, jika benar bukan kekasih pria itu maka akan lebih mudah baginya. Mendengar nominal uang yang ditawarkan, pria itu jelas saja tergoda. Lagipula baginya semua wanita di sini sama saja, dia masih bisa membayar wanita lain dengan tarif lebih murah.

"Ayo pergi, siapa yang mengizinkanmu jual diri begini." Syakil menarik pergelangan tangan wanita itu dengan lembut, langkahnya begitu cepat dan Syakil benar-benar lupa tujuannya kesini.

-Tbc-

BAB 2 - Pria Asing

"Aaaarrgghh pelan-pelan ... sakit!!"

Syakil gelap mata, kepalanya terasa sakit hingga memaksa wanita masuk ke mobilnya. Tanpa peduli wanita itu mau atau tidak, yang jelas saat ini Syakil ingin membawanya pergi jauh lebih dulu.

Pertemuan pertama tapi pria itu sudah menggila, terlepas dari pria hidung belang bukannya dia aman namun justru kian takut. Amara Nairy, wanita cantik yang merupakan seorang karyawan biasa menelan pil pahit kala sang kakak menjualnya kepada salah satu pengusaha kaya di ibu kota.

Dengan dalih gaji Amara terlalu kecil, wanita itu mengambil jalan pintas dan membuat adiknya hampir terjebak lubang kemaksiatan itu. Kini, setelah berhasil lepas, Amara justru dibuat takut oleh penyelamatnya sendiri.

"Kamu belum menjawab pertanyaanku, kenapa bisa di sana?"

Alih-alih menjawab wanita itu justru dibuat bingung dengan pria yang ada di hadapannya kini. Tangannya bahkan mengepal, tatapan tajam menusuk Amara bahkan terlihat seperti hendak mengulitinya, gurat kemarahan kian jelas di mata pria yang hingga detik ini belum dia ketahui namanya.

"Kamu dengar aku?"

"Hm, dengar."

Amara menjawab dengan suara bergetarnya, saat ini pikiran wanita itu sudah kemana-mana. Terlebih lagi sebelum berhasil membawanya pergi, pria itu membayar dengan harga tinggi dan ini adalah hal yang patut dia curigai.

"Kakakku yang memintaku mendatangi tempat itu, aku tidak tahu jika hal ini akan benar-benar terjadi."

Bingung sendiri kenapa bisa hal semacam itu terjadi padanya. Jika ditanya apakah Amara mau melakukannya sama sekali dia tidak berniat sedikitpun.

"Sudah makan?"

Amara menggeleng, dia ingin berbohong namun kenyataannya memang merasakan lapar. Sejak tadi siang perutnya sama sekali tidak bertemu makanan, bukan karena tidak ada makanan, melainkan tidak ada keinginan.

Tanpa bertanya ingin makan apa, Syakil kini memilih salah satu restoran terdekat demi nembuat wanita ini lebih baik, perihal mau dibawa kemana dia nantinya, Syakil tidak begitu peduli.

Sejak tadi Syakil tak mengalihkan pandangannya, wajah manis Amara berhasil meraih perhatian Syakil. Tidak ada yang berbeda, bahkan cara makannya pun sama. Syakil menopang dagu kemudian menarik sudut bibir kala wanita itu menatap ke arahnya.

"Siapa namamu?"

Merasa di antara mereka kembali kaku tanpa pembicaraan, Syakil bertanya perihal nama wanita itu. Jika Syakil lihat-lihat, tampaknya pemilik mata bulat itu bukanlah seorang wanita yang banyak bicara.

"Amara," jawabnya singkat, tanpa inisiatif bertanya balik dan kembali meneruskan makannya dengan elegan.

Amara, Syakil tersenyum getir kala mendengar namanya. Telinganya tidak salah dan memang bukan Ganeta yang keluar dari bibir wanita itu. Lagi dan lagi, Syakil harus mengubur impiannya dalam-dalam, tidak ada Ganeta yang dia rindukan meski sudah semirip itu.

Entah dia yang terlalu merindu atau memang mereka yang terlalu mirip hingga Syakil merasa Amara adalah mantan kekasihnya. Meski demikian, dia tidak memperlihatkan betapa gilanya dia kala menemukan Amara.

"Rumahmu dimana?"

Amara terdiam sesaat, pulang sebenarnya hanya membuat telinga semakin sakit saja. Erangan dan desa-han sang kakak mulai membuat Amara tidak tahan dan kerap kali sengaja tidak pulang untuk beberapa hari.

"Malam ini aku tidur di penginapan saja, aku tidak mau pulang."

Amara menunduk, sebenarnya dia juga takut mengatakan hal ini. Akan tetapi, pulang juga bukan pilihan yang baik. Ada banyak kegelisahan dalam diri Amara jika dia memutuskan pulang ke apartemen yang mana di sana mereka tingggal berdua.

-

.

.

.

Gaya hidup Eva, sang kakak yang luar biasa tinggi membuat Amara harus ikut berjuang demi terpenuhinya kebutuhan Eva. Sulit memang, hendak melepaskan diri juga percuma karena setelah kematian orang tuanya, Amara hanya memiliki Eva seorang.

"Penginapan? Dengan penampilanmu yang begini? Kau ingin memperjelas stigma orang lain tentangmu?"

Syakil sedikit meninggi mengutarakannya, entah kenapa dia emosi tiba-tiba kala membayangkan wanita ini mendatangi penginapan dan tidur sendirian di sana.

"Aku tidak mau pulang, jika Eva tahu aku kabur dan meninggalkan client yang dia maksudkan, maka aku bisa dikurung esok hari."

Begitu banyak ketakutan Amara jika dirinya memilih pulang, sedikit tidak masuk akal namun memang saudaranya yang hanya berjarak dua tahun itu semakin menggila kala orang tua mereka menjadi korban kecelakaan pesawat beberapa tahun lalu.

Terlahir dari keluarga yang sempat kaya, mereka kehilangan segalanya kala pihak bank justru menyita seluruh harta akibat hutang yang ditinggalkan mendiang papanya. Ya, jika dilihat dari hal ini baik Eva maupun Amara keduanya sama-sama terluka.

"Baiklah jika itu maumu."

Untuk kali ini Syakil belum bisa memaksakan. Meski dia bahkan ingin membawa Amra pulang ke rumahnya. Akan tetapi, jika sampai benar terjadi kemungkinan Kanaya akan marah akan jauh lebih besar.

Amara belum selesai makan, dering ponsel membuatnya berhenti dan cepat-cepat merogoh tas kecil di kursi sebelahnya.

"Siapa? Kenapa tidak diangkat?"

Syakil bertanya demikian lantaran Amara justru terdiam namun tidak menolak panggilan itu, hanya dia biarkan mati sendiri. Panggilan tersebut kembali datang berkali-kali hingga membuat telinga Syakil sakit sendiri.

Syakil yang kesal lantaran Amara tidak menjawab segera menarik ponselnya tanpa aba-aba, meski tidak ada gerakan kasar namun jelas saja apa yang yang dia lakukan membuat Amara tidak nyaman sebagai orang yang baru mengenal.

"Jangan diangkat!!"

Syakil mengerutkan dahi, dia penasaran apa yang akan dia dengar jika mengangkat panggilan dari Eva tersebut.

"Kenapa?"

"Jangan saj_"

"Hallo."

Terlambat, Syakil sudah menerima panggilan itu lebih dulu. Amara gelagapan dan panik kala mendengar teriakan sang kakak dari benda pipih itu.

Belum selesai satu kalimat, Syakil justru mendengar berbagai macam cacian dan semuanya sangat menyakitkan untuk didengar. Tentu saja itu adalah bentuk kemarahan dari wanita itu kepada Amara yangtiba-tiba pergi padahal tugasnya belum selesai.

"Adikmu bersamaku," ucap Syakil dingin setelah caci maki itu sempat membuat telinganya panas.

"Bersamamu? Siapa ini? Karena kau membawanya pergi, pria yang menyewanya tidak mau membayar sisa pembayaran sebagaimana kesepakatan awal!!"

Ternyata masalah itu, Syakil menarik sudut bibir. Sejak kapan wanita bisa di cicil begitu, pikirnya menggeleng pelan. Mendengar hal itu Syakil hanya tertawa sumbang, terlihat santai dan sama sekali tidak ada beban.

"Lalu kau mau apa?"

"Ganti rugi!! Kau yang membawanya kan? Bayar!!"

"Apa yang bisa aku dapatkan jika aku memberikan uangnya padamu? Adikmu, apa boleh menjadi milikku?"

Deg

Mata Amara membulat sempurna, sejak detik ini dia simpulkan jika pria ini tidak ada bedanya. Sama gilanya seperti pria hidung belang yang ada di club tadi.

Sebelum terlambat, Amara segera beranjak dan tidak lagi peduli meski ponselnya masih di tangan pria misterius yang benar-benar membuatnya kian takut. Berlari dengan sekuat tenaga meninggalkan Syakil tanpa aba-aba dan membuat pria itu panik tentu saja.

"Amara tunggu!!"

Syakil berlari keluar setelah meninggalkan beberapa lembar uang di meja, dia tidak tahu berapa yang harus dia bayar. Hingga semua yang tersisa di dompetnya dia keluarkan seluruhnya.

"Shitt!! Mau kemana dia ... jangan coba-coba lari dariku." Bertahun-tahun dia kehilangan, jelas saja ketika kembali dipertemukan takkan pernah dia lepaskan.

Tbc

BAB 3 - Memastikan

Malam sudah selarut ini, namun Amara masih terus berlari demi bisa menghindari kejaran pria yang menurutnya terlalu menakutkan. Tubuhnya mendadak lemas, lulutya bergetar dan merasa di posisinya ini adalah paling aman.

Memasuki sebuah bangunan tua yang tak lagi berpenghuni, Amara bahkan lebih takut pada Syakil daripada penghuni alam ghaib. Tubuhnya bergetar, wajahnya kini pucat dan berusaha mengatur napasnya pelan-pelan.

"Calm down, Amara ... dia tidak mungkin akan menemukanmu."

Saat ini, di mata Amara semuanya sama. Dunia begitu gelap dan tidak ada lagi kebaikan untuknya. Beberapa kali hal semacam ini kerap terjadi, sejak mengetahui sang kakak menjualnya ke sebuah situs prositusi online, Amara menganggap hati manusia tidak berbeda.

"Jadi gimana, Bos? Lewat timur atau barat?"

Amara menelan salivanya pahit, suara itu membuatnya kian bergemuruh tak karuan. Berusaha untuk tenang, sepertinya mereka juga bukan dalam keadaan mabuk.

"Selatan, penjagaan di rumah Handoko pasti kian ketat ... karena kemarin kita berhasil membunuh satu anaknya, maka malam ini kita tuntaskan saja."

Amara menutup mulutnya yang kini terbuka lebar, sungguh dia merinding mendengar percakapan mereka. Mata Amara masih bisa melihat dengan jelas mereka berbagi senjata, rokok yang tak henti mengepul hampir membuat napasnya terganggu.

"Kalau ada yang mengganggu seperti kemarin?" tanya salah satu pria berambut ikal di sana.

"Libas juga, ingat apa kata Bos kan? Malam ini semua harus tuntas ... kalau sampai gagal, kita tidak akan dibayar full."

Sementara di sisi lain, dengan langkah pelan dan terlihat santai, Syakil masih terus berusaha mencari dimana wanita yang benar-benar berhasil mengusik jiwanya.

Sorot mata elangnya mengelilingi tempat ini, Syakil tidak ingin kehilangan untuk kedua kalinya. Hingga, kala hujan mulai mendera Syakil tetap melakukan usahanya untuk mencari Amara.

Kenapa hal ini harus terulang, perasaannya masih sama. Meski wanita itu bukan Ganeta, mantan kekasihnya. Akan tetapi, Syakil merasakan hal ini persis sama dan tidak ada bedanya.

Tempat yang dia telusuri terlalu gelap, Syakil yakin langkahnya tidak salah. Sama sekali tidak ada keraguan jika memang Amara berlari ke arah yang kini dia tuju.

Gerombolan preman yang tampaknya tengah berteduh di sebuah bangunan tua itu membuat hati Syakil berdenyut tak karuan. Bukan karena dia yang takut, melainkan khawatir Amara akan bertemu mereka.

Syakil memang pemberani, tapi bukan berarti dia nekat bunuh diri. Dia hanya memandangi pria bertubuh gempal itu tengah berbincang bersama anak buahnya, keyakinan Syakil mereka mungkin akan beraksi malam ini.

Masih menjadi pemantau di sini, hanya ingin memastikan jika tidak ada wanita yang mereka jerat. Syakill menghela napas pelan kala mereka meninggalkan tempat iitu, setidaknya bisa dia pastikan mereka bergerombol di sana bukan tengah memaksa seorang wanita.

Petir mulai terdengar, menggelegar bersamaan dengan curah hujan yang kian tinggi. Syakil menuju ke gedung tua itu, selain ingin berteduh pencariannya juga memang belum usai. Pria itu membuka jasnya yang basah, Syakil merasa tidak nyaman mengenakannya.

Sepasang mata menatapnya kian takut, dari jarak yang begitu dekat dia dapat melihat wajah tampan Syakil di bawah sorot lampu yang temaram. Deru napas Amara kian tak menentu kala menyadari segerombolan pria yang tadinya takut kini digantikan sosok pria asing yang memaksakan terasa begitu dekat.

Hingga di detik yang sama, Syakil justru menoleh dan tatapan keduanya terkunci. Pria itu mengerutkan dahi, dengan bermodalkan ponselnya sebagai penerangan, Syakil masuk dengan langkah cepat dan berhasil membuat Amara ketar-ketir.

-

.

.

.

"Jangan mendekat, izinkan aku pergi ... tolong."

Setakut itu dia didekati, Syakil bahkan tidak mengutarakan kalimat ancaman. Entah apa yang menjadi alasan Amara setakut ini, padahal semua perlakuan Syakil sama sekali tidak terlihat jahat.

"Aku tidak akan menyakitimu, tenang Amara."

Syakil mengangkat tangannya, isak tangis wanita itu membuatnya bingung sendiri. Apa ada hal buruk yang pernah Amara alami hingga dia setakut ini.

"Kembalikan ponselku, terima kasih atas kebaikanmu."

Tidak semudah itu, sejak kapan ada yang gratis. Wanita itu menatap sendu Syakil kala pria itu masih terus mendekatinya. Wajahnya memang begitu teduh, rasanya tidak mungkin jika dia berbuat jahat. Akan tetapi, entah kenapa Amara terguncang dan takut sekali.

"Nanti, setelah di hotel aku berikan."

Aneh sekali, cara bicara Syakil masih begitu halus. Meski di matanya Syakil tengah mengincar apa yang dia miliki, namun sama sekali Syakil tak memperlihatkan hal itu.

"Tidak perlu, aku bisa sendiri."

Amara menolak kala Syakil mengulurkan tangannya, mata Amara yang dipenuhi ketakutan dapat Syakil simpulkan jika wanita itu sempat mengalami trauma atas tindakan laki-laki.

"Di sini gelap, kau tidak lupa dengan gerombolan pria bertato yang sempat berdiskusi di sini kan?" Syakil memberikan sejenak jeda sebelum melanjutkan ucapannya. "Bisa jadi mereka kembali, jika ini markas mereka maka kau sama halnya bunuh diri melarikan diri ke tempat ini, Amara," lanjutnya semakin membuat Amara ketar-ketir.

"Kamu takut? Apa aku terlihat mesumm di matamu?"

Sama sekali tidak, Syakil tidak terlihat mesum. Akan tetapi, lebih dari itu. Kekuasaan yang dia gunakan untuk membawanya pergi sudah menjelaskan siapa Syakil sebenarnya.

"Kalau tidak kenapa kamu takut? Trust me, aku tidak akan menyentuhmu, Amara ... hanya ingin memastikan kau beristirahat dengan tenang, itu saja."

Harus dibujuk dengan penuh kesabaran, barulah Syakil berhasil meyakinkan wanita ini. Mungkin cara pria itu sedikit tidak sopan. Syakil menghela napas lega kala Amara mengikuti langkahnya, kaki wanita itu terlihat kotor akibat sengaja melepas sepatunya.

"Apa itu sakit?"

"Tidak, aku baik-baik saja."

Jauh-jauh berlari bahkan kakinya terluka akibat benda tajam. Pada akhirnya berhasil ditemukan dan dia tidak bisa lepas dari jerat Syakil yang kini benar-benar membawanya ke salah satu hotel bintang lima di sana.

"Bohong, kakimu luka ... benar kan?"

Sejak tadi dia memperhatikan langkah Amara, hanya saja hendak mengendongnya Syakil khawatir wanita itu semakin tidak nyaman. Kini, pria itu memeriksa kaki Amara dengan sedikit paksaan namun berusaha tidak terlihat kasar.

"Sudah begini, masih bilang tidak? Kau mati rasa atau bagaimana?"

Sepertinya tugas Syakil akan bertambah, dia harus mengobati luka Amara lebih dulu malam ini. Sebagaimana yang Syakil katakan, dia ingin memastikan jika Amara terlelap dengan nyaman sebelum dia pergi, maka dari itu sebelum Amara tertidur dia akan tetap berada di sini.

"Pulanglah, aku akan tidur sebentar lagi."

"Pulang? Rumahku jauh, besok pagi saja ... aku lelah."

Ini berbeda dari janji Syakil sebelumnya, pria itu berkata hanya ingin memastikan dia istirahat dengan tenang kemudian pulang. Bukan malah ikut tidur juga, pikir Amarah kesal luar biasa.

"Hanya tidur, aku tidak akan mengusikmu." Pria itu sudah merebahkan tubuhnya di tempat tidur, dengan tangan yang kini menutupi matanya, Syakil sepertinya memang cukup lelah.

"Dasar licik," gumam Amara kecil, begitu pelan seraya mencebikkan bibirnya.

"Aku bisa lebih licik dari ini jika mau, Amara."

-Tbc-

Gen Ibra memang begini guys, jan kaget. Tapi ini nggak sebrutal Kakaknya ya. Syakil rada bener dikit, bisa dipastikan dia ga suka jajan kek Mikhail.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!