POV: Karina
"Oweee... oweeee... owweee...."
Itu adalah adikku. Aku menemani ibu melahirkan adikku seorang diri tanpa hadirnya Ayahku. Lagi dan lagi kami harus menahan pedih dan sakitnya karena ulah Ayahku. Ini sudah kesekian kalinya Ayahku berpaling dari keluarganya. Bahkan saat Ibu melahirkan darah dagingnya, Ayah enggan datang dihalangi oleh sengkuni yang dipacarinya sejak kehamilan Ibu kedua. Ayah dan sengkuni itu membuatku jijik dengan segala perbuatan mereka. Ibu dan aku terabaikan. Bahkan sekarang ada adikku. Bagaimana Ibuku harus mengalami semua kepedihan ini? Saat ini usiaku sudah sepuluh tahun. Aku sudah mengalami kepedihan yang cukup mendalam. Dulu sebelum bertemu dengan sengkuni, Ayah adalah sosok pria yang sayang keluarga. Tidak pernah sekalipun ia mengabaikan dan berpaling dari kami. Beliau selalu mengutamakan kami. Ibuku juga sangat menyayangi Ayah. Tapi sepertinya cinta Ayah sudah memudar karena kehadiran sengkuni yang memaksa masuk ke dalam kehidupan keluarga kami. Dengan alasan pekerjaan dan sebagai asisten Ayah, sengkuni itu terus saja menempel pada keluarga kami. Hingga perlahan Ayah mencampakkan kami berdua. Sekarang karena adikku sudah lahir, kami jadi bertiga.
Aku masih kecil. Aku masih lemah. Aku masih tidak begitu paham kehidupan orang dewasa. Yang aku tahu, Ayah sudah tidak cinta dengan Ibu lagi dan meninggalkan rumah dengan sengkuni itu. Kalau Ayah masih menyayangi Ibu, tidak mungkin kan Ayah meninggalkan kami demi hidup dengan sengkuni murahan nan parasit itu?
Suster memanggilku. Aku tersadar dari kesedihanku. Suster berkata, aku boleh bertemu dengan Ibuku. Aku melihat Ibuku sangat kelelahan. Aku tidak melihat adikku. Tadi kata suster, adikku masih di ruang bayi. Aku memegang tangan Ibu dan melihat ibu tersenyum dengan manis.
"Karin, kamu sekarang punya adik. Bantu Ibu jaga adikmu ya." kata Ibu dengan suara lemah.
Aku hanya bisa mengangguk. Aku terus memegangi tangan Ibuku. Ibuku menyuruh aku tidur disampingnya. Aku menurut. Aku memeluk Ibu dan Ibu mengelus rambutku. Tidak lama kemudian tangan Ibu berhenti mengelusku. Sepertinya Ibu sangat kelelahan setelah melahirkan. Ibu tertidur lelap dan mendekapku. Sungguh aku tidak bisa melupakan ingatan ini sampai aku dewasa nanti. Kenangan menyakitkan dengan Ayah yang menjijikan harus meninggalkan keluarganya dengan seorang sengkuni.
********************
POV: Ariana (Ibu Karina)
Aku memejamkan mataku dengan lembut setelah memeluk Karina. Anak sulungku yang sangat rapuh. Aku mengasihani Karina. Dia dipaksa kuat oleh keadaan padahal usianya saja masih sangat muda. Aku ingin menangis. Tapi tidak bisa. Jika aku menangis, aku akan membuat Karina khawatir. Handi kamu sangat bajingan! Kamu tega meninggalkan aku yang sedang melahirkan anak keduamu dan kamu berada di rumah pelacur itu! Aku benar-benar emosi dengan suamiku yang tidak tahu diri. Aku menemani hidupnya dari nol dari mulai tidak punya apa-apa, sekarang setelah naik jabatan sedikit dia mencampakkan keluarganya. Aku bersumpah hidupmu akan lebih sulit ketika kamu masih bersamaku!
Sungguh aku tidak pernah berpikir akan sejauh ini mengutukmu. Tapi kamu benar-benar sudah tidak bisa aku maafkan. Pulang dari sini aku akan pulang ke rumah orang tuaku dan aku akan segera membawa semua pakaian aku dan anakku, Aku sungguh tidak sudi tinggal di rumahmu, Handi!
Aku terus bertanya dimana kesalahanku hingga kamu tega berselingkuh dariku hingga mengorbankan anak-anakmu? Jika memang sudah tidak cinta, mengapa tidak kamu kembalikan saja aku pada keluargaku? Sungguh menyesakkan hidup seperti ini bersama suami yang sombong akan tahtanya. Aku memikirkan bagaimana kehidupanku selanjutnya. Bagaimana hidup Karina dan anak keduaku yang baru saja aku lahirkan?
Bukan karena aku tidak punya uang. Aku masih punya uang walau itu hanya uang tabungan. Tapi aku masih bisa memberi mereka makan. Tapi aku berpikir bagaimana mental anak-anakku? Aku ingin menangis, rasanya aku sudah tidak sanggup lagi memendam semua kesedihanku sendiri.
**********************
POV: Handi (Ayah Karina)
Aku berdiri dengan gelisah di depan jendela. Aku memikirkan Ariana dengan persalinannya. Bagaimana keadaannya sekarang? Apa anakku sudah lahir? Bagaimana keadaan Karina sekarang? Bagaimana ia akan pulang? Aku memijit kepalaku. Aku merasa lelah jika harus memikirkan Ariana. Aku sungguh telah mengabaikan kebaikan hati Ariana. Aku khilaf pada saat meninggalkan keluargaku. Ya, benar, kini aku sangat menyesal meninggalkan mereka. Aku dulu mengejar Ariana. Dia menolakku. Tapi kemudian dia menerimaku karena perjuanganku mengejarnya. Tapi apa yang aku lakukan sekarang? Aku tidak lebih dari seorang pecundang yang meninggalkan keluargaku demi wanita lain. Melani memelukku dari belakang. Ia menempelkan wajahnya dipunggungku. Ia melingkarkan tangannya di pinggangku.
"Terima kasih ya, kamu tidak pergi ke istrimu." kata Melani.
Aku menghela nafasku. Aku sudah tidak dapat menahannya lagi.
"Setelah ini aku akan pulang. Menemui Ariana dan anakku." kataku. Melani terkejut dan membelalakkan matanya.
"Kenapa kamu begitu? Kamu berjanji akan tetap disini bersamaku." kata Melani protes.
"Sejak awal kamu tahu aku pria beristri. Dan hari ini istriku melahirkan anak keduaku! Aku akan menemuinya!" Melani selalu saja menjengkelkan ketika aku ingin bertemu dengan Ariana. Karena dia selalu tidak suka jika aku ingin bertemu dengan Ariana. Awal hubungan kami, Melani menerima Ariana sebagai istri sahku. Sekarang ia memblokir aksesku pada Ariana.
"Ceraikan Ariana!" bentak Melani. Aku sungguh terkejut dengan Melani. Dia memulai pertikaian lagi denganku karena Ariana.
"Kamu berani memintaku cerai dengan Ariana?" aku tidak percaya Melani mengatakan itu.
"Bukankah kamu tahu kalau aku sudah memiliki istri dan aku tidak pernah sekalipun berniat meninggalkan Ariana maupun Karina!" teriakku. Aku sungguh sebal dengan keadaan ini.
"Jangan lupa, Handi! Aku yang membuatmu naik jabatan hingga akhirnya kamu berada diposisi ini, Kalau bukan karena bantuanku kamu masih menjadi staff biasa dengan gaji minimum!" balas Melani.
"Aku tidak pernah sekalipun memintamu melakukan itu, Melani!"
"Aku yang mau melakukannya, Karena aku mencintai kamu, Handi!"
Aku tidak dapat berkata lagi. Aku mengambil kunci mobil dan tas kecilku yang biasa aku gunakan untuk menaruh ponsel dan dompet. Aku tidak peduli lagi dengan Melani yang meracau tidak jelas. Aku hanya ingin bertemu Ariana!
Aku melesatkan mobil ke arah rumahku dimana Ariana tinggal. Rumah itu sebenarnya bukan sepenuhnya rumahku. Karena Ariana juga ikut mencicil rumah itu. Tapi aku tidak punya pikiran apapun lagi. Aku hanya ingin sampai di rumah dan bertemu dengan Ariana.
Tapi setibanya di rumah aku hanya melihat Ariana duduk di ruang tamu. Tidak ada anakku, Karina ataupun anak keduaku yang belum kuketahui siapa namanya. Karina menyilangkan kakinya. Ia duduk dengan wajah serius yang pernah ia tampakkan dihadapanku.
"Riana..." sapaku.
Bukannya menyambut kedatanganku, Ariana menatapku dengan dingin. Dia seperti Ariana yang dulu saat menolakku. Dingin dan tidak peduli padaku.
"Dimana Karina, Ri?"
"Aku mau pulang ke rumah orang tuaku." Ariana tidak menjawab pertanyaanku, Dia hanya memberitahuku bahwa ia akan pulang ke rumah orang tuanya. Wajar saja. Dia pasti sangat kecewa dan akan menenangkan dirinya.
"Ri..."
"Aku juga tidak akan kembali kesini." JGERR. Seperti kilat yang menyambar, aku tidak percaya Ariana mengatakan itu.
"Tapi, Ri, aku belum melihat anakku yang baru kamu lahirkan." kataku perlahan, Aku tidak berani meninggikan suaraku disaat aku tahu dan aku sadar aku mengecewakan Ariana. Tapi aku tidak menyangka Ariana akan mengatakan itu. Apakah ini akhir dari kami? Perpisahan? Tidak. Aku tidak tahu bagaimana aku akan hidup tanpa Ariana.
"Buat apa melihat kalau kamu datang ke persalinanku saja tidak sudi?" tanya Ariana ketus. Ariana sering marah padaku untuk hal-hal sepele. Dan aku masih bisa menenangkannya. Tapi kali ini, aku merasa tidak punya nyali. Aku tidak tahu bahwa Ariana begitu bencinya padaku sekarang.
"Maafkan aku. Aku bukannya tidak mau datang.Aku..."
"Lembur? Banyak kerjaan? Ketemu klien? Apalagi yang akan jadi alasan kamu? Nggak sekalian saja kamu terjun dari tebing disuruh sama bosmu!"
Kali ini aku bersimpuh dihadapan Ariana. Aku ingin mohon ampun pada Ariana. Aku tidak sanggup lagi menyakiti Ariana.
"Maafkan aku, Ri. Aku sungguh-sungguh minta maaf." rasanya aku ingin menangis, Aku sudah tidak sanggup dengan apa yang kuhadapi. Perasaanku campur aduk. Aku tahu aku tidak mudah dimaafkan oleh Ariana.
"Maaf? Tidak membuat segalanya kembali utuh. Kamu sudah meninggalkan aku dan Karina. Sekarang aku melahirkan kamu juga tidak peduli sama sekali, Aku kecewa sama kamu, Handi!"
Aku berlutut. Aku mencium kaki Ariana, aku ingin betul-betul minta maaf padanya. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak ingin ditinggalkan oleh Ariana seperti ini.
"Sungguh, aku tidak dapat hidup tanpa kamu, Ri. Aku sungguh menyesal. Aku tidak pernah membayangkan bagaimana hidupku jika kamu meninggalkan aku seperti ini!"
"Lalu bagaimana kemarin kamu meninggalkan aku? Dengan alasan ini itu kamu bertemu dengan wanita murahan itu! Tidak sedikitpun kamu memikirkan perasaanku?"
"Aku minta maaf, Ri... Aku minta maaf, aku akan melakukan apapun untuk medapatkan maaf dari kamu."
"Apapun? Kamu yakin?" Ariana mulai terdengar sinis. Aku tidak pernah melihat wanita lembut dihadapanku ini marah.
"Aku janji, Ri, Apapun yang aku punya akan aku serahkan ke kamu."
"Tinggalkan rumah ini, Han! Aku berhak tinggal di rumah ini bersama anak-anakku. Tidak akan aku serahkan apa yang telah menjadi jerih payahku ke kamu ataupun wanita murahan itu! Dan setelahnya kamu bisa bertemu aku di pengadilan nanti." kata Ariana tegas. Tidak ada nada toleransi dalam ucapannya.
"Kamu ingin menceraikan aku, Ri?"
"Tidak ada ruang untuk pengkhianat dikeluargaku, Han. Pergilah dari sini." ucap Ariana.
Dan itulah kali terakhir aku bertemu dengan Ariana berdua saja. Di kesempatan lain, aku tidak bisa menemui Ariana. Aku pun malu karena perbuatanku sendiri. Aku menyerahkan rumah atas hasil jerih payahku dan Ariana pada Ariana. Ariana juga telah mengubah nama sertifikatnya. Ariana memang berhak atas rumah itu. Ariana tidak mengganggu pekerjaanku. Aku menjalani pekerjaanku seperti biasa dan mengirim uang bulanan pada Ariana dengan nominal tiga per empat dari gajiku. Dan itulah yang membuat Melani kembali protes.
Sebelumnya....
Ariana sudah mengantarkan Karina dan adiknya ke rumah ibunya. Ariana meminyta ibunya menjaga Karina sementara ia akan mengambil baju di rumahnya. Taksi melaju dengan kecepatan sedang memasuki komplek perumahan yang terlihat tenang tanpa adanya kumpulan ibu-ibu yang suka bergosip. Ariana berusia 32 tahun saat ini. Di usia inilah ia mendapatkan pengkhianatan dari suami yang ia sayanginya dahulu. Handi Pratama. Hati Ariana tidak sanggup lagi membayangkan perselingkuhan yang dilakukan oleh Handi. Ia mengenal Handi sebagai sosok penyayang dan bertanggung jawab. Berpikir dia melirik wanita lain saja tidak. Handi juga mengutamakan pendapat Ariana jika ingin melakukan sesuatu. Handi akan bertanya bagaimana sebaiknya dan apa yang harus ia lakukan. Walaupun Ariana hanya seorang ibu rumah tangga biasa, tapi Ariana sangat cerdas dalam masalah bisnis. Karena keluarganya juga memiliki bisnis.
Ariana tidak pernah merasa takut kekurangan jika suatu saat Handi meninggalkan dirinya. Tapi ia juga tidak berharap Handi meninggalkan dirinya. Tentu saja. Siapa yang berharap ditinggalkan oleh suami yang sangat tulus menyayangi istrinya? Tapi Ariana tidak sebucin itu pada Handi. Ia juga memakai logika. Ia tidak ingin menoleransi kesalahan Handi. Sudah terlalu sakit dan perih menerima sebuah kebohongan dalam pernikahannya.
Tuliliiilliiittt......
Ponsel Ariana berbunyi. Ia segera melihat siapa yang menelpon dan ia mendapati nama gundik itu di layar ponselnya. Seketika hati Ariana terasa panas membara. Ingin sekali ia memaki-maki si gundik sialan itu.
"Ya." Ariana menjawab dengan nada ketus yang pernah ia berikan.
"Handi lagi di jalan ke rumahmu." kata Melani dari seberang telepon.
"Oh." Ariana hanya menjawab pendek seolah tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh Melani.
"Ariana. Boleh aku meminta sesuatu?" tanya Melani dari seberang telepon.
"Apa?"
"Bolehkah aku tinggal bersama Handi?"
HAH? APAAN INI? DASAR GUNDIK!!
"Maksudnya apa ya?" tanya Ariana mengontrol kemarahan dalam dirinya yang bergejolak.
"Selama ini kan Handi bolak-balik antara rumah kamu dan rumahku. Boleh nggak kalau Handi tinggal disini aja? Misalnya di tempatku dua hari, di tempat kamu sisa hari selama seminggu begitu."
Gundik sialan!! Apa dia nggak punya otak? Bisa-bisanya minta hal seperti itu sama istri sahnya! teriak Ariana dalam hati.
"Bukannya selama ini dia tinggal di rumah kamu? Dia juga jarang pulang." Ariana masih berusaha tenang menghadapi Melani. Walau hatinya sangat ingin meninju wajahnya yang memiliki banyak dempulan.
"Iya itu karena aku yang minta. Maksudku kalau kamu izinkan, dia akan lebih leluasa disini dan tidak selalu buru-buru pulang." jawab Melani.
"Dengar ya. Wajar dia pulang. Dia masih suami orang. Kamu hanya wanita yang singgah sesaat. Yang bisa ditinggalkan kapan saja."
"Oh, maaf. Disaat kamu berada di rumah dan mengurus anakmu, Handi kerja sama aku hingga karirnya naik. Aku ikut andil dong disitu." jawab Melani tidak ingin kalah.
"Kasihan ya kamu. Mengharapkan suami orang lain padahal kamu bisa mendapat yang lebih baik dari Handi." sahut Ariana tidak mau kalah. Ia benci dengan gundik itu. Sangat membencinya. Apalagi dia menelpon meminta sesuatu hal yang tidak sepantasnya dilakukan oleh wanita simpanan.
"Aku tadi minta Handi menceraikan kamu." kata Melani lagi. Melani sengaja memancing emosi Ariana. Melani memang lebih suka menonjolkan keunggulannya didepan Ariana. Walaupun Ariana istrinya, tapi frekuensi kebersamaan Melani dan Handi lebih sering daripada dengan Ariana.
Bibir Ariana bergetar. Sampai segitunyakah kamu, Han? Ingin menceraikan aku demi gundik tidak tahu diri ini? Dimana hati nurani kamu, Han?
Sesampainya di rumah, dengan hati yang panas membara, Ariana mengepak banyak baju dirinya dan Karina. Baju bayi untuk anak keduanya masih ada di rumah ibunya. Jadi ia banyak membawa baju Karina dan juga buku pelajaran sekolah Karina.
Selesai merapikan baju, Ariana duduk di ruang tamu. Ia lemas. Ia tidak dapat berpikir dengan jernih. Ia merasa sakit hatinya semakin mendalam, terlebih lagi jika Melani memprovokasi dirinya dengan hal yang tidak seharusnya.
Beruntunglah ia tidak mengajak Karina. Kalau tidak, ia tidak bisa berpikir jernih sekarang. Ariana membutuhkan waktu. Ariana ingin ketenangan. Ia lelah selama satu tahun ini dihadapkan dengan masalah Handi dan wanitanya yang tidak kunjung selesai.
Suara mobil yang terparkir di halaman terdengar sangat khas, Itu adalah mobil Handi. Handi datang ke rumah. Seketika ia teringat kembali perkataan Melani yang ingin aku dan Handi bercerai. Handi datang dengan terburu-buru. Ariana duduk menyilangkan kakinya di ruang tamu melihat Handi yang datang dengan wajah tanpa dosa,
*********************
Handi menyetujui permintaan Ariana untuk bercerai. Ia tidak punya cara lain untuk menebus kesalahannya. Namun ia berjanji hanya Ariana-lah yang ia cintai. Bualan itu membuat Ariana ingin muntah. Tidak sanggup membayangkan Handi bersama Melani. Ariana ingin mengalah demi kewarasan dirinya dan Karina. Ia ingin fokus dengan Karina dan adiknya.
Ariana kembali ke rumah ibunya dengan membawa koper berisikan baju-baju. Ia ingin menenangkan diri dari masalah yang menimpanya. Tapi pasti akan sulit karena ia harus mengurus bayi. Ariana menamai anak keduanya Selena, Karina sangat senang memiliki adik. Artinya ia mempunyai teman untuk bermain di dalam rumah.
Suatu ketika Ariana sedang menyusui Selena didalam kamar. Disana Karina baru saja selesai mengerjakan tugas sekolahnya.
"Bu." panggil Karina. Ariana yang sedang menyusui Selena, menyahutinya dengan lembut."
"Iya?"
"Kita udah nggak tinggal sama Ayah lagi?" tanya Karina. Ya. Karina sudah besar. Karina juga anak yang cerdas. Tidak mungkin ia tidak tahu dengan apa yang didepan matanya. Mengetahui Ayahnya jarang ke rumah neneknya menandakan ada sesuatu yang tidak beres.
"Sepertinya Ibu sudah tidak bisa." jawab Ariana pelan. Ariana berusaha tidak ingin menunjukkan emosi apapun di depan anak sulungnya itu.
"Nggak apa-apa, Bu. Daripada Ibu berantem terus."
"Nggak suka ya kalau Ibu berantem terus?"
"Iya, Bu. Kasian Ibu. Capek. Lagian Tante itu juga suka telpon Ibu. Habis dapat telpon dari Tante itu, pasti Ibu marah-marah sendiri."
Ariana tersenyum. Anak gadisnya sudah besar. Sudah mengerti situasi. Walau tidak sepenuhnya mengerti, tapi secara garis besarnya ia paham apa yang terjadi diantara Ayah dan Ibunya.
"Tapi Ina boleh kok kalau mau ketemu sama Ayah. Ibu nggak melarang." kata Ariana berat. Ia masih belum merelakan kesalahan Handi. Tapi ia tidak boleh membatasi hubungan antara Ayah dan anaknya.
"Nggak, Bu. Ina belum siap."
"Oke, nggak apa-apa. Kalau Ina udah siap, Ina kasih tau Ibu nanti kita ketemu Ayah ya."
"Iya, Bu."
"Nanti kalau Ina sudah besar, sudah paham kenapa Ibu seperti ini, Ibu harap Ina mengerti ya dan tidak menyalahkan Ibu. Ibu melakukan apa yang terbaik untuk Ina sama Lena."
"Iya, Bu."
********************
Tahun demi tahun berlalu. Ariana melanjutkan bisnis keluarganya, Dari hasil usaha, ia tabung sebagian untuk kebutuhan sehari-hari. Karina sudah masuk sekolah menengah pertama. Semakin dewasa, Karina sudah bisa membantu Ariana berjualan. Kadang Karina membantu menghitung stok, melayani pembeli atau menghitung hasil penjualan harian. Ariana sangat terbantu dengan adanya Karina. Ia sangat bersyukur memiliki anak secerdas Karina.
Selena juga sudah bisa berjalan. Handi tetap mengirimi uang bulanan. Kadang mengirimkan makanan kesukaan Karina. Karina memakannya tapi masih tidak mau mengangkat telepon dari Ayahnya.
Ariana berkali-kali menasehati agar Karina tetap menjawab telpon dari Ayahnya. Tapi Karina masih belum mau mengangkat telpon Ayahnya. Luka batin tentang ingatan Ayahnya meninggalkan keluarga kecilnya masih membekas dan masih teringat jelas. Karena sudah remaja, Karina tidak bisa lagi dipaksa seperti ia waktu masih kecil. Harus pintar-pintar mengambil hati anak remaja jika tidak mau membuat hatinya terluka lagi.
Ariana enggan menempati rumah yang ia beli bersama Handi. Jadi ia memutuskan agar rumah itu dikontrakkan saja, Ia datang sesekali untuk merubah posisi dan membersihkannya jika sedang tidak ada yang mengontrak. Karina juga enggan kembali ke rumah itu. Ariana bersyukur masih mendapatkan pemasukan dari kontrakan itu.
Sedangkan Handi memiliki kehidupan yang rumit dengan Melani. Melani selalu memprotes jatah bulanannya yang lebih kecil dari Ariana. Walau sudah berpisah, Handi tidak mau menghilangkan ingatan tentang Ariana seutuhnya, Dalam hati Handi, hanya Ariana-lah istrinya. Walau kini mereka sudah resmi bercerai.
Setelah sekian tahun menjalani hubungan dengan Melani, wanita itu tidak pandai mengambil hati Handi ketika sedang marah. Berbeda dengan Ariana yang langsung memasakkan makanan kesukaannya. Melani lebih menuntut Handi agar selalu mengerti kesalahannya kemudian Handi meminta maaf.
"Jatah bulanan aku berkurang lagi, ya?" tanya Melani.
"Iya. Aku kemarin abis beliin Karina sepatu sekolah dan baju buat Selena. Selena kan sudah semakin besar. Aku nggak mau dia pake baju turunan dari Karina." jawab Handi.
"Ya ampun. Boros banget sih masalah baju doang. Selena itu masih kecil. baju Karina juga banyak. Hemat sedikit kenapa sih? Gara-gara beli baju Selena, jatah bulanan aku berkurang? Gitu?" Melani semakin kesal ketika Handi masih selalu memprioritaskan anak-anaknya.
"Dia itu anakku, Mel. Wajar orang tua menghabiskan uang buat anaknya. Buat siapa lagi orang tua bekerja kalau bukan buat anaknya?" jawab Handi. Ia selalu merasa emosi jika Melani tidak pengertian mmengenai kebutuhan Karina maupun Selena.
"Bilang aja kamu juga beliin Riana kan? Ngaku aja deh kamu! Gara-gara Riana uang bulanan aku berkurang!" Melani masih belum bisa mengalah dari Handi.
"Riana itu pinter! Cerdas! Dia bisa cari uang sendiri lebih banyak dari kamu! Dia nggak pernah mau terima uangku! Padahal aku mau membelikan anak-anakku sesuatu yang mereka butuhkan! Aku sudah nggak bisa ketemu sama mereka, Mel! Bahkan Karina, anakku sendiri saja tidak mau bicara sama Ayahnya! Aku mengerti kekecewaan Karina. Dia kecewa karena aku lebih memilih kamu daripada keluargaku sendiri! Bisa nggak kamu nggak memancing keributan terus?" bentak Handi. Lama-lama ia merasa lelah dan jenuh dengan pertengkarannya, Yang Melani bahas masalah itu lagi, itu lagi. Uang lagi, uang lagi.
"Oke, oke! Mungkin aku berekspetasi terlalu tinggi sama kamu, Han! Aku pikir kamu bisa menjadi milikku seutuhnya. Tapi ternyata pikiranmu masih bercabang. Kamu memang berada disini tapi tidak dengan pikiran kamu. Kamu terus memikirkan Ariana, Ariana dan Ariana!" balas Melani.
"Kamu punya ekspetasi apa sama aku? Meninggalkan keluargaku dan memberikan seluruh gajiku sama kamu gitu? Jangan mimpi kamu!" Handi merasa kesal dan pergi berlari dari rumah.
Melani sama sekali tidak pengertian. Ia tidak bisa memahami bahwa Handi masih harus menafkahi anak-anaknya. Yang Melani keluhkan dari dulu hanyalah masalah gaji bulanan. Uang lagi dan uang lagi. Handi merasa semakin muak dengan keadaan ini.
Ariana merapikan stok barang dagangannya di rumah. Ia menghitung-hitung jumlah barang yang terjual hari ini. Ariana masih gencar menjual barangnya melalui kontak dan juga marketplace. Karina memberi salam pada Ibunya yang sedang sibuk menghitung barang yang ada di gudang.
"Bu." sapa Karina.
"Sudah pulang? Langsung bersih-bersih ya, Nak."
"Hari ini Ina ada ulangan. Untung aja Ina belajar. Kalau nggak, pasti nggak bisa ngerjain." cerita Ina begitu melepas sepatunya.
"Kalau Ina nanti malam mau belajar, bilang Ibu ya, Na. Jadi Ibu nggak panggil-panggil Ina."
"Nggak apa-apa, Bu. Nanti kalau Ina udah lulus sekolah, Ina bantuin Ibu ya. Ina janji bakal ningkatin keuangan kita. Sekarang Ina cuma bisa bantu-bantu Ibu sedikit aja."
"Nggak apa-apa. Ibu sudah sangat berterimakasih kok kamu bisa bantu Ibu. Bantu kalau lagi senggang aja ya."
"Lena mana, Bu?"
"Ada, lagi nonton TV sama Om kamu di dalem."
Semenjak pindah ke rumah orang tuanya, Karina tinggal bersama om dan tantenya juga. Itu tidak masalah bagi Karina. Asal ada ketenangan, Karina merasa semua akan baik-baik saja. Selena sudah berusia tiga tahun. Sudah besar dan lebih ceriwis dari tahun lalu. Keingintahuannya banyak. Kadang kalau sedang sibuk belajar, Karina tidak bisa meladeni pertanyaan Selena yang semakin banyak.
Mobil Handi berhenti di depan rumah Ariana. Ariana kaget mendengar suara mobil Handi yang khas. Ada apa Handi datang sore-sore begini?
"Itu suara mobil Ayah, Bu?" tanya Karina melihat ke depan rumah.
"Kayaknya iya."
"Ibu minta Ayah datang atau gimana? Kok bisa datang tiba-tiba, Bu?" tanya Karina mulai merasa sebal dengan kedatangan Ayahnya.
"Ngapain Ibu minta Ayahmu datang? Nggak ada keperluan juga." jawab Ariana merasa bingung juga dengan kedatangan Handi.
"Ina masuk aja ya, Bu. Ina nggak mau ketemu Ayah." kata Karina sambil bangkit berdiri.
"Kamu masih belum mau ketemu Ayah ya?"
"Males!" jawab Karina singkat. Ia mengambil tasnya dan pergi ke kamarnya.
Ariana pergi ke depan pagar dan membukakan pintu untuk Handi. Ariana tidak mau ambil pusing dulu dengan Karina. Ia hanya berharap kedatangan Handi tidak menyita waktunya terlalu banyak.
"Ada apa, Han? Mau ketemu anak-anak?" tanya Ariana begitu ia mempersilakan masuk. Handi datang dengan wajah yang terlihat lelah dan lesu. Semakin hari, Handi semakin terlihat kurus tidak seperti biasanya. Berbeda dengan Ariana yang terlihat semakin cantik dan terawat setelah bercerai dengan Handi tiga tahun yang lalu.
"Aku hanya ingin tahu kabar anak-anak saja. Tidak ketemu juga tidak apa-apa." kata Handi.
"Aku mengerti jika mereka masih belum siap bertemu denganku."
Ariana mengangguk.
"Mungkin Selena masih bisa jika kamu ajak bercanda atau jalan-jalan. Tapi berbeda dengan Karina. Karina sudah mengalami luka terlalu dalam. Ia pasti merasakan sakit ketika tahu Ayahnya mengkhianatinya. Tapi aku tidak berusaha menjauhkan kalian. Karina sudah remaja. Tidak bisa kita bohongi ataupun kita bentak dengan keras, Itu akan membuatnya semakin malas di rumah. Biar nanti aku berbicara pelan saja dengan Karina."
"Terima kasih banyak ya, aku hanya bisa mengirimkan uang bulanan. Aku masih akan terus bertanggung jawab selama aku bisa. Aku juga akan terus berusaha membelikan keperluan anak-anak."
Tidak lama, Selena keluar dan menyapa Ayahnya.
"Ayah...."
Handi langsung memasang wajah yang ceria di hadapan Selena.
"Anak Ayah, sudah makan belum?"
"Sudah."
"Makan apa?"
"Nasi sama telur."
"Anak pintar. Nanti Ayah belikan makanan enak lagi buat Lena mau?"
"Mau Ayah."
Setelah berbicara dengan Selena, Handi berbicara serius lagi dengan Ariana.
"Aku harap kita bisa bertemu diluar lain waktu. Aku ingin bicara denganmu. Kamu tenang saja. aku tidak akan macam-macam. Kita bisa bertemu saat makan siang."
"Oke. Tidak lama."
"Aku janji."
Handi tidak lama berada di rumah Ariana. Ia takut membuat Karina semakin kesal dengan keadaannya, Handi hanya berharap bisa berbicara dengan Karina suatu hari nanti. Ia ingin melakukan apa saja untuk menebus segala dosanya kepada Karina.
*********************
Setiap kali Handi datang ke rumah Ariana, Karina masih belum bisa menemuinya. Di satu sisi, Ariana merasa bersalah dengan perceraiannya. Di sisi lain, Handi memang tidak layak dipertahankan. Bagaimana bisa Handi kumpul kebo dengan janda anak satu? Karina sangat membenci ibu tirinya. Terlebih lagi adik tirinya yang dibawa dari Melani. Kalau sudah memiliki kekuatan yang lebih besar dari sekarang, ingin rasanya ia menghancurkan hidup Melani dan anaknya itu. Sampai kapanpun Karina tidak bisa memaafkan kesalahan Ayahnya.
Handi rutin mengirimi pesan untuk Karina. Walau hanya sekedar bertanya kegiatan di sekolah atau sedang menginginkan barang apa. Jika Karina meminta, Handi akan langsung menurutinya. Handi sayang sekali pada Karina. Maka dari itu, Karina adalah korban yang paling kecewa dengan perselingkuhan Handi. Ia telah kehilangan cinta pertamanya dari seorang lelaki yang disebut Ayah, dimana ia seharusnya meminta perlindungan jika anak perempuannya berada dalam kesulitan.
Karina ingin sekali bertemu dengan Handi. Tapi setiap Karina mengingat betapa menyakitkannya Melani saat itu datang ke rumah, Karina selalu menutup hatinya. Ia tidak ingin bertemu Handi sampai luka hatinya benar-benar sembuh.
Malam itu, Melani datang ke rumah Ariana dan Handi yang saat ini sudah dikontrakkan. Melani datang malam-malam dengan menggandeng tangan anak kecil laki-laki berusia sekitar tujuh atau delapan tahun. Itu adalah anak Melani dengan mantan suaminya. Melani mengaku pada Ariana bahwa ia mencintai Handi dan ingin anaknya memiliki Ayah sebaik Handi. Karina mulai membenci Melani dan anak laki-lakinya sejak malam itu. Berkat sengkuni, keluarga Karina hancur. Hingga saat ini. Tidak ada kebahagiaan Karina saat bertemu dengan Ayahnya lagi. Bahkan apa yang Melani katakan malam itu, masih sangat jelas berada dalam kepala Karina.
"Kamu siapa?" tanya Ariana bingung dengan kedatangan Melani yang membawa anak kecil disampingnya.
"Saya Melani. Saya asisten kantornya Pak Handi." jawab Melani dengan nada yang pelan.
"Ada apa datang kesini?" Ariana masih belum mengerti dengan kedatangan asisten Handi yang mendadak malam-malam begitu. Saat itu Ariana sedang hamil muda.
"Saya ingin mengakui sesuatu, Mbak. Rasanya ini lebih baik daripada Mbak tahu belakangan."
"Ya, jelaskan saja. Ada apa?"
"Saya dan Pak Handi memiliki affair, Mbak." kata Melani.
"Af... Affair?" tanya Ariana tidak percaya.
"Iya, Mbak. Sudah sekitar tiga bulan ini, Pak Handi kadang-kadang di rumah saya sampai malam."
"Jangan mengada-ada kamu ya!" kata Ariana tidak mempercayai pengakuannya.
"Sungguh, Mbak. Saya tahu, Pak Handi sudah memiliki anak dan istri. Saya juga tidak ingin sebenarnya ini terjadi. Tapi, Mbak..." Melani tiba-tiba berlutut di depan pintu rumah Ariana.
"Saya sangat mencintai Pak Handi, Mbak. Saya benar-benar tidak bisa hidup jika tidak ada Pak Handi."
Ariana tidak mempercayai pendengarannya. Apa ia salah dengar? Atau bagaimana? Handi yang begitu mencintai Ariana, yang ia bilang tidak bisa jika tidak ada Ariana disisinya, sekarang berani sekali berselingkuh bahkan sekarang selingkuhannya berlutut dan mengatakan bahwa sangat mencintai suaminya? Ini yang gila siapa sebenarnya? Bagaimana bisa Ariana dimadu dengan cara seperti ini?
"Kamu salah kan? Handi yang kamu maksud bukan Handi suami saya kan? Kamu pasti salah? Iya kan? Handi suami saya tidak seperti itu orangnya! Dia sayang dan sangat bertanggung jawab sama keluarganya! Bahkan dia sangat sayang pada saya dan juga anaknya!" kata Ariana mengguncangkan badan Melani. Ariana sengat kesal. Sangat benci jika harus dihadapkan dengan situasi seperti ini. Ia benar-benar benci.
"Saya serius, Mbak. Handi suami, Mbak. Handi Pratama."
JGERR
Bagai disambar petir. Ariana tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Wanita itu menyebut nama lengkap suaminya. Wanita itu berani datang ke rumahnya dan mengatakan bahwa dia mencintai suaminya! Menjijikan sekali, saudara-saudara!
Ariana menampar wajah Melani. Ia marah besar. Ia tidak menyangka bahwa Handi menusuknya dari belakang. Ini sakit. Sangat sakit!
"Bajingan kamu, wanita tidak tahu malu!" bentak Ariana.
"Beraninya kamu datang dan bilang mencintai Handi di rumah ini? Apa kamu tidak punya otak? Kamu ingin menghancurkan keluargaku dengan cara murahan seperti ini?"
"Saya serius, Mbak. Saya tidak bohong. Saya juga tidak ingin berbohong, Mbak. Saya juga tidak ingin menjadi simpanan, Pak Handi." kata Melani mengeluarkan air matanya. Ariana tidak tertarik dengan drama yang Melani buat. Ini menjijikan. Sangat menjijikan! Kenapa ada wanita seperti ini di rumahnya?
"Lalu saya harus bagaimana? Saya harus, oh iya silakan mbak kalau suka sama suami saya. Begitu?"
"Maafin saya, Mbak..."
Handi yang baru saja datang ke rumah melihat Melani berlutut didepan Ariana, sangat terkejut. Bagaimana bisa Melani datang dengan anaknya malam-malam seperti ini?
"Apa yang kamu lakukan disini?" tanya Handi pada Melani yang sedang menangis dan berlutut.
"Dia asisten kamu, bilang sama aku kalau dia nggak bisa hidup tanpa kamu. Sekarang kalian pergi, aku muak melihat kalian! Jahanam!" teriak Ariana. Handi tidak bisa berkata-kata malam itu. Dia hanya meminta Melani pulang bersama anaknya dan Handi meminta waktu untuk menjelaskan semuanya.
Handi merasakan keringat dingin, Ia tidak pernah melihat mata Ariana meyala seperti api membara. Kemarahan Ariana benar-benar ada dipuncaknya. Melani sudah pulang bersama anaknya. Ia ingin meminta maaf pada Ariana walau ia tahu, tidak mudah mendapatkan maaf dari Ariana.
"Ri, izinkan aku menjelaskan semuanya, Ri."
"Apa yang mau kamu jelaskan, Han? Kamu mau bilang kalau itu tidak sengaja? Khilaf?" Ariana tidak dapat menahan amarahnya. Ia melampiaskan seluruh amarahnya pada Handi.
"Aku salah, Ri. Aku minta maaf. Aku sungguh minta maaf. Awal aku ke rumah dia itu murni karena pekerjaan. Tidak ada yang lain, Ri."
"Jangan jadikan pekerjaan sebagai alasan kamu. Sekarang aku tidak akan menerima maafmu. Jelas-jelas dia datang sama anaknya, bilang kalau dia cinta sama kamu. Apa maksudnya? Kamu janji menikahi dia atau apa? Apa kamu pikir aku sudi diperlakukan seperti ini?" Ariana menangis. Ia benci sekali pada Handi sekarang. Rasanya ia sudah tidak ingin melihat wajahnya lagi.
"Aku akan menebus kesalahanku, Ri. Aku tahu, tidak ada alasan bagiku saat ini."
"Ya memang tidak ada alasan lagi. Kamu minta maaf bukan karena kamu merasa bersalah. Tapi karena kamu sudah ketahuan! Tiga bulan, Handi. Waktu yang cukup lama dan tidak bisa disebut khilaf! Khilaf itu hanya sekali!"
"Maaf, Ri, aku benar-benar minta maaf. Aku akan memperbaiki semuanya. Aku tidak akan melakukannya lagi, Ri. Aku sungguh-sungguh."
"Aku tidak ingin hidup bersama seorang pengkhianat." kata Ariana.
Handi tersentak kaget. Tidak pernah ia melihat ekspresi dingin Ariana selama ini. Selama ini Ariana adalah orang yang hangat dan lembut. Melihat Ariana seperti ini, ia sangat takut.
"Ri, jangan bilang begitu. Aku masih sayang sama kamu, Ri. Aku nggak mungkin ninggalin kamu."
"Lalu aku harus bagaimana? Menerima perselingkuhan kalian dengan lapang dada? Kamu pikir aku malaikat? Bahkan malaikat saja bisa marah melihat ada manusia seperti kamu!"
Handi terdiam. Ia tidak bisa membantah perkataan Ariana yang sedang marah besar seperti itu.
"Kamu tahu kan aku sedang hamil anak kedua?" tanya Ariana.
"Aku tahu, Ri."
"Status menikah kita hanya sampai anak ini lahir. Setelah itu kita bercerai." ucap Ariana tegas.
"Ri, kamu serius, Ri? Ri, aku mohon, Ri, kita masih bisa bicarakan ini baik-baik. Aku akan menanggung semua kemarahan kamu. Aku rela. Aku bersedia. Tapi tolong, Ri, jangan lakukan ini."
"Aku jijik, Handi! Setiap lihat kamu, aku pasti teringat wanita itu! Kamu mau aku bagaimana? Maafin kamu? Ya, oke! Tapi ingat, Han! Aku tidak akan pernah melupakan semua yang terjadi malam ini!"
Handi tidak percaya bahwa Ariana menginginkan perceraian darinya. Sesayang apapun Handi, jika hatinya sudah mendua, maka semua tidak akan sama. Terlebih lagi semua pengakuan itu dikatakan oleh Melani. Tidak ada bantahan yang bisa diterima. Tidak ada sanggahan ataupun interupsi.
Ariana pergi ke kamar. Ia mengunci pintu kamarnya. Handi tidak bisa berkata apapun lagi. Ariana terlihat dingin dan hatinya sudah menutup pintu maaf untuk Handi. Ariana tidak memedulikan setiap kata dari Handi malam itu. Hatinya sakit. Sangat sakit. Ia tidak bisa memaafkan perselingkuhan Handi yang keterlaluan seperti ini. Handi terduduk lemas di sofa. Ia meremas rambut dikepalanya dan rasa penyesalan telah datang menghampirinya.
Sementara itu, Karina menutup wajahnya dengan bantal dan menangis mendengar pertengkaran kedua orang tuanya. Karina menyaksikan apa yang terjadi malam ini. Dan itu membuat trauma dalam hatinya sejak malam itu juga.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!