Deg!
Debaran di jantungnya terdengar cukup keras. Saat matanya tanpa sengaja menatap seseorang, atau mayat!
"Ya Allah, itu apa?" gumam seorang gadis. Namanya Rahayu, atau lebih akrab dipanggil Hayu.
Hayu melangkahkan kakinya dengan gelisah. Tujuannya mencari kayu bakar, namun yang ia temukan malah mayat yang tergeletak di tanah.
"Apa dia kecelakaan?" gumam Hayu, saat tangannya sudah memutar tubuh lelaki itu.
Deg!
Jantungnya berdebar kencang, bagaimana bisa ada lelaki setampan itu pikirnya? Apa dia malaikat?
"Wah, dia sangat tampan walau wajahnya banyak luka," gumam Hayu. Tangannya bergerak mendekati hidung pria itu, memastikan apakah pria itu masih hidup atau koit.
Hayu menghela nafas lega. Saat tangannya masih merasakan hembusan nafas pria tampan itu, walau lemah.
"Bagaimana ini, tuhan? Aku harus membawanya kemana?" gumam Hayu kebingungan, ia tak mungkin membawa pria tak dikenal itu ke Puskesmas Desa.
Karena jaraknya yang cukup jauh, dengan Hayu yang sendirian membawa pria ini.
"Aku tidak mungkin meninggalkan dia disini..." Dengan sekuat tenaga Hayu memapah pria itu hingga sampai dirumahnya yang kecil, namun nyaman.
"Huh... huh, dia berat," lirih Hayu, dengan nafas tersengal-sengal.
Dengan telaten Hayu, memeras handuk dan membasahi wajah pria itu. Hayu semakin terpesona dengan ketampanan pria itu, setelah semua kotoran itu hilang.
"Bagaimana dengan pakaiannya? Tidak mungkin aku membukanya," gumam Hayu dengan pipi merona karena memikirkan sesuatu.
"Sebaiknya, aku menunggu Ibu pulang."
Tok! Tok!
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam, Bu. Ibu Hayu... Hayu, menemukan sesuatu dihutan tadi," jelas Hayu dengan gugup. Membuat Ratna, Ibunya bingung tak biasanya Putrinya bersikap demikian.
"Ada apa, Nak?" Hayu menggiring Ibunya untuk pergi ke ruangan tengah.
Brak!
Sayuran yang dibawa Ratna jatuh begitu saja, membuat Hayu terkejut juga takut sang ibu Marah.
"Siapa dia, Hayu? Dan, kenapa dia terluka begitu parah?" tanya Ratna, menatap pria yang terluka itu.
Hayu mengelengkan kepalanya. "Hayu ndak tahu, Bu. Hayu menemukannya dihutan, dengan kondisi seperti ini. Hayu rasa dia kecelakaan," jelas Hayu, dimengerti Ratna.
"Baiklah, Ibu akan mengurusnya. Dan, memanggil Mang Agus untuk membantu membersihkan dia," jelas Ratna, Hayu mengangguk. Kemudian ia pergi untuk membersihkan dirinya, karena terkenal darah lelaki itu.
...****************...
Setelah mandi, Hayu melihat keadaan lelaki itu dan ternyata lelaki itu sudah bersih dengan pakaian rapi.
"Dia sebenarnya kenapa? Apa yang membuatnya sampai terluka parah seperti ini?" gumam Hayu, bertanya-tanya.
"Hayu... Dokter akan memeriksa dia jadi kita keluar dulu," pinta Ratna.
"Apa dia baik-baik saja, Dok?" tanya Hayu dan Ratna setelah Dokter Kirana keluar.
"Tenang saja, Bu Ratna. Dia baik-baik saja, namun ada benturan keras di area kepalanya, sehingga membuatnya melupakan sebagian ingatannya." Penjelasan Dokter Kirana membuat Ratna, tertegun dan terdiam.
Jika lelaki itu tak mengingat apapun, bagaimana mereka akan tahu dia tinggal?
Ratna menghela nafas."Baiklah, Kirana terima kasih."
"Bagaimana ini, Bu?" tanya Hayu, bingung. "Sudahlah. Kita rawat saja dia sampai pulih, Ibu akan menemui kepala Desa untuk izin," jelas Ratna, sambil memegang pelipisnya.
Esoknya.
Besoknya Ratna langsung menemui kepala Desa dan mendapatkan izin untuk merawat lelaki itu, karena bagaimanapun yang menemukan lelaki itu adalah Hayu, Putri Ratna.
"Bagaimana, Bu? Apa dia boleh tinggal bersama kita?" tanya Hayu, dengan bersemangat.
Ratna mengangguk. "Boleh, jadi mulai sekarang bantu dia memulihkan ingatannya dan kondisinya," ucap Ratna, memberikan sebuah tanggung jawab untuk Putrinya, yang sudah menemukan pria itu.
"Baiklah, Bu. Hayu janji, bakalan jagain dia sampai sembuh," jawab Hayu, dengan tersenyum.
Sebenarnya, Hayu adalah gadis cantik di Desa Sukati. Banyak pemuda yang menyukainya didesa ini, dan tentu saja itu menimbulkan sifat iri dari gadis-gadis didesa ini yang tidak terima.
Rahayu Adelina, gadis berkulit putih, rambut panjang, dan bersuara lembut itu tak lagi memiliki seorang Ayah, hingga membuatnya hidup berdua dengan sang Ibu.
Hayu menatap wajah tampan lelaki itu, ia merasa nyaman melihatnya.
Dia dari kota, bukan? Jika iya, banyak hal yang ingin Aku tanyakan. Eh, bentar...'
"Hayu bego deh. Dia, kan lupa ingatan emangnya ingat?" monolog Hayu.
"Kata Dokter Kirana, cuman sebagian. Berarti ada dong yang dia inget tentang kota," gumam Hayu berbinar-binar.
Sejujurnya, sejak lama ia selalu mendambakan bisa pergi ke Kota. Katanya dikota sangat ramai dan menyenangkan. Namun, ia tak bisa ke kota karena Ibunya tidak mengizinkannya. Seperti sebuah trauma untuk Ratna pergi ke kota, karena Sang Suami meninggal saat izin ke luar kota.
Tanpa sadar, Hayu menyelusuri ujung hidung lelaki yang sampai saat ini belum ia ketahui namanya itu. Hingga tangannya sudah hampir menyentuh bibir, Hayu baru tersadar dan merutuki sifat mesumnya.
"Hayu! Kok kamu pegang-pegang orang yang lagi pingsan," gumam Hayu, dengan wajah memerah dan detik kemudian ia pergi.
Tak terasa sudah dua hari, lelaki itu berada di rumah Hayu. Namun, sampai detik ini lelaki itu tak menunjukan tanda-tanda dia akan sadar. Membuat Hayu bingung, juga takut sebenarnya terjadi sesuatu pada lelaki itu tanpa mereka sadari.
"Hei, kamu kapan bangunnya sih? Apa kamu baik-baik saja?" tanya Hayu, yang pastinya dijawab oleh angin.
"Ish, menyebalkan," gerutu Hayu.
Tok! Tok!
"Siapa yang datang?" Hayu langsung berjalan dan membuka pintu.
Ternyata, Pian. Lelaki yang sudah menjadi sahabatnya sejak dulu, ia selalu berbagi masalah dengan Pian karena merasa Pian satu-satunya sahabat untuknya. Pian tidak seperti laki-laki di desa ini, yang mendekatinya karena cantik dan berniat menikahinya.
"Kamu kemana sih, Yu. Aku udah tiga hari enggak ketemu kamu?" tanya Pian. Ya, lelaki itu belum tahu tentang lelaki yang Hayu temukan.
"Masuk dulu, Yan."
"Jadi, gini..." Hayu menceritakan semua kejadian kepada sahabatnya itu, membuat Pian terkejut.
"Kok enggak bilang-bilang dari kemarin?"
"Enggak sempetlah, Yan. Aku aja masih terkejut."
Pian mendekati lelaki yang masih terbaring itu, dan terkejut dengan wajah tampan lelaki itu. "Yu, ini beneran manusia bukan sih? Kok tampannya kelewatan begitu?" tanya Pian heran, jujur sebagai lelaki itu merasa jauh dari dia.
"Hahaha! Pian, Pian kamu ada-ada aja. Ya kali dia bukan manusia. Mangkanya kemarin aku sempet terpesona sama dia. Cih, kalo sampe satu desa tahu, mereka pasti bakalan ngejar-ngejar nih cowok. Apa lagi, Tante lampir," gerutu Hayu, membuat Pian tertawa.
"Haha, bener juga sih. Yang penting kita jangan sampai bocorin ini kemana-mana dulu, takutnya heboh," jelas Pian diangguki Hayu.
Mereka berdua sepakat untuk menjadi lelaki tampan ini bersama. Karena tidak tahu harus memanggil apa terpaksa Pian dan Hayu membuat nama untuk lelaki itu 'Malaikat Tampan'
"Kapan sih, Malaikat Tampan bangun, Yan? Aku sudah tidak sabar menunggu ceritanya? Ini sudah tiga hari sejak dia ditemukan," gumam Hayu, terus memandang Malaikat Tampan tanpa berkedip.
"Hayo loh, Yu. Ditatapin terus entar jatuh cinta," goda Pian, membuat Hayu tersadar. Lagi-lagi pipinya memerah bak tomat tanpa disadarinya.
Pian terkekeh geli melihat tingkah Hayu.
Hayu tanpa sengaja memegang tangan Malaikat Tampan, dan saat ingin pergi.
Greb!
****Deg****!
"Pi-Pian ada ya-yang narik tangan Aku," ucap Hayu. Lalu mereka menoleh bersama.
Mendapati Malaikat Tampan, menata mereka heran.
"Malaikat Tampan!" seru keduanya.
Betapa bahagianya Hayu, saat tahu bahwa orang yang sudah ia tunggu-tunggu sudah terbangun dari tidur panjangnya. Namun, sayang. Orang yang ia harapkan bersifat hangat, lembut dan penuh perhatian ternyata malah sebaliknya.
"Kalian siapa?" tanya pria itu, dengan tatapan dingin. Tapi, tangannya masih memegang kepalanya.
"Ah, apa kau masih merasa pusing?" tanya Hayu, khawatir.
"Jawab siapa kalian? Dan, dimana ini?" tanya Malaikat Tampannya.
Hayu dengan gugup memperkenalkan dirinya dan juga Pian.
"Ak-Aku Rahayu, dan dia Pian," jelas Hayu. "Dan, ini dirumahku," sambung Hayu.
"Ukh." Malaikat Tampan nampaknya kesakitan, saat ia mencoba mengingat sesuatu. Sesuatu yaitu, bagaimana ia bisa sampai dirumah Hayu dan bagaimana ia bisa terluka.
Namun, semakin kuat ia mencoba mengingat kepalanya semakin sakit. Hingga, Malaikat Tampan kembali pingsan.
"Argh! Malaikat Tampan!" teriak Hayu, panik.
"Panggil dokter, Yu!" teriak Pian, ikut panik.
Hayu bergegas memanggil dokter, dan Ibunya.
"Bu, mala-eh maksudnya Pria itu tadi sadar sekarang pingsan, kayaknya dia coba-coba ingat sesuatu," jelas Hayu dengan panik.
"Astaghfirullah, cepat panggil dokter. Disini biar ibu tangani."
20 menit kemudian.
Dokter Karina sudah tiba. Memeriska tubuh Malaikat Tampan.
"Bagaimana, Dok?"
"Sebaiknya, ingatkan dia untuk tidak mencoba mengingat-ingat sesuatu sementara ini, selama proses pemulihan. Semakin kuat dia mencoba maka rasa sakit itu akan semakin kuat juga."
"Katakan saja, ingatan ini akan pulih secara berangsur-angsur," jelas Dokter Karina.
"Baiklah, Dok."
"Huh, syukurlah. Aku kira dia bakalan kenapa-kenapa," ujar Hayu, lega.
"Apa menurutmu, dia terlihat sedikit menakutkan saat dia bangun tadi?" tanya Pian. Menatap Ekspresi wajah Malaikat Tampan.
"Benar. Jelas-jelas kita menamai dia Malaikat Tampan karena berharap sikapnya baik, lembut dan hangat," jelas Hayu tanpa sadar. Ia cukup kecewa sesaat, namun ia juga tak bisa apa-apa.
Wajar jika gadis seusia Hayu, mengharapkan sesuatu dan mengagumi pria. Hayu hanya kagum sesaat dengan wajah super tampan Malaikat Tampannya itu.
"Hayu... jangan bilang, kamu suka sama dia?" goda Pian, ia menyenggol bahu Hayu.
"Pian!" teriak Hayu sebal.
"Cie... cie... Ada yang bakalan tinggal serumah nih, sama orang yang disukai," goda Pian, seketika membuat Hayu terdiam..
Astaga, kenapa aku tidak kepikiran. Kami bakalan tinggal satu rumah!' batin Hayu, bingung.
...****************...
"Ugh." Pria itu, bangun.
"Kamu butuh minum?" tanya Hayu, siaga. Ia sudah menunggu Malaikat Tampannya bangun, karena khawatir kejadian seperti kemarin terulang lagi.
"Kamu---?"
"Hayu, Aku Hayu. Aku mohon, jangan banyak mengingat sesuatu terlebih dahulu," jelas Hayu, tanpa sadar menggenggam tangan Malaikat Tampan.
"Kamu---." Hayu terdiam, hampir saja ia mengatakan Malaikat Tampan, karena tidak tahu nama pria yang sudah ia tolongin beberapa hari lalu.
"Devan." Hayu menatap cengo.
"Devan?" tanya Hayu.
"Namaku," jawab Devan, dengan dingin.
"Ah, benar. Iya, Devan," potong Hayu, gugup.
"Tunggu, disini. Kamu pasti laparkan, sudah beberapa hari tidak makan?"
Hayu berlari menyiapkan makanan, yang sudah ia buat dan siapkan khusus untuk Malaikat Tampannya, alias Devan.
Dia... dia benar-benar sudah bangun. Dia terlihat lucu setelah bangun tidur, xixi,' batin Hayu terkekeh geli.
"Ini kamu makan, ya." Hayu menyerahkan semangkuk bubur.
"Hmm." Saat hendak menerima mangkuk, hampir saja mangkuk itu terjatuh. Tapi, dengan cepat Hayu menangkapnya.
"Ehm, sepertinya kamu masih belum kuat. Biar aku yang menyuapimu, ji-jika boleh?" tanya Hayu malu-malu, ia tak berani menatap wajah Devan. Karena terlalu malu, ini akan jadi pertama kalinya ia menyuapi seorang lelaki.
"Tidak perlu."
Deg!
Hayu merasa sedikit sakit dihatinya, seperti tersengat listrik kecil. Yang membuatnya kecewa.
"Baiklah, aku letakkan disini saja. Kamu coba makan," ucap Hayu, meletakkan mangkuk diatas meja.
.
Devan mengangguk. Ia berusaha meraih sendok, ia yakin tadi hanya karena ia baru bangun otot-otot tubuhnya menjadi kaku. Namun, sudah berulang kali mencoba satu sendok pun belum ia makan. Hayu yang melihat ia mulai gelisah, antara mau memaksa atau tetap membiarkannya seperti itu.
"Sini. Jangan menolak, Aku hanya berniat membantumu saja. Aku yakin kok, kamu bisa. Tapi masih butuh waktu yang cukup lama, dan bubur ini pasti akan dingin," jelas Hayu, memberi pengertian.
Dengan terpaksa Devan mengangguk. Hayu memulai menyuapi Devan.
Deg! Deg!
Haduh, jantung tolong deh. Jangan berulah sekarang, Aku malu kalo sampe dia denger,' batin Hayu, yang tidak dapat mengontrol detak jantungnya.
"Uhuk! Uhuk!"
"Hah? Minum, ini minum dulu." Hayu menyodorkan minuman, dan dengan cepat Devan meneguknya.
Setelah selesai, Hayu mencuci piringnya. Dan, hedak kembali melihat Devan. Namun, sedikit gugup karena biasanya Devan tidak sadar, sedangkan sekarang sadar. Saat kakinya, hendak melangkah masuk tanpa sengaja mendengar Devan mengatakan sesuatu.
"Ugh, kenapa panas dan lengket? Apa karena aku belum mandi?" monolog Devan.
Astaga, Aku lupa. Dia belum mandi sejak kemarin?' Hayu berlari dengan cepat untuk memanggil Pian membantu Devan mandi.
Tok! Tok!
Ceklek!.
"Hah, kebetulan banget kamu, Pian. Sekarang bantuin Devan mandi." Hayu mendorong Pian masuk, membuat Pian bingung. Devan siapa?
"Devan siapa, Yu?" tanya Pian.
"Oh iya, Aku lupa. Itu, Malaikat Tampan sudah bangun dan dia memberitahu namanya adalah Devan," jelas Hayu, membuat Pian terkejut juga senang.
"Yang benar, Yu?"
"Benar. Jadi cepetan, kasihan Aku lihat dia udah gerah banget kayaknya."
20 menit. Pian dan Devan menghabiskan waktu di kamar mandi. Hingga Devan keluar hanya menggunakan handuk yang melilit di pinggangnya.
"Arghh. Ah, i-ini. Ini baju almarhum, Ayah!" teriak Hayu tiba-tiba, pipinya memerah bak tomat.
Sedangkan, Devan dan Pian terdiam karena kaget melihat ekspresi Hayu.
"Ish, kenapa malah bengong sih. Cepetan makek bajunya!" teriak Hayu sebal, menyodorkan pakaian.
"Haha, ternyata kamu malu toh, Yu," goda Pian.
"Sembarangan kamu!"
Devan pergi ke kamar dan menggunakan pakaiannya, dengan dibantu Pian. Bagaimanapun Devan masih dalam keadaan lemah, mungkin hanya untuk satu dua hari ini saja.
Tak lama kemudian, Devan keluar lagi.
"Devan! Kamu sepertinya harus berjemur pagi. Supaya segar dan cepat pulih," jelas Hayu, diangguki Devan. Ia juga bosan dikamar saja.
Pian menatap Hayu yang malu-malu. Dengan cepat memiliki ide jahil.
"Emh. Hayu, kamu pegang Devan dulu dong. Aku kebelet," ujar Pian, dengan cepat memindahkan tangan Devan.
"Ah, Pian! Kok Aku sih?" tanya Hayu, setengah berteriak.
"Terus siapa, Hayu! Kuntilanak?" tanya Pian, geleng-geleng kepala dengan tingkah Hayu yang baru ia ketahui.
"Hehe, iya juga ya," gumam Hayu, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Devan hanya memerhatikan tingkah Hayu, tanpa komentar. Ia hanya menikmati setiap ekspresi yang di buat Hayu, yang menurutnya sangat menyenangkan.
Hai semuanya, kenalin Aku Author Rose_jm, mohon dukungan sahabat reader yah, buat LIKE and KOMENT.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hayu dan Devan duduk berdua di depan rumah. Keduanya nampak canggung satu sama lain, membuat siapapun yang melihat pasti tau mereka tidak punya hubungan dekat.
Hayu diam, tidak tahu harus mengatakan apa agar suasana tidak terlalu canggung untuk mereka.
Hiks... kenapa suasananya jadi canggung begini,' batin Hayu, menggaruk-garuk tengkuknya.
"Door!"
"Ayam! Eh, ayam!" pekik Hayu terkejut, ia benar-benar kesal. "Pianto!" teriak Hayu kesal. Ia jadi melihatkan sisi memalukan dirinya pada Devan. Pria yang diam-diam ia kagumi.
"Haha. Maaf, Aku iseng habisnya suasananya aneh," ucap Pian, ia merasa harus membuat suasana sedikit lebih baik.
"Tapi enggak gitu juga, Pian! Kalo aku jantungan terus koit gimana?" tanya Hayu, sambil meragakan tangannya seperti membela leher.
"Ya enggak gitu juga, Hayuuu."
Hayu dan Pian, tanpa sadar saling melontarkan celoteh satu sama lain, hingga meninggalkan Devan yang hanya diam menatap Hayu dan Pian yang sejak tadi beradu mulut.
"Ehem," dehem Devan, langsung mengalihkan pandangannya.
"Ah." Hayu dan Pian seketika sadar, bahwa dari tadi mereka mencueki Devan.
"Ini gara-gara kamu ya, Pian," bisik Hayu, mendorong Pian.
"Kamu! enak saja aku yang selalu disalahkan," bisik Pian, ikut mendorong Hayu. Tanpa sengaja ia mengeluarkan sedikit kuat tenaganya.
Bruk!
"Akh!" Hayu terduduk dilantai, membuat kedua pria itu panik. Hayu hanya diam, membuat Pian yakin Hayu sedang menyiapkan emosinya.
"Ah, Ha-hayu. En-enggak sengaja loh," cicit Pian, takut.
"PIAN!" pekik Hayu, dengan wajah memerah. Seperti inilah mereka, tidak pernah akur sekalipun.
"Hiks... kamu nyebelin," rengek Hayu, ia menangis. Bukan karena sakit, tapi karena terlalu malu untuk berdiri.
Awas kamu, Pian! Aku akan membunuhmu,' batin Hayu dengan tatapan tajam, sedangkan matanya mengeluarkan air mata.
Devan yang melihat itu langsung jongkok dan mencoba membantu Hayu. Yang otomatis membuat Hayu semakin malu dan wajahnya panas.
"Ayo berdiri," ucap Devan, mengulurkan tangannya untuk membantu Hayu.
Hayu menerimanya dan berdiri.
Tanpa mereka sadari, kegiatan mereka sudah disaksikan beberapa orang yang dengan cepat menyebar keseluruh Desa.
...****************...
"Hayu!"
"Rahayu!"
Hayu yang dipanggil dengan cepat mencari Ibunya.
Kenapa Ibu teriak-teriak sih,' batin Hayu bingung, Ibunya jarang seperti ini, jika tidak ada hal mendesak.
"Ya, Bu? Kenapa?" tanya Hayu, cemas.
"Sebenarnya apa yang kamu lakukan kemarin, Hayu?" tanya Ratna dengan raut wajah lelah. Ia benar-benar bingung saat ini harus apa, harus melakukan apa untuk meredahkan semuanya.
"Kemarin? Enggak ada apa-apa kok, Bu?" Hayu bingung sendiri melihat wajah panik dan lelah diwajah sang Ibu.
"Kamu tahu, rumor aneh sudah menyebar, Hayu. Semua warga membicarakan kamu dan Devan. Mereka mengira kalian melakukan sesuatu saat dirumah berdua saja. Kenapa kamu melanggar janji dan membawa Devan keluar dari rumah?" tanya Ratna, memegang keningnya pusing.
"Hah? Maaf, Bu. Tapi, Hayu kasihan sama Devan dia keliatan bosan didalam terus. Jadi.... jadi Hayu bermaksud mengajak Devan berjemur," jawab Hayu, menundukkan kepalanya merasa bersalah.
"Sekarang bagaimana, Hayu. Semua orang menghakimi kamu, Nak. Ibu tidak bisa berbuat apa-apa lagi, mau dijelaskan pun mereka tidak akan ada yang percaya. Pasti ada yang membumbui mereka sehingga berita ini semakin parah," jelas Ratna, ia terduduk dengan takut.
Apa yang akan terjadi pada Putrinya nanti. Ratna seakan-akan memang tahu ini akan terjadi sebelumnya, sebelum ia memutuskan Devan tinggal disini. Apa lagi, ia tahu ada orang yang sangat tidak menyukainya diDesa ini, walau ia tak berbuat apapun.
"Ada apa, Tante?" Devan tiba-tiba datang dan bertanya, membuat keduanya saling pandang dan hanya bisa menghela nafas panjang.
"Maaf, nak Devan. Sepertinya kami tidak bisa lagi, membiarkan kamu tinggal disini. Karena... ada rumor buruk tentang kamu dan Hayu," jelas Ratna, merasa bersalah.
Devan terdiam. "Baiklah, tidak apa-apa. Jika memang begitu, saya akan pergi dari sini," jelas Devan mengerti. Namun, ia bingung saat ini harus kemana. Ia juga tidak bisa mengingat apapun tempat tinggalnya? Keluarganya? bahkan nama panjangnya, yang ia tahu dan ingat hanya Devan.
Devan dengan segera membereskan pakaiannya, yang ia pinjam dari pakaian mendiang Ayah Hayu.
Tok! Tok!
Devan menoleh. "Masuk."
Hayu datang dengan menundukkan kepalanya, ia tampak sangat merasa bersalah. Hayu menggenggam tangan erat.
"Devan, kamu bakalan kemana? Kamu, kan tidak punya tempat tinggal lain?" tanya Hayu dengan cemas. Ia sebenarnya tidak mau mengusir Devan seperti ini, apa lagi dengan keadaan lelaki itu tak mengingat apapun saat ini.
"Entahlah," jawab Devan singkat, karena memang ia tidak tahu.
Hayu semakin merasa bersalah, ia menunduk. Devan yang melihat itu tahu, bahwa gadis ini sekarang sedang merasa bersalah terhadapnya. "Hmm. Ini bukan salahmu, lagipula Aku seharusnya bisa saja menolak permintaanmu mengajakku kemarin," jelas Devan, Hayu yang mendengarnya tertegun.
Bukan karena apa, karena sejak sadar. Devan tidak pernah mengucapkan lebih dari 2 kalimat, namun kali ini dia berbicara panjang.
"Ah, iya. Aku akan membantumu mencari tempat tinggal, kumohon sebagai penebus kesalahanku," jelas Hayu. Devan awalnya ragu, namun melihat mata Hayu yang penuh harap, membuatnya akhirnya menyetujuinya.
"Hayu kamu pikirkan lagi, Nak. Bagaimanapun, rumor kalian masih panas-panasnya, jika kalian pergi berdua saja, apa kata orang-orang nantinya," ucap Ratna menyuarakan rasa khawatirnya.
Hayu terdiam, benar kata Ibunya. Ini akan menjadi sangat sulit jika dirinya bertindak gegabah. Disaat-saat hening, bantuan datang tiba-tiba.
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam!"
"Ya. Aku tahu, Pian! Pian saja yang mengantar Devan dan Aku tunggu dirumah," ujar Hayu, membuat Pian yang baru saja datang bingung tiba-tiba dirinya dilibatkan.
"Apa? Ada apa?" tanya Pian.
"Ini kamu pegang uang ini dan carikan Devan tempat untuk tinggal sebulan ini, selama masa pemulihannya," jelas Hayu, menyodorkan uang lima ratus ribu, uang tabungannya selama ini. Ia rela memberikannya, karena ia sudah menganggap Devan penting.
Dan, ia tidak mau Devan harus menderita diluar sana tanpa tempat tinggal.
"Hah? Tidak perlu, kenapa kau harus mengeluarkan uang?" tanya Devan, merasa tidak enak. Bagaimanapun, ia tidak mungkin menggunakan uang seorang gadis.
"Hayu, itu tabunganmu?" tanya Ratna, ia juga bingung. Karena selama ini, Hayu menabung sedikit demi sedikit untuk modal kerjanya.
"Tidak apa-apa. Aku masih punya banyak kok, ini hanya seperempatnya saja," jawab Hayu tersenyum manis.
Devan hanya diam.
"Sudahlah, bagaimana jika Devan tinggal bersamaku saja? Aku juga sendirian dirumah?" tanya Pian, seketika pikiran mereka tercerahkan.
"Astaga, benar! Kenapa aku harus pusing-pusing memikirkannya dari tadi. Karena panik Aku lupa kamu tinggal sendirian, Pian," jelas Hayu terkekeh geli dengan kebodohannya.
"Kau memang tidak setia kawan," cicit Pian.
Akhirnya, Devan dibawa Pian tinggal dirumahnya. Karena orangtua Pian sudah lama meninggal dan sekarang ia tinggal sendiri dirumah warisan orang tuanya dan bekerja serabutan agar bisa bertahan hidup.
"Bagaimana dengan Devan?" tanya Hayu, saat pria itu datang kerumahnya.
"Cih, tidak menawariku masuk dulu? Datang-datang langsung nanyain orang lain," sindir Pian, membuat Hayu mendelik.
"Ya udah, cepetan masuk!" Hayu memberikan segelas minuman dingin, lalu duduk didepan Pian.
"Jadi...?"
Pian mengeleng-gelengkan kepalanya, akibat ulah Hayu yang tak sabaran mendengar kabar pria itu. "Dia baik-baik saja, Yu. Hanya saja aku bingung sekarang," ungkap Pian membuat Hayu ikutan bingung.
"Maksud kamu? Bingung kenapa?"
"Devan memaksa meminta kerja. Kau tahu sendiri kondisinya masih belum sembuh?" tanya Pian, terlihat ia juga menghawatirkan Devan.
Hayu terdiam. "Aku juga pasti tidak akan mengizinkan dia bekerja," cetus Hayu. Bagaimana bisa pria itu meminta kerja, disaat dirinya jelas-jelas masih sakit.
"Hayu.... bukannya aku membelanya, hanya saja. Wajar jika Devan mendesakku membantunya mencari pekerjaan. Karena sebagai pria pasti harga dirinya terluka harus menerima uang dari seorang perempuan untuk bertahan hidup," jelas Pian panjang lebar, namun sedikit hati-hati takutnya Hayu tersinggung.
Lagi-lagi Hayu terdiam. "Aku mengerti, tapi bagaimana bisa dia kerja? Sedangkan kerja di Desa semuanya berat?" tanya Hayu semakin khawatir. Namun, ia tidak memiliki hak untuk melarang Devan.
"Jika kau mau... Bagaimana jika ajak dia bekerja diladang tempatmu bekerja saja?" tanya Hayu. Pian mengangguk mengerti, menurutnya itu adalah pekerjaan yang paling mudah, yang tidak perlu memakan banyak tenaga.
"Baiklah. Aku akan menjaganya disana, kau tetap dirumah saja sampai berita ini meredah," pesan Pian. Hayu mengangguk. Tapi, aku tidak janji Pian, maafkan aku,' batin Hayu menatap kepergian sahabatnya.
Setelah kepergian Pian, Hayu keluar untuk mencari sang Ibu dan membantu Ibunya berjualan. Karena, sejak rumor buruk tentang keluar dagangan sang Ibu menjadi semakin sepi. Hayu tak bisa lama-lama berdiam diri saja dirumah sementara sang Ibu kelelahan.
"Enggak tahu malu sekali dia. Sudah berbuat tidak-tidak masih saja berani menunjukkan wajahnya," cibir para warga.
"Benar, jika aku lebih baik aku pergi dari desa," jawab ibu-ibu.
"Aku kira dia anak baik-baik. Tapi, keluarganya memang tidak ada yang baik," jelas seorang Ibu-ibu. Memancing emosi dalam diri Hayu.
"Maksud kalian apa yah, mengatakan keluarga kami tidak baik? Kalian pikir kalian itu sudah baik dengan mengatakan seseorang seperti itu?" tanya Hayu tak suka.
"Dan, lagi apa kalian semua ada bukti jika aku melakukan hal yang tidak-tidak dengan dia! Kalian pasti tidak tahu, jika Ibuku sudah meminta izin pada kepala Desa dihari dia ditemukan," jelas Hayu, namun dimata warga Hayu hanya mencoba membela dirinya sendiri.
"Halah, jangan bohong kamu. Dasar maling teriak maling, penjara penuh, Yu," cibir mereka lalu meninggalkan Hayu yang menahan tangisnya.
Jahat sekali mereka, mereka pikir semua ucapan mereka adalah benar?’
"Astaga, Hayu! Apa yang kamu lakukan diluar, Nak? Ibu sudah katakan dirumah saja," jelas Ratna khawatir, melihat mata putrinya memerah yang pasti ia habis menangis.
Hayu menyenderkan kepalanya di bahu sang Ibu. "Padahal Ibu menahan semua omong kosong mereka semua disini, tapi aku hanya berdiam diri dirumah. Ibu kenapa enggak bilang, Hayu merasa jahat sebagai anak, Bu," jelas Hayu, menangis.
Hayu merasa sedih, juga merasa bahagia Ibunya begitu melindungi dirinya. Ditengah-tengah kesedihan mereka, tiba-tiba orang yang paling tidak ingin mereka lihat datang.
"Ck! Ck! Lihatlah drama orang-orang miskin?" Wati wanita itu datang dengan senyum mengejek.
"Benar, Ma. Kasihan sekali nasibnya, haha," kekeh Luna, putrinya. Mereka dengan tanpa belas kasihan mendorong dagangan Ratna, membuat kedua Ibu dan Anak itu terkejut.
"Luna! Apa yang kalian lakukan!" teriak Hayu, mengumpulkan kembali dagangannya.
"Sebenarnya apa maumu, Wati! Tidak puaskah kamu menghancurkan hidup kami, hah?" tanya Ratna sudah kehilangan kesabaran. Wati selalu saja mencari kesempatan untuk menghancurkannya, karena alasan konyol. Yaitu, Suaminya tertarik pada Ratna yang merupakan janda.
"Tidak! Sebelum kalian angkat kaki dari desa ini dan menderita, haha." Wati dan Luna tertawa bak kesetanan.
Hayu hanya diam, ia tidak tahu harus berbuat apa saat ini. Ini sudah teramat kesal, tapi jika ia bertindak gegabah jelas akan menjadi rumor lagi, ia tidak mau membuat masalah lagi.
"Sudahlah, Bu. Meladeni orang gila kita sama saja gilanya," ujar Hayu dengan berani. Ia mengangkat barang-barangnya dan menarik Ibunya pergi.
"Apa kau bilang! Dasar anak haram, sialan!" teriak Wati, murka tidak terima dikatai gila.
"Berani sekali kamu mengatai Aku dan Mamaku gila! Aku tidak akan tinggal diam dan membuatmu menderita, Rahayu!" teriak Luna, yang semakin tertantang merebut semuanya dari Hayu.
"Kita harus membuat rencana agar dia dan lelaki temuannya itu menderita. Jika perlu buat mereka sangat dipermalukan dan menikah," jelas Wati dan membuat Putri tercinta terlintas suatu ide jahat.
"Mama benar. Dan, Aku sudah memiliki ide yang pantas untuk gadis sialan itu," jelas Luna, seketika mereka saling tertawa gila.
Diperjalanan pulang Ratna dan Hayu hanya terdiam, mereka sama-sama tidak ada tenaga lagi untuk bicara. Tanpa sengaja bertemu Devan dan Pian diperjalanan pulang.
"Eh, Tante, Hayu. Kalian habis darimana?" tanya Pian, sedangkan Devan hanya diam menatap Hayu.
"Habis jualan, Pian," jelas Ratna tersenyum kecil.
"Bagaimana keadaanmu, nak Devan?" tanya Ratna. "Saya baik, Tante," jawab Devan sopan.
"Syukurlah."
Tanpa mereka sadar para warga sudah berkumpul menatap mereka. Dan mulai kembali menyebarkan gosip yang tidak-tidak.
"Wah-wah, wah sepertinya Ibu dan Anak sama saja, sama-sama ******, ups... sorry!" teriak Wati dengan sengaja, dan benar saja para warga semakin terpancing untuk mengatakan hal-hal buruk.
Apa lagi maunya dia,' batin Ratna sudah muak.
Wow, jangan bilang dia adalah pria yang ditemukan, sih anak haram itu? Dia sangat tampan...' Luna menganggumi Devan dalam hatinya, seketika ia menyesal telah menyetujui rencana Mamanya untuk menjebak keduanya, bahkan ia sudah memberikan ide terbaiknya.
"Sial," umpat Luna.
"Ada denganmu? Fokuslah menghasut para warga," bisik Wati dengan jengkel pada putrinya.
Dengan setengah enggan ia ikut andil. "Ternyata tidak sabaran ya, untuk bertemu dengan priamu, sampai-sampai baru pisah satu hari udah ketemuan lagi," jelas Luna menyulutkan api.
"Apa-apaan kamu! Siapa yang kalian katai ******!" bentak Hayu tidak terima. Mereka bisa mengatainya apapun, namun tidak dengan Ibunya.
"Emang ada orang lain selain Lo?" tanya Luna, dengan senyum mengejek.
"Benar! Kalian harusnya menikah karena telah kumpul kebo!"
"Benar dasar tidak tahu malu!"
"Kalian itu sudah berzina masih tidak mau mengakuinya, jangan pura-pura sok suci kalian!"
"Setuju!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!