NovelToon NovelToon

Bahagia Setelah Berpisah Denganmu

Bab 1

"Lho, Rin, kamu sudah mau berangkat?" 

Ibu mertua menghadangku di depan pintu, matanya menatap tajam dengan kedua tangan berkacak pinggang.

"Iya, Bu," jawabku singkat, malas meladeninya pagi-pagi begini. Pasti bakalan ngomel lagi.

"Pekerjaan rumah belum selesai kamu udah mau berangkat aja?" 

Tuh, kan, bener dia ngomel lagi. Padahal kan tinggal bersih-bersih rumah sama jemur cucian aja. Mau minta tolong juga percuma, orangnya pasti nggak bakalan mau.

"Tinggal nyapu sama jemur cucian, kan, Bu. Nanti biar dikerjakan Mas Ilham." 

"Gimana bisa kamu nyuruh lakimu mengerjakan tugas rumah! Itu kan tugasmu sebagi istri, makanya kalau bangun yang pagi biar semua pekerjaan beres sebelum kamu berangkat."

Aku yang sudah akan naik motor jadi dibuat geram dengan tingkah ibu mertuaku ini. Apa salahnya, sih, kalau meminta tolong sama suami, toh orangnya  juga seharian nggak ngapa-ngapain di rumah. Jadi, wajar dong aku minta dia buat bantuin pekerjaan rumah.

"Ya, kalau gitu ibu aja tolong yang kerjakan, ya. Rani udah kesiangan, Bu, sudah di telpon terus sama si Bos."

Iya, ponselku sedari tadi berdering dan saat kulihat di layar ada nama bos ku disana. Aku sedikit heran karena tidak biasanya bosku itu menghubungi secara langsung, biasanya dia akan meminta tolong sekretarisnya. Mau diangkat pun sudah keduluan kena omel Ibu mertua.

"Kamu, tuh, makin lama makin ngelunjak, ya! Perempuan itu dimana-mana ya harus dahulukan pekerjaan rumah sebelum mengerjakan yang lainnya."

"Ada apa, sih, ribut-ribut?" 

Akhirnya Mas Ilham bangun juga, mungkin telinganya udah risih mendengar ibunya ngomel-ngomel terus.

"Kasih tahu itu istrimu, Ham, suruh bangun lebih pagi biar kerjaan rumah beres sebelum dia berangkat kerja." 

Ibu masih saja mengomel meski beliau sudah berlalu dari hadapanku. Kenapa setiap hari selalu aku yang disalahkan, padahal hampir setiap hari aku bangun jam setengah empat. Mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri seperti menyapu dan mengepel rumah. 

Bahkan saat memasak pun aku juga masih harus menyambi dengan mencuci pakaian. Untungnya ada mesin cuci, kalau tidak bagaimana?

"Jam berapa, sih, ini? Kamu kok udah buru-buru gini?" 

Mas Ilham malah duduk di kursi teras, is mengangkat satu kakinya dan  terlihat belum sepenuhnya sadar sambil sesekali menguap.

"Udah jam tujuh, Mas, aku ada briefing di kantor pagi ini. Tuh liat orang kantor udah nelpon terus."

Aku menunjukkan ponsel yang kebetulan sedang berdering itu ke wajah Mas Ilham. Ada nama Septi, teman sekantorku disana. 

"Iya, Hallo."

"Iya…iya gue berangkat sekarang."

Wajahku cemas, Septi bilang bos sudah nungguin aku sambil marah-marah? Ada masalah apa? Gegas aku menaiki motor yang terparkir di teras rumah.

"Kamu, tuh, jadi suami yang tegas gitu lho Ham, istri salah itu harusnya ditegur bukan dibiarin aja." 

Masih kudengar omelan ibu yang tetap menyalahkanku. Biar aja, lah pekerjaanku lebih penting.

Namaku Rani Handayani aku menikah dengan Mas Ilham dua tahun yang lalu. Waktu itu aku mengenal Mas Ilham sebagai pribadi yang baik. Kami berpacaran hanya empat bulan dan dia langsung melamarku. Katanya sudah kadung cinta mati sama aku.

Setelah menikah kami memilih tinggal di rumah pemberian orang tuaku. Tahun-tahun pertama pernikahan kami sangat bahagia. Mas Ilham memperlakukanku bak ratu, ia bahkan tak segan membantuku menyelesaikan pekerjaan rumah.

Aku sendiri bekerja di sebuah perusahaan distributor makanan, posisiku di sana sebagai staf keuangan dengan gaji yang cukup lumayan. Mas Ilham sendiri awalnya bekerja sebagai sales supervisor di sebuah dealer mobil. Namun, sudah di phk sejak setahun yang lalu karena ada pengurangan karyawan.

Mas Ilham belum bekerja lagi, dengan alasan belum ada panggilan. Aku cuma diam, mungkin memang belum rejeki suamiku. Enam bulan lalu Mas Ilham meminta aku agar menampung ibunya di rumah ini. Alasannya, karena ibu tinggal sendirian di kampung. 

Mas Ilham merupakan anak tunggal, ayahnya sudah meninggal ketika dia masih duduk di bangku SMU. Sebagai istri yang baik tentu saja aku menyetujui rencana suamiku. Toh, orang tuaku juga sudah meninggal. Ibu meninggal sebulan setelah aku menikah sedangkan ayah menyusulnya seratus hari kemudian.

Bagaimanapun juga ibu mertua sudah aku anggap sebagai ibuku sendiri. Namun, sayangnya beliau malah menganggapku sebagai babu, bukan menantu. Setiap hari aku harus melakukan semua pekerjaan rumah sendirian, katanya itu sudah kewajibanku sebagi istri.

Aku melajukan motor matic menuju ke kantor, sejak tadi ponsel di saku jaket tak berhenti berdering. Setibanya di kantor aku sudah melihat mobil Pak Alvin, bosku sudah terparkir di sana. Tumben, biasanya Pak Alvin akan datang sekitar pukul sembilan atau sepuluh.

Memasuki ruangan aku disambut tatapan nelangsa dari Mira, rekan kerjaku. Apalagi saat melihatku dia kemudian menggerakkan tangannya melintang di depan leher. Aku yang bingung dengan sikapnya lalu mendekati dan berniat untuk bertanya apa maksudnya.

Namun, langkahku harus terhenti saat pintu ruang kerja Pak Alvin terbuka dan sosoknya menyembul dari balik pintu.

"Rani, ke ruangan saya sekarang." 

Suaranya begitu dingin, membuat bulu kudukku berdiri. Kesalahan apa yang sudah aku perbuat hingga bosku terlihat marah seperti ini.

Setelah meletakkan tas di meja, aku segera memasuki ruangan Pak Alvin. Hawa dingin sudah menyambutku begitu memasuki ruangan. Bukan karena suhu dari alat pendingin, bukan. Namun, hawa dingin dari aura yang terpancar di wajah Pak Alvin.

Lelaki itu menatapku tajam dari mulai aku memasuki ruangannya hingga aku berdiri di depan mejanya.

"Duduk!" Perintahnya datar.

"I-iya, Pak."

"Sudah berapa lama kamu kerja di perusahaan ini?" 

Aku seketika mendongak, berpikir sejenak kemudian menjawab pertanyaan pria ini.

"E-empat tahun, Pak," jawabku gugup.

"Sudah empat tahun, kan, harusnya kemampuanmu sudah sangat baik, tetapi kenapa kamu bisa seceroboh ini?" 

Aku terkejut ketika sebuah map mendarat di meja tepat di depanku. 

"Baca itu! Periksa! Cari tahu kesalahanmu dimana!?" 

Pak Alvi terlihat sangat murka, tanpa berkata apapun lagi aku meraih map berwarna biru tersebut kemudian membacanya. Laporan keuangan yang sudah ku susun dan kuberikan pada Pak Alvin waktu itu. Ada satu baris yang dilingkari dengan tinta warna merah, dan setelah kuamati dengan seksama ternyata ada kesalahan penulisan angka pada laporanku. 

Pantas saja Pak Alvin terlihat marah, ternyata aku sudah melakukan kesalahan saat membuat laporan itu.

"Ma-maaf, Pak, ini kesalahan saya." Aku mengakui kelalaian yang sudah aku lakukan.

"Sekarang cepat kamu revisi laporan ini, saya tunggu hari ini juga. Sekarang kamu boleh keluar, dan satu lagi kalau ada masalah tolong bersikaplah profesional."

Aku tertegun, bagaimana Pak Alvin tahu kalau akhir-akhir ini aku sedang ada masalah? Apa sikapku begitu kentara ya?

Bab 2

Akupun berpamitan keluar dari ruangan bosku dan kembali ke mejaku untuk merevisi laporan keuangan.

"Gimana?"

Tanya Mira saat melihatku keluar dari ruangan Pak Alvin, suaranya begitu lirih. Mungkin ia takut bos besar yang ada di dalam sana akan mendengar percapakan kami.

"Iya, aku salah bikin laporan, untung cuma disuruh revisi doang. Kalau dipecat mampus aku."

Benar, pekerjaan ini satu-satunya sumber penghasilanku. Gajinya cukup lumayan, mungkin itu sebabnya Mas Ilham jadi ogah cari kerja lagi. Tiap aku tanya jawabannya selalu sama.

"Aku udah berusaha cari kerja, Rin, kalau belum dapet ya belum rejekiku aja."

Begitulah alasan yang selalu dia ucapkan. Pernah aku menawarinya uang untuk modal agar dia buka usaha sendiri sesuai kemampuannya. Nemun, ia selalu menolak dengan berbagai alasan katanya takut nggak balik modal lah, katanya saingannya banyak lah.

Padahal yang namanya untung rugi itu pasti ada, kan. Asal niat aja pasti semua akan terlewati.

Aku kembali menekuri laporan keuangan di hadapanku, merevisi isinya sebelum nanti kuserahkan kembali pada Pak Alvin. Saat itulah aku mendengar ponselku bergetar, dan begitu kulihat ada notifikasi dari Mas Ilham.

"Rin, bisa transfer ke rekeningku sejuta aja."

"Buat apa?"

"Ada lowongan kerja di temanku, aku mau coba melamar kesana."

Aku mengernyitkan dahi, tumben dia mau cari kerja sekarang. Apa sekarang dia sadar kalau kebutuhan sehari-hari terutama kebutuhan pribadinya itu nggak bisa dibeli pakai daun. Namun, apa iya harus sebanyak ini? Mengingat kebutuhan dapur saja harus aku yang menanggung. Belum lagi kalau nanti ibu mertua juga ikut minta uang.

"Kok banyak, sih, Mas?"

Pesanku langsung terbaca dan terlihat Mas Ilham sedang mengetikkan balasan.

"Nggak usah banyak tanya kenapa, sih. Toh kalau aku udah kerja dan dapat gaji, kamu juga yang ikut menikmati hasilnya."

Benar juga, kalau dia kerja kan setidaknya ada tambahan pemasukan buatku, hingga aku tak perlu memutar otak sendiri.

"Ya udah tunggu, bentar lagi aku kirim."

"Nah, gitu , dong. Makasih ya, Sayang."

Tumben dia bilang sayang, biasanya aja selalu panggil namma gitu aja. Akhirnya uang satu juta aku kirim ke rekening Mas Ilham, semoga saja dia mendapatkan pekerjaan ini.

Pekerjaan hari ini selesai, laporan yag sudah kurevisi tadi sudah masuk ke meja Pak Alvin. Aku berjanji dalam hati untuk tidak membuat kecerobohan lagi lain kali. Untuk sekarang aku memang tidak mendapat hukuman hanya harus merevisi saja, kalau sampai terjadi lagi bisa-bisa aku dipecat dari pekerjaanku.

Akhirnya aku bisa pulang ke rumah setelah seharian lelah dengan pekerjaan di kantor. Aku ingin mandi air hangat setelah itu makan dengan lahap kemudian tidur. Ya, aku sangat lelah sekali, seharian berkutat dengan angka-angka membuat kepalaku pening.

Motor sudah kuparkir di teras rumah, lalu aku membuka pintu dan mendapati pemandangan yang membuat kepalaku serasa ingin meledak. Memasuki rumah aku menemukan lantai yang kotor dan berdebu, seperti tidak disapu. Aku melangkah ke dapur, disana di wastafel kulihat piring kotor menumpuk menunggu untuk dicuci.

Meja makan kosong, magic com dalam kondisi terbuka tanpa nasi. Hanya tinggal panci yang masih melekat di dalamnya dengan sisa nasi yang menempel di pinggirannya. Aku pun melangkah menuju kamar sambil menghembuskan napas berat, tiba-tiba aku mendengar pintu kamar ibu terbuka dan beliau keluar dari kamar dalam keadaan seperti bangun tidur.

"Kok baru pulang? Kemana aja? Buruan kamu masak ibu sudah lapar."

Apa ibu tidak bisa melihat kalau menantunya ini baru pulang kerja? Malah meyuruh seenaknya, aku kan juga butuh istirahat. Pulang ke rumah bukannya bisa istirahat malah masih harus kerja lagi.

"Kenapa bengong? Kamu lapar juga, kan?"

Ibu masih tidak memahami tatapanku, malah semakin menjadi menyuruhku. Aku malas berdebat, jadi aku segera memasuki kamar dan berganti daster rumahan. Kuurungkan niatku untuk segera mandi dan lebih memilih melakukan pekerjaan rumah.

Satu setengah jam kemudian semuanya sudah selesai. Rumah sudah aku sapu bersih, piring kotor sudah aku cuci. Dan makanan sudah tersedia di meja makan. Bukannya aku diam saja diperlakukan seperti ini, hanya saja aku malas kalau harus berdebat dengan ibu mertua. Tenagaku cukup habis hari ini.

Akupun pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri, rasanya segar saat tubuhku diguyur air hangat. Setelah berganti pakaian yang aku bawa ke kamar mandi, aku pun keluar dan menuju meja makan. Disana sudah ada ibu dan Mas Ilham, rupanya dia baru saja pulang entah darimana.

"Baru pulang, Mas? Gimana lamaran kerjanya?"

Mas Ilham hanya melirikku sekilas, setelah itu dia pergi begitu saja tanpa menjawab pertanyaanku.

"Mas?" Aku mencoba menghentikannya karena merasa sikapnya aneh sekali tetapi dengan cepat ibu menghalangiku.

"Sudahlah, Ran, suamimu itu capek jadi jangan ditanya macam-macam. Lagian kamu masak apa ini, kenapa cuma ada tempe, telur dadar sama oseng kangkung saja?"

"Memang kenapa, Bu? Ada yang salah?"

Ibu menatapku dengan geram.

"Masa kamu ngasih ibu makanan seperti ini?"

"Lho, kenapa dengan makanannya, Bu?" tanyaku heran.

"Jangan mentang-mentang kamu yang kerja, ya, ngasih makan mertua pelit gini."

Ibu menatap makanan yang aku masak dengan sinis, salahnya dimana? Apa karena aku cuma memasak sayur kangkung dan tempe goreng? Bukannya aku sengaja, tapi karena menu ini yang masaknya cepet nggak ribet. Lagian aku juga bikin telur dadar juga, kok.

"Ibu maunya apa?"

Aku mencoba bicara dengan lunak, barangkali saja ada makanan yang ibu inginkan. Orang tua biasanya gitu kan, kalau mau makan apa tingkahnya mirip anak kecil.

"Ibu sudah nggak selera makan."

Tiba-tiba ibu berdiri dan langsung pergi begitu saja. Aku yang sudah lapar dan lelah sejak tadi pun hanya bisa membiarkan tingkah ibu. Nggak sekali dua kali ibu bersikap seperti ini, sering merajuk jika masakan yang kubuat tidak sesuai seleranya. Padahal setahuku waktu di kampung dulu beliau tidak pilih-pilih makanan.

Serba salah jadinya, ya sudah biarlah terserah ibu mau makan apa tidak toh ada Mas Ilham. Pasti kalau mau minta apa-apa ngomongnya ke suamiku. Lebih baik sekarang aku makan karena perutku dari tadi sudah teriak-teriak minta diisi. Saat sedang menikmati makan aku melihat Mas Ilham keluar dari kamar, bajunya sudah ganti. Dia berjalan sambil mengelus perutnya, mungkin dia sudah lapar.

"Lho, ibu kemana?" Tanyanya sambil duduk, lalu mengambil piring dan menyendok nasi beserta lauk pauknya. Kukira tadi dia nggak akan keluar karena sempat mendiamkanku saat kutanya tentang lowongan kerja tadi.

"Ibu masuk kamar, nggak selera kayaknya lihat masakanku."

Mas Ilham terlihat menghentikan suapannya, kemudian melihat meja makan.

"Lagian kamu masak kayak gini, ya ibu nggak mau, lah." Ucapnya sambil meneruskan makan.

"Ya, kan ini menu yang cepat menurutku, Mas. Kamu tahu, nggak kalau pulang kerja tadi aku harus bersih-bersih rumah dulu, nyuci piring dulu terus ma…."

"Jadi kamu salahin ibuku kalau rumah kotor! Kamu nyalahin ibuku kalau nggak bersih-bersih rumah! Iya!"

Aku terkejut, tiba-tiba Mas Ilham melempar piring makannya kemudian berteriak-teriak seperti orang kesurupan.

"Lho aku tadi nggak ngomong kayak gitu, lho, Mas."

Aku berusaha membela diri karena kenyataannya aku tidak menyalahkan ibunya, meski aku menyayangkan kalau beliau tidak pernah membantuku mengurus pekerjaan rumah.

"Ada apa ini Ilham?"

Ibu sekonyong-konyong berlari keluar dari kamarnya, mungkin terkejut mendengar suara gaduh yang ditimbulkan anaknya.

"Kamu harus bisa menghargai ibuku, Rani! Wajar, kan, kalau ibuku tidak membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Karena semua itu tugasmu! Tugasmu sebagai istriku."

Mas Ilham marah sambil mengarahkan telunjuknya ke wajahku.

"Sudahlah, Ilham. Sudah, Nak, ibu minta maaf ibu yang salah. Seharusnya ibu bantu Rani bersih-bersih, ibu harusnya sadar kalau ibu cuma numpang disini."

Ibu terlihat menangis sambil memegang lengan Mas Ilham. Namun, saat ibu menoleh ke arahku aku bisa melihat kalau ada senyum tersungging di bibir ibu. Senyum yang sepertinya senang karena Mas Ilham bertengkar denganku.

"Maafkan ibu ya Rani."

Ibu pun mendekatiku, dan terlihat wajahnya tidak menunjukkan penyesalan seperti ucapannya tetapi malah melirik sinis ke arahku.

Bab 3

Pagi ini aku bangun lebih awal dari biasanya, pukul tiga pagi bersamaan dengan bunyi ayam yang berkokok. Setelah membersihkan muka aku melangkah menuju dapur kemudian membuka lemari es. Memeriksa iso di dalamnya sebelum memutuskan untuk memasak.

Kulihat hanya ada sisa telur semalam, sayur sawi dan wortel juga sepapan tempe. Aku menghela napas berat, mesti belanja dulu ini, padahal niat bangun awal agar pekerjaan rumah cepat beres malah batal. Soalnya kalau harus belanja dulu harus nunggu jam empat pagi dulu baru bisa belanja. Sebab, warung yang jual sayuran bukanya mulai jam empat pagi.

Akhirnya aku merebus air untuk membuat kopi lebih dulu, kemudian memasukkan cucian kotor ke dalam mesin cuci. Setelah itu menyapu seluruh rumah. Tepat jam empat lebih kima belas menit aku keluar untuk membeli sayuran di warung tak jauh dari rumah.

"Bu, beli ayam sekilo, udang seperempat sama ikan tongkol satu, ya." ucapku pada Mbak Ita, penjual sayuran sambil tangan memilih sayur yang ingin aku masak.

"Siap, Mbak Rina. Eh, Mbak, kemarin ibu mertua sampean ambil ayam sekilo sama daging sekilo, katanya nanti Mbak Rina yang bayar."

Aku menghentikan gerakanku memilih sayur dan terong karena terkejut mendengar ucapan Mbak Ita barusan.

"Ambil apa, Mbak? Daging sama ayam?"

Seingatku dua bahan ini nggak ada di kulkas, lalu lari kemana bahan-bahan tersebut. Apa habis mereka makan begitu saja, pantas saja sepulang kerja kemarin cucian kotor menumpuk di wastafel.

"Iya, katanya Mbak Rina nggak ngasih ibu uang belanja, ya beberapa hari ini?"

"Masa, sih, kok nggak kasihan ya sama mertuanya. Mbak Rina, meski suami masih nganggur tapi sudah kewajiban kita, kan sebagai istri ikut membantu keuangan. Jangan malah dibiarin aja nggak dikasih makan, dzolim itu namanya, Mbak."

Tiba-tiba Bu Jaenab sudah berada dibsampingku dan ikut nimbrung pembicaraan kami. Sejak kapan aku mengabaikan makan suami dan mertuaku. Mau menjelaskan pun juga percuma mereka pasti nggak akan percaya.

"Memang belanjaan ibu kemarin berapa, Mbak, biar saya bayar sekalian."

Aku urung membeli sayuran dan memilih menyudahi belanja, malas kalau harus meladeni tukang ghibah satu ini.

"Totalnya dua ratus lima puluh ribu, Mbak."

Aku segera mengeluarkan uang dari dompet dan memberikannya pada Mbak Ita, setelah itu lekas-lekas membawa belanjaan dan pulang.

Sepanjang perjalanan aku tak henti berpikir, kenapa ibu mertua sampai harus berhutang di warung, bahkan menjelek-jelekkan diriku seolah aku menantu yang pelit. Padahal setiap apa yang ibu mau aku berusaha menuruti.

Aku sampai di rumah dengan wajah dongkol, saat melewati kamar aku mendengar kasak kusuk dari dalam kamarku.

"Sebentar, Bu, Ilham belum nemu dimana Rani menyembunyikan surat rumah ini."

Aku mendengar suara Mas Ilham bicara soal surat rumah, dan saat aku mencoba untuk mengintip terlihat Mas Ilham mengeluarkan semua pakaian yang ada di lemari.

"Cari bener-bener, buruan keburu istrimu pulang."

Ibu juga terlihat membantu Mas Ilham mengeluarkan pakaian, sambil tangannya merogoh seperti mencari sesuatu. Mereka sepertinya tidak menyadari kalau aku sedang mengintip dari balik pintu. Aku mengendap kembali ke pintu depan yang sejak tadi belum kututup lagi, lalu pura-pura menutup pintu.

Terlihat ibu keluar dari kamarku dengan tergopoh-gopoh.

"Eh, Rani kamu baru pulang belanja?"

Terdengar suara ibu gemetar, mungkin terkejut mendengar aku yang tiba-tiba pulang.

"Iya, Bu. Kok Ibu keluar dari kamar Rani? Ada apa?"

"Oh, i-itu tadi ibu mau bangunin Ilham karena, karena kompor di dapur nggak bisa nyala, iya itu."

Kulihat ibu bicara sambil memilin ujung bajunya, kentara sekali kalau sedang gugup.

"Teruss, Mas Ilhamnya sudah bangun, Bu."

Aku berniat untuk melihat Mas Ilham di kamar, tetapi tanganku keburu dicekal oleh ibu.

"Jangan masuk, anu, itu biarin aja nggak usah ganggu Ilham. Mungkin sekarang kompornya sudah bisa nyala. Ayo, kita lihat."

Ibu menyeretku agar mengikutinya ke dapur, aku tahu beliau melakukan ini agar aku tidak tahu kalau kondisi lemariku yang berantakan karena ulah mereka tadi.

Saat di dapur ibu langsung memutar kenop kompor dan hasilnya kompor tadi langsung menyala.

"Oalah, lha kok sekarang bisa nyala, ya. Lha tadi itu kenapa?"

Aku tahu ini hanya alasan ibu saja, sebab tidak ada masalah sama sekali dengan kompor ini.

"Ada apa, sih?"

Kulihat Mas Ilham keluar sambil mengucek matanya, aku bisa melihat kalau dia pura-pura baru bangun tidur.

"Ini, lho Ham tadi ibu mau masak air kompornya nggak nyala-nyala. Ibu bagunin kamu tapi nggak bangun-bangun padahal sudah ibu goyang sama gelitikin pinggang kamu. Ternyata sekarang kompornya sudah bisa nyala."

"Oh, kirain ada apa, kok sudah rame pagi-pagi. Ya sudah, Ran, buatin aku kopi.'

Mas Ilham kemudian terlihat menuju ruang depan, aku pun segera membuatkannya kopi. Meski dalam hati bertanya-tanya apa yang coba mereka sembunyikan. Dan kenapa mereka harus mencari surat rumah ini. Apa jangan-jangan mereka mau menjualnya.

"Sini, Ran, kamu belanja apa biar ibu bantu masak."

Ibu terihat membuka kresek belanjaan yang tadi aku bawa dan memgeluarkan isinya.

"Kita bikin ayam kecap aja, ya, Ran."

Ibu kemudian meletakkan ayam yang kubeli tadi ke wadah baskom, setelah itu mencucinya. Heran saja, selama beberapa bulan tinggal disini baru hari ini Ibu mau membantuku masak.

Aku membiarkan saja, mumpung ibu lagi mU bantu. Lumayan, kan, menghemat tenagaku.

"Kalau gitu Rani mandi dulu, ya, Bu.

"Iya, kamu mandi aja biar hari ini ibu yag masak."

Aneh, aku semakin merasa curiga. Begitu cepat perubahan yang terjadi pada sifat ibu. Boro-boro masak, aku belum menyelesaikan pekerjaan rumah saja ibu selalu mengomel saat akan berangkat kerja.

Aku lantas menuju kamar, tidak ada pakaian berserakan di kasur. Saat kubuka lemari pun kondisinya sudah tertata lagi meski tidak rapi. Dan itu menunjukkan kalau tadi ibi sengaja mencegahku masuk agar Mas Ilham bisa membereskan pakaian.

Untungnya almarhum papa dulu pernah membuatkan aku tempat rahasia untuk meyimpan berkas penting dan barang berharga. Tempatnya di bagian bawah ranjang kamarku, disana ada satu ruangan berbentuk persegi. Untuk membukanya ada tombol yang tertutup kayu, letaknya di balik ranjangku. Untuk menjangkau tombol ini aku hanya perlu merogohkan tanganku ke kolong ranjang dan menekan sedikit kayu penutupnya.

Dimana letak tombol tersebut hanya aku dan almarhum papa yang tahu. Mengetahui kejadian Mas Ilham yang mengobrak-abrik lemari pakaian hanya untuk mencari surat rumah ini, membuat aku bersyukur ayah membuatkan tempat rahasia untukku. Karena, meski mereka mencari sampai jungkir balik pun mereka tidak akan bisa menemukannya.

Meski begitu aku harus bersikap waspada, bukan tidak mungkin suatu saat nanti mereka akan menemukan tempat rahasia ini. Untuk itu aku harus cepat-cepat mengamankan surat dan barang-barang berharga yang kusimpan disana. Aku harus memindahkannya ke suatu tempat.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!