NovelToon NovelToon

Sebelum Berpisah

Chapter - 01

"Oh, my God, Isn't that your husband?"

Lembar Putih Ayunda, terdiam mendengar bisikan waswas dalam benaknya. Padahal sesaat sebelumnya, ia merasa sangat senang karena mendapatkan project kerja sama dengan galeri miliknya.

Galeri yang benar-benar menyita waktu dan pikirannya, namun tidak untuk hari ini. Ayunda mengambil cuti untuk berlibur, sehingga ia tidak lagi mendengar bunyi telepon yang berdering, hal itu membuat pikiran Ayunda terasa sangat damai, benaknya melayang-layang bersama angin sepoi-sepoi di tengah keindahan pesona lereng gunung merapi di Sleman, Yogyakarta. Sementara sentuhan ringan dari seorang pria berdarah Jawa nan seksi yang duduk di sebelah kanannya terasa sangat lembut membelai telapak tangannya.

Ayunda sangat menikmatinya, bahkan ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri 'apa mungkin kali ini…'

Yah, tidak perlu diteruskan.

Ia menggeleng meminta maaf kepada Djiwa, pria Jawa seksi yang tengah dekat dengannya. "Maaf aku harus pergi sekarang," ucap Ayunda, kemudian Ayunda beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan cafe di ikuti oleh Nindyra (sahabat, asisten, dan pengganggu abadinya).

Baru saja ia keluar dari cafe, Ayunda memberi isyarat kepada Nindyra dengan lirikan matanya. Ia tahu berbagi cerita tentang Samudra akan menjadi bumerang untuk dirinya, tetapi sangat mempercayai Nindyra, sehingga ia menceritakan semua masalah pribadinya pada Nindyra.

'Pria itu tinggal di Jakarta, kalau pun ia pergi ke luar kota, tentu semua orang akan mengetahuinya lewat media,' batin Ayunda, meyakini dirinya.

Ya dari media infotainment lah Ayunda dengan mudah mengikuti Samudra dengan detail, mulai dari persoalan hubungan asmaranya, keberhasilan finansial, dan petualangan Samudra sehari-hari. Tanpa perlu repot-repot ia bertanya pada orangnya secara langsung atau menyuruh seseorang mengikutinya.

Ia memiliki media infotainment yang memberitahunya bagaimana Samudra menjalani hari dan dengan siapa Samudra menghabiskan malam. Bahkan tadi malam ia membaca kabar jika Samudra bertemu pengacaranya di BSD, Tangerang.

Nindyra mengerucutkan mulutnya tanda tidak yakin. Tatapannya tertuju pada kios di seberang jalan. “Hmm, orang itu benar-benar kelihatan seperti dirinya," ucap Nindyra.

"Namun mengapa seperti tunawisma di stasiun tugu, sama sekali tidak terlihat seperti aktor, apa dia sedang menyamar?" lanjutnya.

“Dengan makan dari tempat sampah?” Ayunda mencoba menahan tawa. "Ya sudah yuk, kita jalan lagi."

Perjalanan mereka sempurna, berlibur merupakan pilihan tepat untuk mereka berdua, karena mereka sangat membutuhkan kehidupan di luar galeri setelah setahun full mereka bekerja tanpa libur.

Mereka menghabiskan malam yang panjang di pusat kota Malioboro sambil menikmati wedang jahe di angkringan. Di tengah lalu-lalang para wisatawan, sekilas Ayunda kembali melihat orang asing yang mirip suaminya, seketika ia pun langsung mengenyahkan bayangan itu jauh-jauh.

'Aku telah melupakan masa laluku, sejak lama. Sungguh!' batinnya.

Namun ia tidak bisa menahan diri untuk sekali lagi melihat sekilas ke arah lalu-lalang wisatawan tadi. Ia dihantui oleh rasa penasaran, ia tetap ingin melihat.

Tatapannya tanpa berhenti menyusuri pria-pria wisatawan tersebut, namun ia tak menemukan pria yang mirip dengan Samudra.

"Bagus lah, itu hanya halusinasiku saja."

Alis Nindyra kembali mengendur "Apa ada masalah?" tanya Nindyra yang menyadari perubahan raut wajah Ayunda.

“Tidak ada,” tukas Ayunda sembari dengan tak acuh mengibaskan tangan.

Sebenarnya memang ada masalah tentang bayangan suaminya yang terus menghatuinya, namun ia enggan mengungapkannya. Ia ingin membiarkannya menguap di bawah memori kehidupan yang telah ditinggalkan Ayunda.

"Eh.." Ayunda tersentak saat Djiwa menyentuh lengannya. "Kamu mengikutiku?" tanya Ayunda.

"Ini adalah tempat makan favoritku, sepertinya kita di takdirkan bersama sehingga kita bertemu lagi," Djiwa menggoda Ayunda dengan menyentuh lengan tangan Ayunda, kemudian berjalan ke titik denyut nadi di pergelangan tangannya, tapi Ayunda tidak bereaksi apa-apa.

Bukan berarti Djiwa tidak menarik, sebenarnya Djiwa sudah membuat Ayunda terpesona, hanya saja ada sesuatu yang telah lama mati di dalam diri Ayunda untuk kembali hidup.

Djiwa mengambil satu porsi nasi kucing dan beberapa tusuk sate, "Kamu mau makan lagi?" tanya Djiwa.

"Tidak, sudah cukup." tolak Ayunda.

"Baiklah," Djiwa pun menikmati makan malamnya, sambil berusaha membuat gombalan-gombalan lucu untuk Ayunda.

Nindyra menggelengkan kepalanya mendengar gombalan Djiwa kepada Ayunda, yang di nilainya agak sedikit norak, namun ia mengabaikannya karena sepertinya Ayunda menikmati gombalan tersebut.

Tak lama kemdian Nindyra mencondongkan tubuhnya ke arah Ayunda, kemudian ia bebisik "Raden akan kemari, apa kau keberatan kalau aku pergi bersama Raden?”

Dengan cepat Ayunda menggelengkan kepalanya "Apa dia sudah datang?" tanya Ayunda.

"Tuh baru saja parkir," Nindyra menunjuk ke arah Raden yang tengah merapikan jaketnya. Kemudian ia menghampiri Nindyra dan menyapa Ayunda dan Djiwa.

Sebelum melangkah meninggalkan angkringan, Nindyra menggenggam tangan Ayunda "Kau yakin tidak apa-apa aku tinggal?" tanyanya sekali lagi.

Ayunda tersenyum lebar “Tentu saja! Pergilah bersenang-senang.”

Saat Nindyra dan Raden pergi meninggalkan Ayunda, Djiwa berbisik "Sekarang kau tinggal sendiri, Cantik.”

Bagi setiap wanita normal di planet ini, kegembiraan Djiwa saat melihat seorang wanita bersuami seorang sendiri akan terdengar seperti ungkapan penuh dosa.

Ayunda membalas tatapan seksi pria itu, ia menghela napas dan mengulaskan senyuman yang dikhususkan untuk situasi ini. Senyumannya santai dan penuh rahasia. Ditampilkan dengan halus tanpa terang-terangan menolak, cukup hingga membuat sang perayu tahu kalau usahanya sia-sia, tanpa benar-benar merasa menghina.

Penolakan seperti ini sudah biasa untuk Djiwa, tapi Djiwa tetap tidak terpengaruh, ia tetap berusaha mendekati Ayunda.

Yah, Ayunda sudah seringkali memperingatkan pria itu. Dan sejujurnya, belaian ibu jari Djiwa di atas tangan Ayunda bukanlah sesuatu yang tidak bisa Ayunda abaikan.

"Bagaimana jika kita jalan-jalan?" ucap Djiwa setelah ia menghabiskan suapan nasi kucing terakhirnya.

"Boleh," Ayunda menganggukan kepalanya, kebetulan tadi saat hendak menuju angkringan ia melihat ada penjual kaki lima yang menjual lukisan.

Keduanya berjalan kaki menelusuri jalanan Malioboro, hingga langkah kaki Ayunda terhenti di depan jejeran lukisan yang tengah di jual oleh seorang seniman jalanaan.

"Wow indah sekali," Ayunda mendekat ke arah satu lukisan bertema floral dengan perpaduan warna hijau, biru, kuning, oranye, menciptakan gradien warna yang tampak cantik. Ia di buat takjub dengan lukisan tersebut.

"Menurutku ini tidak ada apa-apanya dengan lukisan buatanmu yang berjejer di galerimu," ucap Djiwa.

"Aku mau tau siapa pelukisnya,"

"Untuk apa?" tanya Djiwa.

"Bulan depan aku akan mengadakan pameran pertama di Jakarta, aku ingin mengajak pelukis ini berkolaborasi," ucap Ayunda sangat bersemangat.

Ia pun menghampiri pemuda penjual lukisan tersebut, namun sayangnya bukan dia orang yang melukis lukisan tersebut.

"Ini kartu nama saya, tolong suruh pelukis lukisan itu menghubungiku secepatnya, aku punya tawaran bagus untuknya." Ayunda memberikan kartu namanya kepada pejual lukisan, dan tak lupa ia pun membeli lukisan yang telah membuatnya takjub.

"Sudah malam, aku harus pulang. Aku ingin membuat sketsa rencana untuk sebuah pameran di Jakarta nanti," ucap Ayunda kepada Djiwa.

"Okay, baiklah"

Dengan sigap Djiwa membantu Ayunda membawakan lukisan yang ia beli, menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari sana.

"Mau kau apakan lukisan ini? bukankah kau memiliki banyak lukisan?" tanya Djiwa sambil menyakan mesin mobilnya.

"Aku akan memajangnya di dinding ruang tamu rumahku," jawab Ayunda.

Tiba-tiba perhatian Ayunda tersentak kepada Djiwa dan sentuhan yang sama sekali tidak bisa diabaikan. Sentuhan yang tadinya bermula di telapak tangan kini telah berpindah ke pergelangan tangan, dan sekarang bergerak lagi, diam-diam ke lekuk sikunya dan tanpa ragu terus bergerak melewatinya.

Rasa jengkel muncul di dalam dirinya saat melihat jemari Djiwa mengusap kulit yang sayangnya mati rasa oleh godaannya.

Jika penolakan halusnya tadi tidak berhasil, maka saat ini Ayunda harus bertindak tegas. Ia memejamkan mata, dan bersiap untuk melepas semburan kata-kata tanpa perasaan dan tanpa basa-basi.

Namun, di menit berikutnya, udara di sekelilingnya seolah berubah. Saat Djiwa menepikan mobilnya di depan kediamannya, Ayunda seperti tersengat arus listrik yang bergulir di permukaan kulitnya, membuat setiap rambut halusnya berdiri dan sarafnya semakin peka.

Jemari Djiwa berhenti di tempat, dan mata Ayunda membelalak saat satu tangan yang kuat dan lebar melingkari bahunya dan dengan lembut mengulaskan belaian posesif hingga ke lehernya.

Tok... Tok... Tok...

Pintu kaca jendela mobil Djiwa di ketuk oleh seseorang dari luar mobil.

Oh, Ya Tuhan. Ayunda sama sekali tidak salah.

Ayunda mengerang dengan menekan udara dari dadanya, mendorong satu nama yang ada di ujung lidahnya. “Samudra.”

Chapter - 02

Tok... Tok... Tok...

Pintu kaca jendela mobil Djiwa di ketuk oleh seseorang dari luar mobil.

Oh, Ya Tuhan.

Ayunda mengerang dengan menekan udara dari dadanya, mendorong satu nama yang ada di ujung lidahnya. “Samudra.”

Ayunda bergegas keluar dari mobil Djiwa, dan kemudian di ikuti oleh Djiwa yang juga ikut turun dari mobilnya karena rasa penasaran pada pria yang mengetuk pintu mobilnya.

"Hei, Honey. Masih ingat dengan aku?”

Ayunda terdiam meyakinkan diri jika di hadapannya kini benar-benar pria yang masih berstatus suaminya.

"Coba tahan dulu perasaanmu padanya, kita kan belum selesai sayang.” Tawa serak Samudra, dalam dan penuh percaya diri, terdengar di telinga Ayunda sesaat sebelum bibir Samudra menyentuh kulit lembut di bawah anting telinganya.

Ayunda tersentak mendengar ucapan itu, bukan karena sensasi geli yang menyusuri kulitnya, lalu dengan refleks Ayunda mencengkeram tangan Djiwa yang kini telah berada di sampingnya.

'Bagaimana Samudra bisa datang kemari? Aku tak melihat berita tentang kepergiannya di media mana pun hari ini,' batin Ayunda.

“Apa yang kau lakukan di sini?”

“Aku tidak akan membiarkanmu mengabaikanku seperti yang telah kau lakukan tiga tahun yang lalu.”

Mulut Ayunda menganga, pertama karena ucapan Samudra, dan yang kedua karena Djiwa tiba-tiba saja berdiri di hadapan antara dirinya dan Samudra, karena menganggap cengkeraman tangannya tadi sebagai isyarat dirinya meminta tolong kepadanya.

'Oh, tidak. Bukan bukan itu maksudku,' batin Ayunda.

Tinggi badan Djiwa mungkin menyamai tinggi badan Samudra, tapi Djiwa terlihat jauh lebih berotot. Bagaimana tidak, Djiwa adalah seorang pelatih ilmu bela diri. Berbeda halnya dengan Samudra, olahraga yang sering ia lakukan hanyalah berenang, dan berselancar.

Namun malam itu Samudra berdiri dengan gagah berani sembari menunjukan sikap posesifnya kepada Ayunda.

'Pria ini seharusnya berada di Jakarta, menikmati popularitasnya sembari memantau perkembangan investasi properti terbarunya,' batin Ayunda.

"Pergilah. Aku harus bicara dengan istriku," Samudra menyingkirkan tubuh Djiwa dengan satu tangannya.

"Uhhuuk," Ayunda batuk, tersedak oleh sikap berani Samudra.

Sudah bertahun-tahun ia dan Samudra berpisah, Samudra pikir dirinya siapa? “Cukup, Samudra!!”

Yang akan didapatkan Ayunda hanyalah terjebak dalam pernikahan yang mengerikan, dan hilangnya kehidupan yang tenang ketika bersama Samudra.

Ayunda tidak akan membiarkan hal itu terjadi terjadi lagi. Tidak akan.

Djiwa mulai menarik Ayunda ke sisinya, tapi ketika menyadari ketegangan pada sorot mata Samudra, Ayunda dengan cepat menggeleng kemudian menoleh ke arah suaminya. “Jangan membuat keributan di depan rumahku, Samudra.”

Ayunda mengelus Djiwa dengan lembut, sikap mesra yang ditujukan untuk menenangkan teman kencannya, sekaligus memberikan sebuah pesan kepada Samudra.

'Lihat aku. Lihat apa yang aku lakukan? Lihat kekasih yang tampan ini?' batin Ayunda

Ayunda memandang Djiwa dengan saksama. Pria tampan bagi standar wanita mana pun yang waras. Ayunda memnadang Djiwa dengan tatapan yang di harapkan oleh Djiwa yaitu tatapan seolah penuh kekaguman, Ayunda menempelkan telapak tangannya di dada Djiwa.

“Djiwa, tolonglah,” gumamnya. “Beri kami waktu sepuluh menit untuk bicara.”

Ketegangan menghilang dari wajah Djiwa, berubah menjadi ekspresi datar.

Djiwa tersenyum, ia melepaskan tangan Ayunda dari dadanya, kemudian memberikan kecupan di punggung tangan Ayunda, dan membiarkan Ayunda pergi berbicara dengan Samudra.

Ayunda mengikuti Samudra yang berjalan masuk ke dalam kediamannya.

“Wow, Ayunda. Yang tadi itu luar biasa.”

Melihat suaminya berada di hadapannya, Ayunda terdiam, ia terpana oleh pandangan pertamanya pada pria yang dulu pernah mengisi hidupnya. Samudra, memiliki tubuh tinggi, bidang, dan ramping dengan proporsi yang tepat. Garis wajah yang terpahat kuat dan bibir yang tegas. Mata cokelat tajam yang bisa sekeras tanah beku atau sehangat cokelat leleh, berkilau geli di balik helaian gelap rambut yang tidak pernah rapi.

Samudra adalah pria tampan yang santai, percaya diri, dan memesona, segala sesuatu yang tidak Ayunda butuhkan, dan sedang berdiri di hadapan Ayunda, di teras rumahnya.

Samudra seharusnya kau tidak terlihat sama. Apalagi setelah sekian lama.

“Maaf soal pacarmu,” ujar Samudra sembari menyunggingkan bibirnya dengan masam, yang bisa di artikan jika Samudra tengah cemburu.

Namun Ayunda menafikan hal itu, ia tidak ingin tahu lagi tentang perasaan Samudra, tak ingin lagi mengingat kembali setiap kebersamaan atau kesenangan yang telah mereka bagi, dan tidak ingin memikirkan apa yang telah terjadi di masa lalu.

Ia hanya ingin bangkit. Itulah sebabnya ia telah mengajukan surat gugatan cerai.

Sambil menggeleng, Ayunda bertanya, “Apa yang kau lakukan di sini?”

Samudra, menatap Ayunda dalam - dalam, hingga mata mereka saling bertemu. “Bukankah itu sudah jelas? Aku ke sini untuk mengajakmu pulang.”

Chapter - 03

Tatapan mata Samudra berhasil menembus pertahanan diri Ayunda, padahal sebelumnya Ayunda yakin sekali telah berhasil melupakan Samudra. Sehingga ia mengajukan surat gugatan cerai tanpa obrolan dan pemberitahuan kepada Samudra.

Selain itu Ayunda juga menolak bekerja sama dengan Samudra, bahkan setelah Samudra dengan murah hati menawarkan pertemuan untuk membahas rumah tangganya, Ayunda memilih untuk pergi jauh ke Eropa untuk menghindari pembicaraan dengannya.

Ayunda mengibaskan rambut di bahunya dengan gerakan ringan dan santai. Satu hal yang selalu Samudra sukai, helaian rambut panjangnya yang diikat dan tersampir sehalus sutra hitam di punggungnya, sangat kontras dengan kulitnya yang terang.

Ayunda yang manis, lembut, dan seksi.

Ayunda adalah semua yang Samudra inginkan, dan pernah menjadi miliknya. Perasaan Samudra tidak pernah sangat membara seperti ini kepada seorang wanita sebelum atau sesuadah mengenal Ayunda. Namun kini hubungannya dengan Ayunda telah hancur dan sulit untuk diperbaiki.

Ayunda sudah hancur. Mereka telah mengambil jalan masing-masing dan prioritas hidup Samudra pun telah berubah. Akhirnya ia menjadi lebih terbiasa berpisah ketimbang bersama.

Samudra telah melanjutkan hidupnya. Dan berusaha sangat keras untuk itu. Namun, ketika kembali melihat Ayunda... wanita itu sungguh terlalu cantik, dan senyuman itu begitu manis.

“Kamu mau membawaku pulang?” tanya Ayunda.

Samudra membuka mulut untuk mengklarifikasi, tapi lalu menyeringai ketika Ayunda terlihat jelas menunggu tanggapannya.

“Apa kau sudah gila? atau sedang dibawah pengaruh obat? atau minuman? Aku tidak mau pergi bersamamu.”

“Tenang, Ayunda. Maksudku, kita duduk bersama untuk berunding. Tentang penyelesaian yang dapat diterima. Karena tidak mungkin kita berpisah begitu saja," ucap Samudra.

Terkadang Samudra sudah muak dengan keengganan Ayunda untuk mempertimbangkan sudut pandang apa pun selain pendapat dirinya sendiri.

Ayunda sudah banyak membuang buang waktu. Waktu milik pengacara mereka, waktu miliknya. Dan kini Samudra sudah tidak ingin hanya duduk diam sementara Ayunda terus menjauhinya. Ia ingin adanya penyelesaian sehingga ia bisa melanjutkan hidup dengan tenang.

Sambil melipat tangan di dadanya dengan gerakan lambat, mantap, dan tegas, Ayunda melotot ke arahnya. “Tidak mungkin berpisah begitu saja?”

Samudra mempertegas sikapnya, menampilkan ekspresi senatural mungkin untuk menunjukkan kalau dirinya tidak ingin bicara omong kosong. “Ya, kita memang tidak akan berpisah begitu saja."

Ayunda berdiri menatap Samudra, matanya melebar begitu menyadari bahwa ia tidak tertarik untuk bermain-main. Atau mungkin bukan begitu, karena kemudian mata lebar itu mulai memicing seperti sedang menilai sesuatu dengan tajam.

Ayunda mendekat ke arah Samudra dan menatapnya. “Aku ingin cerai, aku tidak membutuhkan izinmu untuk melakukan apa pun, Samudra. Aku sudah tidak membutuhkannya selama bertahun-tahun. Mungkin kau ketinggalan berita, tapi kini aku seorang profesional mandiri yang membangun karier sukses dengan pikiranku sendiri. Aku tahu apa yang kuinginkan. Aku tahu apa yang kubutuhkan. Sama seperti aku tahu apa yang tidak kubutuhkan.”

Ayunda biarkan makna ucapannya menggantung, hantaman kata-kata itu mengenai sasaran tanpa perlu diucapkan.

“Ya, selamat atas pemikiran mandiri itu, Ayunda, kau berhasil membangun galeri di Jogja, tapi aku tidak peduli."

"Dengar, aku tahu kau belum pernah menggunakan rekening bersama kita sejak kau menyelesaikan pendidikanmu, dan semua yang telah kau capai bersama galeri itu adalah hasil usahamu. Dibutuh kan banyak akal dan kepintaran untuk melakukan apa yang telah kau lakukan. Tapi kau tidak menggunakan akal itu dalam masalah kita."

Tatapan Ayunda berubah menjadi sangat fokus, Samudra berhasil menarik perhatiannya. “Kau menghasilkan pendapatan yang lebih besar dari yang diharapkan. Mendapatkan laba yang tinggi, tapi coba pikirkan fluktuasi ekonomi. Pikirkan hidupmu sendiri kalau kau ingat seberapa cepat kejadian tak terduga dapat mengubah semuanya. Bukankah kau pernah mengalaminya, Ayunda”

“Aku akan pulih. Atau memulainya lagi. Aku pernah melakukannya. Dan kalaupun aku tidak bisa, itu bukan urusanmu.” ucap Ayunda.

Itulah letak kekurangan Ayunda. Samudra mungkin tidak tahu cara menjadi suami yang Ayunda butuhkan, tapi ia yakin sekali ia tahu apa itu tanggung jawab dan kewajiban. Karena itulah ia tidak akan membiarkan masalah ini terus ada. “Bagaimana kalau ini bukan semata-mata masalah bisnis? Bagaimana kalau kau menikah lagi, punya anak? Bagaimana kalau orang yang kau cintai membutuhkan lebih dari sekadar kemandirian yang bisa kau berikan? Ini bukan tentang kau dan aku. Ini tentang kepraktisan. Melakukan hal yang cerdas.”

Ayunda meringis mendengar penjelasan tentang masa lalu mereka. Namun bahkan tidak berkedip ketika Samudra menyebutkan tentang ancaman bagi keluarga di masa depannya. Seolah-olah masa lalu itu tidak pernah ada sebelumnya.

“Baiklah, bagaimana kalau kau tidak menikah lagi dan sesuatu terjadi padamu? Apa kau ingin meneleponku dari kasur rumah sakit untuk meminta bantuan?” Samudra tahu jawabannya tidak.

Sama seperti Ayunda yang tahu bahwa tak peduli berapa tahun yang telah mereka lewati, jika ia membutuhkan apa pun, yang akan ia lakukan adalah meminta bantuannya dan Samudra pasti akan selalu memenuhinya. Masalahnya adalah, Ayunda tidak akan pernah meminta. Jadi Samudra ingin agar Ayunda mengambil uangnya sekarang.

Ayunda beranjak dari tempat duduknya, ia melihat Djiwa masih menunggunya di luar pagar rumahnya.

Hei, apakah Ayunda ingin mengusirnya dan melanjukan kencannya dengan pria itu? Persetan dengan itu.

“Uang itu juga milikmu, Ayunda, dan kau akan mendapatkannya. Karena jika tidak, kau harus melupakan semua rencana yang kau miliki untuk lepas dariku. Pengacaraku akan membuat tetap terikat di pengadilan selamanya.”

Samudra akan kesulitan untuk masalah yang satu ini. Namun ia sudah kepalang basah. Ia pernah mengecewakan Ayunda, tapi ia tidak akan gagal dalam hal ini. Tak peduli seberapa ingin Ayunda berseteru, Ayunda akan mengambil uang itu. “Dan pengacaraku juga akan mempermasalahkan galerimu.”

Tubuh Ayunda menjadi kaku dan perlahan-lahan ia berbalik menghadap Samudra. “Dasar baj*ngan.”

“Ya, memang,” Samudra menyetujui itu dengan pasrah. “Tapi aku seorang baj*ngan yang memikirkan kebaikanmu. Ayolah, Ayunda, jangan melawanku dalam masalah ini.”

Ayunda mengembuskan napas panjang dan merapikan pakaiannya. “Sepertinya aku tidak punya banyak pilihan, kan?”

“Tidak.” Namun Samudra pun sama. Tidak setelah apa yang ia lakukan. Namun jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa tidak peduli seberapa besar keberuntungannya, itu masih tidak akan cukup bagi Ayunda.

Samudra mengembuskan napas berat. “Aku tidak ingin bertengkar denganmu, Ayunda. Dulu kita saling mencintai dan bergandengan tangan bukan? Bahkan di akhir kebersamaan kita.”

Samudra ingin masalah ini selesai dengan cepat. Ia tidak akan menyia-nyiakan alasan yang didapatkan dari gertakan soal galeri tadi. “Waktunya tepat. Kau punya waktu luang selama seminggu yang kebetulan bertepatan dengan jeda di jadwal syutingku. Kita bisa mendapatkan penyelesaian sebelum hari Jumat depan. Siapa tahu, kalau kita bersungguh-sungguh."

“Ini adalah waktuku untuk libur setelah satu tahun aku bekerja keras di galeri, jadi kau jangan mengacaukannya."

Samudra meraih lengan Ayunda, tapi Ayunda menghindari sentuhannya. Wanita itu kembali menyibukkan diri dengan tasnya, meskipun tampak jelas tidak ada yang ia cari. Ketika mendongak, ada tatapan serius di hadapannya. “Aku ingin perceraian ini setenang pernikahan kita dulu.”

“Tentu saja.” Samudrasudah berusaha keras membuat Ayunda terhindar dari media. Sudah cukup beruntung hubungan mereka lolos dari pengamatan sejak awal, tapi setelah stahun ini, Samudra tidak lagi melindungi privasinya, Ia tidak akan mempertaruhkan soal itu sekarang.

“Itu berarti kau tidak boleh secara terbuka menyebutku sebagai istrimu.”

“Aku tidak suka orang itu.”ucap Samudra mengarah ke Djiwa.

Ayunda tersenyum. “Tidak suka?”

"Kau suruhlah dia segera pergi dari sini, dia terlalu berbahaya untukmu."

“Hei kau tidak perlu mengkhawatirkanku.”

Mengapa Samudra tiba-tiba saja berubah menjadi protektif? padahal jelas Ayunda bukanlah seorang wanita yang tidak bisa menjaga diri.

Jadi kalau sikap Samudra bukanlah protektif pastilah itu posesif.

Dan itu gila.

Samudra memasukan kedua tangannya ke dalam saku, “Ayo bereskan masalah ini,"

Tak ada pilihan lain, Ayunda akhirnya meminta Djiwa untuk pulang dari kediamannya, tak lupa ia pun mengambil lukisan yang tadi ia beli di kaki lima Malioboro.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!