"Dek ... Aku top up e-wallet ku ya?!"
Resti yang sedang mandi, tersentak saat mendengar suara suaminya Dimas, berseru di salah satu ruangan di rumah mereka.
"Oh, tidak ... "
Resti yang saat itu masih tengah menyabuni badannya, langsung menggapai handuk dan keluar dari kamar mandi.
Dari suara yang dia dengar tadi, Dimas sepertinya sedang berjalan menuju pintu keluar rumah. Dengan hanya melilitkan handuk pada tubuhnya secara asal, wanita itu berjalan setengah berlari untuk mengejar Dimas yang sudah tidak terlihat di depan.
"Mas, itu uang untuk modal membeli bahan-bahan minuman dan susu Alfa ... "
Dimas yang saat itu sudah berada di atas motornya, langsung menyalakan mesin, sebelum akhirnya menjawab.
"Aku cuma Top Up dua ratus ribu, masih ada sisa ... Aku rasa, itu cukup untuk membeli susu Alfa."
Mata Resti melebar, begitu mendengar berapa jumlah yang di ambil oleh Dimas, untuk mengisi saldo e-wallet nya itu
"Mas, uang itu tidak hanya untuk membeli Susu saja, tapi itu juga modal dagangan ku, mas!"
Tidak begitu peduli, Dimas yang sudah memasukkan gigi perseneling, hanya menjawabnya dengan santai.
"Ah, nanti saat kamu menagih ke warung-warung, kamu bisa belanja pakai uang itu kan? Udah, sana masuk! Kamu gak malu dilihatin orang?"
Setelah mengatakan itu, Dimas memutar gas motornya dan berlalu pergi begitu saja, meninggalkan Resti yang terdiam karena tidak tau lagi harus berkata apa.
Sekarang, sudah lebih dari tiga bulan Dimas dirumahkan oleh perusahaannya. Menurut penjelasan Dimas padanya, Terjadi sebuah masalah di tempat kerjanya, hingga pekerjaannya harus dihentikan sementara.
Akan tetapi, saat bekerja sekalipun, Gaji Dimas juga tidak begitu banyak tersisa. Selain terus membayar hutang bank yang memang sudah ada sejak sebelum mereka menikah, Dimas juga harus membayar cicilan rumah yang sudah sejak setengah tahun yang lalu mereka tempati.
Namun, itu juga tidak cukup. Untuk membayar cicilan rumah, Resti juga terpaksa haru membantunya. Sehingga, sejak keduanya menikah, bisa dikatakan Dimas tidak memberikan apapun pada dirinya.
Untuk terus bertahan menghadapi situasi ekonomi keluarganya, Resti membuka usaha kecil-kecilan, dengan membuat minuman kemasan ekstrak kacang-kacangan yang di titipkan di warung-warung di wilayah tempat tinggal mereka.
Meski tidak bisa dibilang banyak, namun pendapatan Resti mampu menghidupi dia dan keluarganya. Apalagi saat ini, Dimas sama sekali tidak memiliki penghasilan.
"Selalu saja begitu ... "
Meski akhir-akhir ini sikap Dimas sedikit menyebalkan, namun dia Tidak ingin terlalu memikirkannya. Resti masuk ke dalam dan kembali membersihkan dirinya.
Resti begitu mencintai Dimas, begitu juga sebaliknya. Atau setidaknya bagi Resti, dia yakin Dimas juga memiliki perasaan yang sama pada dirinya.
Bagaimanapun, sejak menikah, belum pernah sekalipun mereka bertengkar serius yang membuat keduanya tidak saling sapa lebih dari sehari.
Resti selalu mengalah, karena menurutnya suaminya mungkin lelah, dan banyak beban pikiran karena pendapatannya yang memang kurang dan sekarang, tidak ada sama sekali.
Sehabis mandi, Resti membuatkan susu untuk anaknya, Alfa. Resti melihat dalam kaleng tempat dimana dia menyimpan susu, isinya hanya cukup untuk dua atau tiga botol lagi.
Sementara Alfa sibuk bermain setelah menghabiskan susunya, Resti mengambil ponsel dan memeriksa saldo rekeningnya.
Dia hanya bisa menarik nafas pasrah, saat mendapati angka yang tertera di sana.
Tentu saja uang itu tidak cukup untuk membeli bahan dagangannya, sebanyak seharusnya. karena Dimas hanya hanya menyisakan tujuh puluh ribu saja.
Dimas pasti tidak hanya sekedar mengambil uang di sana hanya untuk Top-Up e-wallet nya saja. Lebih dari itu, Dimas pasti mengambil lebih, untuk pegangannya.
"Ma-ma-ma ... "
"Ma-ma-ma ... "
Resti menoleh pada anak laki-laki nya yang baru berumur empat belas bulan itu, sambil tersenyum.
"Ya sayang? ... kenapa manggil-manggil mama?"
Saat ini, Alfa Baru bisa mengucapkan dua kata saja. Yaitu, papa dan mama.
Malah, Resti harus sedikit iri karena saat anak itu mulai berkata, kata pertama yang diucapkannya adalah kata papa, untuk memanggil Dimas ayahnya, alih-alih mama.
"Ma-ma-ma ... "
"Ma-ma-ma ... "
Resti mengernyitkan dahinya, saat melihat Alfa seolah sedang menunjuk sesuatu.
"Ya, sayang ... Bilang sama mama ... Kamu mau apa?"
"Ma-ma-ma ... "
"Ma-ma-ma ... "
Tangan Alfa terus terangkat dan menunjuk ke satu arah. Dan benar saja, anak itu memang sedang ingin memberi tahu ibunya, bahwa botol susu milikinya sudah menggelinding dan sekarang berada di bawah meja, di mana Dimas menaruh berkas-berkas pekerjaan, saat harus menyelesaikannya di rumah.
Resti tersenyum kembali, kerena menyadari bahwa anaknya sudah mulai bisa berkomunikasi dengannya.
"Oh, itu ... Hmm ... Sebentar ya, mama ambilin dulu ya ... "
Resti langsung berdiri dan berjalan untuk mengambil botol susu yang ada di bawah, di antara meja dan dinding rumah itu.
Resti mencoba menggapai botol itu ternyata tangannya tidak sampai. Dia kemudian berdiri, dan tampak mempertimbangkan sesuatu.
Resti melihat di atas meja ada sebuah printer. karena berniat untuk menggeser meja tersebut, agar memudahkan nya untuk mengambil botol susu Alfa, wanita itu memindahkan printer tersebut terlebih dahulu.
Awalnya dia tidak menyadari, bahwa di bawah printer itu ada sebuah amplop kecil. Dia melihatnya, setelah botol terlebih dahulu ada di tangannya.
"Amplop apa ini?"
Resti membawa amplop itu dan duduk di dekat Alfa, yang kini kembali bermain dengan botol susunya.
Resti yang penasaran, membuka amplop yang terasa sedikit tebal itu. Saat menarik keluar isinya, mata wanita itupun terbelalak.
"Pemutusan Hubungan kerja?!"
Itulah kalimat pertama yang terucap dari mulutnya saat membaca kepala surat yang baru saja dilihat.
Wanita itu segera menarik, dan hatinya merasa sangat cemas. Dimas hanya mengatakan bahwa suaminya itu sedang diistirahatkan saja.
Sempat terbesit bahwa Dimas sudah merahasiakan sesuatu darinya. Namun, Resti langsung menepis rasa kecewa, karena mungkin saja Dimas tidak ingin membuat dirinya cemas.
Namun, pikiran positifnya menguap begitu saja, saat melihat satu lagi kertas yang ada di sana.
Di atas kertas, jelas tertulis bahwa suaminya mendapatkan tunjangan sebagai konsekuensi atas pemutusan hubungan kerja dari perusahaannya itu.
Dan nilainya, tidak tanggung-tanggung. Resti bisa membaca dengan sangat jelas. Dimas Anugrah, suaminya, di beri tunjangan sebesar seratus juta rupiah.
Tangan Resti langsung gemetar. Karena masih ada satu lagi benda di sana. Namun, saat melihatnya, wanita itu sempat ragu untuk membukanya.
Sebuah buku tabungan milik salah satu bank swasta, kini sudah berada di tangannya.
Saat buku itu dia buka, jelas di sana tertulis nama Dimas, dengan Saldo uang senilai seratus juta rupiah.
"Ke-kenapa ... Di-dia ... Menyembunyikan, ini?"
Resti sama sekali tidak mengerti, kenapa Dimas menyembunyikan hal itu darinya.
Saat itu juga, ingatannya melayang pada beberapa waktu sekitar dua bulan yang lalu.
"Mbak Resti, pasti seneng ... Dapat uang banyak dari tunjangan suaminya ... Bentar lagi, gak perlu jual minuman-minuman ini lagi dong, ya ... "
Saat itu, salah seorang tetangganya Lastri, yang terkenal sebagai ratu ghibah di perumahan itu, mencoba mengajaknya membahas tentang hal ini saat keduanya bertemu di salah satu warung di mana Resti menitipkan dagangannya.
Namun, saat itu Resti hanya menganggap Lastri hanya sedang menyindirnya.
"Jadi, ternyata itu benar ... ?!"
Saat ini, Resti sama sekali tidak tau akan merasa senang atau kecewa. Mengetahui bahwa suaminya memiliki uang sebanyak itu, sempat terbesit di kepalanya akan segera menjalani hidup yang sedikit lebih mudah.
Dimas bisa menggunakan uang itu untuk membuka usaha, dan dia bisa fokus membesarkan Alfa, buah hati mereka.
Saat itu, Resti menatap Alfa yang masih sibuk bermain dengan botol susunya. Dia berharap anaknya bisa tumbuh dengan berkecukupan.
Namun, dia kecewa karena Dimas menyembunyikan hal ini dari dirinya. Sebagai seorang istri, Resti benar-benar merasa seperti tidak di anggap.
Bagaimana Dimas tega membiarkannya pontang-panting mencari uang untuk kebutuhan mereka bertiga, semetara suaminya itu memiliki seratus juta di tabungannya.
Resti memejamkan mata dan menarik nafas dalam. Dia mencintai Dimas dan Dimas juga mencintainya. Hal itulah yang ada dipikirannya, sebelum akhirnya dia membuka mata, dan menganggukkan kepala.
"Aku akan menanyakan ini, untuk memastikannya ... "
Ketika ingin berdiri, Ponsel Resti bergetar. Dia melihat sederetan angka asing yang tak dia kenal, sebagai pemanggilnya.
"Selamat siang?"
Resti mengernyitkan dahinya, saat mendengar seorang laki-laki berbicara di sana.
"Siang? ... Maaf, ini siapa ya?"
"Maaf, perkenalkan ... Nama saya Satya ... Apa benar, saat ini saya sedang berbicara dengan Bu Resti?"
Resti sama sekali tidak pernah mengetahui seseorang bernama Satya sebelumnya. Namun, dia mencoba berbaik sangka, dan menanggapinya.
"Ya, benar ... Ada apa ya?"
Resti sempat mendengar Satya sedikit berdeham, sebelum akhirnya menjawab.
"Begini ... Saya ingin mengunjungi tempat usaha anda, saya berminat bekerja sama dan melihat apakah anda memiliki varian rasa lain untuk produk yang sama ... "
Resti mengerjakan matanya beberapa kali, mencoba mencerna maksud dari orang yang berbicara di seberang sana.
Beberapa saat kemudian, meski tau bahwa orang itu tidak melihatnya, Resti menggelengkan kepala.
"Tidak, tidak ada tempat usaha, saya hanya membuatnya di rumah ... Lagipula, saya tidak menerima tamu laki-laki, nanti tetangga bisa salah faham ... "
"Bukan, maksud saya begini ... Saya cuma ingin—"
"Maaf ya pak Satya ... Saya sudah memiliki suami. Jadi, suami saya akan marah jika anda ke sini ... "
Resti yang saat itu sedang dengan pikiran sedikit kacau, tidak ingin menambah beban pikiran dengan laki-laki iseng, langsung memutus sambungan begitu saja.
Resti
Alfa selalu menoleh saat mendengar deru suara motor yang melintasi rumah mereka. Sudah beberapa kali itu terjadi, sampai akhirnya anak laki-laki itu terlelap.
Sambil mengusap puncak kepala anaknya yang sudah lelah menunggu kepulangan papanya itu, Resti juga merasakan hal yang sama. Karena Biasanya, dia dan Alfa sudah tertidur saat Dimas pulang.
Sejak berhenti bekerja, suaminya selalu pulang larut malam, dengan alasan menghilangkan bosan dan mencari informasi pekerjaan lain dengan teman-temannya.
Namun, hari ini Resti tidak merasakan kantuk sama sekali, meskipun badannya terasa sangat letih. Mengasuh anak, sambil terus membuat minuman, dan mengantarkan minuman-minuman itu ke warung-warung memang sangat sulit.
Akan tetapi, dia menjalaninya dengan ikhlas
Semua itu dia lakukan demi keluarganya.
Akhirnya, suara motor Dimas terdengar memasuki pekarangan rumah. Gegas Resti berdiri lalu berjalan dan membukakan suaminya itu pintu, untuk menyambutnya.
"Dek, tumben kamu belum tidur ... "
Resti tau bahwa tidak sopan untuk memberondongi suaminya itu dengan banyak pertanyaan, begitu dia datang.
Wanita itu mencoba menahan diri, dan membantu membuka jaket yang di kenakan Dimas, dan meletakkannya pada gantungan di sana.
Tidak menjawab pertanyaan Dimas tadi, Resti balik bertanya. "Kamu mau aku buatkan kopi? ... "
Mendengar tawaran Resti, Dimas tersenyum miring, seolah sudah mengerti sesuatu. Namun, saat itu dia langsung menggelengkan kepalanya.
"Hmm ... Tidak usah. Aku capek, aku mau langsung tidur saja ... "
Melihat Dimas yang akan masuk ke kamar mereka, Resti cepat memanggil untuk menahannya.
"Mas, tunggu dulu ... "
Dia tidak ingin mereka berbicara di kamar, takut suara keduanya bisa membuat Alfa, anak mereka terbangun dan menangis.
Dimas berbalik, dan berkata dengan nada sedikit ketus. "Dek, aku sudah bilang aku lelah ... Aku tidak bisa menemani bermain malam ini. Jadi, besok saja ... "
Saat itu, Resti tersentak. Bahkan dia sampai melupakan ini sebelumnya. Sudah beberapa waktu ini, dia dan Dimas sudah tidak melakukan hubungan suami istri.
Mungkin karena mereka sama-sama terlalu lelah dan langsung tertidur, atau pikiran keduanya terlalu banyak, hingga melupakan hal itu.
Namun, tentu saja bukan itu yang sekarang di inginkan oleh Resti. Dia ingin Dimas segera memberinya penjelasan, agar tidak berburuk sangka pada suaminya itu.
"Mas, bukan itu ... Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan."
Dimas mengernyitkan dahinya, karena mendapati tebakannya salah. Namun, dia mengikuti kemauan istrinya dan duduk di sofa rumah mereka.
"Yasudah, kamu mau membicarakan apa?"
Resti tidak menjawab, melainkan mengambil amplop yang tadi dia taruh di atas meja makan dan membawanya ke tempat Dimas.
"Mas, bisa kamu jelaskan kenapa kamu berbohong, dan menyembunyikan ini dariku?"
Melihat amplop itu berada di atas meja, mata Dimas langsung membesar. Resti bisa merasakan suaminya itu bereaksi tidak wajar.
"Ka-kamu ... Su-sudah Melihat ... Isinya?"
Resti menganggukkan kepalanya sekali, dan kembali berkata. "Mas, kenapa kamu menyembunyikan uang itu, dariku?"
Dimas tidak tau harus menjawab apa, karena tiba-tiba saja dirinya merasa panik. Namun, karena Resti terlihat sedang menunggu jawabannya, tak sadar Dimas langsung meninggikan suaranya.
"Lancang sekali kamu ... Kenapa kamu berani sekali membongkar barang-barang milikku?"
Resti tersentak saat mendengar nada bicara Dimas yang terdengar sangat kasar itu.
"Mas,aku tidak membongkarnya. Tapi aku tidak sengaja menemukannya. Lagipula, bukan itu masalahnya sekarang. Aku ingin tau, kenapa kamu tega membiarkan ku membanting tulang, sementara kami memiliki uang sebanyak itu?!"
Tentu saja Resti tidak bisa menahan diri. Karena Dimas terlihat ingin mengalihkan pembahasan dan balik menyalahkan dirinya.
"Itu urusanku, ingin memberi tahu kamu atau tidak. Lagipula, itu uangku ... "
Resti membelalakkan matanya, seolah tidak percaya Dimas tega mengatakan hal itu kepadanya.
"Uang kamu? Kamu, bilang uang kamu? Tapi aku kan istri kamu, mas ... Kamu bahkan tidak pernah memberiku uang lalu membiarkan ku berjualan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga kita. Sekarang, kamu bilang itu uangmu?"
Tiga tahun mereka menikah, Resti selalu mengalah jika sudah membicarakan segala sesuatu tentang uang.
Dia bersyukur jika Dimas memberinya nafkah, dan bersabar jika suaminya itu mengeluh bahwa gajinya telah habis untuk membayar hutang-hutangnya.
Berjuang bersama demi masa depan yang bahagia, dan membuat Alfa anak mereka bisa tumbuh dengan baik, membuat Resti memutuskan mencari penghasilan lain, untuk membantu suaminya itu menutupi kekurangan biaya hidup mereka.
Sekarang, suaminya yang secara tidak langsung baru mengakui bahwa dia memang memiliki uang tersebut, dan mengatakan bahwa uang itu adalah miliknya. Seolah, Resti merasa menjadi orang asing seketika.
"Tentu saja itu uangku ... Apa kamu pikir, kamu yang bekerja dan mendapatkan tunjangan saat di PHK?"
Resti tidak mengerti bagaimana suaminya bisa bicara seperti itu. Dimas yang dia kenal, cukup pintar. Namun, sekarang di depannya seolah sedang duduk seorang pecundang asing, yang tidak mau menerima kenyataan bahwa dirinya telah melakukan kesalahan.
"Tega, kamu mas! ... Tega kamu ... "
Resti tidak bisa menahan deras air matanya yang meluncur begitu saja. Rasa lelah yang dia rasakan selama tiga tahun terakhir, seolah datang bersamaan di saat itu juga.
Resti mengingat bahkan dia tetap harus membuat minuman-minuman itu, saat dia hamil hingga beberapa waktu sebelum melahirkan.
Tiga bulan terakhir, Resti harus membuat lebih banyak dan mengantarkan minuman itu ketempat yang lebih jauh, agar bisa menambah pendapatan mereka, karena Dimas sudah tak lagi bekerja.
Bahkan, sejak saat itu Dimas sering meminta uang padanya, dengan alasan untuk bensin dan rokok atau sebagainya. Sering, suaminya itu mengambil tanpa seizinnya. Seperti apa yang terjadi pagi ini.
Dimas tidak bisa berkata-kata apapun. Melihat Resti menangis, dia hanya bisa terdiam namun tidak terlihat wajah menyesal dan keinginan untuk menarik kata-katanya atau meminta maaf untuk menenangkan istrinya itu.
"Sekarang, jawab aku ... Sebagai istri, aku ingin tau akan kamu gunakan untuk apa uang itu?"
Dimas yang hanya tertunduk, dan melihat pada amplop coklat di atas meja, menjawab dengan suara rendah.
"Telah aku pakai, untuk modal usaha ibuku ... Dan membelikan Dita Motor untuk pergi kuliah ... "
Tangis Resti langsung menghilang begitu saja. Bagaimana bisa Dimas memberikan uang itu sebagai modal usaha ibunya, bahkan membelikan Dita adik perempuannya itu motor, sementara laki-laki yang merupakan suaminya ini, meminta uang padanya untuk bensin, rokok, pulsa untuk membeli kuota internetnya.
Resti bahkan harus memasak dengan uangnya sendiri, untuk mengisi lambung suaminya itu setiap harinya, agar suaminya itu bisa tetap hidup.
"Sekarang? ... Dimana sisa uang itu? Berikan padaku, mas ... Aku juga butuh uangnya ... Alfa juga perlu pakaian baru. Susunya juga sudah habis ... "
Dimas membuang muka, sambil berkata. "Sudah tidak ada. Aku sudah memakainya untuk keperluanku dan juga teman-teman ku, kami membuka usaha ... "
Mata Resti langsung terbelalak saat mendengar Dimas mengatakan itu.
"Sudah tidak ada, kamu bilang? ... Mas! Kamu ... Kamu ... Memberi ibu modal dan adikmu motor, tapi tidak menyisakan sedikitpun untuk aku, istri bahkan untuk Alfa anakmu, juga tidak?! ... Tega kamu mas ... Tega kamu ... "
Dada Resti begitu sesak, hingga akhirnya kembali menangis. Namun, saat dia ingin menggapai tangan suaminya itu, Dimas langsung menepisnya, lalu berdiri.
"Ibuku tidak memiliki penghasilan dan Dita butuh motor untuk kuliah. Tapi Kamu, kan punya penghasilan sendiri. Jadi, jangan mempermasalahkan kenapa aku memberikan itu pada keluargaku!"
Tangis Resti semakin membesar karena itu. Sambil terisak, dia kembali berkata. "Massss ... Aku berjualan demi keluarga ini ... Aku berkorban untuk kami mas ... Agar kita tetap bertahan ... massss !!"
Melihat Resti meratap, Dimas sama.sekali tidak merasa kasihan. "Jadi, selama ini kamu tidak ikhlas?!"
Resti tidak tau bagaimana Dimas mempertanyakan keikhlasan nya.
"Mass ... Bukan itu ... Maaaaasss ... Ta-ta-tapi ... Massss ... "
"Hah, sudahlah! ... Aku pulang mau istirahat, tapi kamu malah membuatku kesal saja ... ! Lebih baik, aku pergi saja."
Resti hanya bisa semakin terisak, saat mendapatkan perlakuan Dimas itu. Dia seolah baru melihat siapa sosok suaminya yang sebenarnya.
Mungkin, karena mendengar suara keduanya, Alfa bangun dan berjalan keluar kamar.
Saat anak itu melihat ayahnya, dengan langkah yang masih tertatih, karena belum genap dua bulan bisa berjalan, Alfa mencoba mencapainya.
"Pa-pa-paaaaa ... !"
Namun, Dimas yang melihat kedatangan anaknya, malah mengelak. Akhirnya, Alfa yang sedang mencoba memeluk kakinya, jatuh terjerembab.
Sempat terdiam sebentar, akhirnya anak itu langsung mulai mencebik dan akhirnya berteriak menangis.
"Mmamaaaaaaa .... "
Melupakan sakit hati nya, Resti langsung berdiri dan mendekat pada Alfa, lalu membawa anak itu dalam pelukannya.
Alfa menangis semakin kencang, namun Resti tidak. Air matanya berhenti saat melihat apa yang baru saja di lakukan oleh Dimas, pada anaknya ini.
Mata Resti menatap entah kemana, namun ada satu hal yang bisa dilihat di sana. Wanita itu, benar-benar sedang marah.
"Tenang ya sayang ... Ada mama ... Ada mama ... Jagoan mama jangan Nangis ... "
Sambil terus mengusap punggung putranya yang terus menangisi kepergian ayahnya itu, Resti membawa Alfa kembali masuk ke kamar.
...Dimas Anugrah ...
Ranti terbangun dari tidurnya, Karena mendengar Suara Alfa memanggilnya. Saat dia baru saja membuka mata, dia mendapati dirinya tertidur dengan posisi duduk bersandarkan pada tempat tidur di mana anak laki-lakinya itu kini memegang tangannya.
Resti akhirnya jauh terlelap karena kelelahan, setelah menangis semalaman mengenang nasib nya. Dia tidak menyangka bahwa Dimas akan memperlakukannya seperti itu.
"Ma-ma-ma ... "
Resti langsung tersenyum saat matanya terbuka, disambut senyuman dari anaknya itu.
"Maafin mama ya nak, kamu pasti lapar ... Bentar ya, mama buatin kamu makanan dulu."
Setelah membuatkan Alfa bubur, Ranti mendapati pintu rumah masih terbuka.
Namun saat hendak menutupnya, di depan rumahnya dia melihat sebuah mobil minivan berstiker sebuah perusahaan makanan terkenal, baru saja berhenti.
Penasaran, Resti menunggu untuk melihat siapa dan kemana orang yang ada di dalam mobil itu ingin pergi.
Akan tetapi, saat dua orang wanita dengan pakaian seragam lengkap dengan name tag nya itu turun, keduanya langsung menuju ke arah rumahnya.
Berpikir bahwa dua orang itu ingin menanyakan alamat seseorang, Resti pun menunggu kedatangan mereka.
"Selamat pagi ... "
Dengan senyum ramah, salah satu dari mereka menyapa. Resti juga balas dengan hal yang sama.
"Pagi ... "
"Apa benar ini kediamannya ibu Resti, yang memiliki usaha minuman ekstrak kacang-kacangan?"
Tentu saja hal itu mengejutkannya. Karena dia sama sekali tidak mengenal dua orang wanita tersebut.
"Ya, saya sendiri ... Hmm, maaf. Tapi, Mbak-mbak ini siapa ya? Dan ada urusan apa mencari rumah saya?"
Saat dia menanyakan itu, terlihat jelas bahwa keduanya tampak tersenyum lega. Lalu, satu yang lainnya menjawab. Sambil menunjuk stiker besar yang tertempel di mobil mereka, dia pun berkata.
"Kami berdua dari Glory Food, dan kami datang atas perintah atasan kami untuk datang kesini dan menawarkan kerja sama pada anda, jika ibu Resti berminat."
Resti tampak berpikir, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. Dia tampak sedang mencoba mengingat sesuatu tentang kerja sama ini. Namun, setelah lama berpikir dia sama sekali tidak mengingat nya.
Melihat reaksi yang aneh dari wanita di depan mereka, salah satu dari keduanya bersuara.
"Bu Resti?!"
Mendengar namanya dipanggil, saat itu matanya membesar seolah dia telah melupakan satu hal penting.
"Oh, maaf ... Silahkan masuk dulu. Kita bisa membicarakannya di dalam ... "
Resti tidak tau apa maksudnya, namun nalurinya berkata bahwa keduanya tidak mungkin bermaksud menipunya.
Lagipula, tidak ada yang dia punya yang bisa dijadikan Alasan bagi seseorang untuk melakukan itu padanya.
Keduanya mengangguk dan mulai melangkah, saat Resti mempersilahkan keduanya untuk masuk.
"Maaf, hanya ini yang ada ada ... "
"Tidak perlu Bu, kami datang tidak tidak untuk merepotkan Bu Resti ... "
Resti senang, karena keduanya tampak ramah baginya. Namun, karena sudah di sini Resti tidak tahan untuk tidak menanyakan maksud kedatangannya.
"Begini Bu Resti ... Seperti yang kami katakan tadi, kami ingin menawarkan kerja sama dengan anda."
Resti menganggukkan kepalanya, tampak mengerti. Namun, dia sama sekali tidak tau kerja sama dalam bentuk apa yang kedua wanita ini inginkan.
"Maaf mbak, saya tidak begitu mengerti tentang kerja sama. Bahkan, saya tidak lulus SMA. Jadi, Bisa mbak-mbak nya lebih menjelaskan lagi pada saya?"
Keduanya langsung mengangguk, dan salah satu dari mereka langsung berbicara untuk menjelaskan detil kerja sama yang mereka inginkan.
"Pertama, ini karena Seseorang membawa minuman yang anda jual, ke perusahaan dan merekomendasikan agar kami, dari tim marketing untuk menjalin kerjasama dengan anda ... "
Mulailah kedua orang tersebut menjelaskan secara bergantian dan menjawab pertanyaan Resti apabila wanita itu ragu, dengan sangat sabar.
Setelah satu jam, akhirnya Resti mengerti bentuk kerja sama itu. Keduanya ingin memastikan apakah Resti memiliki varian rasa lain, dan Resti menjawab dia bisa membuat banyak varian jika memang dibutuhkan.
Resti tampak bersemangat saat keduanya mengatakan bahwa dengan kerja sama ini, apalagi Resti berhasil mempresentasikan dengan sangat baik, maka saat ini berhasil nanti hidup Resti akan berubah.
Selain itu, mereka juga menjelaskan masalah perizinan, serta hal-hal terkait hukum yang akan melindungi hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Sampailah dua jam berlalu, Resti sudah mulai mengerti bahwa kedua orang itu, ingin Resti membawa semua varian yang bisa di buat ke perusahaan mereka dan mempresentasikan langsung pada pemimpin tim marketing di perusahaan itu.
Namun, di penghujung pembicaraan, wajah Resti yang tadinya terlihat bersemangat, berubah menjadi ragu.
Menyadari hal itu, salah satu dari dua wanita tersebut menanyakan penyebabnya.
"Bu Resti, kenapa anda tampak ragu? ... Apa menurut anda, kami berdua berniat menipu?"
Saat ditanyakan pertanyaan seperti itu, Resti langsung tertegun, sebelum akhirnya tersenyum canggung dan menjawab.
"Eh, Maaf ... Saya tidak bermaksud seperti itu ... Hmm ... Cumaaaa ... Cuma ... "
Keduanya tanpa sadar sedikit menundukkan kepala, saat menunggu Resti menjelaskan maksudnya.
Namun, karena tak kunjung mendapatkan jawaban, mereka pun bertanya.
"Cuma apa Bu? katakan saja. Kami tidak akan tersinggung sama sekali, jika Bu Resti masih meragukan kami, dan kami akan memberi penjelasan lagi."
Resti langsung mengangkat kepala dan menggelengkan nya cepat "Bukan, bukan ... Bukan itu, tapi ... "
"Ya ... ?"
Dengan wajah memerah karena malu, Resti akhirnya mengatakan apa yang membuat dirinya menjadi ragu.
"Saya tidak ada modal untuk membeli bahan-bahan untuk membuat banyak varian, seperti yang mbak-mbaknya inginkan ... "
Mendengar itu, keduanya saling bertatapan, lalu mengangguk serentak dan tersenyum lega.
"Kalau soal itu, Bu Resti tidak usah pikirkan. Karena ini adalah permintaan dari perusahaan kami, maka perusahaan akan memberikan dana untuk Bu Resti gunakan agar bisa mempersiapkan semuanya."
Mata Resti melebar, dan menatap keduanya sambil bertanya. "Benarkah?!"
Keduanya langsung mengangguk serentak, dan menjawab.
"Ya, kita sudah mempersiapkannya jika Bu Resti menyanggupi apa yang kita inginkan ... "
Saat itu juga, Resti menghembuskan nafas lega. Dia benar-benar tidak memiliki uang sama sekali untuk membeli bahannya.
Setelah kesepakatan itu terjalin, keduanya pun berpamitan untuk pergi. Setelah keduanya masuk dan menghilang dengan mobil setelah menikung di ujung perumahan, Resti masih tertegun dengan apa yang baru saja dia alaminya.
Dia masuk ke dalam rumah, dan kembali duduk di sofa dimana tadi dia duduk. Matanya terpaku ke atas meja di mana ada satu lembar cek, dengan nila lima juta rupiah, tertera di sana.
"Ini sekalian untuk biaya akomodasi, dan ganti rugi waktu yang telah dan akan Bu Resti habiskan, untuk menyiapkan presentasinya yang akan di adakan Minggu depan ... "
Itulah kalimat terlahir yang diucapkan mereka, saat Resti begitu terkejutnya saat salah satu dari mereka menyodorkan cek itu kepadanya.
Resti mengambil cek tersebut dengan kedua tangan dan mendekatkan ke dadanya. Sambil melihat ke dalam kamar, di mana sekarang Alfa kembali terlelap, sambil berkata.
"Tenang nak ... Ada mama ... Ada mama, sayang ... "
Resti masuk ke kamar, dan berniat menyimpan cek tersebut di dalam lemari. Namun, saat dia membuka pintu lemari itu, dia mendapati hal mengejutkan lainnya.
"Kemana pakaian Mas Dimas? ... "
Meski tidak menghilang semuanya, namun jelas bahwa pakaian-pakaian suaminya itu, tidak lagi sebanyak yang seharusnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!