“Kau dari mana saja?” tanya Emma.
Amelia yang baru datang dengan ngos-ngosan tidak memedulikan itu. Dia justru pergi untuk mengganti pakaiannya dengan seragam dan membuat rambutnya tidak tergerai lagi, dengan menguncir rambutnya. Dengan penampilan yang masih acak-acakan karena terburu-buru, barulah dia mendekati Emma.
“Diantar ke mana ini?” tanya Amelia setelah menarik nampan yang dibawa oleh Emma.
“Meja nomor lima,” jawab Emma spontan.
Setelah Amelia menunjukkan punggungnya, barulah Emma menyadari kalau Amelia mengambil pekerjaannya lagi.
“Dasar, Amelia. Kau memang tidak akan bisa berubah,” gumamnya.
Amelia tertawa pelan mendengarnya.
“Karena aku akan tetap menjadi Amelia,” gumamnya membalas.
Setelah mengantar pesanan untuk meja nomor lima, Amelia kembali mendekati Emma dan menukar nampan penuh yang dibawa Emma dengan nampan kosong yang dibawanya.
“Siapa lagi?” tanya Amelia dengan menyengir.
“Berhenti hidup seperti ini, Lia,” balas Emma memperingatkan.
“Ayolah, Emma. Aku tidak mengambil milikmu. Kita hanya bekerja sama,” elak Amelia.
“Kau memang selalu bisa menjawab.” Emma mendesah kesal.
Akhirnya dia mengalah. Meneruskan perdebatan dengan Amelia hanya akan membuat pekerjaannya terhambat.
“Nomor dua,” tambah Emma dengan suara lemah.
Amelia kegirangan mendengarnya. Dia bersiap melangkah cepat menuju meja nomor dua agar Emma tidak menyesal telah menyerahkan nampan itu kepadanya. Saat berbalik dan hendak melangkahkan langkah pertamanya, tiba-tiba kakinya tersandung sehingga minuman yang dibawanya tumpah mengenai seorang perempuan yang duduk di meja itu.
Minuman itu menumpahi seluruh tubuh perempuan itu. Menyadari itu, Amelia membekap mulutnya yang menganga.
Minuman itu memang menumpahi perempuan itu, tetapi bencana akan menjumpainya karena minuman itu.
“Apa yang kau lakukan kepadaku?” sentak perempuan itu.
Segera Amelia mendekat dan bersimpuh di dekat perempuan itu. “Maafkan aku. Aku benar-benar menyesal. Tolong maafkan aku,” rengek Amelia.
“Dasar pelayan bodoh!” Perempuan itu justru mendorong kepala Amelia sehingga Amelia terjatuh ke lantai.
“Maafmu itu tidak akan mengembalikan hari indahku. Kau sudah membuatku marah dan itu benar-benar mengganggu hariku. Cepat katakan, mana bosmu!”
Mendengar kata ‘bos’ membuat Amelia langsung bangkit dan semakin gigih meminta maaf. Baru dua pekan dia bekerja di tempat ini. Amelia tidak ingin itu menjadi akhir pekerjaannya untuk yang kesekian kali.
“Tolong jangan adukan aku. Akan kulakukan apa pun permintaanmu,” tawar Amelia.
“Kau memang pelayan yang bodoh. Apa kau tidak menyadari kalau untuk memenuhi permintaanmu sendiri kau tidak mampu? Kau memang tidak menyadari itu, tetapi aku menyadarinya dengan sungguh-sungguh.”
“Karena itulah, sebelumnya aku meminta kepadamu.”
“Tapi aku tidak berniat untuk mengabulkan permintaanmu.”
Perempuan tadi langsung bangun dan berjalan mendekati Emma. “Bos ada di ruang itu,” ujar Emma sebelum perempuan tadi bertanya. Dia menunjukkan sebuah ruangan.
“Kau pasti membencinya juga,” tebak perempuan tadi dengan tersenyum sinis.
Kemudian dia pergi menuju ruangan yang ditunjukkan oleh Emma. Amelia yang menyaksikan sendiri terperangah. Dia pun berjalan menuju Emma untuk meminta penjelasan. Akan tetapi, Emma justru berbalik sehingga hanya menunjukkan punggungnya.
“Aku tidak akan meminta maaf karena sudah lama aku membencimu,” tutur Emma sebelum Amelia bertanya.
Seketika Amelia menjadi lemas. Dia tidak lagi berniat untuk membela dirinya. Menyadari bahwa tidak ada satu pun orang yang menyukainya membuat Amelia menyerah.
Kesialan itu benar-benar menimpa Amelia. Namun, bukan ditimpakan oleh bosnya, Emma, atau perempuan tadi. Justru Amelia sendirilah yang menariknya. Sebelum perempuan tadi keluar bersama bosnya, Amelia langsung keluar dari restoran.
ooo
Hai-hai 🤗
Selamat datang di karya pertamaku.
Aku menulis cerita ini saat masih begitu amatir. Jadi mengandung banyak hal yang membuat kalian tergoda untuk mengkritik 🤗 Tapi aku akan terus belajar di karyaku selanjutnya.
Untuk versi yang sudah melalui bimbingan editor, kalian bisa membacanya dalam versi cetak yang bisa dipesan melalui nomor Whatsapp: 081335232375 🤗
Apa kelebihannya?
-Memiliki banyak perbandingan dengan versi digitalnya. Salah satunya adalah kualitas.
-Memiliki beberapa perubahan jalan cerita yang mungkin akan memengaruhi akhir cerita.
Jadi versi novel akan berbeda tapi kisahnya sama.
-Merupakan Top 3 You Are A Writer 2 alias pemenang ke-3 lomba menulis Noveltoon/Mangatoon.
-Harganya amat ekonomis untuk buku setebal 200 halaman. Penulisnya sendiri sampai kaget 🤭🤭
Tuh, kan! Kurang yakin apalagi buat beli?🤭🤭🤭
Cus, chat nomor pemesanan 🤗🤗
Info lengkapnya bisa ditemukan di bab terakhir 🤗
Terima kasih 🤗
Sial!
Kesialan itu benar-benar menimpa Amelia, tetapi bukan ditimpakan oleh bosnya, Emma, atau perempuan tadi, justru Amelia sendirilah yang menariknya. Sebelum perempuan tadi keluar bersama bosnya, Amelia langsung keluar dari restoran.
Perempuan tadi benar. Amelia memang bodoh. Jika Amelia tidak keluar begitu saja, bisa jadi bosnya tidak memecatnya meskipun perempuan tadi sudah mengadukannya. Jika pun bosnya benar-benar memecatnya, setidaknya Amelia bisa memohon agar bosnya memberikannya kesempatan lagi. Sekarang peluang itu sudah lenyap.
Belum jauh dari tempatnya bekerja—maksudnya bekas tempatnya bekerja—Amelia baru mengingat kalau dia keluar dari tempat itu dengan tangan kosong. Padahal dia datang dengan membawa tas. Kini Amelia dirundung dilema. Haruskah dia kembali untuk mengambil tas itu atau mengabaikan tas itu demi harga dirinya?
Meskipun Amelia tidak memiliki benda-benda mewah, dia masih memiliki beberapa benda penting di dalam tas itu. Amelia bisa mengabaikan uangnya dan pulang dengan berjalan kaki. Namun, semua itu percuma jika dia tidak bisa masuk ke dalam rumah karena kuncinya tertinggal.
Sial! Amelia benar-benar harus menebalkan mukanya.
Amelia pun berbalik untuk kembali ke tempatnya bekerja. Baru beberapa kali kakinya melangkah, penglihatannya tertarik pada benda yang tergeletak di atas jalan. Amelia pun merunduk untuk mengambilnya.
“Undangan?” gumamnya.
Amelia memeriksa undangan itu. Itu adalah undangan untuk sebuah pesta yang bertempat di sebuah hotel mewah. Amelia tersenyum tipis melihatnya. “Sampai kapan pun orang sepertiku tidak akan bisa memasukinya,” gumamnya lagi. Kemudian dia membuangnya di tempat sampah terdekat.
Sesampainya di restoran tempatnya bekerja, terlihat tempat itu tengah dipadati pelanggan. Terlihat juga Emma mulai kewalahan melayani mereka. Tentu saja. Seorang pelayan lain baru saja keluar. Pelayan yang tersisa harus mengisi kekosongan itu.
Amelia tidak ingin memerhatikan pekerjaan orang lain lebih lama lagi. Dia hanya ingin bergegas keluar dari tempat itu. Namun, sekali lagi langkahnya terhenti karena terdapat sebuah tas kertas yang tertinggal di satu-satunya meja kosong di sana. Amelia ingat kalau tas itu milik perempuan tadi. Dia pun mengambil tas itu dan terlihat sebuah pakaian di dalamnya.
“Amelia!”
Seketika Amelia menutup tas itu dan berbalik. Dia menyembunyikan tas itu di balik punggungnya.
“Oh, Em-Emma …,” sahut Amelia mendapati Emma di depannya.
“Kau sedang apa?” tanya Emma dengan nada dinginnya.
“Oh, a-aku … ingin mengambil tasku. Tadi tertinggal,” jawab Amelia tergagap.
“Kau dipanggil bos,” ujar Emma begitu saja. Dia langsung berbalik tanpa memperpanjang obrolannya lebih lama lagi.
Setelah Emma pergi, Amelia bernapas lega. Dia melirik ke belakang menuju tas kertas itu. Kemudian dia membawa tas itu menuju ruangan bosnya.
“Aku dengar kau baru saja membuat kekacauan,” ujar bos Amelia.
Amelia menunduk. “Aku minta maaf untuk itu.” Dia menyesal.
“Aku sudah membereskan kekacauan itu,” tambah bos Amelia.
“Terima kasih,” sahut Amelia.
“Sebenarnya, aku membenci kecerobohan. Tapi karena kau sudah bekerja keras melebihi rekan-rekanmu, aku akan memberimu satu kesempatan lagi.”
Seketika Amelia mengangkat kepalanya dan terperangah. “Maksudnya?”
“Kembalilah bekerja. Ini kesempatan terakhirmu. Gunakan sebaik mungkin.”
Semringah memenuhi wajah Amelia. Harinya yang dipenuhi kesialan, tampaknya tidak segelap yang dikiranya. Setelah mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya, Amelia bergegas menuju lacinya untuk menyimpan tas kertas itu dan bersiap untuk bekerja.
Akan tetapi, sebelum dia menutup lacinya, dia sedikit penasaran dengan isi dari tas kertas itu. Dia pun pergi ke toilet agar tidak ada siapa pun yang memergokinya. Di dalam toilet, Amelia mendapati tas itu berisi sebuah gaun panjang putih yang sangat indah.
Dengan mudah Amelia bisa menebak kalau gaun itu bukanlah gaun murah. Menemukan gaun itu, Amelia menjadi teringat pada undangan pesta yang dibuangnya sebelumnya. Dengan gaun semewah itu, tidak akan ada orang yang mencurigainya. Ini bisa menjadi kesempatannya untuk bersenang-senang sekali saja. Sepanjang hidupnya dia telah banyak bekerja keras dan menderita sendirian.
Setelah menyimpan tas itu ke dalam lacinya, Amelia langsung keluar dari restoran untuk menemukan undangan tadi. Sayangnya, dia lupa di mana tempat sampah tempatnya membuang undangan tadi, sehingga dia mencarinya dari satu tempat sampah ke tempat sampah lainnya. Dia menjadi sangat gugup karena kesempatan itu mungkin hanya satu kali seumur hidupnya.
Hari ini, Amelia sudah keluar dari kesialan buatannya yang pertama. Dia berharap, dia jugabisa keluar dari kesialannya yang kedua.
***
Pesta. Untuk kesekian kalinya David mengunjunginya. Penampilannya cukup menawan, bahkan lebih dari tamu-tamu lainnya. Meskipun begitu, tidak ada yang tertarik pada wajah Asianya. Ada pun beberapa orang, David juga tak tertarik untuk bergaul dengan mereka.
Dia lebih tertarik bergaul dengan sepi dan hanya melihat angin. David mengikuti pesta-pesta itu dari awal sampai akhir hanya untuk menyenangkan kedua orang tuanya.
Setahun sejak kedatangannya, orang tuanya memerintahkannya untuk mengelola salah satu hotel sebelum dia menempati posisi tinggi di perusahaan utama keluarganya. Meski begitu, dia sudah enggan berada di New York. Dia ingin segera kembali ke negaranya sendiri. Negara di mana sebagian besar yang dimilikinya tersimpan—karena sebagian besar lainnya terpecah di banyak negara.
Sudah satu jam David berada di tengah-tengah pesta. Dia hanya berdiri dan minum. Tidak ada yang menarik sampai sebuah wajah Asia asing tertangkap matanya. Seorang perempuan yang baru pertama kali dia lihat dari banyak pesta yang didatanginya.
Meski gaun putih yang dikenakan perempuan itu terlihat indah dan mahal, tingkah perempuan itu tak terlihat elegan bagi David. Perempuan itu sama seperti dirinya yang tidak tertarik dengan orang-orang di sekitarnya.
Perbedaannya: perempuan itu hanya peduli pada makanan. Perempuan itu terus berpindah dari satu piring ke piring lainnya.
Entah bagaimana, pandangan David tertarik untuk mengikuti setiap langkah itu. Lama-kelamaan, senyum terbit di wajah David. Tanpa sengaja, senyum itu berubah menjadi sebuah tawa kecil. Tawa itu pun tertangkap oleh perempuan bergaun putih itu.
“Kenapa kau menertawaiku?” tanya perempuan itu.
Seketika David menyurutkan tawa dan senyumnya. Wajahnya menjadi dingin semula. “Bagaimana kau bisa berpikir seperti itu?” David justru bertanya.
“Kau melihatku!”
“Bagaimana kau juga bisa berpikir kalau aku melihatmu?” David melontarkan pertanyaan ulang.
“Kalau bukan aku, orang lain mana yang bisa kau lihat di arah ini?” perempuan bergaun putih itu menunjuk dirinya sendiri.
“Bisa saja aku melihat kue-kue itu.” David menunjuk sisi samping perempuan itu.
“Untuk apa kau melihat kue-kue itu?”
“Bukankah mereka cantik?”
Perempuan itu mendekati David. Kemudian dia meletakkan sepotong kuenya di atas meja di samping David—tepatnya dia mendekatkan kue itu kepada David. “Jadi kau melihat kue itu?” tanya perempuan itu sebelum melepaskan piring kue itu.
“Aku tidak mengatakan itu.”
“Lalu?”
“Aku melihatmu.”
“Sudah kuduga.”
Perempuan itu membuang muka sejenak. Kemudian kembali mengarahkan pandangannya kepada David. “Lalu kenapa kau melihatku?”
“Hanya kau yang terlihat imut.”
“Jadi sekarang kau menggodaku?” Perempuan itu menumpukkan tangannya di atas meja sehingga wajahnya lebih dekat kepada David.
“Bagaimana kau bisa berpikir seperti itu?”
“Lalu kenapa kau mengatakan itu?”
“Karena aku sudah melihatmu cukup lama.”
“Lalu kenapa kau terus melihatku? Aku masuk ke dalam pesta ini bukan untuk membuatmu tertarik.”
“Aku tidak tertarik untuk apa kau masuk ke dalam pesta ini. Tapi aku sedikit tertarik tentang bagaimana kau bisa masuk ke pesta ini.”
Seketika perempuan itu menjadi gugup. Dia pun, menegakkan dirinya dan melangkah mundur satu kali.
“Apa maksudmu?”
David tersenyum sinis. Kemudian dia bangun untuk menyamakan posisinya dengan perempuan itu. “Aku sudah sering masuk ke dalam berbagai pesta, tapi aku tidak pernah melihatmu sebelumnya.”
“Ba-bagaimana kau bisa tahu itu, sedangkan ada banyak orang di setiap pesta?”
“Tidak sebanyak itu. Lagi pula, orang-orang yang masuk ke pesta mewah seperti ini biasanya bertingkah anggun. Kebetulan juga yang mengadakan pesta ini adalah teman terdekatku.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!