"Ibu, ini darah apa? Ada binatang yang mati ya?" tanya seorang gadis kecil berambut gelap tanpa melihat wajah sang ibu yang terbelalak ketakutan saat mereka baru memasuki rumah.
Dua perempuan berbeda generasi itu berjalan menapaki lantai kayu yang kini tergenang cairan merah pekat. Keduanya berjalan dalam diam karena gemetar dan cemas.
Di depan mereka kini terhampar pemandangan yang membuat sang ibu menjerit histeris dan secepat kilat menutup mata gadis kecil dalam dekapannya.Bocah kecil yang juga sempat melihat itu, kini gemetar dalam dekapan sang ibu.
"Darahnya dari dada kakek dan ayah, Bu," lirih bibir kecilnya dengan mata tertutup tangan sang ibu yang terdengar menangis semakin keras.
***
Cardian terbahak geli nan puas menatap kedua tangannya yang kini berlumuran darah.
Dia berhasil. Dari sekian banyak orang yang berusaha membunuh kedua orang itu, dialah yang berhasil.
Sekilas bau anyir menelisik penciumannya. Tapi dengan itu tawanya malah tampak semakin geli.
"Master! Anda melewatkan gadis kecil di rumah itu!"
Simon, asistennya mengerutkan kening seraya menatap majikannya dengan bingung.
Cardian terkekeh kejam. Dengan pandangan sinis melirik asistennya dengan sedikit geli.
"Nanti. Kusisakan yang paling manis untuk para penerusku. Akan menyenangkan kelak melihat mereka saling berlomba untuk menyenangkan hatiku," jawab pria setengah baya itu dengan kilat licik dan kejam terpancar dimatanya.
*RedSky
Deretan mobil mewah terparkir didepan sebuah rumah bergaya klasik. Rumah besar berupa mansion berdinding putih dengan halaman luas yang banyak di tumbuhi pohon-pohon besar yang rimbun.
Sekeliling rumah itu dipagari dinding yang sangat tinggi dengan pagar besi tajam dan kamera keamanan canggih di banyak sudut.
Di depan pintu masuknya yang berukuran terlalu besar dan tampak kokoh, seorang pria paruh baya berkulit coklat tembaga dengan stelan serba hitam tampak berdiri diam menjaga pintu dengan tenang.
Diliriknya dengan tajam para sopir yang berada dikursi kemudi mobil-mobil itu yang tampak dian dan tak bersuara.
Tugas pria berusia empat puluhan itu penting. Yakni menjaga dan memastikan aktivitas apapun yang dilakukan para penumpang mobil dan penghuni rumah besar itu, tak diketahui oleh siapapun termasuk oleh para sopir pribadi mereka sendiri.
Sebelah tangan si penjaga berada dibelakang punggungnya. Menggenggam erat senjata berperedam suara yang siap ditembakkan kapan saja.
Para sopir yang sepertinya sudah paham peraturannya, tetap diam dikursi kemudinya masing-masing.
Mereka seolah telah sadar bahaya apa yang akan terjadi jika mereka kalah oleh rasa penasaran yang mereka miliki.
--------00-------
Di dalam rumah besar yang mewah namun terkesan dingin itu tampak sepuluh orang duduk mengeliling dimeja pertemuan mewah dengan seorang pria lanjut usia berwajah dingin duduk diujung sebagai pemimpin pertemuan.
Pria tua itu berwajah tirus dengan rambut putih tipis dan tubuh kurus dan tampak rapuh.
Tapi jika diamati dengan seksama,tampilan ringkih itu tak sesuai dengan kilat dingin nan bengis yang terpancar dimata tuanya
Mereka yang hadir diam dengan wajah masam dan datar yang hampir serupa.
Tanpa suara dan hanya sekilas saling liring dan saling tatap dengan pandangan curiga dan saling mengintimidasi.
Mereka semua lima bersaudara, putra-putra dari sang pria tua yang kini duduk sebagai dikursi tengah dan tampak layaknya pemimpin mereka.
Di samping mereka duduk keturunan terbaik mereka masing-masing yang siap bersaing untuk mencapai kursi tertinggi disebelah sang pemimpin sebagai penerus utama dan mungkin pemimpin selanjutnya
Lima orang bersaudara itu kini saling menatap tajam satu sama lain.
Aura persaingan di antara para putranya yang berasal dari lima wanita berbeda itu membuat si pemimpin tua menyunggingkan senyum keji penuh kesenangan.
"Abraham! Bagaimana targetmu?" tanya si pria tua dengan ramah tapi menatap putra pertamanya dengan tajam.
"Tak pernah gagal, Master. Putraku Alden melakukan tugasnya sebersih dan sesempurna biasanya," jawab Abraham sambil menatap sekilas kearah pria muda tampan disebelahnya dan tak menyembunyikan nada bangganya.
Pemimpin tua bernama Cardian Zenoz itu menyunggingkan senyum tipis ke arah pemuda yang disebut Alden itu.
Empat saudaranya yang lain menatap tak suka kearah Abraham dan Alden.
Keturunan mereka memang belum sesempurna Alden dalam bertugas.
Apalagi dua dari lima bersaudara itu mempunyai keturunan seorang wanita yang tentu saja memiliki nurani meski bisa tergolong sedikit.
Alden menyunggingkan senyum sinis kearah sepupu-sepupunya yang menatapnya penuh kebencian dan rasa persaingan yang tampak kuat
Dia lantas menatap balik sepupunya satu persatu dengan tatapan yang sama bencinya.
ZENOZ
Nama besar yang tak asing di dunia hitam. Keluarga kaya lama yang misterius dan legendaris, yang terkenal dengan kepiawaiannya membunuh secara rapi dan rahasia.
Keluarga yang zaman dahulu kala dikenal sebagai klan pembunuh yang kerap disewa oleh para penguasa dan bangsawan-bangsawan di Eropa. Dan tentu saja masih tetap berlangsung hingga sekarang.
Banyak nama-nama terkenal yang telah menjadi target operasi mereka.
Namun karena keahlian dan pengaruh yang kuat, keberadaan mereka tak pernah diketahui wujudnya. Hanya gaung nama besar mereka saja yang begitu santer di kalangan pemakai jasa tersembunyi itu. Hingga akhirnya masyarakat awam menganggap keberadaan mereka sudah hanya sebatas legenda lama saja.
Tanpa tahu bahwa keluarga mengerikan itu benar-benar ada diantara mereka.
Tentu saja hanya para perantara terpilih saja yang bisa dijumpai oleh orang yang membutuhkan jasa mereka.
Para penghubung pilihan yang sangat setia hingga rela mati demi menjaga rahasia identitas klan pembunuh itu
Zenoz yang berkumpul saat ini adalah generasi ketiga. Pimpinan utamanya adalah Master Cardian Zenoz yang berusia hampir 74 tahun.
Seorang lanjut usia yang justru terkenal sebagai milyarder super dermawan dihadapan publik dunia.
Dia berperan sebagai seorang James Collin Marco yang terkenal sebagai pendiri salah satu yayasan peduli kanker terbesar di benua Amerika. Dan pendiri beberapa rumah sakit amal di banyak tempat di dunia.
Hampir tak ada seorang pun yang akan menduga bahwa seorang kakek yang selalu tersenyum hangat di depan publik itu adalah otak dan penggerak utama dari puluhan orang pembunuh yang terkenal kejam dan misterius disisi dunia yang lainnya.
Master Cardian memiliki lima orang putra dari lima wanita yang berbeda. Tak ada yang dinikahi satupun
Karena fungsi wanita bagi master cardian cukup sebagai pemberi satu keturunan.
Dan puteranya adalah Abraham, Randall, Cain, Marco dan Daniel.
Dan hari ini masing-masing membawa keturunan terbaik mereka kehadapan sang master tua.
Sejak dulu, semua wanita yang dianggap telah menyelesaikan tugasnya melahirkan keturunan ZENOS akan dibuang ke tempat yang jauh dari bayi yang mereka lahirkan tepat enam bulan setelahnya. Bahkan salah satu wanita itu dulu terbunuh karena menolak menyerahkan anaknya untuk dibesarkan sebagai pembunuh.
Semua anak yang mereka lahirkan tak boleh dilihat lagi seumur hidup. Dan anak-anak yang lahir pun tak diperbolehkan untuk bertanya tentang asal usul ibunya.
Begitu juga yang kini dilakukan putera-puteranya pada keturunan mereka.
Baik Alden, Zed, Arial, Megan dan Lucia sebagai cucu sang pemimpin utama yang terpilih, tak ada satupun yang tahu asal usul wanita yang melahirkan mereka ke dunia.
---------00---------
Master Cardian meletakkan lima buah map hitam di meja pertemuan.
Map-map itu berisi data target-target operasi untuk para keturunannya yang sudah cukup pantas.
"Cain bawa putramu ke Austria. Ada paket jutaan dolar yang harus kau bereskan!" perintah si tua Cardian dengan tegas
Cain dan Zed membaca data di map itu dengan teliti.
"Randall, kau pergi ke Canada! Megan, putrimu itu jadilah hadiah yang cantik untuk target kita." perintah kakek tua itu sambil menyeringai geli namun keji.
"Marco! Kau dan Lucia ke Italia!"
"Abraham! Daniel! Paket besar untuk kita disini. Kalian kerjakan dengan hati-hati!
Alden dan Arial disini sama-sama mendapat paket utama!"
Master cardian menyeringai puas melihat satu persatu keturunannya yang luar biasa.
Darahnya menggelegak oleh rasa bangga pada cucu-cucu terbaiknya.
Cardian yakin masa kedudukannya dan keturunannya kelak akan membawa klan Zenoz pada masa terbaiknya.
Dia yakin akan bisa membuktikan kehebatannya pada semua keturunan saudara-saudaranya yang telah dikalahkannya dulu.
Kini giliran cucu-cucunya yang akan bersaing sengit untuk meraih posisi tertinggi klan mereka.
Karena di keluarga ini saling membunuh untuk mencapai tempat tertinggi itu hak yang dianggap wajar
Meski keyakinannya pada kemampuan Alden dan Arial sebagai calon terkuat, Cardian masih tetap berharap juga agar yang lainnya turut berkembang hebat.
"Arial! Kudengar kau mengencani banyak wanita diluar sana. Jangan bertindak gegabah. Berpikirlah sebelum bertindak, anak muda!" tegur Cardian pada salah satu cucunya dengan dingin.
Arial tersenyum kikuk, lalu mengangguk kearah sang master.
"Tentu master. Aku memiliki alasan tersendiri kenapa melakukan hal tersebut," jawab Arial santai dengan tatapan menerawang.
Megan mendengus sebal kearah Arial yang membalasnya dengan seringai tipis tak peduli.
"Gunakan wanita seperlunya. Mereka cuma akan menghambat pekerjaanmu. Percayalah, anak muda! Hidup seorang Zenoz lebih mudah tanpa wanita," ucap Cardian penuh penekanan.
Lucia terbelalak tak setuju mendengar ucapan sang master.
Dia yang dianggap paling manusiawi dan paling lemah di antara lima penerus utama klan Zenoz tampak tak nyaman mendengarnya.
"Master, bukankah aku dan Megan juga wanita?" tanya Lucia hati-hati.
Cardian terkekeh mendengar pertanyaan itu.
"Tentu Lucia my dear, dan kuharap kalian berbeda dari wanita merepotkan diluar sana. Ingatlah, kalian seorang Zenoz terbaik. Dan harus membuktikan itu padaku," kata kakek tua itu dengan tegas.
Lucia terdiam mendengar jawaban sang Master.
---------------00------------
Alden mempelajari data targetnya dengan cermat.
Seorang pengacara terkenal bernama Andrew Douglas dan seluruh anggota keluarganya yang terdiri dari istri dan seorang putra tunggalnya yang berusia empat belas tahun.
Kliennya meminta eksekusi kali ini diketahui sebagai kecelakaan oleh media nanti.
Alden dan timnya hanya diberi data si target, tanpa tahu siapa nama klien peminjam jasanya. Guna mencegah kebocoran informasi dari kedua belah pihak.
Sesuai kode etik mereka, semua hubungan dilakukan melalui perantara yang terpercaya.
Agar kerahasiaan masing-masing pihak tetap terjaga dengan rapi.
"Steve! Bawakan aku catatan aktivitas target selama 24 jam setiap harinya. Cari daftar tempat yang rutin mereka datangi bersama. Cantumkan juga rute perjalanan yang selalu dilalui. Beserta data jenis semua kendaraan yang mereka miliki. Segera!"
Seorang pria berambut coklat tua yang bernama Steve mengangguk patuh dan berlalu secepatnya dari ruang kerja Alden.
Alden Abraham Zenoz, atau yang dikenal publik sebagai seorang pemilik beberapa properti sukses bernama Michael Alden Diaz adalah seorang pria mapan berusia tiga puluhan.
Dengan sosok penuh kharisma dan mata biru yang menyorot tajam, pesonanya mampu membuat begitu banyak kaum hawa begitu mengaguminya di luar sana.
Dan namanya selama ini selalu bersih tanpa ada skandal satupun. Meski cukup banyak wanita yang cukup berusaha ingin dikaitkan dengannya.
Namun sayangnya Alden tak pernah bergeming pada satu pun makhluk yang disebut wanita.
Baginya,ambisi dan tujuannya sebagai Zenoz utama diatas segala hal dan telah jadi prioritasnya.
Saat ini yang tengah duduk dan merancang strategi membunuh adalah seorang Alden Zenoz yang terkenal dengan ketelitian dan kerapihannya dalam membunuh.
Alden selalu berhasil mengarahkan pembunuhan yang dilakukannya sesuai dengan permintaan para kliennya yang tentu tak mau keterlibatan mereka bisa di temukan dengan mudah.
Dan diwaktu lain, Alden berperan sebagai seorang pebisnis muda cerdas yang terkenal cukup ramah pada orang-orang disekitarnya.
Benar-benar perbedaan yang mengerikan di dua kehidupannya.
Disatu sisi Alden adalah seseorang yang bertugas membantu menata masa depan manusia, namun disisi lain dirinya juga bertindak bak malaikat pencabut nyawa bagi sebagian manusia.
Dua sisi bersebrangan dengan begitu ekstrim dari seorang manusia bernama Alden.
Alden memutar-mutar bolpoin hitam ditangannya dengan wajah serius tampak berfikir keras.
Sepertinya dibenaknya kini tengah disusun rangkaian strategi yang akan dia gunakan pada sang target mahalnya kali ini.
Alden berfikir begitu detil dalam merancang pekerjaannya.
Bukan uang yang dicarinya, karena harta yang dibagi keluarga besarnya turun temurun mungkin cukup untuk membeli sebuah pulau pribadi tanpa menyebabkan hartanya habis sama sekali.
Bisa dibilang harta keluarganya itu tak bisa dihitung jumlah pastinya sebab terakumulasi sejak puluhan tahun lalu dari generasi-generasi sebelumnya juga. Meski jelas didapat bukan dari jalan yang halal.
Dan juga karena terus bertambah setiap harinya dari dua profesi yang mapan para anggota keluarganya sebagai kamuflase.
Alden begitu mengejar kesempurnaan dalam setiap hasil kerjanya.
Baik sebagai pembunuh, maupun sebagai pebisnis.
Ditambah pula dengan ambisi utamanya untuk bisa menjadi Master Zenoz generasi selanjutnya membuat Alden begitu memperhatikan keberhasilan tugasnya.
Harusnya Zenoz generasi ketiga saat ini di pimpin oleh ayah Alden, Abraham.
Namun entah karena alasan apa sang Master Cardian tak juga menyerahkan posisinya pada sang putra.
Malah Master Cardian meminta kelima cucunya yang harus bersaing untuk mendapatkan predikat layak untuk menjadi pemimpin tertinggi dari puluhan orang pembunuh rahasia selama nyaris seratus tahun itu.
Dering ponsel menyentak Alden dari kesibukannya.
"Steve?"
"Mr. Alden, Andrew douglas di jadwalkan pergi ke luar kota bersama komunitas Pengguna Transportasi umum besok. Dia akan ada di stasiun kota pada pukul 09.00 pagi."
"Stasiun?"
Alden mendengkus singkat.
"Ya, sepertinya itu salah satu pencitraan yang dilakukannya untuk meningkatkan nilainya di mata publik kota New York menjelang pemilihan nanti," kata pria itu dengan sinis.
Alden terdiam sambil memicingkan mata nya tampak sedang berfikir.
"Akan ku periksa sendiri besok. Kerja bagus steve!" puji Alden pada bawahannya itu.
"Tentu Mr. Alden, terima kasih," jawab Steve.
Alden menyunggingkan senyum tipis sambil menatap dingin foto si pengacara berusia setengah abad itu.
Lalu melemparnya foto itu ke perapian.
----------00---------
Tbc,
Pennsylvania Station, New York
Alden melirik jam ditangannya untuk kesekian kali dengan wajah nyaris bosan.
Dilihatnya lalu lalang manusia yang padat di stasiun itu sedikit banyak menyulitkan tujuannya hari ini. Jelas saja, Penn Stasiun termasuk yang tersibuk di Amerika. Konon katanya jumlah penumpang stasiun itu hingga mencapai seribu orang per 90 detik. Jadi bisa dibayangkan bagaimana akan sulitnya tugas Alden ditempat itu.
Pria itu mendesah pelan saat menyadari objek tak diundang tampak menghampirinya.
Alden mendengus lalu melirik tajam kearah seorang pria seusianya yang tiba-tiba saja duduk di kursi di sebelah.
Dengan santai dia bertingkah seolah tak saling mengenal dengan orang yang kini duduk didekatnya.
"Kenapa kau ada disini?"tanya pria tampan itu tanpa menoleh kearah lawan bicaranya.
Alden tersenyum sinis dengan mata tetap mengawasi pintu stasiun.
"Bukan urusanmu!" jawab Alden datar.
Pria itu mendesis kesal mendengar jawaban Alden, lalu menoleh dan tersenyum miring kearah Alden.
"Kurasa tujuan kita ditempat ini tak jauh beda."
Alden diam tampak tak peduli.
Pria itu tampak menghela nafas kesal lalu terkekeh pelan.
"Siapa targetmu?" Bisiknya pelan dengan mata berkilat jahil dan licik.
Alden melirik sinis kearahnya.
"Kau ini berisik sekali, Arial!" desis pria itu.
Arial terkekeh pelan. Dia melirik ponsel, lalu beranjak begitu saja menjauh dari Alden tanpa bicara apapun.
Alden mendelik dan hanya melirik sepupunya sekilas. Perhatiannya kini tercurah kearah rombongan orang yang memasukin stasiun.
Dia tersenyum dingin melihat targetnya tengah berjalan kearahnya.
Lalu dia berdiri sambil berpura-pura melihat ponselnya.
Saat rombongan itu melewatinya, dengan gesit Alden merapat dan ikut berjalan bersama mereka tanpa terlihat mencurigakan sedikitpun.
Dipasangnya ekspresi ramah saat berbaur bersama orang lain seperti yang selama ini dilakukannya.
Andrew Douglass terdengar tertawa akrab bersama para wartawan yang menyertainya.
Alden memperhatikan baik-baik target buruannya kali ini.
Seorang pria paruh baya berwajah ramah dan terkenal sebagai pengacara yang memperjuangkan hak-hak orang tertindas.
Seorang pensiunan jaksa yang kini beralih jadi pengabdi masyarakat sejati.
Disebelah Andrew berdiri istrinya Lindsay Douglass, seorang dokter anak yang juga cukup dihormati dan dikenal juga sebagai aktivis yang konsisten memperjuangkan anak-anak korban kekerasan keluarga.
Lalu putranya Marvin, seorang remaja genius Matematika yang dua hari lagi akan berusia genap empat belas tahun.
Alden ikut memasuki kereta bersama rombongan itu.
Dia belum akan membunuh targetnya hari ini.
Hanya melihat dan menyerap informasi yang dinilainnya perlu dari targetnya.
Steve memang sudah memberikan data yang cukup lengkap tentang mereka.
Tapi Alden memiliki kebiasaan melihat terlebih dulu targetnya sebelum beraksi.
Mungkin seperti berusaha melihat tipe dan kepribadian para korbannya terlebih dahulu.
Alden duduk beberapa meter dari rombongan targetnya didalam kereta.
Disampingnya duduk seorang wanita kulit hitam yang beberapa kali meliriknya dengan tatapan kagum.
Dengan ahli dia tersenyum hangat dan mengangguk ramah kearah wanita itu yang lantas tersipu saat tertangkap basah menatapnya.
***
Alden mengamati targetnya dengan mahir. Dia terlihat seolah jadi salah satu masyarakat yang tampak tertarik dan penasaran pada salah satu tokoh yang di sebut-sebut akan jadi calon pemimpin dikota itu
Dia duduk bersebrangan dengan rombongan targetnya yang kini tampak tengah berbincang hangat dengan para pers.
Saat sedang fokus mengamati objek buruannya yang masih saja sibuk berbincang, Alden di kejutkan oleh benturan keras dan suara pekikan pelan seorang wanita.
'Brugh!!
Alden terlonjak kaget melihat seorang gadis berambut coklat gelap yang kini mendarat dengan sukses dipangkuannya.
Tubuh gadis itu tersungkur tengkurap dengan cara aneh dan sama sekk tak anggun tepat diatasnya.
Bagian belakang pakaiannya tersingkap dan sedikit menampakkan sesuatu yang cantik berwarna merah muda bermotif bunga daisy dibaliknya.
Si gadis kini masih tersungkur dan terdengar mengerang kesakitan diatas tubuhnya.
Alden berusaha bereaksi sewajar mungkin. Karena saat melihat sekeliling mendapati dirinya dan si gadis kini jadi pusat perhatian dalam kereta yang tengah berjalan itu.
"Aw! Maafkan aku," ucap gadis sambil bergerak-gerak berusaha menumpukan tangannya ke lutut Alden berusaha bangun.
Si gadis cepat-cepat bangkit dari tubuh pria yang ditimpanya. Dia melirik tak enak kearah Alden yang masih terlihat kaget.
"Maaf, sepertinya hak sepatuku patah. Jadi aku hilang keseimbangan. Maafkan aku." ucap si gadis gugup tampak panik dan malu.
Alden melihat kearah gadis itu dan berusaha memasang wajah sesantai mungkin meski sebenarnya dia sebenarnya sangat jengkel saat ini.
Gadis itu mengganggunya yang tengah fokus tadi. Membuyarkan seluruh rencana pengamatan yang hampir tersusun diotaknya.
Benar-benar menyebalkan bagi Alden yang terbiasa melakukan apapun dengan terencana dan perfeksionis.
Alden tersenyum tipis,berusaha keras bersikap baik.
"Tak masalah. Apa kau baik-baik saja?" tanya Alden ramah dan terdengar tulus.
Gadis itu sejenak terlihat mengerjap konyol melihat wajah rupawan yang ada didepannya.
Pipinya merona seketika. Tangannya terangkat otomatis menyelipkan rambut kearah telinga .
Dia terlihat gugup dan sedikit salah tingkah.
Khas wanita yang tertarik melihat lawan jenis yang memukaunya.
Alden mendengus sebal dalam hati. Sebal
Gadis itu terlihat berusaha menguasai dirinya terlebih dahulu sebelum menjawab.
"Hm.. Iya. Aku tidak apa-apa. Maaf. Kau pasti terkejut tadi." ucapnya lembut dengan senyum menyesal.
Alden mengumpat marah dalam hati. Kesal karena harus membuang waktu untuk basa-basi yang memuakkan
Tapi hebatnya wajah tampan dan mata birunya menunjukan ekspresi ramah penuh pengertian pada gadis itu.
Dia tersenyum tipis membuat si gadis cukup terpana melihatnya.
"Tak apa. Jika tadi kau tidak terjatuh kearahku, kau pasti terluka." Jawab Alden terdengar tulus.
Sigadis tersipu malu mendengarnya. Dia melirik kearah bangku disebelah kiri Alden yang kosong.Tampak jelas binar senang dimatanya.
Alden memaki dalam hati saat mengerti gadis itu akan duduk di sebelahnya.
"Duduklah!" Alden menepuk kursi disampingnya dengan menahan marah serapat mungkin.
"Ehm... Aku Rania."
Alden menoleh kearah suara gugup di sebelahnya.
'Apa peduliku? Sialan!'
Alden mengumpat dalam hati.
Sebenarnya saat ini saking marahnya, dia sangat ingin mencekik atau menembak gadis yang kini ada disebelahnya itu.
Karena gara-gara kekacauannya, Alden tak mungkin bisa melanjutkan pengamatannya saat dia sudah cukup menarik perhatian orang banyak tadi.
"Alden Diaz!" jawab Alden memperkenalkan diri seraya menjabat tangan gadis itu yang terasa kecil dan kurus.
Rania mengangguk dan tersenyum manis.Lesung pipit kecil terlihat di pipinya.
Membuat Alden mengangkat alis sedikit menunjukkan apresiasi melihatnya.
***
Drrrrrttt.... Drrtttt..
Ponsel Alden bergetar disakunya. Dia melihat sebuah pesan baru saja masuk.
From: Arial
[Menjauh darinya! Dia targetku.]
Alden membeku.
Jelas merasa terkejut membaca isi pesan sepupu sekaligus saingannya yang tiba-tiba itu.
Diliriknya gadis yang kini tengah berusaha mematahkan hak sepatunya yang bengkok dan menggantung menyedihkan.
Gadis itu jelas bertubuh mungil, dengan dress motif bunga matahari berwarna kuning cerah membungkus tubuhnya.
Rambutnya coklat gelap tergerai lembut sampai ke punggung dengan poni yang agak panjang terselip disebelah telinganya.
Wajahnya tampak segar dan muda. Berkulit putih berwajah campuran barat dan sedikit nuansa asia yang membuatnya cantik.
Matanya coklat terang sewarna caramel.
Hidungnya cukup mancung tapi terlihat kecil dan pas diwajahnya.
Bibirnya merah muda yang agak pucat dan terlihat kenyal saat gadis itu beberapa kali menggigit kecil bibirnya.
Alden agak sedikit tertarik melihatnya, lalu mengernyit saat ingat pesan yang baru saja di terimanya.
To : Arial
Kau yakin dia targetmu? Cukup mengejutkan karena dia bahkan belum terlihat tergores sedikitpun.
Alden tersenyum puas setelah mengirim pesan setengah mengejek pada Arial.
From: Arial
Menjauh darinya! Brengsek!
Alden terkekeh puas membaca pesan Arial.
"Apa kau baik-baik saja?"
Alden menoleh kearah suara lembut didekatnya.
Dilihatnya gadis bernama Rania itu tengah menatap penasaran kearahnya.
Dia tersenyum ramah.
"Ya, tentu. Hanya saudaraku mengatakan hal yang lucu dalam pesannya." jawab Alden asal dengan sorot yang tampak sedikit geli.
***
Penumpang yang hendak turun cukup berdesakan di pintu kereta.
Mungkin kehadiran sang calon walikota dan rombongannya sedikit banyak menambah jumlah orang ditempat itu
Termasuk Alden dan Rania yang berdiri bersisian saat mengantri ke pintu keluar.
Alden melihat Arial mendekat dari sudut matanya.
Dan menilik tempat dan situasi dimana mereka berada, hanya butuh waktu sedetik bagi Alden mengetahui kalau Arial membawa senjata berupa jarum kecil beracun mematikan yang akan dipakai pada targetnya.
Alat mematikan yang sekilas tak nampak berbahaya.
Dan saat tertusuk pun hanya akan terasa seperti sengatan kecil serangga atau tusukan jarum peniti.
Padahal siapapun yang tertusuk jarum itu, dipastikan tewas tak lama setelahnya.
Jarum kecil itu tersimpan di jam tangan yang dipakai semua klan utama Zenoz.
Alden juga sama memakainya. Karena semua anggota Zenoz di bekali alat yang sama sebagai bekal dasar
Selain senjata tajam dan puluhan pistol, para Zenoz juga akan di bekali alat- alat mematikan lainnya dengan jenis dan jumlah yang sama yang dipilih sesuai kebutuhan.
Tak ada yang dibedakan satupun.
Jadi semua tingkat keberhasilan para pembunuh Zenoz benar-benar ditentukan oleh bakat, kecerdasan dan strategi anggotanya dalam menjalankan tugas membunuh mereka.
Alden sedikit mundur untuk memberi celah untuk Arial membunuh buruan didepannya.
Meski bersaing, pantangan utama mereka adalah berusaha berbuat curang dengan menggagalkan misi siapapun saingannya.
Sialnya saat Arial hendak beraksi, ada dorongan tak sabar dari arah belakang Alden karena banyaknya orang distasiun itu.
Hingga tubuh Alden sedikit terhuyung ke depan dan membentur punggung Rania dengan cukup keras.
Lalu jarum kecil yang dimiliki Arial sontak terjatuh ke lantai kereta dan tak terlihat lagi setelahnya
Alden terbelalak dengan tubuh yang sontak kaku karena terlalu terkejut.
Dengan ngeri dia menyadari telah melalukan pelanggaran fatal.
Yaitu tak sengaja menggagalkan misi Arial kedua kalinya.
Meski mereka bersaing, tapi mereka tak pernah saling mengganggu misi yang lainnya.
Terutama bagi Alden sebagai orang yang dikenal paling kompeten di antara semuanya.
Arial tertegun dan menatap kearahnya dengan marah
Dia perlahan berpindah dan mencari jalan secepat mungkin keluar dari sana.
Alden meliriknya sekilas dengan wajah gusar dan marah.
'Wanita sialan!'
Hatinya mengutuk gadis kurus itu dengan kesal.
Dia tak mau Arial berfikir bahwa dia berniat curang dengan berusaha menggagalkan misi sepupunya itu.
Dilihatnya Rania yang berdiri sambil menjinjing sepatu hak tingginya dengan wajah polos tak tahu apa-apa.
Alden sontak mengepalkan tangan dengan keras menahan dorongan untuk membunuh gadis yang mengacaukan harinya itu.
***
Alden sedikit menghembuskan nafas lega saat sudah menjauh dari kereta. Dia mengeluarkan ponselnya dan melihat sebuah panggilan tak terjawab dari timnya.
"Ada apa Steve?" tanya Alden datar
"Andrew dan keluarganya akan mengunjungi temannya di LA dua hari lagi. Mereka dijadwalkan berangkat pada pagi hari, Mr. Alden." tutur steve
Alden terdiam dan tampak berfikir keras.
"Bukankah hari itu ulang tahun putranya?" tanya Alden
"Iya, benar." jawab Steve
Alden tersenyum tipis.
"Kita bereskan hari itu juga." Alden berkata dengan mantap.
"Baik, Mr. Alden. Saya siapkan beberapa alat sesuai rencana yang anda susun."
"ya. Good job, Steve." puji Alden lalu menutup telponnya.
Alden masih terdiam saat sebuah tepukan pelan terasa di punggungnya.
"Diaz?"
Alden membeku kesal mendengar suara lembut bernada ceria itu.
'Brengsek!'
Tbc...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!