Pada saat seluruh hidupnya kacau karena seorang wanita serta pekerjaan yang tidak ada habisnya. Maron harus mengalami sebuah peristiwa yang membuatnya kehilangan banyak hal. Dia harus kehilangan pekerjaannya dan juga seluruh harta kekayaannya.
Seluruh tabungannya hilang bagaikan dilahap oleh api. Dia sama sekali tidak bisa memikirkan apa yang terjadi beberapa waktu lalu.
Di kala matahari masih menampakkan kegagahannya serta sinar yang begitu hangat serta terang, Maron masih berada di dalam kamarnya dan membaca sebuah buku.
Dia yang terbiasa menghabiskan waktunya untuk mencerna berbagai macam buku meninggalkan segala kesibukan yang dia miliki hanya untuk menaruh seluruh tenaga serta energinya untuk menghabiskan beberapa buku.
Dia sama sekali tidak bisa melupakan setiap buku yang dia baca, tidak peduli cerita macam apa yang tersaji di dalam buku tersebut. Dia akan mendalami setiap buku tersebut.
Ketika terik matahari begitu menyengat dan membuat kulit terasa terbakar. Maron berada di dalam kamarnya dan dia sedang membaca sebuah buku yang menceritakan kisah sebuah kerajaan yang mampu mencerna dan menguasai wilayah lain ataupun planet lain.
Maron terlalu fokus pada buku tersebut, sehingga dia tidak menyadari ada sekumpulan asap yang memenuhi ruangannya hingga mengurangi kadar oksigen yang ada di tempat tersebut.
Maron yang sedang memperhatikan setiap detail di dalam buku itupun perlahan-lahan mulai sadar bila saja ada sesuatu yang janggal di kamarnya.
Maron mulai memperhatikan sekelilingnya dengan lebih cermat, sorot matanya menajam dengan kilatan tertentu saat dia melihat ada sebuah asap yang mengepul dan memenuhi kamarnya. Perlahan-lahan dadanya mulai terasa sesak saat dia menghirup udara yang ada di dalam kamarnya.
Matanya pun ikut memerah saat dia merasakan dadanya sesak. Menghirup udara tak lagi menyenangkan untuknya saat ini. Asap yang ada di dalam ruangannya benar-benar menutupi seluruh pernafasan serta pandangannya.
“Uh ... Ugh ... Apa yang terjadi? Darimana datangnya asap-asap ini? Huft ... Kenapa bisa ada asap di dalam tempat ini? Aku ... “
Rasa sesak yang menghantam dadanya membuatnya tak berdaya. Pandangan mata yang awalnya begitu jelas mulai menjadi kabur dan dia sama sekali tidak bisa melihat semuanya dengan jelas.
Segala pergerakan atau apapun yang berada di depannya menjadi kabur. Asap berwarna hitam pekat nan membuat mata perih itu semakin pekat dan bertambah. Maron yang berada di sana pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Walau langkah kakinya tak berhenti di kala dia mendekati pintu kamarnya, dia yang tak mendapatkan suplai udara segar mulai melemah. Luas kamarnya sendiri tak sebegitu luasnya, tapi untuk menjangkau pintu kamar dari ranjang memang sedikit memakan waktu.
Ditambah lagi dengan situasi yang saat ini tengah dia hadapi. Maron tidak mampu berbuat apa-apa dengan keadaan ini. Dia hanya bisa merasakan rasa sesak di dadanya sambil menatap langit-langit kamarnya di kala dia terjatuh dan terbaring di lantai.
“Huft ... Huft ... Huft .. si .. al!! Apa ini akhirku? Siapa .. sia ... Yang melakukan ini?” suara yang terbata-bata itu benar-benar menjadi akhir dari dirinya. Maron yang terjebak di dalam kamarnya sendiri harus menerima bila akhir hidupnya ada pada saat itu jua.
Kebakaran yang terjadi pada saat itu sangatlah besar lima rumah menjadi korban dari si jago api. Termasuk dengan rumah yang ditinggali oleh Maron. Entah bagaimana kebakaran itu bisa terjadi, padahal rumah-rumah itu memiliki jarak yang cukup jauh serta tidak berhimpitan.
Tanpa tahu apa yang terjadi dengan kehidupannya yang dulu, Maron hanya bisa menerima apa yang ada di depan matanya saat ini.
Setelah ia menutup mata untuk kali terakhir, dia merasa seperti dipaksa untuk membuka matanya kembali. Sewaktu dia membuka matanya di saat dia merasa dipaksa untuk melakukannya. Maron melihat sebuah ruangan yang sangat asing.
Dekorasi ranjang yang terlalu mewah untuknya dengan guci serta beberapa senjata yang hanya ada di era dingin. Dua bilah pedang serta sebuah tombak tertata rapi di dekat ranjangnya. Alat atau benda yang hanya bisa dijadikan sebuah pajangan ataupun senjata yang hanya dia ketahui melalui buku-buku kini terpampang jelas di depan matanya.
“Huh? Apa yang terjadi? Di mana ini?” pikiran Maron melayang jauh melampaui apa yang biasanya ia lakukan. Dia benar-benar kehilangan arah dan pandangan saat dia membuka matanya. Segala hal yang dia lihat saat ini terlalu ambigu.
Ranjang yang mewah yang hanya bisa dia lihat melalui sebuah buku, persenjataan yang melepaskan aura cukup mengintimidasi, lantas berbagai macam perabotan maupun pernak-pernik yang hanya pantas berada di kamar seorang Pangeran maupun Raja.
Selimut yang saat ini melekat di tubuhnya pun terasa sangat halus. Ornamen yang melekat pada pakaian yang dia kenakan termasuk dengan bahan dari keduanya sendiri sangatl mewah untuknya. Walaupun lembut tapi hangat serasa terbuat dari sutra tapi sehangat kain wol.
Maron memandangi semua yang ada di sekitarnya dengan rasa khawatir dan bingung yang tak dapat dia katakan. Dia sama sekali tidak mengerti dengan apa yang terjadi di sekitarnya.
“Aku harus tenang, aku tidak boleh larut dalam kebingungan. Tempat ini memang tidak aku ketahui tapi bukan berarti aku harus bingung dengan semua ini. Aku harus memperhatikan setiap hal yang ada di sini,” pikirnya di saat rasa bingung dan bimbang menggerogoti batinnya.
Walaupun ada rasa tak nyaman yang bergerak di dalam benaknya. Dia benar-benar merasa bila apa yang ada di sekitarnya merupakan sebuah kamar yang hanya diperuntukkan oleh orang-orang kasta atas.
Sorot matanya menangkap setiap hal yang ada di kamar tersebut, dan pandangannya terus terpaku serta tertuju pada senjata-senjata yang ada di samping ranjangnya. Memang dia tak melihat adanya baju tempur, tapi senjata-senjata itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi sebuah bukti bila saja dia saat ini berada di tempat yang berbeda.
“Tempat semacam ini hanya bisa aku lihat dari ilustrasi yang tercetak di buku-buku yang menceritakan tentang sejarah ataupun kerajaan. Mungkinkah saat ini aku berada di dunia lain? Tentu saja, tidak. Hal itu sangat mustahil dan tak bisa dipercaya. Huft ... Aku harus menenangkan pikiranku,” gumamnya. Walaupun ada secercah pikiran yang tak biasa melintas di benaknya. Maron tidak lantas mempercayai hal tersebut.
Dia lebih suka untuk melihat semuanya dengan jelas tanpa adanya sebuah praduga. Walau terkadang apa yang dilihatnya benar-benar menjadi suatu hal yang tidak menyenangkan bahkan sangat menyakitkan.
Namun, bila hal itu ditampilkan di depan matanya dengan jelas dan tanpa ditutup-tutupi. Mau tidak mau, suka tidak suka, dia harus menerimanya. Maron pun hanya menanti apa yang akan terjadi setelah ini.
Beberapa menit berlalu dan ia juga tak bisa langsung keluar dari ranjangnya. Tubuhnya tak mampu menahan apa yang dia rasakan. Nyeri serta rasa tak nyaman yang menjalar di seluruh sendi dan sarafnya membuat dia meringis kesakitan sepanjang waktu.
Walaupun rasa sakit itu tak henti-hentinya mengikis tubuhnya. Dia hanya bisa menerimanya tanpa mampu berbuat apa-apa. Semakin dia melihat sekitarnya, semakin dia merasa bila ini menarik tapi juga membingungkan.
Apa yang bisa dia lakukan dengan segala keterbatasan yang dia miliki saat ini? Tanpa kekuatan yang seharusnya ada di dalam tubuhnya, dia hanya bisa berbaring di atas ranjang yang nyaman, lembut, dan empuk itu dengan sorot mata yang tak menentu.
Ada sebuah harapan akan sesuatu hal yang baik. Akan tetapi, ada juga sesuatu hal yang tak menyenangkan yang mungkin saja ada di sekitarnya.
Tanpa tahu apa yang akan terjadi dan menanti sesuatu yang belum ada jelasnya. Maron hanya menatap ke langit-langit ranjang maupun kamarnya. Semakin dia mengerti keadaan yang ada di depan matanya ini, semakin dia dipaksa untuk menerimanya walau dia sendiri masih belum yakin akan apa yang terjadi setelahnya.
Di saat dia harus menerima kenyataan bahwa ia sudah mati di dunia asalnya, dia masih belum bisa menerimanya dengan ikhlas. Seolah, masih ada sesuatu hal yang harus ia selesaikan di tempat itu. Namun, daya apa yang dia miliki di waktu dia dipindahkan ke sebuah tempat yang tak dia ketahui ini.
Di waktu dia menanti seseorang untuk membuka pintu kamarnya. Samar-samar terdengar langkah kaki yang tak biasa, derap langkah itu tak beraturan seolah tengah terburu-buru, dan dikejar sesuatu hal yang menakutkan.
Maron mendengarnya suara itu dan mencoba untuk menenangkan diri karena rasa khawatir yang entah dari mana asalnya merasuk ke dalam benaknya.
“Siapa itu? Apa aku akan baik-baik saja?” tanya Maron saat dia melihat sekitarnya dengan tenang seolah dia sedang berada di sebuah hutan yang memiliki pemandangan menakjubkan dengan runtuhan air dari langit yang meluncur dengan cepatnya ke tanah dan melewati sela-sela batu.
Walaupun ada rasa was-was yang menaungi benaknya, dia tetap berusaha untuk tenang.
Maron tidak tahu ada di mana, jadi dia benar-benar berusaha untuk tetap tenang walaupun batinnya tidak karuan.
Tak lama, sebuah derap langkah kaki itu semakin keras dan suaranya tidak berkurang. Dia mengarahkan matanya ke arah pintu dengan tatapan yang was-was. Dia hanya berharap jika sosok yang nantinya membuka pintu itu tak memiliki niat jahat atau dia benar-benar kacau.
Bukan suatu perkara yang mudah untuk dia. Tidak tahu bagaimana keadaan di dunia sebelumnya, buta akan dunia yang saat ini ia tempati, bahkan tak ada suara pengantar laksana novel-novel lainnya. Dia benar-benar kosong dan seputih kertas.
Pastinya, dia bukan seseorang dari kasta rendah karena tempat yang dia tinggali mencerminkan seorang Bangsawan bahkan Raja. Maron menghela nafas sambil memandangi sosok yang membuka pintu.
Seorang pria paruh baya yang mengenakan full plate armor serta membawa sebuah pedang di pinggangnya. Perawakannya tinggi dan berotot dengan dada yang bidang.
Wajahnya menunjukkan kerutan, dan tatapan matanya tajam tapi juga teduh. Selain itu, kumis dan janggut yang begitu rapi semakin membuat wajahnya terlihat tampan tapi maskulin.
Pria itu terlihat khawatir saat melihat Maron yang terbaring di Kasur. Dia tidak bisa tidak menyalahkan dirinya karena membuat Maron sampai pada kondisi seperti itu.
Beberapa waktu lalu, mereka sedang berperang melawan kerajaan lain, dan pada saat yang kritis, dia tidak bisa melindungi Maron. Dia masih merasa kesal sekaligus menyesal dengan kejadian waktu itu.
“Yang Mulia, Maafkan ketidakbecusanku dalam memimpin pasukan. Situasi masih bisa kita kendalikan. Namun, akibat tindakanku waktu itu, Yang Mulia berbaring di ranjang tanpa bisa berbuat apa-apa,” ucap Pria itu saat masuk ke dalam kamar Maron. Dia tampak sangat menyesal hingga menundukkan kepalanya.
Tubuh yang ditempati oleh Maron saat ini merupakan Raja dan satu-satunya keturunan Salauster yang memerintah Kerajaan Salauster. Sebuah kerajaan berukuran kecil yang menempati salah satu domain di Heaven World.
Heaven World sendiri merupakan sebuah pusat dunia yang terdiri dari berbagai macam domain yang jumlahnya melimpah.
Kerajaan Salauster terletak di domain luar, di mana di domain tersebut terdapat ratusan kerajaan yang menempati titik-titik bintang yang menjadi wadah mereka atau dunia mereka.
Di Heaven World sendiri Raja merupakan salah satu puncak piramida sekaligus pemegang kekuatan tertinggi. Mereka yang menjadi seorang Raja memiliki kemampuan dan kekuatan unik yang tak dimiliki oleh orang lain atau penggarap biasa.
Maron mengetahui hal ini setelah pria paruh baya yang tempo hari mendatanginya memberitahu semuanya. Awalnya pria itu terkejut dengan pertanyaan yang Maron ajukan. Namun, mengingat kejadian beberapa waktu lalu, pria paruh baya itu menjelaskan semua yang dia ketahui dan juga membawakan beberapa buku dan dokumen yang ada di perpustakaan kerajaan.
Maron menghela nafas saat mengetahui informasi tentang Heaven World. Dia diyakinkan oleh informasi ini bila dia berpindah dunia. Ada kesenangan yang memaksa keluar dari batin yang sedang gundah.
Voran tak menahannya, tapi juga tidak mengikutinya. Maron malah memasang wajah tenang seperti dia sudah mengetahui semuanya. Sekarang, dia menyortir ingatannya kembali termasuk ingatan yang dimiliki oleh Salauster Vande Voran, dan juga ingatannya sendiri.
“Dunia ini bukan dunia yang aku mengerti. Aku juga bukan protagonis seperti mereka yang ada pada novel-novel itu. Tak ada sistem yang memberikan bantuan ataupun Dewa yang memberikan sokongan. Keberadaanku sendiri merupakan misteri dan rahasia surga. Jika memang aku diberikan kesempatan kedua untuk memperbaiki hidupku yang tak memiliki nilai itu, maka aku akan menerima dan menjalankannya dengan lebih baik lagi,” batin Voran saat dia memperbaiki pakaiannya yang sedikit kusut.
Setelah berbicara dengan pria paruh baya yang mana dia adalah Jenderal Kerajaan Salauster, Richard Veus. Voran mengumpulkan semua informasi yang dia terima dan memprosesnya. Jumlah penduduk kerajaan, prajurit, kesejahteraan rakyat, budidaya kekuatan pribadi maupun kolektif, masalah internal maupun eksternal, serta pergolakan dari bayang-bayang.
Semua itu ada dalam pikirannya saat ini, walaupun dia hanya menghabiskan seluruh hidupnya untuk membaca buku dan novel. Dia tidak terlalu bodoh untuk berpikir bila dia sendiri bisa mengatasi semuanya.
“Dari semua masalah yang ada saat ini bukan pihak eksternal yang mengkhawatirkan. Namun, masalah yang ada di dalam tubuh kerajaan lah yang paling berbahaya. Tanpa tahu apa yang terjadi pada tubuhmu, kau memilih berperang. Itu tindakan bodoh dan gila. Sebelum bertindak cermati terlebih dahulu dan persiapkan terlebih dahulu. Huft … apa aku bisa melakukannya?” tanyanya dengan cemas saat dia menatap ke luar jendela kamar dengan tatapan rumit.
Hari ini merupakan hari di mana dia akan melakukan sebuah pertemuan dengan para petinggi kerajaan termasuk mereka yang menyebut dirinya sebagai bangsawan kerajaan. Baik Maron ataupun Voran tak begitu menyukai para bangsawan yang ada pada kerajaan saat ini meski mereka tak berkembang sebanyak yang ada di tempat lain.
Para bangsawan itu tidak hanya tidak membantu, tapi juga menggerogoti kerajaan dan membuat kerajaan menjadi tak berdaya. Sebelum masalah ini berkembang menjadi ancaman yang menghasilkan bencana. Voran ingin menghapusnya dan membuang bagian-bagian busuk yang ada pada kerajaan.
Di sisi lain, dia juga ingin melihat mereka yang dipandang sebagai pilar kerajaan. Dia ingin mengetahui orang macam apa mereka itu.
Dalam pikiran Voran sebuah kerajaan haruslah terpusat pada Raja bukan pada kelompok-kelompok tertentu. Tersebarnya pengambilan keputusan akan berdampak mengerikan dan kemungkinan besar akan menghasilkan bencana untuk kerajaan itu sendiri.
Voran tak menentang cara seperti itu, hanya saja Voran merasa cara seperti itu tak akan berhasil untuk sebuah kerajaan yang masih berjalan dengan kemonarkian.
Voran menata hatinya saat dia berjalan menuju ke ruang pertemuan yang digelar di Aula Kerajaan. Dia melihat beberapa prajurit yang melindungi istana dan berpatroli di sekitarnya. Tatapan matanya sedikit berubah saat melihat mereka semua.
Voran bisa merasakan sebuah tekanan tak berbentuk dari para prajurit ini dan dia mengira bila tekanan itu berasal dari aura mereka sekaligus budidaya kultivasi mereka. Voran menatap mereka dengan tenang dan sorot matanya tidak mengandung satu pun emosi, begitu tenang dan dalam.
Sebuah tatapan mata yang Voran tunjukkan seharusnya tidak dikeluarkan oleh seorang remaja, melainkan keluar pria yang sudah memakan asam garam kehidupan.
Voran melewati para prajurit yang menjaga istana dengan tenang dan dia tidak menunjukkan sedikit pun ekspresi saat melewati mereka yang mengalkibatkan tempat itu terasa dingin. Voran berjalan melewati pintu Aula Kerajaan sembari diirini oleh teriakan seorang prajurit.
“Yang Mulia Raja sudah tiba!!”
Penyambutan yang dilakukan oleh para prajurit membuat Voran merasa sedikit tidak nyaman. Namun, dia menutupi ketidaknyamanan itu dengan memakai topeng dingin dan tak peduli di wajahnya. Dia berusaha bertindak seperti seorang Raja sesuai dengan apa yang dia ketahui.
Voran melakukan tindakan yang dia ketahui dari beberapa novel yang pernah dia baca tentang seorang penakluk berdarah dingin nan kejam, pejuang tak takut mati, Raja yang bijaksana serta pengasih, dan penggarap gila yang menghalalkan segala cara demi meningkatkan kekuatannya.
Voran berpikir untuk menjadi salah satu dari mereka, toh dia diberi kesempatan untuk hidup lagi. Jadi, dia tak ingin melepaskan kesempatan yang ada.
Jika dia diharuskan untuk menjadi iblis sekalipun dia akan melakukannya, toh di masa hidupnya dulu Voran juga banyak melakukan kesalahan. Menjadi malaikat juga menyenangkan, tapi dia tak yakin akan hal ini, karena berjalan di sisi mulia jauh lebih sulit dan tak menentu daripada berjalan di sisi yang berduri dan dingin.
Seluruh petinggi kerajaan membungkuk sambil meletakkan salah satu tangannya di dada. Para bangsawan melihat Voran yang masuk dengan ekspresi dingin. Mereka tidak bisa tidak merasa gelisah saat melihat sorot mata yang Voran tunjukkan jauh berbeda dengan sorot mata yang pernah mereka lihat.
Tidak hanya mereka, tapi seluruh petinggi merasakan hal yang sama. Mereka melihat Voran tampak seperti orang yang berbeda.
“Pertemuan ini aku helat untuk memperingati kekalahan kerajaan tempo hari termasuk untuk membahas langkah apa yang akan kita lakukan untuk mengantisipasi masalah yang akan datang dan yang ada saat ini. Perang hari itu telah menyadarkanku akan buruknya kerajaan ini. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi dan mengapa peninggalan Ayahandaku akan berakhir sedemikian buruknya?”
“Aku ingin mendengar apa pandangan kalian tentang perang yang lalu dan keadaan saat ini!” ucapnya saat dia menyatakan sikap tegasnya.
Richard Veus meletakkan salah satu tangannya di dadanya lalu melangkah ke depan satu langkah sebelum berujar, “Perang beberapa hari lalu telah menyadarkan kita akan lemahnya kekuatan militer kerajaan. Perang itu sendiri bukan sebuah penyerangan, melainkan sebuah pertahanan di mana kita mempertahankan wilayah perbatasan. Kita tidak menang tapi juga tidak bisa dikatakan kalah. Semua itu karena kita berhasil mempertahankan wilayah perbatasan. Namun, korban di sisi kita tidak sedikit. Hal inilah yang membuatku menyebut perang ini sebagai kekalahan.”
Voran melihat Veus dengan tenang, dia juga melihat beberapa pria yang mengenakan seragam militer di dalam aula.
Terlihat ada dua faksi saat ini, yakni faksi militer dan sipil. Dua faksi yang terlihat dengan jelas tanpa perlu diamati terlalu dalam.
Di sisi militer dipimpin oleh Richard Veus, sedangkan pihak sipil dinahkodai oleh Bernan Fasuk. Salah satu pilar kerajaan juga. Dia telah mengabdi untuk kerajaan dalam waktu yang hampir sama dengan Richard Veus.
“Korban dalam peperangan pastilah ada, Jenderal Veus. Kita tidak bisa menyebutkan hal itu sebagai sebuah bentuk kekalahan. Mereka yang sudah berkorban demi mempertahankan kerajaan tidak bisa kita abaikan atau ejek. Kerugian yang diderita pihak militer tidak jauh lebih baik daripada sipil.”
“Berapa banyak sumber daya yang sudah kita tuangkan dalam perang ini? Kerusakan wilayah juga menjadi satu hal buruk untuk kita, Jenderal. Harap jangan membuat suasana semakin berlarut-larut,” ucap Bernan Fasuk. Dia melangkah maju dan memberikan salam hormat sambil memberikan satu statemen yang cukup untuk membuat militer geram.
Tidak ada niat buruk dalam kata-kata yang Fasuk ucapkan. Ia hanya mengatakan apa yang dia pikir benar. Daripada memusingkan satu kejadian yang sudah terjadi dan tenggelam dalam suasana yang merupakan dampak dari kejadian itu.
Fasuk ingin membawa mereka keluar dari suasana tersebut meski harus menyinggung beberapa orang. Fasuk lebih mementingkan langkah apa yang akan dilakukan oleh pihak musuh. Apakah mereka akan menyerang lagi atau tidak? Hal ini terkait dengan keberlangsungan beberapa projek yang tengah mereka tangani.
“Ya, Menteri Fasuk. Aku tidak menginginkan semuanya berlarut-larut. Akan tetapi, kekalahan yang terjadi itu harus kita ubah menjadi sebuah cambuk untuk membangkitkan semangat patriotik para pejabat murni dan tulus serta untuk menghukum mereka yang memiliki pikiran buruk akan kerajaan,” balas Veus dengan keras.
Mereka berdua saling bertatap muka dengan ramah meski setiap kata yang mereka ucapkan saling bertautan dan cukup berlawanan satu dengan lainnya.
Saat mereka berdua berbicara dan saling mengatakan isi pikiran mereka, tidak ada yang berani menginterupsi mereka sehingga suasana di Aula Kerajaan cukup senyap.
Mereka yang disebut sebagai Pilar Kerajaan terdiri dari tiga orang, yakni Bernan Fasuk sang menteri, Richard Veus Sang Jenderal, dan satu pria lain yang memiliki kedudukan tidak kalah bergengsinya dengan mereka berdua.
Di dalam Aula Kerajaan sendiri ada belasan pria yang terbagi dalam dua sisi dengan jalur tengah yang kosong sebagai jalan menuju ke singgasana.
Voran membiarkan keduanya berdebat tatkala pandangan matanya tertuju pada setiap pejabat kerajaan. Dia mengamati mereka semua dengan tenang dan tentu saja tidak ada perubahan apapun di wajahnya ketika dia memindai tempat tersebut.
“Perpecahan memang ada dan itu tidak terlalu ketaran, tapi jika dibiarkan begitu saja. Perpecahan ini akan berubah menjadi sebuah perang. Mereka yang berasal dari keluarga bangsawan memang lebih mementingkan keluarga mereka daripada kerajaan. Itu bukan masalah jika kinerja dan bakat mereka baik. Akan tetapi, mereka yang ada di sini hanya sampah semata. Menyingkirkan mereka akan menjadi prioritas utamaku!!” pikir Voran saat menatap seluruh pejabat yang ada di Aula Kerajaan. Dia melihat ada beberapa perubahan di mata beberapa pejabat.
Pada saat kedua Pilar Kerajaan sedang berdebat, Voran memikirkan kondisi Kerajaan Salauster yang mana dia mendapatkan informasi tersebut beberapa saat lalu jelang pertemuan dimulai.
Kerajaan Salauster berada di salah satu titik bintang yang ada di Domain Luar. Kerajaan Salauster sendiri menguasai enam wilayah dengan total luas area yang dikuasai seluas 20.000 km.
Titik bintang tempat Kerajaan Salauster berada disebut Dunia Suveral.
Titik bintang ini merupakan satu dari sekian titik bintang yang ada di Domain Luar. Voran mengingat-ingat enam wilayah yang masing-masing memiliki luas yang berbeda-beda. Namun, di setiap sisi wilayah merupakan wilayah yang dikuasai oleh Kerajaan lain, seorang Lord, bahkan bandit sekalipun mampu menjadi seorang pemimpin.
Dunia Suveral sendiri sangat kacau dengan adanya banyak kerajaan dengan berbagai macam ukuran. Penduduk Dunia Suveral terdiri dari ras manusia.
“Dengan perbatasan yang sulit untuk dipertahankan. Aku perlu meningkatkan militer dan berfokus pada militer terlebih dahulu. Tapi, aku juga tidak bisa meninggalkan sisi pemerintahan atau sipil terutama dalam hal mengembangkan. Pada sisi ini, aku perlu seseorang yang bisa aku percaya sepenuhnya dan memiliki kemampuan dalam mengelela pemerintahan yang baik.”
Voran terus berpikir saat kedua pilar sedang mendebatkan pendapat dan pandangan mereka. Voran memang membiarkannya dan dia juga ingin melihat bagaimana reaksi para pejabat lain ketika mereka melihat kedua Pilar Kerajaan saling adu argument.
Topik yang mereka debatkan tidaklah buruk malahan sangat baik karena hal itu akan membawa seutas pandangan baru. Voran sendiri juga turut mendengarkannya.
Richard Veus merasa kecewa dengan kekalahan itu dan ingin memperbaikinya dari berbagai sisi di militer. Sedangkan, Bernan Fasuk ingin memfokuskan seluruh energy kerajaan untuk membangun tatanan yang lebih baik dan mengembangkan segala macam infrastruktur yang ada.
Keduanya lebih condong ke sisi yang mereka kuasai, dan Voran yang mendengarkannya tidak bisa tidak merasa jika pekerjaannya akan banyak dan berat.
“Kalian berdua, Tenanglah! Apa yang kalian katakan tidak ada yang salah? Kita akan sedikit berfokus pada militer tanpa meninggalkan pembangunan kerajaan. Saat ini, perbatasan membutuhkan banyak tenaga. Bandit, Kerajaan lain, dan juga Lord atau para bangsawan yang mengangkat bendera mereka menjadi ancaman serta bahaya pada Kerajaan Salauster. Di saat kalian berdebat ini, aku yakin mereka sedang mempersiapkan serangan lain. Enam wilayah yang kita kuasai pasti diawasi oleh mereka, selagi kita lengah, mereka akan menerkamnya!!”
Voran berbicara dengan suara yang dalam dan serius. Dia benar-benar membuat suasana di Aula Kerajaan terdiam seketika dan hanya suaranya saja yang dapat didengar oleh para pejabat. Voran mengungkapkan apa yang dia pikirkan sejak awal.
Enam wilayah bukan serta merta akan menjadi miliknya dalam waktu yang lama selama masih ada musuh di sekitarnya. Voran menatap para pejabat terutama Kedua Pilar Kerajaan, dia tidak terlalu khawatir dengan pilar lainnya karena dia berada dalam pengasingan untuk meningkatkan kemampuan serta menenangkan pikirannya.
“Fokus utama kita adalah mempertahankan diri dan menyerang balik. Persiapkan semuanya!!”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!