Biasanya Papi segera menutup pintu kalau ada pemuda bertamu memakai sendal jepit dan jalan kaki. Modal dengkul ingin bergaul dengan anaknya. Tidak tahu diri. Modal motor saja ditolak. Takut masuk angin.
Tapi pemuda yang satu ini disambutnya dengan hangat. Meski siang ini berkunjung cuma mengenakan celana pendek kargo short dan kaos crew neck, dia tahu pakaian itu bermerek.
"Nak Gerdy!" seru Papi gembira, seluruh wajahnya tersenyum. "Kirain siapa?"
Gerdy adalah anak orang terkaya di kota kecil ini. Ayahnya pemilik perkebunan buah yang jumlahnya ratusan hektar. Rumahnya bagaikan istana. Mobil berderet. Jet pribadi parkir di bandara terdekat.
Gerdy mengangguk hormat, lalu bertanya, "Nadine ada?"
Sudah ganteng, kaya, dermawan pula. Di tangannya ada satu kotak cerutu dan beberapa dus martabak telor. Kurang apa lagi? Putrinya betul-betul tahu bagaimana membahagiakan orang tua!
"Ada," jawab Papi gesit sambil menerima bingkisan. "Silakan masuk."
"Terima kasih." Gerdy mengambil amplop cukup tebal dari kantong celana. "Ini ada uang sedikit untuk ijin bertamu selama liburan, di luar cerutu dan martabak telor setiap hari. Kalau kurang, ngomong saja."
"Cukup, cukup." Mata Papi bergelimang cahaya melihat isi amplop. Bergegas dia pergi ke ruang dalam memanggil putrinya, seolah sang tamu membawa urusan sangat penting.
Padahal Gerdy hanya iseng. Tidak ada teman nongkrong. Dari kecil sahabatnya cuma dua, Nadine dan Surya. Play boy receh itu lagi sibuk membantu ayahnya di bengkel.
Sambil duduk tumpang kaki, mata Gerdy kelayapan ke seluruh ruangan, dan hinggap pada foto yang terpampang di meja kecil di sudut ruangan. Tiga anak kecil berseragam SD. Warnanya agak kabur. Rupanya Nadine masih menyimpan foto kenangan itu.
Foto itu diperoleh dari hasil menipu tukang foto keliling, mereka bilang disuruh orang tua. Ketika fotonya diantarkan ke rumah masing-masing, bukan cuma caci maki yang didapat, harganya pun dibayar murah.
"Lama ya nunggu?" Nadine muncul membawa dua cangkir minuman. Satu cangkir diletakkan di hadapan Gerdy, satu lagi untuknya, lalu duduk di sofa. Nampan dipakai untuk menutupi rok mini. "Aku lagi menyiram bunga di belakang."
"Bunga deposito?" canda Gerdy.
"Bunga bangkai," sahut Nadine asal. "Buat kado wisudamu."
"Lulusnya juga kapan tahu."
"Bunga bangkai juga gedenya kapan tahu," senyum Nadine. "Minum."
Gerdy meneguk minuman sedikit, sekedar menghormati saja. Dia biasa minum air mineral. Tapi basa-basi perlu, "Bisa juga bikin minuman. Manisnya pas kayak senyum kamu."
"Bikin kamu klepek-klepek juga bisa," kata Nadine menyepelekan.
"Perempuan tidak pernah membuat aku jadi pecundang," ujar Gerdy, dan memang begitu faktanya. Perempuan tidak ada yang berani mengakhiri hubungan dengannya, dan tidak ada cerita balikan lagi kalau dia sudah pergi.
"Kusiram pakai air jeruk, terus ditampar pakai nampan, apa nggak bikin kamu klepek-klepek?"
Gerdy mengangkat sudut bibirnya sedikit. Sinar matanya sangat merendahkan. Tapi Nadine tidak tersinggung, karena ia juga menganggap lelaki demikian.
"Fotomu masih ada," komentar Gerdy. "Kolektor barang antik juga ya?"
"Cuma itu kenangan manis yang tersisa."
"Saat kupeluk kamu?"
"Peluk apaan? Kamu cekik aku sampai gak bisa nafas!"
"Pelukan play boy cilik begitu."
Sejak kecil Gerdy sudah berani memproklamirkan diri sebagai play boy. Dia sangat percaya diri dengan pesona yang dimiliki. Banyak gadis SD yang jadi korban cinta monyetnya.
Foto Gerdy sendiri langsung dirobek ibunya saat itu juga. Sejak kecil dia dilarang bergaul dengan Nadine dan Surya. Dia bosan bermain sendiri. Dia belajar jadi anak nakal dari mereka.
Rumah Nadine dulu sederhana sekali. Kehidupan mereka meningkat drastis sejak kakaknya jadi istri muda CEO sebuah perusahaan bonafid.
"Betah banget tinggal di kota kembang." Nadine mengambil inisiatif obrolan. Gerdy jarang ngomong duluan kalau tidak penting-penting banget. Dia hanya meladeni, selebihnya asyik main gadget. "Pulang cuma enam bulan sekali, padahal bisa tiap minggu."
Gerdy justru enggan untuk pulang kalau tidak diancam ayahnya. Kota Bandung begitu memanjakan hidupnya. Dia dipaksa untuk belajar mengelola perkebunan, dan kesempatan cuma ada pada liburan semester.
"Banyak cewek cakep di kota besar jadi lupa tanah kelahiran," sindir Nadine. "Lupa pada apa yang tersisa dari masa kecil."
"Tentu saja aku ingat," tukas Gerdy. "Di kota kecil juga banyak cewek cakep. Buktinya ada di depanku."
"Aku bukan cewek gampang dipuji."
Apalagi sama kamu, sambung Nadine dalam hati. Pujianmu mengandung racun.
"Dan aku bukan cowok yang gampang memuji," sahut Gerdy tak mau kalah.
Bodo, batin Nadine. Lagian apa untungnya dipuji seorang play boy? Yang ada siaga satu!
"Aku bukan kacang lupa kulitnya." Nadine melempar sindiran.
"Aku kacang tidak punya kulit," kelit Gerdy.
"Kacang busuk saja punya kulit."
"Kacang goreng."
Ketenangan sikapnya ini membuat Nadine kagum. Gerdy tidak mudah tersinggung, padahal kata-kata yang dilontarkan lumayan pedas. Ekspresinya tidak berubah saat menerima pujian atau bullying.
"Aku ingin menengok masa kecil," kata Gerdy. "Anggaplah kacang ingin menemukan kulitnya."
Nadine tersenyum kecut. "Kirain mau ngajak ngedance."
"Musiknya kaleng rombeng?"
"Di pusat kota ada diskotik dan kafe baru buka."
"Oh ya?"
"Lumayan juga view-nya."
Wajah Gerdy terlihat bersinar. "Jadi ada nyawa aku hidup di kota ini. Boleh kita coba."
"Gak bisa ya sehari saja tanpa clubbing?"
"Tentu saja bisa, kalau lagi di rumah."
Gerdy memang brengsek. Dia berubah jadi muslim taat kalau di depan orang tua. Begitu adzan berkumandang, langsung pergi ke mesjid. Padahal di Bandung mana pernah ingat shalat? Waktunya habis untuk dugem dan perempuan.
Tapi Gerdy bukan peminum dan pemakai, karena merusak kemampuan berpikir. Dia tidak mau sekedar lulus kuliah, mesti berprestasi. Gelar sarjana adalah impian sejak kecil.
Sebenarnya Abi mengharapkan Gerdy mengelola perkebunan selepas SMA. Sekolah tinggi-tinggi ujungnya cari duit juga. Lagi pula, dia bukan kuliah di jurusan agrikultura. Ilmunya tidak terpakai.
Ketika IPK Gerdy sangat memuaskan, Abi justru paling heboh, pamer ke warga kalau anaknya mampu mengemban amanat orang tua, dan tak sungkan mendompleng sebuah hadits; tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina. Padahal menuntut ilmu ke Bandung saja keberatan!
Abi berencana mengirimnya ke Netherland untuk mengikuti program pasca sarjana agrikultura di Wageningen University & Research.
"Besok-besok saja deh clubbing-nya," kata Nadine berubah pikiran. "Hari ini aku capek banget, banyak kesibukan. Kamu juga baru pulang kan? Aku siap kalau cuma menengok masa kecil, sungainya kan dekat."
"Tahu kenapa aku ingin pergi ke sungai?"
Nadine tersenyum masam. "Pasti kangen mandi bersama. Otak kotormu sudah terbaca."
Entah benar atau tidak tebakannya, barangkali ini yang membuat perempuan bertekuk lutut. Gerdy demikian cool, ibarat air danau yang sangat tenang, padahal banyak ikan buas di dalamnya.
"Habiskan dulu minumannya," pinta Nadine.
"Cukup," tolak Gerdy.
"Gak suka yang manis-manis ya?"
"Cukup lihat kamu."
"Bentar ya, aku rapikan dulu."
Nadine membereskan cangkir dan membawanya ke belakang. Di ruang dalam dia bertemu dengan ayahnya yang menguping pembicaraan mereka.
"Kenapa tidak mau jalan-jalan ke pusat kota?" tegur Papi tidak senang. "Kapan lagi dapat kesempatan emas seperti ini?"
"Alah, paling-paling pulang minta martabak telor sama cerutu," dengus Nadine sinis.
"Cetek banget pikiranmu, cuma sampai martabak sama cerutu!"
"Terus mau dikuras isi dompetnya?"
"Dompetnya tidak akan kering biar dikuras tiap hari!"
Nadine pergi dengan jengkel. Ngomong sama Papi bikin emosi. Di kepalanya cuma ada duit!
Sungai itu berkelok-kelok seperti ular raksasa. Musim kemarau airnya dangkal. Banyak endapan pasir bercampur lumpur. Biasanya ada aktivitas penambang pasir di sekitar sungai. Barangkali mereka tinggalkan karena sudah tercemar. Tampak limbah kimia mengalir membentuk pita panjang.
"Beruntung kita lahir lebih awal," kata Nadine. "Bisa berenang di kolam renang terpanjang di dunia."
Di jaman mereka dulu, sungai adalah barometer kenakalan anak-anak. Pulang sekolah, langsung berenang sampai lupa waktu.
Sekarang cuci tangan saja takut kena penyakit.
"Masih suka renang?" tanya Nadine.
"Bukan di sungai," sahut Gerdy.
"Bukan pula di kolam renang."
"Kok tahu?"
"Matamu terlalu terbuka untuk melihat yang tertutup."
"Dan matamu tidak tertutup untuk melihat yang terbuka."
"Aku tidak sebobrok kamu."
"Tapi seorang betina."
"Surya cerita?"
"Untuk tahu perempuan aku tidak butuh cerita dari orang lain."
"Apa yang kau tahu?"
"Tidak ada lagi yang perlu kutahu tentang dirimu. Dari ujung kaki sampai ujung rambut, aku sudah hapal lekuk-lekuknya."
"Sekarang tentu beda."
"Beda apanya?"
"Apa-apanya."
"Apa-apanya itu apa?"
"Apa yang termasuk apa-apanya."
"Muter-muter. Takut sama Kominfo ya?"
"Surya benar."
"Apa katanya?"
"Kau pejantan liar."
"Betina datang sendiri mengantarkan cinta."
"Kayak loket stadion menerima siapa saja yang masuk. Tante-tante juga?"
"Aku lebih suka down grade."
Nadine memandang tak percaya. "Gadis SMA? OMG! Aku harus menjaga adikku baik-baik!"
Mantan Gerdy kebanyakan gadis SMA. Dia sangat menikmati manjanya gadis putih abu-abu. Dia segera pindah berlabuh jika sudah puas menikmati keremajaannya dan meninggalkan cek dengan nominal cukup besar.
"Adikmu bukan seleraku," kata Gerdy. "Badannya tipis banget kayak papan tripleks."
"Jadi aku seleramu?"
"Jangan kepedean."
"Memangnya kamu saja yang boleh kepedean?"
"Aku bicara fakta. Gadis seusia kamu ada di antrian terakhir."
"Kamu suka ABG karena mereka gampang ditipu."
"Tidak ada tipu-tipu dalam cintaku. Semua atas dasar suka sama suka."
"Gak tahu malu."
"Hidupku mungkin lurus-lurus saja kalau tahu malu. Padahal dunia luas dan kenikmatan bertebaran di mana-mana."
"Sebobrok apapun manusia, rasa malu harus ada. Manusia loh?"
"Jadi kau punya rasa malu dengan penampilan seperti itu? Kau suguhi mata-mata lugu dengan pemandangan yang tidak biasa. Kau tidak dengar tadi pas di jalan? Bapak-bapak sampai istighfar melihat kamu."
"Tidak ada yang salah dengan penampilan aku."
"Jangan jadikan kota kecil ini sebagai panggung catwalk."
"Maka itu banyak nonton televisi biar tidak ketinggalan jaman."
"Mereka nonton televisi bukan untuk melihat yang aneh-aneh, tapi untuk melihat acara yang sesuai dengan kearifan lokal."
"Kok kamu jadi membela mereka?" protes Nadine. "Pak Lurah bukan apa bukan."
Nadine tampil modis karena kebiasaan di metropolis. Dia ingin membuka wawasan mereka tentang tren fashion. Tidak sedikit gadis lokal yang salah memilih gaya, sehingga menutup pesona alami yang seharusnya jadi sebuah kelebihan.
"Kalau aku jadi Pak Lurah, aku mendukung kamu jadi foto model," ujar Gerdy. "Untuk membuktikan tidak semua cewek daerah itu katrok."
"Itu profesi yang kujalani sekarang."
Tidak mengejutkan kalau Nadine jadi foto model. Lagi pula, tidak ada kabar tentang perempuan yang membuat Gerdy terkejut. Gadis itu memiliki pesona alami yang sangat fotogenik. Teman kuliahnya sampai operasi plastik untuk tampil sempurna di depan kamera.
"Sales alat kecantikan juga," kata Nadine.
"Separuh waktu?"
"Ya."
"Separuh waktu lagi sales om-om?"
"Ngarang."
"Papi bagaimana?"
Masalah terbesar Nadine adalah papinya. Bukan cuma soal karir, dalam bergaul juga. Banyak pemuda yang mundur teratur karena kurang modal. Jadi pacar belum tentu, keluar duit sudah pasti.
Surya juga pernah kena pajak, padahal Nadine yang menyuruh datang.
Gerdy bersyukur papinya mata duitan. Dia jadi bisa bertemu kapan saja dengan anaknya.
Nadine tidak tahu untuk urusan uang pelicin ini. Jangan harap bisa menemuinya lagi kalau sampai tertangkap tangan.
Gerdy suka perempuan yang memiliki harga diri.
"Sudah lama aku kehilangan figur seorang ayah," keluh Nadine dengan wajah sedikit berkabut. "Dia terbuai mimpi yang disuguhkan kakakku. Aku tidak mau ikut terlena."
"Katrin saudara kandungmu."
"Tapi yang kaya suaminya."
"Sama saja."
"Tentu saja beda."
"Kau merasa jadi orang lain di depan kakakmu? Atau Katrin yang membuat kamu jadi orang lain?"
"Dia justru paling keras melarang aku kerja. Takut ganggu kuliah."
"Takut kena tipu om-om juga."
"Aku tak mau terus-terusan jadi beban. Ingin belajar mandiri."
"Kalau sudah belajar mandiri, mau belajar apa lagi?"
"Belajar menjitak kepalamu!"
"Bukan belajar namanya, balas dendam masa lalu."
Barangkali karena masa lalu juga kalau besoknya mereka kelihatan main ayunan di taman, kejar-kejaran di gedung tua, berperahu di telaga. Tempat-tempat yang biasa mereka kunjungi waktu anak-anak.
Tapi pandangan Umi tidak hanya sampai di situ! Ini alamat bahaya. Sejak dini dia harus waspada sebelum segalanya terlanjur, Gerdy kehilangan masa depan.
Gadis model begitu cuma pintar menggoda. Tak mampu membangun semangat belajar. Apa yang bisa diharapkan darinya?
Kecantikan memang dia kembangnya. Hidup di kota besar membuatnya tampil beda dengan gadis kebanyakan. Tahu cara berdandan. Tapi cuma itu keunggulannya.
Di kota kecil ini, seorang gadis umumnya pacaran hanya satu kali sebelum melangkah ke pelaminan, hanya mengenal satu laki-laki. Tapi dia, pemuda mana yang belum mencicipi cintanya? Setiap minggu laki-laki hilir mudik ke rumahnya! Pulang cuma untuk tebar pesona!
Ayahnya membiarkan saja kelakuan anaknya begitu. Memang itu yang diharapkan. Memilih-milih mana pemuda yang paling kaya, paling banyak berkorban. Ayah dan anak sama bejatnya.
"Hati-hati kalau bergaul," tegur Umi ketika puteranya baru pulang dari rumah gadis itu. "Salah-salah nanti terjerumus."
Gerdy menoleh tak mengerti. "Maksud Umi?"
"Jangan kira Umi tidak tahu kedekatan kamu sama si Betadine."
"Nadine."
"Peduli apa soal nama? Pokoknya bukan keturunan baik-baik!"
"Papinya mantan aparat kelurahan."
"Biar mantan aparat, kalau tega menjual anaknya, jadi keparat!"
"Katrin bukan dijual."
"Lalu apa namanya kawin cuma untuk bikin anak?" Wajah Umi membentuk lautan cemooh. "Jadi istri kontrak?"
"Kalau jodoh, mau bilang apa? Protes sama Tuhan?"
"Pintar omong kamu! Sudah mulai ketularan si Betadine rupanya!"
"Nadine gadis baik-baik," jelas Gerdy sabar. "Tidak seburuk sangkaan Umi."
"Mata Umi belum buta!"
"Jangan lihat casing, lihat hatinya."
"Gadis seperti itu mana punya hati?" dengus Umi sinis. "Yang ada di kepalanya cuma bagaimana cara menjerat laki-laki! Menguras isi dompetnya!"
Gerdy balik menyindir, "Umi jadi miskin perasaan karena kebanyakan harta, selalu curiga dan penuh prasangka."
"Jangan salah paham!" sambar Umi geram. "Aku bukan melarang pacaran! Tapi pilihlah gadis baik-baik! Bukan gadis yang dijadikan modal usaha!"
"Umi jangan kuatir. Aku tidak tertarik jadi pacar ketiga belas. Gadis cantik di kampus asal mau."
Gerdy jadi berpikir. Baru kelihatan akrab saja, ibunya sudah demikian sengit. Bagaimana kalau mereka benar-benar terjebak dalam jerat cinta?
Wajah kusut Papi serentak berubah ceria saat tahu siapa tamu yang datang. Matanya yang gelap langsung bercahaya melihat kotak cerutu dan martabak telor kesukaannya.
"Wah, Nadinenya tidak ada," senyum Papi lebar. "Tapi masuk saja. Kita ngobrol di dalam."
Nadine sungguh laris, keluh Gerdy dalam hati. Tiap hari pasti ada yang ngajak pergi. Kota ini betul-betul kekurangan gadis cantik. Atau cuma dia yang berani open house?
"Pergi sama siapa?" tanya Gerdy sambil menyerahkan bingkisan yang dibawanya. Dia sudah buru-buru berangkat dari rumah. Siang ini mau mengajak Nadine lunch di kafe. Ternyata kalah cepat. Kalau gadis itu sudah pergi, jangan harap pulang sebelum matahari tergelincir.
"Sendiri," jawab Papi. Seandainya pergi berdua juga pasti jawabannya begitu.
Ada perasaan lega di hati Gerdy. Entah kenapa. Barangkali karena teman Nadine kadal semua. Apalagi anak juragan sapi itu. Cuma traktir lobster minta macam-macam. Tidak mau rugi. Maka itu Nadine memblokir namanya dari daftar kontak.
Anak bandar buah yang bawa duren montong satu pick up saja tidak berani main paksa. Dia sudah bangga bisa makan malam bersama gadis secantik Nadine.
"Ke mana?" selidik Gerdy penasaran.
"Jakarta. Mana lagi?"
Gerdy menatap heran. "Ada keperluan apa? Katanya pemotretan lagi break?"
"Piknik sama teman kuliah. Memangnya tidak ngomong sama nak Gerdy?"
Kalau bilang buat apa bertanya, gerutu Gerdy dalam hati. Dia tahu Nadine merasa tak perlu pamit. Gadis itu meninggalkan laki-laki seperti meninggalkan baju kotor di keranjang pakaian.
Gerdy sebenarnya tersinggung, tapi Nadine bukan pacarnya. Jadi apa haknya untuk tersinggung?
"Berapa hari?" tanya Gerdy.
"Satu minggu."
Lama betul, pikir Gerdy tanpa gairah. Pasti pergi ke tempat yang jauh. Pantai mana yang dituju? Bali atau Lombok?
Papi tersenyum seakan tahu isi pikirannya. "Sebentar kok, nak Gerdy. Minggu depan juga bertemu lagi."
Biarpun cuma satu minggu, Gerdy tidak sabar menunggu. Dia merasa seolah satu abad lamanya. Belum pernah hatinya begini galau ditinggal pergi seorang gadis. Padahal Nadine bukan siapa-siapa.
Mula-mula dikiranya karena rasa kesepian. Bosan jalan-jalan sendiri. Ketika batas waktu yang ditunggu-tunggu tiba, Nadine belum pulang juga, Gerdy bukan cuma tidak sabar.
"Bel saja," saran ayah gadis itu. "Kalau sama Papi, pasti tidak diangkat."
Padahal tidak mau rugi. Untuk kepentingan sendiri saja pinjam sama teman Nadine. Kalau mereka pelit, berarti ijin tidak keluar. Apalagi ini keperluan orang lain. Jadi yang bersangkutan wajib keluar modal. Enak saja dibantu. Lagi pula, apalah artinya pulsa belasan ribu bagi anak miliarder itu.
Masalahnya Gerdy tidak biasa. Nanti dulu kalau ngebel. Nadine bisa besar kepala. Bertambah satu penggemarnya.
Kalau sekarang Gerdy bolak-balik ke rumahnya, demi kenyamanan belaka. Nadine tidak mungkin datang ke rumahnya, tidak disiram air got saja sudah bagus. Di Bandung, mana pernah Gerdy berkunjung ke rumah perempuan!
"Siapa tahu sudah berada di pondokan," kata Papi. "Belum sempat pulang."
Boleh jadi. Nadine masih lelah untuk pulang ke rumah. Tapi boleh jadi pula masih berada di lokasi wisata. Dan membayangkan bagaimana romantisnya kehidupan di sana, ada selarik perasaan tak enak di dadanya.
Gerdy seharusnya gembira Nadine berkumpul bersama teman kuliahnya, yang salah seorang pemudanya mungkin pacar tetapnya, sehingga tertutup pintu untuk jatuh cinta. Tapi kenapa hatinya justru merasa ... cemburu?
Sejak semula Gerdy tidak yakin dengan hatinya. Dia hapal siapa dirinya. Gadis itu terlalu menarik untuk jadi bagian dari masa lalu. Terlalu mempesona untuk dibiarkan berlalu dari hidupnya.
Atau Nadine marah dengan kejadian di tepi telaga itu? Dia tidak mau lagi bertemu dengannya?
"Brengsek," maki Nadine saat rebahan di rumput hijau diam-diam Gerdy mengecup bibirnya. "Jangan samakan aku dengan gadis-gadismu."
"Laki-laki lain minta ijin kalau mencium kamu?"
"Mereka tidak kurang ajar seperti kamu!"
"Aku tak percaya pacar-pacar kamu belum pernah menyentuh bibirmu."
"Aku tidak minta kamu percaya! Tapi aku tahu kalau pacarku mau mencium aku!"
"Nah, karena aku bukan pacarmu, jadi kamu tak perlu tahu, tak perlu minta ijin."
Nadine diam cemberut. Di mata Gerdy justru kelihatan makin menggoda. Dia tahu gadis itu tidak marah, tapi tidak pula menikmati ciumannya. Ciuman laki-laki tak bedanya lipstik yang tiap hari menempel di bibirnya!
Keesokan harinya Gerdy berusaha menahan diri untuk pergi ke rumah Nadine. Kelihatan sekali kalau dia mengharapkan kepulangan gadis itu. Di mana harga dirinya?
Sepanjang hari Gerdy berada di perkebunan sampai Abi heran. Anaknya belum pernah serajin itu belajar tentang pemeliharaan tanaman, padahal Gerdy cuma ingin menghalau keresahan hatinya.
Dia baru datang lagi ke rumah Nadine ketika mendapat kabar dari Surya kalau gadis itu sudah pulang dari Bali. Dia sebenarnya malas pergi, tapi keinginan hatinya sulit dibendung.
"Rencananya satu minggu," jelas Nadine. "Teman-teman minta tambah. Sebagai panitia, aku oke saja asal mereka bayar ekstra."
Ada seleret kecewa menyapu dada Gerdy. Sepuluh hari mereka tidak bertemu, tapi sedikit pun gadis itu tidak menunjukkan rasa rindunya.
Gerdy tahu seperti apa laki-laki di matanya. Tak ada yang istimewa. Setiap laki-laki bisa pergi bersamanya dan bisa ditinggal pergi seenaknya. Saat dia diperlakukan sama, ada sakit hati yang tak mau hilang di dadanya.
"Teman-temanku sangat betah di Kuta," kata Nadine. "Banyak pemandangan yang tidak sepantasnya dipandang."
"Kalau cuma kepingin lihat pemandangan vulgar, tak perlu ke Bali," sahut Gerdy hambar. Semangat yang menggebu-gebu untuk berjumpa dengan gadis itu langsung mencair dengan sendirinya. "Di internet juga banyak."
Nadine seolah tidak curiga dengan perubahan di wajahnya. Dia terlampau asyik dengan pengalaman liburannya. "Teman-temanku sempat tertipu dengan taman kupu-kupu di Tabanan. Mereka kira tempat kupu-kupu kertas atau kupu-kupu malam."
"Tolong bikin chat story saja," potong Gerdy dingin. "Nanti aku baca."
"Kamu nggak tertarik mendengar ceritaku?"
"Kepanjangan."
"Ceritaku bikin bete ya?"
Gerdy tidak tahu harus menjawab apa. Dan kemunculan anak bandar duren di ambang pintu membuat nafasnya lega.
"Ke mana?" tegur Nadine melihat Gerdy bangkit.
"Belum tidur siang."
"Bentar." Nadine tidak tahu kalau Gerdy hanya pura-pura menguap. "Ada oleh-oleh buat kamu."
Nadine pergi ke kamarnya. Ketika kembali lagi ke ruang tamu, Gerdy sudah tak ada di tempatnya.
Sinar mata gadis itu berubah layu.
"Kok aku ditinggal pergi?" tegur anak bandar duren melihat Nadine berjalan ke ruang dalam.
"Aku panggil Papi buat menemani kamu," jawab Nadine kesal.
"Aku ingin ketemu kamu, bukan Papi."
"Kamu bawa duren, kan?"
"Satu pick up."
"Yang suka duren itu Papi sama si Mimin. Aku sudah bilang nggak suka duren dan nggak suka kamu bawa duren. Jadi lain kali kamu ketemu Papi atau si Mimin, tidak usah ketemu aku lagi."
Pemuda itu bengong.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!