NovelToon NovelToon

Salah Rahim

Bab.1

...Assalamualaikum, Author kembali hadir dengan novel baru bertema romance religi. Novel ini hanyalah fiksi, hasil dari kehaluan seorang Alya Aziz yang ingin terus berusaha menyajikan cerita yang menarik. Jika ada kekeliruan dan kesalahan dari cerita, mohon dimaafkan ya teman-teman. Yuk kita simak bersama kisahnya......

...Happy reading......

15 Agustus 2019, Arman Alfarizi seorang pengusaha sukses harus kehilangan separuh jiwanya karena sebuah tragedi kecelakaan. Trauma di hari kejadian masih amat membekas dalam ingatannya hingga membuat ia enggan untuk memulai satu hubungan baru karena takut mengulang luka yang sama.

Tahun-tahun berlalu dengan perasaan kosong yang masih sama. Hampa, suram seolah tidak ada alasan untuk hidup. Namun tiba-tiba saja Arman bermimpi menimang bayi laki-laki yang tersenyum di atas pangkuannya.

"Apa! Kamu ingin punya bayi ... ta-tapi bukannya kamu tidak mau menikah lagi?" tanya seorang laki-laki yang duduk di hadapan Arman.

"Tidak harus menikah dan juga tidak perlu meniduri seorang wanita. Gavin, aku membaca salah satu artikel di internet tentang inseminasi buatan, apa mungkin kamu bisa membantu ku?"

Gavin Leonardo adalah seorang Dokter muda sekaligus putra dari pemilik salah satu rumah sakit ternama di daerah Jakarta. Gavin sudah lama tidak bertemu dengan Arman dan ketika bertemu ia dikagetkan dengan permintaan aneh sang sahabat.

"Ya, memang bisa tapi ... lebih baik kamu menikah sajalah. Enaknya dapat, anaknya juga dapat. Arman, ini sudah hampir empat tahun dan kamu belum bisa melupakan Cynthia?"

"Aku tidak akan bisa melupakan Chintya, aku sangat mencintainya meski dia telah pergi menghadap ilahi setelah kecelakaan itu. Hufft, sudahlah sekarang kamu bantu aku untuk prosedur inseminasi buatan itu bagaimana caranya?"

Gavin nampak terdiam sejenak memandangi Arman yang menatapnya dengan begitu antusias dan juga sangat serius. Setelah kematian Cynthia, ia benar-benar bisa melihat bahwa Arman telah kehilangan cinta dalam hidupnya.

"Ehm baiklah. Karena aku bukan dokter ahli kandungan maka aku akan memperkenalkan kamu dengan salah satu dokter di rumah sakit ku, kalau kamu memang serius ingin melakukan prosedur inseminasi buatan yang pertama kali harus kamu cari adalah wanita yang bersedia untuk mengandung anak kamu, ya jaman sekarang ada banyak wanita seperti itu, tapi kamu harus pilih-pilih juga."

Mendadak Arman kembali menyadarkan tubuh di kursi kebesarannya. "Benar juga, setidaknya aku harus mengenal wanita yang akan mengandung anak ku dan aku akan menawarinya bayaran tinggi."

"Saya saja, Pak!" Seorang wanita berkemeja putih dengan rok span hitam melangkah cepat menghampiri Arman dan juga Gavin.

"Shila, jadi dari tadi kamu menguping!?" tanya Arman yang nampak sangat kesal.

Shila menundukkan kepalanya saat melihat tatapan tajam sang atasan. Ya, wanita itu adalah sekertaris baru Arman. "Maafkan saya. Tapi saya benar-benar bersedia, apalagi saat mendengar Anda akan membayar tinggi."

"Arman, dia boleh juga. Dari pada kamu pusing mencari lebih baik terima saja," ucap Gavin berbisik kepada Arman.

Arman memandangi ujung kepala hingga ujung kaki Shila yang memang terbentuk sempurna sebagai seorang wanita. "Baiklah, jika kamu memang bersedia, ikuti semua arahan dan kita atur surat perjanjian."

~

Masih di langit yang sama, seorang wanita berjalan dengan gontai masuk kedalam rumah. Entah apa yang baru saja ia dengar hingga raut wajahnya nampak begitu sendu.

"Syifa bagaimana, lancar pertemuan dengan orang tua Firman, kapan mereka ingin bertemu Ayah?"

Langkah Syifa terhenti, ia menoleh melihat sang Ayah yang tak sabar mendengar jawaban darinya. "Ayah, apa Syifa sudah salah memilih jalan?"

Lengkungan senyum di wajah keriput itu mendadak luntur melihat ekspresi wajah Syifa. "Apa maksud kamu? Pagi tadi kamu pergi dengan wajah berseri-seri dan sekarang kenapa seperti ini."

"Kedua orang tua Mas Firman ingin Syifa melakukan tes keperawanan sebelum menikah, itu sama saja mereka meragukan ku. Sejak awal mereka memang seperti tidak suka ... astaghfirullah, Syifa ke kamar dulu."

Syifa hendak melanjutkan langkahnya pergi ke kamar namun kembali di cegah oleh sang Ayah. Ia kembali berbalik, menatap sang Ayah yang sangat mengharapkan pernikahan ini. "Ayah, aku lelah. Kita bicara besok ya."

"Syifa dengarkan Ayah. Apapun yang terjadi kamu harus menikah dengan Firman, dia itu laki-laki baik dan mapan. Kamu hanya perlu berkorban sedikit, itu juga untuk kebaikan bersama agar mereka tidak lagi ragu."

Terkadang Syifa merasa begitu kecewa karena selalu mendapatkan perlakuan yang kurang adil. Saat Kakak laki-lakinya hanya makan tidur tanpa melakukan apapun, ia harus bekerja keras untuk menghidupi keluarga.

Saat pertama kali mengetahui bahwa Firman menyukainya, sang Ayah terus mendorong ia untuk menerima cinta laki-laki itu meski sebenarnya Syifa enggan untuk berpacaran.

"Apa aku harus melangkah sejauh itu, demi apa Ayah, uang kan, Ayah hanya ingin uang tanpa pernah memikirkan kebahagiaan Syifa. Kenapa bukan Kak Devan saja?"

Pakkk!

Satu tamparan mendarat tepat di wajah Syifa. Rasa pedihnya bahkan menusuk sampai ke dalam hati. Ia hanya berusaha untuk menyuarakan keluh kesahnya tetapi selalu saja salah, tidak ada tempat untuk mengadu karena sang Ibu telah lama di meninggal dunia.

"Jangan kurang ajar, besok kamu pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan. Itu saja kok banyak drama," ujar sang Ayah lalu melangkah pergi begitu saja meninggalkan Syifa.

Kaki ringkih yang tak lagi bisa menapak bumi membuat Syifa jatuh terduduk di lantai dengan perasaan campur aduk yang terus menggerogoti jiwa yang kian rapuh.

......................

"Dok...dok, bangun. Ini sudah pagi, bukannya Anda ada jadwal pagi ini ."

Seketika mata dokter tersebut langsung terbuka padahal Ia baru saja memejamkan mata pukul lima dini hari karena tugas malam di rumah sakit.

"Jam berapa sekarang?" tanyanya kepada sang pembantu.

"Jam delapan, sebaiknya Anda bangun sebelum Dokter Gavin datang kesini untuk membangunkan Anda."

Mendengar nama Gavin, Dokter wanita itu pun segera bangkit dari posisi berbaringnya mengikat rambutnya tinggi ke atas lalu melangkah cepat menuju kamar mandi.

Karena terlalu terburu-buru ia bahkan tidak lagi mandi dengan sempurna, hanya membersihkan wajah dan juga menggosok giginya karena ia benar-benar sudah terlambat.

"Dokter Annisa tidak mandi?"

"Tidak Bi, aku ada pasien pagi ini, nanti mandi di rumah sakit saja."

Annisa adalah seorang dokter spesialis kandungan yang bekerja di rumah sakit yang sama dengan Gavin. Sebenarnya hari ini ia tidak ada tugas pagi karena malam tadi sudah mengambil tugas malam tetapi karena permintaan Gavin akhirnya ia harus bangun pagi-pagi sekali untuk ke rumah sakit.

~

Sesampainya di rumah sakit dengan mata yang masih sangat mengantuk ia melangkah menuju ruangan kerjanya.

"Selamat pagi, Dok. Ini adalah sempel sel sp*ma tuan Arman yang siap di suntikan," ucap seorang perawat seraya menyerahkan box berisi sebuah botol kecil di mana harapan Arman akan segera di tanam.

"Hoaam, Dokter Gavin yang memberikan ini?" tanya Anisa dengan mulut yang tak henti-hentinya menguap.

"Iya Dok, beliau yang sudah mempersiapkan semuanya, tinggal Anda yang menyuntikkan."

"Ck, dia yang mengurus semuanya? Aku bahkan belum bertemu dengan wanita itu untuk memberikan treatment. Tapi karena dia pemilik rumah sakit ini, baiklah aku akan lakukan. Oh iya, kamu tolong ke kantin, belikan saya kopi. Pasien pagi ini biar saya menangani sendiri," ujar Annisa seraya menyadarkan tubuhnya.

"Baik Dok. Oh iya ada satu pasien lagi, datanya saya tulis di situ juga, pemeriksaan keperawanan."

"Oh iya iya, sana belikan saya kopi," ujar Annisa yang tidak henti-hentinya menguap.

Setelah kepergian perawat itu, Anisa segera berdiri dari posisinya agar semua pekerjaannya pagi ini cepat selesai dan ia bisa bersantai.

Dipakainya jas putih kebanggaan lalu melangkah keluar dari ruang kerjanya. Sesampainya di ruang praktek benar saja sudah ada seorang wanita muda yang duduk di brankar rumah sakit.

"Selamat pagi, Dok. Dokter pasti sudah tahu maksud saya datang kesini kan, tadi saya sudah mengatakan semua ke asisten Anda."

Ya, wanita itu adalah Syifa, ia benar-benar malu mengatakan kembali maksud dan tujuannya datang ke rumah sakit kepada dokter karena Ia berpikir dokter itu pasti sudah tahu karena ia sudah mengatakan semuanya kepada perawat tadi.

"Iya saya tau. Silahkan berbaring agar prosesnya lebih cepat ya," ucap Annisa seraya membantu Syifa untuk berbaring.

Setelah memastikan Syifa berbaring dengan santai, Anisa melangkah menuju mejanya melihat data diri pasien yang ada di sana, namun tiba-tiba saja ia tidak fokus karena terlalu mengantuk.

Tadi Susi bilang pasien pertama yang inseminasi buatan atau tes keperawanan ... ah kenapa aku lupa, batin Annisa.

Anisa kembali menghampiri Syifa yang sudah berbaring di atas brankar rumah sakit. "Nona, Anda yang akan melakukan inseminasi kan?"

Sejenak Syifa terdiam karena tidak mengerti dengan istilah yang dipertanyakan oleh sang dokter, kemudian Ia berpikir mungkin itu adalah istilah dari tes keperawanan yang akan ia lakukan.

"Oh i-iya Dok."

"Baiklah kalau begitu ayo kita lakukan. Agar semuanya cepat selesai." Ia membuka lebar kedua sisi paha Syifa untuk penyuntikan.

"Astaga," ucap Syifa seraya memejamkan mata, ia mencengkram erat ujung bantal dengan jari-jarinya yang terlihat bergetar.

Hari itu sebuah takdir baru di dalam hidup syifa Khairunnisa baru saja dimulai.

Bersambung 💖🥰

Untuk yang tidak tahu apa itu inseminasi buatan, ini author jelaskan sedikit ya....

Inseminasi buatan dilakukan dengan cara menempatkan sp*rma langsung ke dalam rahim pada saat pelepasan sel telur (ovulasi) menggunakan kateter kecil, waktunya pun kurang dari sepuluh menit.

Biasanya Dokter akan meminta pasien untuk berbaring di tempat tidur, menggunakan spekulum untuk melebarkan ******, memasukkan kateter berisi sp*rma ke dalam ****** melalui pintu rahim dan masuk ke dalam rahim, menyemprotkan sp*rma ke dekat tuba falopi dan meminta pasien untuk tetap berbaring selama beberapa saat, kemudian melepaskan kateter serta spekulum.

Bab.2

...Tidak ada seorang Muslim pun yang ditusuk oleh duri atau lebih dari itu, kecuali Allah pasti akan menghilangkan kesalahan-kesalahannya. Sebagaimana pohon yang menggugurkan daunnya." (HR. Bukhari)....

*

*

*

"Silahkan berbaring agar pemeriksaan keperawanan cepat selesai," ujar Dokter Annisa seraya menyiapkan segala peralatannya.

"Maaf Dok, saya datang untuk inseminasi buatan, bukan pemeriksaan keperawanan," ucap Shila dengan raut wajah kebingungan.

"A-apa, jadi ...." Dokter Anisa bisa merasakan seluruh tubuhnya bergetar hebat setelah sadar telah melakukan kesalahan besar.

"Kenapa, apa ada masalah Dok?" tanya Shila yang semakin kebingungan. Tadi ia memang datang sedikit terlambat dan ia pikir tidak akan menjadi masalah.

"Ti-tidak ada masalah apapun, silahkan berbaring." Ia berusaha untuk tetap tenang agar tidak memancing kecurigaan. Meski dalam hati ia begitu panik mengingat kesalahan prosedur yang telah ia lakukan.

Shila dan Syifa, bagaimana aku melakukan kesalahan seperti ini, batin Annisa.

~

"Bismillahirrahmanirrahim." Syifa menyuapkan nasi ke dalam mulutnya dengan tangan bergetar. Setelah pemeriksaan itu, ia memutuskan untuk makan di kantin rumah sakit, karena perutnya terasa begitu mual, ia pikir asam lambungnya naik karena terlalu gugup.

Saat tengah fokus melahap makanannya tiba-tiba saja ponselnya berdering tanda panggilan masuk. Ia segera menerima panggilan telepon itu. "Hallo Mas?"

[Bagaimana tes kamu hari ini, lancar? Maaf Mas tidak bisa mengatakan kamu ya, banyak sekali pekerjaan di kantor.]

"Tidak apa-apa, Mas. Aku sudah selesai, tinggal menunggu hasil saja."

[Syifa, maafkan Ibu ku ya. Sebenarnya Mas tidak setuju, tapi demi restu mereka kamu harus berkorban seperti ini.]

Syifa kembali terdiam, ingin rasanya ia meluapkan segala isi hatinya kepada sang calon suami, namun lagi-lagi ia merasa perasaannya tidak lagi penting.

"Aku baik-baik saja, Mas. Aku tutup dulu ya, aku sedang makan."

[Hem sampai jumpa besok.]

Panggilan telepon itu segera di akhiri oleh Syifa, ia menghela napas yang begitu berat karena semakin dekat dengan pertunangan maka semakin banyak hal yang memenuhi pikirannya.

Tatapan kedua orang tua Mas firman kemarin benar-benar membuat ku merasa bahwa aku bukanlah menantu yang mereka harapkan. Ingin mundur tapi Mas firman sudah sangat baik selama ini, batin Syifa.

Tak ingin berkutat dengan rasa cemas yang tak berujung, Syifa memilih untuk menghabiskan makanannya agar energinya kembali pulih.

~

Di ruangan berbeda, Gavin menatap tajam kearah Anisa yang berdiri di hadapannya. Ia sudah mendengar semua cerita Anisa tentang kesalahan prosedur yang di lakukan oleh seorang wanita yang hanya datang untuk tes keperawanan malah di berikan tindakan inseminasi buatan.

"Aku tidak tahu harus berkata apa, Nis. Kesalahan kamu kali ini sangat fatal, jika sampai wanita bernama Syifa itu benar-benar hamil, dia bisa saja menuntut kamu dan rumah sakit ini!"

"Vin jangan berkata seperti itu, aku benar-benar tidak sengaja. Semoga saja wanita itu tidak hamil, karena kita tidak tahu dia datang saat masa subur atau tidak. Aku mohon kamu jaga rahasia ini ya, demi aku dan juga rumah sakit ini."

"Sampai kapan, Nis? Aku benar-benar ... ahk, baiklah kita lihat saja satu bulan ke depan, jika wanita itu tidak hamil maka semua aman, tapi jika yang terjadi malah sebaliknya, kamu harus bertanggungjawab penuh, sel s*erma itu bukan milik orang sembarangan!"

Di tengah perdebatan keduanya tiba-tiba saja ponsel Gavin berdering dan ia nampak kaget ketika melihat nama Arman Alfarizi tertera di sana. "Nah dia menelepon kan, aku juga yang kena kalau begini."

Annisa bersimpuh di hadapan Gavin karena benar-benar ketakutan kariernya sebagai seorang Dokter hancur. "Please, Vin. Tutup mulut dulu untuk sementara waktu."

"Hallo, Arman."

[Apa prosesnya sudah selesai?]

"Iya sudah selesai, sekarang kita tinggal menunggu hasilnya saja, mungkin akan memakan waktu sekitar satu bulan atau lebih."

[Aku percayakan semuanya kepada kamu, kalau begitu aku tutup dulu.]

Gavin kembali menunduk melihat Annisa yang masih berlutut di hadapannya. "Berdiri lah, Nis. Kamu tidak perlu sampai berlutut seperti itu." Ia membantu Anisa untuk berdiri dari posisinya.

"Vin, apa yang harus aku katakan kepada Syifa sekarang?"

"Berikan hasil tes keperawanan palsu kepada pasien yang bernama Syifa Khairunnisa dan kita terus pantau dia sampai 1 bulan ke depan, jika dia benar-benar hamil, mau tidak mau kita harus menanggung resiko dan memberitahu semuanya tentang kesalahan yang sudah kamu lakukan, bagaimanapun keputusan Arman dan Syifa nanti kita hadapi bersama."

...****************...

Satu bulan berlalu....

Kediaman sederhana keluarga Syifa sudah di dekorasi sekian rupa untuk menyambut kedatangan keluarga Firman. Suasana sakral begitu terasa, meski hanya di hadiri keluarga dekat dan juga ketua RT sekitar.

Di dalam kamar, Syifa tak henti-hentinya menarik napas panjang nan dalam karena semakin gugup. Sebentar lagi ia akan terikat oleh seorang pria yang siap bertanggung jawab atas dirinya.

Sempat ragu saat kedua orang tua Firman nampak tak menyukainya, namun kini ia sudah berhasil membuat calon mertuanya itu sedikit demi sedikit luluh.

Dengan gaun burkat berwarna biru, hijab pasmina yang menutup mahkota indahnya dan make up tipis yang ia poles sendiri tanpa bantuan Mua ternama, Syifa tetap terlihat cantik meski terkesan sederhana.

"Cie yang sebentar lagi tunangan, hadiah pelangkah untuk Kakak ada kan?"

Syifa menoleh, memandangi sang Kakak yang sedang berdiri di ambang pintu kamarnya. "Iya, ada kok. Tapi Kak Devan jangan berekspektasi tinggi, karena aku beli seusai kemampuan ku."

"Kakak doakan kamu bahagia dan tidak ragu lagi dengan Firman. Kakak ke depan dulu ya sepertinya sudah banyak orang."

Setelah kepergian sang Kakak, Syifa membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Sejak malam tadi ia merasa kurang enak badan namun enggan untuk mengeluh.

Air matanya tiba-tiba mengalir melihat foto sang ibu yang terpajang di nakas di sebelah ranjang tempat tidurnya. "Bismillah ya Bu. Hari ini Syifa akan bertunangan dengan seorang laki-laki yang sangat baik, dan juga bertanggungjawab. Andai ibu di sini, pasti akan lebih menyenangkan, tapi tidak apa-apa di sisi Allah ibu telah mendapatkan tempat terbaik."

Cinta dan kasih seorang Ibu tidak akan pernah tergantikan, apalagi untuk seorang anak perempuan yang harus kehilangan kasih sayang Ibu di usia yang masih teramat muda.

Berusaha menerima keadaan yang sebenarnya tidak baik-baik saja, Syifa terbentuk menjadi pribadi yang mandiri melawan kejamnya dunia yang selalu tak berpihak kepadanya.

Mempunyai sandaran hidup, adalah harapan besar Syifa kepada Firman. Setelah semua pembuktian, Syifa sadar tidak ada lagi pria yang bisa membahagiakannya kecuali Firman.

"Fa...Syifa, ayo keluar. Keluarga Firman sudah menunggu," ucap seorang wanita paruh baya yang berdiri di ambang pintu kamarnya.

Syifa segera bangkit dari posisi berbaringnya, membetulkan pakaian agar terlihat lebih rapi. "Apa acaranya akan di mulai?"

"Iya, semua tamu sudah berkumpul di depan, Tante di minta memanggil kamu, ayo."

Syifa menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Dengan langkah perlahan ia pergi ke menuju ruang tamu, karena sang calon suami telah menunggu.

Sesampainya di depan Syifa bisa melihat calon suaminya tengah duduk diantara para tamu. Semua mata menatap takjub kepadanya tetapi pandangan matanya tiba-tiba saja kabur, tubuhnya terasa lemas dan--

Bruk!

"Syifa!" sahut Firman yang segera berdiri dari posisi duduknya ketika melihat sang calon istri sudah jatuh pingsan di lantai ruang tamu kediaman itu.

Bersambung 💖

Bab.3

Mata itu mulai terbuka, ruangan asing yang di dominasi warna putih membuatnya menggedarkan pandangan ke sembarang arah. Ia semakin bingung, saat mendengar suara-suara orang yang sedang berdebat hebat tak jauh darinya.

"Syifa sudah sadar!"

Semua orang kembali mengerumuninya dengan tatapan penuh tanya, tak ada rasa simpati. Syifa tidak mengerti apa yang terjadi kepadanya, hingga harus mendapatkan tatapan seperti itu. "Ada apa ini?"

"Syifa, sekarang jujur kepada ku, siapa yang sudah menghamili kamu?"

"Hamil?" Syifa nampak terkejut ketika mendengar pertanyaan dari calon suaminya.

Bug!

Belum sempat Syifa menjawab apapun, Devan sang Kakak, sudah menjatuhkan pukulan di wajah Firman. "Fir! Bisa-bisanya kamu menanyakan hal itu kepada Syifa, dia tidak mungkin hamil kalau bukan kamu yang melakukannya!"

Ayah Syifa hanya bisa terduduk lemas di pojok ruangan, meratapi nasib buruk yang tiba-tiba saja menimpa keluarganya.

"Demi Allah! Aku tidak pernah menyentuh walau sehelai pun ujung rambutnya. Sekarang aku bertanya untuk sebuah kepastian." Firman kembali melihat kearah Syifa yang masih nampak terkejut. "Sekarang jawab, siapa yang sudah menghamili kamu, Syifa?"

Apa yang harus di jawab oleh seorang wanita yang tiba-tiba saja di nyatakan hamil di hari pertunangannya. Syifa adalah seorang wanita yang selalu menjaga dirinya dari pergaulan semacam itu, sungguh tidak mungkin baginya untuk melakukan hal intim di luar pernikahan.

"Sebenarnya apa yang sedang kalian bicarakan, Aku tidak hamil. Jangan mengada-ada, aku mau pulang." Di cabutnya jarum infus yang menancap di tangan lalu ia turun dari brankar rumah sakit.

Firman mencoba untuk menahan langkah sang calon istri, karena belum mendapatkan jawaban yang ia inginkan. "Syifa, dengarkan aku. Kamu baru saja di periksa oleh Dokter, dan hasilnya kamu hamil. Jangan menyembunyikan apapun dan jujurlah kepada kami, jujulah jika kamu sudah melakukan zina!"

Devan yang tidak terima adiknya di bentak, mendorong tubuh Firman menjauh dari Syifa. "Jangan membentak dia, kau tidak berhak!"

"Sebenarnya apa yang telah terjadi," lirihan suara Syifa saat melihat Firman sudah jatuh tersungkur ke lantai. "Aku tidak pernah melakukan zina seperti yang Mas tuduhkan."

Firman mencoba bangkit dari posisinya, menatap Syifa dengan penuh amarah. "Aku pikir kamu wanita suci dan beradab. Tetapi ternyata semua yang orang tua ku katakan tentang mu, itu benar. Aku menyesal karena telah mencintai wanita seperti mu. Mulai hari ini kita tidak punya hubungan apapun dan pertunangan kita batal."

"Dasar kau Firman b*engsek!" seru Devan saat Firman melangkah menuju pintu keluar. Ia hendak mengejar namun sang adik menahannya.

"Kak Devan." Syifa menoleh melihat sang Ayah yang sejak tadi hanya diam. "Ayah, katakan kepadaku, bahwa semua ini tidak benar. Kalian mengenal ku dengan sangat baik, aku tidak mungkin melakukan hal semacam itu sampai hamil."

Hembusan napas Ayahnya terdengar bergetar. "Ayah tidak bisa berpikir jernih saat mendengar hasil pemeriksaan kamu. Sekarang Firman sudah membatalkan pertunangan dan kamu sudah menghancurkan hidup mu sendiri."

~

"Vin, sekarang wanita itu sedang berada di rumah sakit ini. Dan ternyata dia ... dia benar-benar hamil, apa yang harus kita lakukan sekarang. Karir ku akan hancur," ujar Annisa saat masuk keruangan Gavin.

Gavin mengusap wajahnya dengan kasar. Ia malah memikirkan bagaimana cara mengatakan semua ini kepada Arman. "Sial...sial! Mau tidak mau aku harus memberitahu Arman, tapi Dia pasti akan membunuhku."

"Maafkan aku Vin. Aku berjanji jika kasus ini di bawah ke ranah hukum, aku yang akan bertanggungjawab penuh tanpa melibatkan rumah sakit apalagi kamu." Anisa menyadari kesalahannya dan ia sudah menyiapkan diri untuk hari ini.

Gavin tak memberikan tanggapan apapun lagi. Ia meraih ponselnya untuk menelpon Arman. "Hallo, Arman. Datanglah ke rumah sakit sekarang, ada hal penting yang harus aku bicarakan."

[Oh iya, kebetulan aku baru saja selesai rapat di kawasan dekat rumah sakit. Aku akan segera ke sana.]

~

Benar saja, tidak butuh waktu lama, Arman sudah datang dan membuat Anisa semakin tegang. Ia sudah bisa melihat kehancuran karirnya sebagai seorang dokter.

"Hey kenapa kalian melihat ku seperti itu, apa proses inseminasi buatannya gagal? Kalaupun iya, tidak apa-apa, kita bisa coba lagi," ujar Arman dengan santainya duduk di samping Anisa.

"Arman sebenarnya waktu itu--"

Annisa menahan ucapan Gavin. Ia yang melakukan kesalahan dan tentu saja ia yang harus menjelaskan semuanya kepada Arman. Di hadapan Arman ia berlutut dengan kepala tertunduk.

Tentu saja hal itu membuat Arman kaget. "Dokter Annisa, kenapa Anda berlutut seperti ini. Hey berdirilah."

"Pak Arman, maafkan saya. Sebenarnya saat proses inseminasi buatan, saya telah melakukan kesalahan. Sel s*Erma Anda yang seharusnya di suntikan ke rahim Shila malah saya suntikan ke rahim wanita lain."

"Apa!" Arman berdiri dari posisi duduknya, hampir tak percaya dan berharap baru saja salah dengar, namun ekspresi wajah Gavin dan Anisa mengisyaratkan sebuah kenyataan.

"Pagi ini wanita itu pingsan dan saat dilakukan pemeriksaan, dia benar-benar hamil. Maaf karena aku menyembunyikan hal ini kepadamu, aku benar-benar tidak menyangka inseminasi buatan itu akan berhasil. Kamu tenang saja, aku akan memastikan wanita itu mau mengugurkan kandungannya." ujar Gavin.

Arman tediam sejenak, ia merasa jika walau bagaimanapun hal itulah yang ia inginkan. Ia tidak bisa membuat calon anaknya di gugurkan begitu saja. "Itu sama saja kamu ingin membunuh anak ku. Sekarang katakan kepada ku di ruangan mana wanita itu di rawat."

~

"Ayah, Kak Devan. Aku mau pulang saja, tidak ada gunanya kita disini," ucap Syifa setelah sekian lama larut dalam keheningan.

"Kamu masih lemas dan syok bagaimana bisa kamu meminta untuk pulang," ujar Devan.

Klek.

Ketiga orang yang ada di ruangan itu menoleh kearah pintu masuk, saat mendengar suara pintu terbuka. Ketika melihat Dokter dan dua orang lainnya datang, Devan dan Ayahnya langsung berdiri.

"Dokter Anisa," ucap Syifa saat melihat Dokter yang sangat familiar baginya.

Mendengar namanya di sebut, Annisa tiba-tiba kembali berlutut. Ia benar-benar sudah pasrah untuk mengakui semua kesalahannya. Gavin dan Arman hanya bisa membiarkan Anisa untuk menceritakan semuanya.

"Dokter kenapa berlutut seperti ini," ucap Syifa panik.

"Maafkan saya, Nona Syifa. satu bulan yang lalu saat Anda datang untuk melakukan tes keperawanan Saya telah melakukan kesalahan besar. Hari itu saya menyuntikkan sel sp*rma milik Pak Arman kerahim anda secara tidak sengaja."

Semua orang di ruangan itu nampak terkejut, terkecuali Gavin dan Arman yang sudah mengetahui semuanya. Dengan gejolak amarah yang menyesakkan dada Devan menghampiri Anisa dan memaksanya untuk berdiri.

"Jadi karena itu adik saya hamil? Dimana otak Anda sebagai seorang Dokter, kami sebagai keluarga tidak akan membiarkan hal ini, kami akan mengugurkan kandungan Syifa dan melaporkan Anda kepihak yang berwajib!" tegas Devan.

"Saya akan bertanggungjawab," sahut Arman di tengah suasana yang makin memanas.

"Arman," ucap Gavin tak percaya, ia tahu sahabatnya itu enggan untuk menikah lagi setelah kematian sang istri.

"Apa maksud Anda?" tanya Ayah Syifa.

Arman melangkah mendekat hingga berdiri di sisi kanan ranjang rumah sakit. "Saya Arman Alfarizi adalah pemilik sel spe*ma yang disuntikkan ke rahim Nona Syifa. Semua ini memang adalah kesalahan prosedur rumah sakit tetapi, demi kebaikan bersama saya akan bertanggungjawab dan menikahi dia."

Devan dan sang Ayah saling memandang dari jarak dua meter. Mereka tidak menyangka Arman akan menawarkan pertanggungjawaban atas apa yang telah terjadi.

Arman mendekati Syifa yang masih diam tak percaya. "Syifa, lahirkan anak itu untuk saya."

Bersambung 💖🥰

Jangan lupa berikan dukungan untuk Author.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!