"Mira! kamu sudah berani melawanku sekarang!" pekik wanita itu melotot tajam menatap Miranda yang menunduk ketakutan.
Ini bukan kali pertama Miranda mendapat perlakuan kasar dari ibunya, semua yang ia lakukan selalu salah, hinaan cacian sudah menjadi makanan setiap hari.
"Anak tidak berguna kamu, mau jadi apa kamu nanti, bisamu cuma menyusahkan saja!" gerutu wanita itu semakin menjadi.
Miranda menolak permintaan ibunya untuk menemani juragan Agus, pria tua yang beberapa waktu ini sering berkunjung ke warung ibunya.
Selama ini ia pikir pria itu punya hubungan khusus dengan sang ibu, karena bukan pemamdangan aneh buat Miranda kalau ibunya memiliki seorang kekasih.
Sejak bercerai dari suaminya, Marni mulai bergonta ganti pacar untuk menopang kehidupannya, dia terkenal sebagai janda genit, wajahnya yang lumayan membuat warungnya ramai dikunjungi pria-pria hidung belang.
Tak hanya itu, kecantikan Miranda putrinya juga menjadi daya tarik untuk membuat banyak pengunjung pria di warung kecilnya.
Para pedagang cabe musiman menggunakan warung Marni untuk bertransaksi, ia menyewakan halamannya untuk penampungan sementara cabe dari petani yang akan diangkut oleh tengkulak.
Musim panen cabe, juga musim panen untuk Marni, para pengepul cabe akan berkumpul di warung miliknya dan biasanya mereka cukup royal.
"Gimana, Bu?" bisik juragan Agus sambil menyodorkan segepok uang berwarna merah pada Marni.
"Mmmm ... nanti malam kalau mau bawa Miranda tapi jangan lama-lama ya," ucap Marni sambil meraup uang di meja dengan mata berbinar.
"Miranda mau?" juragan Agus terlihat senang.
"Tenang saja, tapi jangan diapa-apain ya, kenalan dulu, anakku itu masih polos," pinta Marni sambil mengedip genit.
"Oh ... soal itu gak usah khawatir, saya pria penyayang kok." Juragan Agus terkekeh diikuti Marni yang tertawa senang.
Wanita itu sudah membayangkan kalau Miranda menjadi istri juragan Agus hidup keluarganya pasti terjamin.
Siang harinya di sekolah, Miranda datang untuk mengambil ijazah kelulusan. Usai menerima ijasah ia pergi mencari Firman sahabatnya di ruangan lain.
"Mir!" seorang pemuda memanggilnya.
"Hei, aku baru mau mencarimu." Miranda berbalik dan mendekati Firman.
"Udah selesai?" tanya Firman.
"Sudah, kamu?"
"Sudah juga, yuk pulang!" ajak Firman, Miranda pun berjalan di samping pemuda itu menuju parkiran.
"Kamu gak ikut anak-anak pawai?" tanya Miranda saat tiba di parkiran.
"Enggaklah, lagian kamu gak ikut gak asik!" Firman mengeluarkan kunci mobil, mobil di depan mereka berbunyi saat tombol kunci ditekan.
"Kamu bawa mobil, Fir?" Miranda ragu saat Firman membukakan pintu untuknya.
"Nyokap lagi cuti jadi kupinjam mobilnya, ayo masuk keburu hujan!"
Miranda bergegas masuk ke dalam mobil, setelah menuutup pintu Firman berlari kecil menuju kemudi, rupanya gerimis mulai turun.
Dari SMP Miranda telah dekat dengan Firman, bahkan orang lain berpikir mereka adalah sepasang kekasih, sebenarnya Firman memang menaruh hati padanya, akan tetapi Miranda hanya menganggap hubungan mereka sebatas sahabat.
"Setelah ini kamu mau ke mana, Mir?" tanya Firman sambil menyetir.
"Aku akan pergi mencari kerja, oh ... ya, aku nitip ijazahku di rumahmu ya," pinta Miranda, Firman menoleh sambil mengernyit heran.
"Kenapa?"
"Aku hanya bersiap-siap, kalau saja sesuatu tidak sesuai dengan keinginanku," sahut Miranda menatap kosong ke depan.
Firman melajukan mobil keluar kota, dia sengaja ingin membawa Miranda sebelum mereka berpisah. Firman akan mendaftar sebagai TNI melanjutkan cita-cita almarhum papanya.
Menjadi tentara adalah impiannya sejak kepergian sang papa yang gugur saat bertugas di Papua, saat Firman masih duduk di kelas dasar.
"Kita ke mana, Fir?"
"Tidurlah, nanti kubangunkan saat tiba." Firman melajukan mobil dengan kecepatan sedang.
Miranda menuruti perintah Firman dan memejamkan mata, dia percaya karena pria ini tak pernah berniat jahat, dan akan menjaganya dengan baik.
Mobil pun memasuki kawasan wisata air terjun, setelah memarkir mobil, Firman turun membeli makanan dan membiarkan Miranda tetap tertidur dengan pulas.
Pemuda itu kembali duduk di belakang kemudi, matanya menatap lembut Miranda yang tengah telelap, sambil tersenyum Firman menyingkirkan poni yang menutupi sebagian wajah wanita di sampingnya.
"Kamu cantik sekali, Mir ..." bisik Firman pelan.
Miranda menggeliat dan mengerjapkan mata, dia terbangun mendapati Firman tengah menatapnya dengan tatapan mesra.
"Udah sampai?" Miranda mencoba mengalihkan pandangan.
"Mir, kamu mau menungguku kan?" ucap Firman lirih.
"Kamu mau ke mana?" Miranda menatap Firman dengan lembut.
"Setelah aku lulus dari TNI, aku akan melamarmu Mir."
"Kamu ngomong apa sih?" Miranda merasa tak nyaman dengan ucapan Firman.
"Aku mencintaimu dari dulu, aku ingin menikahimu dan membawamu pergi jauh dari ibumu yang jahat." Firnan meraih tangan Miranda, jantungnya berdetak kencang saat dia menggenggam tangan itu.
Miranda berusaha menarik tangannya, namun Firman menggenggamnya erat, perlahan pemuda itu mengangkat tangan itu ke bibirnya mengecup dengan lembut.
"Fir, jangan lakukan ini." Suara Miranda tercekat, baru pertama kali Firman menggenggam dan mencium tangannya seperti ini.
Pemuda itu melepaskan tangan Miranda, kini keduanya terlihat kikuk dan salah tingkah, keduanya saling menatap ke luar mencoba menenangkan gemuruh di dada.
"Kudoakan kamu berhasil Fir, aku juga akan mencoba peruntunganku di kota," ucap Miranda lirih dengan pandangan keluar jendela.
"Tidak adakah tempat di hatimu untukku, Mir?" Firman menoleh menatap Miranda.
"Aku tidak pantas untukmu, keluargaku bukan orang baik, kita jauh berbeda Fir," sahut Miranda lirih, gadis itu memberanikan diri menatap mata Firman.
Ada sejuta harap di mata sang pemuda, tapi Miranda telah berikrar pada dirinya sendiri dia akan menaklukan dunia, membuat orang tuanya bangga dan tidak lagi mengantakan dirinya anak pembawa sial.
Caci maki sang ibu membuatnya mematikan rasa cinta di dalam dirinya, ia bertekad untuk tidak menjalin hubungan dengan pria sebelum dia sukses.
Sebesar apa pun cinta yang Firman tunjukkan, dia tetap bergeming dengan pilihan hidupnya. Miranda tidak ingin menjadi wanita biasa, dia ingin menunjukkan pada sang ibu kalau dia anak yang berguna.
Apa yang dilakukan Miranda untuk mewujudkan impiannya, ikuti kisah ini dan jangan lupa lika dan komennya ya ....
"Cepat dandan yang cantik, jangan bikin Ibu malu, sebentar lagi Juragan Agus datang menjemputmu!" bentak Marni pada Miranda.
"Ngapain sih Bu, aku harus pergi sama bandot tua itu," gerutu Miranda mencoba melawan.
"Kamu mau hidup kita begini terus, heh ... Miranda aku besarkan kamu bukan gratis ya, saatnya kamu mengganti semua yang Ibu keluarkan untukmu!" Mata Marni mendelik.
Remuk redam hati Miranda mendengar ucapan sang ibu, meski sudah sering mendengar cacian tetap saja ucapan itu meluluh lantakkan hatinya, akan tetapi sesakit apapun hatinya gadis itu tak mengeluarkan air mata, dia meremas tangannya dengan kuat menahan perih di ulu hatinya.
Ia melangkah lunglai masuk ke kamar mengambil tas memasukkan dompet, kemudian mematung di depan kaca menatap wajahnya sendiri.
"Miranda kamu harus pergi dari neraka ini!" bisikan hatinya kembali bergemuruh, suara-suara ini sudah lama berbisik di telinganya.
Terdengar suara mobil berhenti di depan warung, dan suara Marni menyapa hangat sang tamu.
"Mira!! Mira!!" panggil Marni penuh semangat.
Miranda menarik napas panjang kemudian berjalan keluar kamar menemui ibunya yang sudah bersama juragan Agus, senyum wanita itu mengembang saat melihat putrinya datang.
Juragan Agus tersenyum senang, matanya menatap setiap inci wajah ayu sang gadis yang menjadi pujaannya, sementara Miranda menunduk lesu.
"Sudah sana kamu ikut Mas Agus, jangan bikin Ibu marah!" tegas Marni setengah berbisik sambil mendorong putrinya ke samping juragan Agus.
Gadis itu melangkah seperti robot sesuai perintah sang ibu, pria tua itu mengajak Miranda masuk ke mobilnya, dan dalam sekejap mobil itu pun melaju pergi.
Marni menghela napas lega melihat putrinya dibawa pergi juragan Agus, bayangan kemewahan sudah terpampang nyata, dia tersenyum masuk ke dalam rumah sambil bersenandung bahagia.
"Mira apa kabar?" sapa Pria setengah baya yang duduk di samping Miranda.
"Mmm ... baik Pak, eh ... Juragan ...," sahut Miranda gugup.
"Jangan panggil aku Pak, atau Juragan, panggil saja Mas." Juragan Agus berdehem pelan.
"Maaf saya belum terbiasa, Pak ... eh ... Mas ...." Miranda menundukkan wajah, menatap kakinya sendiri.
"Baiklah, tidak apa-apa, kamu takut sama aku?"
"Tidak, saya hanya tidak biasa pergi berduaan dengan orang asing." Miranda mulai mengatur napasnya, dia teringat akan ucapan ibunya untuk bersikap baik.
"Aku mau mengajakmu belanja, habis itu kita makan malam."
"Apa tidak ada yang marah kalau mmm ... M-a-s Agus jalan dengan saya?" suara Miranda bergetar menyebut pria tua di sampingnya dengan panggilan mas.
"Tidak, istriku tahu kok aku jalan sama kamu."
Miranda menoleh menatap heran pada juragan Agus, pria itu membalas dengan senyuman teduh. Sebenarnya pria ini tergolong tampan, hanya saja usia yang terpaut terlalu jauh membuat Miranda merasa aneh, ditambah pria ini sudah memiliki istri.
"Istriku sudah lama sakit Mira, dia juga tidak bisa memberiku keturunan, pertama kali aku melihat kamu aku langsung menyukaimu." Ucapan juragan Agus membuat Miranda terhenyak.
"Kenapa harus saya?" Miranda memberanikan diri bertanya.
"Kamu ... kamu cantik." Pria itu tersenyum hendak membelai kepala Miranda, dengan sigap gadis itu menepis tangan juragan Agus.
Pria itu menarik tangannya setelah melihat penolakan dari sang gadis, mobil pun berhenti di parkiran salah satu mall besar di kota itu. Juragan Agus keluar dari mobil, dan sopir membukakan pintu untuk Miranda.
"Yuk ...," ajak juragan Agus.
Miranda berjalan dengan sedikit menjaga jarak dari pria itu, dia merasa setiap orang yang berpapasan dengannya memandang dengan tatapan aneh.
Juragan Agus membawanya ke toko perhiasan, dan memilihkan kalung mewah bertahta permata, dia mengambil kalung dan mau memakaikan ke leher Miranda, akan tetapi gadis itu enggan menerima.
"Ini terlalu mewah, dan saya tidak suka perhiasan," tolak Miranda sesopan mungkin.
Juragan Agus tersenyum, dia semakin kagum dengan gadis di depannya sungguh sangat berbeda dari sifat ibunya yang mata duitan.
Pria itu menggandeng Miranda keluar dari toko emas lalu mengajak ke toko baju, lagi-lagi gadis itu menolak untuk dibelikan baju. Juragan Agus menghela napas panjang, kemudian membawa Miranda masuk ke restoran dan memilih tempat yang privasi.
"Mira ... kamu nggak suka sama aku?" Pria itu menatap wajah Miranda setelah pelayan restoran pergi meninggalkan mereka.
"Saya ...." Mulut Miranda terkunci rapat tak mampu berkata-kata, titik bening perlahan mengalir di sudut matanya.
Juragan Agus mengambil tisu lalu menghapus air mata sang gadis, pria itu memegang pundak Miranda dengan kedua tangannya.
"Apa kamu malu jalan sama aku?" tanyanya pelan.
"Sa-saya tidak bisa seperti ini Mas, semua ini keinginan Ibu." Miranda menunduk sambil tersedu.
Juragan Agus menarik napas panjang kemudian melepaskan tangannya, dia duduk di kursi panjang di samping Miranda yang menangis sendu.
"Aku mengerti, aku tidak memaksamu, aku akan menunggu sampai kamu siap menerimaku," ucap pria itu pelan.
"Saya ingin pergi Mas, saya nggak tahan dengan perlakuan Ibu ...." Suara Miranda serak di tengah isakan.
"Apa ibumu jahat padamu?"
Miranda kembali mengangguk sambil terus terisak, pelayan restoran masuk membawa makanan yang dipesan, mereka melirik melihat gadis itu sedang menangis kemudian kembali keluar setelah menghidangkan makanan.
"Ceritakan padaku, aku ingin mendengarmu sebagai seorang teman," bujuk juragan Agus.
Miranda menatap mata pria itu yang terlihat teduh, mata itu mengingatkan pada tatapan ayahnya yang begitu hangat, tatapan yang sudah lama dia rindukan.
Dengan terbata dia mulai bercerita perjalanan hidupnya, bagaimana Marni memperlakukannya selama ini, dia ingin pergi sejauh mungkin lepas dari penderitaan yang di derita selama ini.
Pria itu menghela napas dengan kasar lalu mengambil piring lalu mengisinya dengan nasi dan lauk, kemudian menyerahkan pada Miranda.
"Makanlah dulu, setelah itu kita pikirkan langkah selanjutnya," ucapnya lembut.
Miranda mengusap air mata lalu menerima piring berisi makanan, perlahan ia makan meski rasanya sulit untuk ditelan. Juragan Agus terlihat begitu santai menikmati makanannya seolah tak terjadi apa-apa.
Usai makan pria itu mengajak Miranda keluar dan kembali ke toko pakaian, tanpa bertanya dia langsung memilih beberapa helai baju untuk Miranda dan juga sebuah koper kecil, baju yang sudah dibayar di masukkan ke dalam koper, gadis itu mengerutkan kening karena tidak mengerti apa maksud pria ini.
Selesai belanja baju mereka menghampiri konter yang menjual ponsel, lagi-lagi pria itu membeli sebuah ponsel beserta kartu, kemudian mengajak Miranda kembali ke mobil.
Setelah berbisik pada sang sopir, mobilpun melaju pergi keluar dari parkiran mall, Miranda tak banyak bicara dia hanya menatap jalanan sambil membayangkan kemarahan sang ibu saat dia tiba di rumah.
Namun mobil yang mereka tumpangi malah masuk ke sebuah hotel, Miranda mulai takut dan berpikir kalau pria ini akan melakukan hal buruk padanya.
Apa yang akan dialami Miranda di hotel bersama Juragan Agus, ikuti bab berikutnya jangan lupa like dan komen ya ....
Sopir itu masuk ke mobil lalu menyerahkan kunci hotel pada juragan Agus, Miranda semakin takut dan ingin kabur dari tempat itu.
"Kamu istirahat, besok pagi jemput aku di sini," pesan juragan Agus pada sang sopir.
Juragan Agus mengeluarkan koper dari bagasi lalu mengajak Miranda masuk ke hotel, gadis itu semakin takut, wajahnya pucat, dia ingin menolak namun tangan juragan Agus mencengkeram lengannya membawa masuk ke dalam, ia menunduk lesu saat di dalam lift sambil menahan tangis.
Pintu lift terbuka, mereka berjalan ke sebuah kamar, berat rasanya ketika hendak masuk ke dalam kamar itu. Miranda termangu memandangi ruangan kamar hotel, sementara juragan Agus meletakkan koper di lemari.
"Duduklah, jangan bengong begitu," tegur juragan Agus melihat Miranda masih berdiri kaku.
Sambil menelan ludah, Miranda duduk di ranjang dengan pikiran yang kalut. Sang pria terlihat begitu santai melepaskan sepatu sambil duduk di sofa.
"Kamu mau pergi ke mana?" tanya juragan Agus pelan.
Miranda tersentak lalu menggeleng pelan, sejujurnya dia juga belum punya tujuan mau pergi ke mana.
"Sebutkan nama kota yang ingin kamu datangi, aku akan bantu kamu kabur dari sini, gunakan ponsel ini untuk menghubungiku jika kamu butuh sesuatu." Juragan Agus memberikan ponsel yang baru dia beli pada Miranda setelah memasukkan nomor pribadinya pada ponsel itu.
"I-ini untukku?" Miranda bingung menerima ponsel itu.
Pria itu mengeluarkan uang dari dompet lalu menyerahkan pada Miranda, lagi-lagi gadis itu kebingungan dengan sikap juragan Agus.
"Ambillah kamu butuh uang ini, apa kamu tidak punya rekening?"
"A-ada tapi buat apa?" Miranda masih bingung.
"Berikan nomor rekeningmu, aku akan kirim uang buat kamu."
"Ta-tapi untuk apa semua ini, kenapa Mas Agus melakukan ini untukku?" Miranda memberanikan diri menatap juragan Agus.
"Aku ingin membebaskanmu dari ibumu, bukankah kamu ingin pergi?" ucapnya datar.
"Iya, tapi bagaimana nanti Mas Agus bilang sama ibuku?" Gadis itu penasaran dengan apa yang akan pria itu lakukan setelah ini.
Pria itu bangkit dari duduknya lalu mendekati Miranda, dia menyentuh pipi gadis itu mengusap lembut sambil tersenyum.
"Aku memang sangat menginginkanmu, tapi aku juga ingin kamu bahagia," ucap pria itu lembut.
Miranda hanya menelan ludah, tubuhnya menjadi dingin kaku tak bergerak, napasnya terasa berat, berduaan dengan seorang pria di dalam kamar membuatnya sangat takut.
"Katakan padaku, kamu mau ke mana, biar kuurus sekarang, besok kamu tinggal berangkat."
Miranda mengerjapkan mata, memaksa otaknya berpikir tentang kota tujuan yang akan dia datangi. Matanya tertuju pada layar televisi yang sedang menayangkan berita dan ia membaca nama kota yang ada di layar.
"Ba-bandung ...," ucapnya pelan.
"Baiklah, aku akan pesankan tiket pesawat besok pagi kita kuantar ke bandara."
Juragan Agus meraih ponsel milik dan mulai mencari tiket penerbangan ke Bandung.
"Mana KTPmu?" pintanya.
Miranda mengambil dompet lalu menyerahkan benda tipis itu pada juragan Agus, dia menatap lekat wajah pria paruh baya yang tengah fokus pada layar ponselnya.
Wajah itu terlihat tenang, rambutnya bergelombang dengan uban yang mulai muncul megintip di balik rambut hitam yang tebal, sebenarnya wajah pria ini lumayan tampan.
Miranda tersadar lalu menggelengkan kepala, dia tetap harus pergi dari kota ini, sebaik apa pun juragan Agus padanya selama masih dalam pengawasan sang ibu hidupnya tidak akan pernah bahagia.
"Ok, sudah selesai besok penerbangan sore, jadi kita bisa santai berangkat ke bandara, aku juga sudah siapkan tempat tinggalmu di sana, kamu nggak usah takut mau tinggal di mana." Pria itu tersenyum sambil meletakkan ponsel di meja.
"Apa yang harus saya lakukan sebagai ganti semua kebaikanmu, Mas?"
Pria itu perlahan membuka kancing dan membuka bajunya lalu meletakkan di lemari, jantung Miranda kembali berdesir melihat pemandangan pria yang hanya mengenakan kaus dalam berdiri tepat di depannya.
Aroma parfum musk lembut menusuk hidung menguar dari tubuh juragan Agus, pria itu duduk di samping Miranda.
"Apa kamu punya pacar?" tanya Juragan Agus, Miranda menggeleng pelan.
Pria itu kembali menyentuh pipi Miranda mengusap dengan lembut, gadis itu kembali membeku dengan bulu di seluruh tubuh yang meremang.
"Kamu cantik sekali Mira," suara juragan Agus melebur bersama kecupan yang tiba-tiba mendarat di bibir mungil Miranda.
Gadis itu tersentak membelalak saat bibirnya telah beradu dengan milik juragan Agus, pria itu menikmati bibir sang gadis dengan lembut.
Miranda mendorong tubuh pria itu agar menjauh darinya, akan tetapi tangan kekar itu menahan kepalanya, untuk sesaat dia seperti tersengat ribuan lebah mendapatkan ciuman yang begitu tiba-tiba, napasnya tersengal saat pria itu berhasil menindih tubuh mungilnya.
Miranda menutup rapat matanya, dan hampir menangis, bayangan akan kehilangan mahkota tergambar begitu jelas, tiba-tiba pria itu menghentikan ciumannya, menarik dirinya dari tubuh sang gadis.
"Maafkan aku sudah membuatmu takut, meskipun aku sangat ingin memilikimu tapi aku tidak akan memaksamu Miranda," ucap juragan Agus lirih.
Miranda membuka mata, melihat pria itu tengah menatap wajahnya dengan senyum hangat. Lagi-lagi gadis itu hanya menelan ludahnya, rasa itu masih tertinggal di bibir mungilnya.
"Tidurlah, aku tidak akan mengganggumu," bisik pria itu bangkit lalu mengenakan kembali pakaiannya dan keluar dari kamar meninggalkan Miranda sendirian.
Gadis itu tercengang sendirian, ia meraba bibirnya dan masih shock dengan ciuman yang baru pertama dirasakan dalam hidupnya.
Juragan Agus tak juga kembali ke kamar, Miranda pun belum tertidur, di sisi lain dia takut tidur di kamar hotel, di sisi lain dia takut pria itu kembali dan melakukan hal yang ia takutkan.
Gadis itu mengambil ponsel barunya, melihat jam dan memeriksa nomor yang tersimpan di sana, hanya ada satu nama Agus yang tersimpan di sana.
Ia memberanikan diri memanggil nomor juragan Agus, beberapa saat terdengar suara pria itu menjawab.
"Ada apa Mira?"
"M-a-s A-gus di mana?" tanya Miranda terbata.
"Aku di sebelah, sudah kamu tidur aja," sahut pria itu, suaranya terdengar serak seperti orang yang bangun tidur.
Miranda pun mengakhiri panggilannya, dia merasa lega setelah tahu juragan Agus tidak akan kembali ke kamar ini, gadis itu memaksa memejamkan mata dan akhirnya ia terlelap dalam dunia mimpi.
*****
Hai terima kasih sudah membaca, jangan lupa like dan komen ya .....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!