Seperti biasa, Warda akan datang di setiap hari Rabu Selasa dan Jumat untuk mengecek pekerjaanku. Warda akan datang pukul 9 pagi, duduk di ruang tengah apartemenku, menyalakan TV dan mencari saluran TV yang membahas apapun tentang Arata.
“Tidak pernahkah kau merasa bosan melihat dan mendengar tentang Arata??”
Setelah beberapa lama bekerja dengan Warda, akhirnya aku membuka mulutku untuk membuat keluhan yang selama ini selalu terpendam di dalam hatiku yang terdalam. Kuakui setelah beberapa tahun bekerja sama dengan Warda, aku sudah mulai bosan melihat dan mendengar semua tentang Arata dari mulut Warda dan dari saluran TV.
“Aku tidak pernah bosan dengan semua hal tentang Arata. Kamu tahu kan, Asha, jika aku ini sedang mengandung dan berharap anakku kelak akan sedikit saja mengambil ketampanan dari Arata-ku tersayang.” Warda membalas ucapanku dengan senyuman sembari mengelus lembut perutnya beberapa kali yang membesar karena janin di dalamnya.
Jika aku tidak salah ingat, dua minggu lagi Warda akan mulai mengambil cuti untuk Ibu hamil dan melahirkan karena usia kandungannya yang sudah berjalan menuju 9 bulan.
“Ya. . . ya. . . ya. . . aku harap begitu. Aku harap putramu itu akan mengambil sedikit saja ketampanan dari Arata-mu tersayang. Aku heran apakah suamimu itu tidak pernah marah ketika kamu sibuk melihat Arata-mu tersayang itu?”
Warda menggelengkan kepalanya. “Tentu saja tidak, karena aku melihat Arata hanya ketika di rumahmu dan di kantor saja. Ketika di rumah, aku hanya akan melihat Arata ketika melihat laptopku.”
Tidak heran ketika di rumahku, Warda selalu mendominasi TV milikku yang bahkan jarang sekali kulihat dan hanya kugunakan sebagai teman peramai ketika aku merasa sepi. Mungkin bagi Warda, rumahku ini mungkin sudah jadi rumah keempatnya setelah rumahnya sendiri, rumah mertuanya dan kantornya.
Warda bangkit dari duduknya di sofa besar dan nyaman dari apartemenku dan berjalan menuju ke meja kerjaku yang berjarak beberapa langkah dari sofanya. Warda melihat tanganku yang masih terus sibuk menari-nari di atas papan ketik menggambarkan apa yang aku lihat di dalam benakku ke dalam laptop milikku.
“Apakah sebentar lagi cerita ini akan berakhir?” Warda melihat novel yang sedang aku ketik dengan wajah serius.
“Ya sebelum kamu cuti, aku akan menyelesaikannya. Dengan begitu, kamu bisa cuti dengan tenang dan memberikan pekerjaanmu sebagai editor ke editor penggantimu selama tiga bulan lamanya.”
Warda langsung memelukku dan membuatku merasakan tendangan kecil yang berasal dari dalam perutnya yang membesar itu. “Kau adalah author favoritku, Asha. Tidak salah aku ketika menemukanmu beberapa tahun lalu dan memaksa atasanku untuk menerima tulisanmu itu. Kau benar-benar bintang keberuntunganku.”
Beberapa kali Warda selalu melakukan hal ini padaku: memelukku ketika aku sibuk mengetik dan membuatku mendengarkan gerakan janin di dalamnya. Aku tidak tahu kenapa Warda selalu melakukan hal itu, tapi kurasa. . . Warda hanya ingin membuat putra kecilnya di dalam perutnya itu mengenalku yang sudah dianggapnya sebagai teman baik dan saudaranya. Warda bahkan meminta saran nama untuk putra kecilnya itu. Aku memberikan beberapa nama yang terdengar keren tapi juga memiliki arti yang baik. Warda dan suaminya, akhirnya memilih satu dari beberapa nama itu sebagai nama putranya nanti.
“Warda, bisakah kau melepaskan pelukanmu itu dan membiarkan aku mengetik lagi?? Aku harus menyelesaikan cerita ini dengan cepat sebelum kau mengambil cuti.”
“Ah maaf.” Warda melepaskan pelukannya di tubuhku dan membiarkanku kembali mengerjakan novelku. “Silakan dilanjutkan, Asha.”
Warda kembali ke sofa. Kukira dia akan duduk dan melihat Arata tersayangnya lagi. Tapi dia hanya mampir dan mengambil tas besar yang dibawanya tadi. Warda berjalan ke dapurku dan meletakkan beberapa kotak makanan yang sengaja dibawanya ke dalam kulkas milikku.
“Ini makanan yang dibuatkan oleh ibuku. Kamu harus memakannya dan jangan terlalu sibuk bekerja hingga mengabaikan makan dan sakit. Ingatlah untuk makan, Asha!”
“Aku mengerti, Warda.” Aku menjawab dengan sedikit melirik, menganggukkan kepalaku dan masih sibuk dengan mengetik di papan ketikku.
“Sebagai ganti dari makanan yang selama ini aku bawa. . . bisakah kamu menjengukku ketika aku sudah melahirkan??”
Aku menghentikan ketikan di papan ketikku dan melihat ke arah Warda. “Kau ini bicara apa, Warda? Meski aku tidak suka keluar dari ruanganku ini, aku ini masih tahu balas budi. Kau mungkin editorku. Tapi setelah beberapa tahun kita saling mengenal, kau juga adalah temanku. Kau bahkan selalu memberikan masakan ibumu padaku. Tentu aku akan datang menjengukmu dan melihat betapa tampannya putramu itu. Aku ingin lihat apakah putramu itu mengambil ketampanan Arata-mu tersayang itu atau tidak??”
“Senang mendengarnya kalau begitu, Asha.”
Setelah meletakkan semua makanan yang dibawanya ke dalam kulkas milikku dan mengambil semua kotak makanan miliknya yang sudah aku cuci pagi ini, Warda kembali duduk dan melihat Arata tersayangnya lagi dan aku kembali sibuk dengan papan ketikku sembari melanjutkan cerita lain dalam dunia fantasi di dalam benakku.
Untuk beberapa waktu, Warda sibuk mendengarkan interview Arata di TV. Warda begitu fokus mendengarkan hingga mulutnya yang sedikit cerewet dan bawel itu, tertutup dengan rapat. Keheningan Warda membuatku yang sibuk melanjutkan kisah lain di dalam laptopku itu, membuatku mendengar juga interview Arata tersayangnya.
Pembawa acara: Tuan Arata, setelah beberapa tahun ini menjadi aktor dan model terkenal, bisakah saya bertanya apa motivasi Tuan hingga bisa berada di 10 besar Aktor terkenal saat ini?
Arata: Seperti cerita yang sudah-sudah, kalian tentu tahu bahwa perjalanan awal saya sebagai aktor dan model tidak berjalan dengan lancar. Sebelumnya. . . saya bahkan sempat merasa sangat putus asa dan ingin menyerah, hingga saya tidak sengaja membaca buku kesukaan saya itu dan menemukan kalimat yang membuat saya akhirnya memilih untuk bertahan.
Pembawa acara: Jika saya tidak salah ingat, Tuan Arata adalah penggemar dari buku-buku yang ditulis oleh Wallflower, bukan?
Arata: Itu benar. Saya mengikuti perjalanan karir author Wallflower dari buku pertamanya yang berjudul Hidup Itu Mungkin Sulit. Sejak membaca buku itu, saya sudah menjadi penggemar author Wallflower itu. Saya terus mengikuti dan mengumpulkan semua karyanya yang bahkan sekarang menulis novel dengan genre romance dan fantasi. Rasanya. . . saya bahkan tidak pernah merasa bosan ketika membaca bukunya. Di dalam karyanya, saya selalu menemukan kalimat kehidupan yang membantu saya ketika saya merasa kesal, terpuruk dan bersedih.
Dari tempatku duduk, aku dapat dengan jelas melihat senyuman di bibir Warda ketika nama Wallflower disebutkan oleh Arata tersayangnya itu.
“Kau dengar, Asha?? Arata tersayangku menyebut namamu dalam wawancaranya. Dengan ini popularitasmu akan semakin meningkat dan buku-buku karyamu akan semakin laris di pasaran. Mungkin harus kukatakan jika Arata adalah bintang keberuntunganmu.”
Aku tersenyum kecil melihat senyuman di bibir Warda. “Aku juga mendengarnya, Warda. Aku mendengarnya dengan sangat jelas ketika kamu memutar TV dengan volume nyaris maksimal.”
Itu benar. Author Wallflower yang terkenal dan menjadi idola bagi Arata-aktor terkenal itu adalah aku dan orang yang membuatku menjadi author sukses seperti sekarang adalah Arata itu sendiri.
“Menurutmu kenapa Arata begitu menyukai novel dan tulisanku?” Bibirku tanpa sadar menanyakan hal itu kepada Warda yang masih sibuk mendengar siaran langsung interview Arata di TV. “Waktu pertama kali bukuku keluar. . . bahkan satu pembeli pun tidak ada. Atasanmu bahkan mengancammu dan mengatakan bahwa kau memilih author yang salah untuk menerbitkan buku.”
Warda memakan satu dari camilan buah yang dibawanya bersama dengan masakan ibunya tadi. Kali ini yang dimakan oleh Warda adalah buah persik, sebelumnya mangga, stroberi, anggur merah, semangka dan pir. Sepertinya putranya yang masih berada dalam kandungannya begitu mencintai buah-buahan hingga Warda selalu membawa kotak yang berisi buah-buahan ke mana pun pergi.
“Mungkin pikiran Arata sama denganku. Dua tahun lalu ketika aku melihat tulisanmu, aku berpikir author ini punya cara pemikiran yang unik dan kelak akan menjadi terkenal. Dan apa yang aku pikirkan adalah benar. Nyatanya dalam waktu dua tahun kau berhasil menerbitkan empat buku dan semuanya menjadi buku terlaris di hampir semua toko buku di negeri ini.”
“Tapi itu semua terjadi berkat Arata.” Aku membalas ucapan Warda itu dengan menghentikan kedua tanganku yang sibuk menari-nari di atas papan ketik dan menatap ke arah TV di mana wajah Arata muncul.
“Aku tidak memungkirinya, Asha. Kau terkenal berkat Arata yang sejak setahun lalu terkenal. Penggemar Arata menemukan jika Arata selalu membawa-bawa buku karyamu dan membuat kau sebagai authornya menjadi terkenal. Tapi. . . di zaman seperti ini, hal seperti itu sudah tidak asing lagi. Ketenaran seseorang muncul karena orang lain, itu sudah bukan hal yang aneh lagi. Banyak author yang juga melewati jalan yang sama sepertimu, Asha. Jadi kau tidak perlu khawatir dan satu hal yang harus kau ingat, kau mungkin terkenal berkat Arata. Tapi setelah itu, semua orang memuji-muji karyamu itu. Ingatlah itu!”
Aku menatap wajah Arata yang muncul di TV dan bertanya-tanya pada diriku sendiri. Haruskah aku berterima kasih padanya karena telah membuatku terkenal? Atau ada alasan lain kenapa aktor terkenal seperti Arata menyukai buku-buku karyaku?
“Ah. . .” Warda berteriak kencang seperti kebiasaannya jika sedang mengingat sesuatu yang penting yang sempat dilupakannya.
“Apa lagi kali ini yang kau lupakan?” tanyaku yang kembali fokus dengan papan ketikku dan laptopku.
“Aku lupa tujuanku datang kemari.”
“Bukankah kau datang kemari karena ingin memeriksa novelku yang hampir tamat ini?”
Warda menganggukkan kepalanya dan mengambil beberapa berkas dari dalam tas tangan miliknya. “Itu memang benar. Aku datang kemari karena ingin memeriksa pekerjaan terakhirku sebelum aku mengambil cuti dan memberikan tiga berita padamu, Asha.”
“Berita apa??”
“Pertama, soal editor sementara yang akan menggantikanku. Apakah kau keberatan jika editor sementara itu adalah laki-laki?”
Aku menghentikan kedua tanganku yang sedang mengetik dan memandang Warda dengan tatapan serius. Tepat sebelum aku membuka mulutku dan memberikan komentarku, Warda lebih dulu berkata padaku lagi. Mungkin kedua mataku yang bersembunyi di balik kacamata kerjaku ini terlihat begitu menakutkan di mata Warda hingga aku belum bicara pun, Warda sudah membuka mulutnya lebih dulu untuk membuat alasan.
“Dengarkan dulu, Asha! Selama dua hari kemarin aku mencari editor yang memiliki sedikit pekerjaan dan aku tidak menemukan editor yang akan mampu bertahan denganmu. Editor-editor muda sekarang, orangnya kebanyakan malas dan jarang mau keluar untuk mengunjungi penulis-penulis sepertimu, Asha. Mereka lebih suka menghubungi penulis mereka dengan menggunakan ponsel dan kurang perhatian. Di kantor hanya ada sepuluh editor yang mau melakukan apa yang aku lakukan padamu dan mereka semua adalah editor dan sepuluh penulis terkenal di penerbit kita.”
“Jika memang begitu. . . aku tidak keberatan, Warda.”
“Aku yang keberatan, Asha! Kau ini jarang sekali keluar dari apartemenmu dan ketika sudah bekerja kau sering kali lupa makan dan mengurus dirimu. Jadi. . . jika sesuatu terjadi padamu, tidak akan ada orang yang tahu karena tidak banyak orang yang datang ke apartemenmu ini, Asha.”
Warda menjelaskan keberatannya dengan wajah khawatir. Mungkin dia ingat bagaimana aku beberapa kali terkapar di apartemenku karena tidak tidur selama berhari-hari karena terlalu fokus menyelesaikan novelku.
“Lalu? Kenapa akhirnya aku memberiku saran untuk memilih editor laki-laki sebagai penggantimu?”
“Kemarin ada serang pria yang diterima bekerja sebagai editor. Berdasarkan pengalaman kerjanya yang aku lihat, pria ini punya banyak pengalaman menjadi editor untuk buku-buku besar. Lalu setelah aku mengatakan tentang menjadi editormu dan syarat-syarat yang harus dilakukan untuk menjadi editormu, pria muda ini tidak keberatan, Asha. Dia menyanggupinya tanpa berpikir dua kali, Asha.” Warda memberikan data mengenai pria yang ditunjuknya sebagai editor sementara yang akan menggantikan dirinya padaku. “Ini adalah informasi tentang dirinya.”
Aku membaca dengan cepat informasi itu dan kemudian meletakkan informasi itu di atas meja kerjaku. “Karena kau berpikir dia bisa menggantikanmu, aku akan menerimanya. Pilihanmu tidak mungkin sembarangan dan pasti sudah penuh dengan perhitungan.”
Warda tersenyum sembari mengelus perutnya. “Bagus sekali jika kau menerimanya. Minggu depan aku akan membawanya kemari dan mengenalkan kalian berdua.”
“Ya. Lalu berita kedua apa?”
“Novel keduamu yang bergenre romance-Love Like Ectasy akan diadaptasi ke film layar lebar dan pihak produksi meminta kau untuk membantu menulis skenarionya bersama dengan penulis skenario mereka. Apa kau mau, Asha?”
“Bagaimana dengan kantormu? Apa mereka tidak keberatan jika aku menulis skenario dan sibuk dengan hal lain selain novelku?”
Warda tersenyum bangga membanggakan dirinya. “Aku adalah editormu. Aku tahu apa yang terbaik untukmu, Asha. Tenang saja. . . aku sudah mengatakan jika novelmu akan selesai dalam waktu seminggu dan setelah itu kau punya waktu bebas untuk mengerjakan skenario itu sebelum akhirnya menulis novel lagi. Kau bisa menulis skenario ketika novelmu yang akan berakhir ini masuk dalam proses editing.”
“Aku akan menerimanya asal aku tidak perlu mengerjakan skenario itu di luar apartemenku ini.”
“Tenang saja. . . untuk itu, kau tidak perlu khawatir. Pihak produksi film menyetujui syarat itu mengingat kau tidak bisa mengerjakan karyamu ketika berada di luar ruangan.” Warda menatapku dengan mata berbinar. “Jadi kau mau melakukannya?”
“Ya, aku akan melakukannya. Ini adalah pengalaman unik yang bisa kugunakan sebagai referensi untuk ide novel selanjutnya.”
Warda bertepuk tangan mendengar ucapanku. “Sudah kuduga kau akan mengatakan hal itu. Lalu untuk berita ketiga, sebelum mengerjakan skenario film itu, pihak penerbit akan mengadakan acara khusus untukmu.”
Aku mengernyitkan alisku menatap Warda dan perasaanku mengatakan jika sesuatu yang buruk akan keluar dari mulutnya. “Jangan katakan padaku, pihak penerbit akan mengadakan acara tanda tangan untuk bukuku???”
“Sayangnya. . . itu benar, Asha.”
Aku langsung menendang kaki meja kerjaku dan membuatku yang masih berada di atas kursi menjauh dari Warda. “Kau tahu dengan baik, aku tidak suka keramaian dan tidak suka menjadi pusat perhatian, Warda?”
“Aku tahu itu.”
“Lalu kenapa kau menerima ide konyol itu, Warda?” Aku bertanya dengan nada kesal karena merasa telah dikhianati oleh teman sekaligus editor terbaikku ini.
“Aku tidak bisa menolaknya karena Arata bersedia hadir dalam acara itu sebagai bintang tamu, Asha. Karena dia adalah penggemarmu, pihak penerbit menghubungi Arata tentang rencana itu dan Arata langsung menerima rencana itu tanpa berpikir dua kali, Asha.” Warda menatapku dengan wajah memelas. “Kali ini bisakah kau membantuku dan menerima ide itu, Asha? Jika aku gagal membuatmu muncul dalam acara itu, atasanku akan memotong cutiku, Asha.”
Melihat wajah editorku yang memelas, tentu saja aku merasa tidak tega. Bagaimana tidak, editorku ini adalah orang yang selalu peduli padaku. Dia bahkan langsung berlari dari tempatnya bekerja ketika aku tidak menerima panggilan darinya. Dia juga adalah orang yang selalu rela membagi masakan ibunya untukku ketika melihat kulkasku yang selalu kosong atau hanya berisi makanan cepat saji. Dia juga adalah orang yang selalu mengecek dan memastikan keadaanku baik-baik saja selama bekerja dengannya. Selama ini dia tidak pernah memohon banyak hal padaku dan kebanyakan selalu mendukungku. Melihatnya memohon seperti itu, tentu saja aku tidak akan tega.
“Baiklah. . . aku akan menerimanya. Hanya kali ini saja, aku akan menerimanya, Warda.”
“Terima kasih banyak, Asha. Kau memang bintang keberuntunganku.”
Sekali lagi. . . Warda memelukku dan membuat kepalaku menempel dengan perutnya yang buncit itu dan mendengar tendangan putra kecilnya itu.
Sepertinya. . . kau juga merasa senang ya, Auriga. Seperti ibumu, kau mungkin menganggapku sebagai bintang keberuntunganmu. Tapi. . . kutegaskan di sini, aku bukan bintang keberuntungan.
Sepuluh hari kemudian.
Ting tong. Bel pintu apartemenku berbunyi dan sudah bisa kutebak siapa yang datang di hari ini dan jam segini.
“Selamat pagi, Nona Asha. Saya Sena, datang menjemput Nona untuk pergi ke acara tanda tangan buku Nona.”
Setelah merasa pakaianku rapi, aku menatap diriku lagi sebelum akhirnya berjalan cepat menuju ke pintu apartemenku. Klik. Aku membuka pintu apartemenku dan melihat Nawasena yang biasa dipanggil dengan Sena berdiri di depan pintu apartemenku. Sena adalah editor pengganti yang akan menggantikan Warda selama cuti tiga bulan ke depan. Tiga hari yang lalu. . . Warda datang membawa Sena kemari sesuai dengan janjinya dan mengenalkannya padaku. Dan seperti ucapan Warda padaku, Sena ini terlihat sangat muda karena wajahnya yang terlihat seperti anak bayi yang menggemaskan. Ketika bertemu pertama kalinya dengan Sena, aku sempat mempertanyakan tujuan Warda memilih dirinya sebagai editor penggantinya. Mungkin. . . Warda memilih Sena dengan alasan wajahnya yang tampan itu.
“Nona sudah siap?”
Aku mengangkat tanganku dan memberi peringatan kepada Sena. “Berhenti memanggilku dengan panggilan Nona. Panggilan itu membuatku risi. Kau bisa langsung memanggil namaku dan aku pun akan melakukan hal yang sama. Bagaimana, Sena?”
Sena melihat ke arahku dan jelas terlihat sedikit keraguan di matanya. Namun dengan cepat Sena membuang keraguan itu dan mengubahnya menjadi senyuman di bibirnya. “Saya akan melakukannya jika itu yang oleh Nona Asha.”
“Tsk, Asha saja,” kataku mengulangi.
“Maaf, Asha. Apakah sudah siap? Kita harus berangkat sekarang?” Sena melihat ke jam tangannya dan memperhitungkan waktu yang kami miliki sebelum acara dimulai.
“Aku sudah siap.”
“Baiklah, ayo kita berangkat, Asha. Kak Warda sudah menunggu di lokasi untuk memastikan semuanya telah siap termasuk dengan bintang tamu hari ini.”
Acara tanda tangan itu berlangsung di salah satu toko buku terbesar di kota X. Toko buku itu mengambil konsep bookcafe di mana toko buku juga bergerak sebagai cafe yang menyediakan makanan dan minuman. Toko itu memiliki satu ruangan besar yang biasa digunakan untuk acara-acara seperti tanda tangan penulis seperti yang aku lakukan saat ini. Selain itu. . . toko buku ini memiliki konsep aesthetic di dalamnya yang mengusung kenyamanan bagi pengunjung cafe dan pembaca buku di sana.
Selama perjalanan yang hanya sepuluh menit lamanya itu, aku terus menggerakkan kakiku dan hal itu sepertinya menarik perhatian Sena yang duduk di belakang kemudi.
“Nona, ah salah Asha, apakah kau baik-baik saja?” Sena melirik ke kaca spionnya untuk melihat keadaanku.
“Aku ingin mengatakan aku baik-baik saja. Tapi. . . kakiku terus bergerak dan aku tidak bisa berbohong.”
Dengan tangan kirinya, Sena mengambil sesuatu di dalam tasnya yang berada di samping kursinya dan memberikannya kepadaku. “Aku tidak tahu apakah ini akan membantu, tapi silakan dicoba.”
Aku menerima pemberian Sena itu dan menyadari bahwa pemberiannya itu adalah beberapa macam permen. Dari permen coklat, permen rasa buah dan permen karet.
“Ini permen kan? Kenapa kau memberiku permen?”
“Ketika aku gugup, aku selalu memakan permen. Jadi aku selalu membawanya di tasku. Asha bisa mencobanya, mungkin akan membuatmu sedikit rileks.”
Aku menatap beberapa permen di telapak tanganku dan pilihanku akhirnya jatuh pada permen karet dengan rasa mint. Aku membuka bungkusnya dan mengunyah permen karet itu. Seperti ucapan Sena padaku, kakiku yang bergetar sejak tadi mulai terhenti dan perasaanku yang tadi terasa sangat gugup, pelan-pelan berubah menjadi sedikit tenang.
“Terima kasih. Kurasa permen karet ini berhasil membuatku merasa sedikit tenang,” ucapku sembari menatap ke jendela di sampingku.
“Senang bisa membantu.”
Ada alasan khusus kenapa aku selalu menolak keluar dari apartemenku dan benci menjadi pusat perhatian. Di masa sekolah, aku pernah menjadi korban perundungan. Beberapa teman perempuan di kelasku merasa iri karena aku menjadi pusat perhatian beberapa teman laki-laki karena sering memenangkan kompetisi menulis dan membawa harum nama sekolah kami. Karena perundungan yang cukup parah hingga aku menolak untuk datang ke sekolah, orang tuaku akhirnya membuatku pindah sekolah dengan harapan aku bisa kembali bersekolah lagi.
Bertahun-tahun berlalu. Kukira aku sudah baik-baik saja. Tepat setelah lulus kuliah, aku diterima bekerja di sebuah kantor konstruksi dan banyak atasan menyukai cara kerjaku yang cepat dan praktis, tapi berhati-hati. Perhatian berlebih yang aku terima itu, kemudian memancing rasa cemburu beberapa karyawan lain hingga akhirnya mereka sengaja menjebakku dan membuatku nama baikku rusak hanya karena ucapan tidak bertanggung jawab dari mulut mereka.
Karena tidak bisa menahan perasaan tidak adil itu, akhirnya aku keluar dari perusahaan itu dan memilih mengurung diri. Selama setengah tahun, aku terus mengurung diri di kamarku dan membuat kedua orang tuaku marah besar padaku dan menganggapku sebagai anak tidak berguna. Dengan berbekal uang tabungan yang aku miliki, awalnya aku menyewa kamar kos kecil yang jauh dari keramaian. Selama mengurung diri, aku mengerjakan apapun secara online untuk mendapatkan uang untuk bertahan hidup: salah satunya menjadi penerjemah naskah, mengerjakan tugas ketik untuk mahasiswa dan menjadi penulis novel. Dari tiga pekerjaan itu, awalnya yang menghasilkan banyak uang adalah pekerjaanku sebagai penerjemah. Tapi dalam perjalanannya, aku memiliki banyak pesaing hingga pekerjaan itu tidak menghasilkan banyak uang seperti pada awalnya.
Sebagai penulis novel, awalnya aku menerbitkan novel karyaku di platform-platform novel dan itulah awal pertemuanku dengan Warda. Kebetulan Warda adalah pembaca dalam platform yang aku pilih itu dan kemudian tertarik dengan novelku yang tidak terlalu banyak dibaca oleh orang-orang. Menurut Warda, novel karyaku itu benar-benar bagus dan menyentuh hati. Warda kemudian memberikan kontrak eksklusif padaku dan membuat novelku akan diterbitkan pada perusahaan penerbit di mana dirinya bekerja. Buku pertamaku diterbitkan dan hasilnya sangatlah buruk. Cetakan pertama novel pertamaku sempat ditarik penerbit karena selama tiga bulan, tidak memberikan hasil penjualan yang bagus. Semua berubah berkat Arata.
“Kita sudah sampai.”
Sena menghentikan mobil di parkiran di depan toko buku tujuan kami. Dari dalam mobil, aku melihat bagaimana banyak jumlah pengunjung hari ini yang datang ke acara pertama tanda tangan buku-buku karyaku. Dari balik jendela juga, aku melihat wajah-wajah antusias pengunjung yang kebanyakan gadis-gadis muda itu.
“Arata!”
“Arata!”
“Arata!!!”
“Arata, aku mencintaimu!”
“Arata, menikahlah denganku!”
Tanpa perlu keluar dari mobil pun, aku dapat mendengar dengan jelas teriakan gadis-gadis itu yang memanggil-manggil nama Arata-bintang tamu dalam acara ini. Dari dalam mobil aku dapat melihat dengan jelas bahwa banyaknya pengunjung yang datang hari ini, bukan karena mereka menyukai buku-buku karyaku. Antusiasme mereka bukan ditujukan untukku, tapi ditujukan untuk Arata.-aktor terkenal yang sekarang menduduki peringkat lima di negara ini dalam popularitasnya.
Melihat keadaan ini, haruskah aku setuju dengan ucapan Warda yang mengatakan bahwa Arata adalah bintang keberuntunganku?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!