"Sekarang kamu pilih, menjadi budak nafsuku yang sah secara agama yang kamu anut dan hukum negara atau menjadi jalangku sampai aku bosan dan melepaskanmu?" Ucapnya memasang wajah beringas dengan satu tangannya menekan tubuhku terpojok pada dinding dan satu tangan lainnya mencengkeram keras daguku.
Cuih... satu lepehan air liurku mendarat sempurna di wajah tampannya yang tanpa cacat itu.
"Aku sangat membencimu hingga ke tulang-tulang, aku tidak akan pernah sudi menikah dengan laki-laki bajingan sepertimu!" Tatapanku tajam menghunus jauh ke dalam matanya yang sedari tadi menatapku seperti singa buas yang hendak menerkam mangsanya.
Ia menarik paksa tubuhku kemudian dihempaskan ke lantai.
"Bawa dia ke kamar," perintahnya kepada beberapa bodyguard yang selalu bersiap di sisinya. "Pastikan penjagaan di rumah ini diperketat dan jangan biarkan dia kabur!"
Perintahnya dengan tegas dan tidak ingin dibantah.
Empat tangan kekar menarik kedua lenganku hingga tubuhku terseret begitu saja menaiki tangga. Aku sudah kehabisan energi untuk melawan, jangankan melawan, sekedar mengeluarkan suara pun aku sudah tidak sanggup lagi. Hanya isak tangis yang terasa mengganjal tenggorokanku dan pekikan di dalam ruang hatiku yg terus bergema. Sungguh, aku menyesal bertemu kembali dengan laki-laki itu.
Samudera Biru, dia adalah laki-laki yang paling kubenci di dunia ini bahkan mungkin sampai ke akhirat nanti pun aku berniat untuk tetap membencinya.
Bagaimana tidak, 15 tahun waktuku kuhabiskan hidup di dalam penyesalan karenanya, namun setelah bertemu kembali dengannya, dia berubah menjadi sesosok monster dan pribadi yang paling menjengkelkan segalaksi bimasakti.
Ini memang salahku, bahkan kesalahanku kepadanya bisa dikatakan fatal, tapi menurutku tidak mesti seperti itu juga cara balas dendamnya jika ingin balas dendam kepadaku.
15 tahun menghilang, tiba-tiba takdir mempertemukan kami kembali, dia menjungkir balikkan hidupku yang kuanggap sudah sangat sempurna dan bahagia, sekarang terancam masuk ke dalam jurang penderitaan yang ia ciptakan untukku.
Ah, kalau tahu akan seperti ini akhirnya, aku benar-benar menyesal pernah menangis di dalam sujudku, meminta agar sekali saja dipertemukan dengannya, agar aku bisa menyampaikan permohonan maafku yang sebesar-besarnya kepadanya.
Aku akui, aku pernah sangat jahat kepadanya, sepanjang 5 tahun lebih kebersamaan kami sebagai teman sekelas sejak kelas 1 hingga 6 SD, yang kulakukan hanya menyakitinya dengan berbagai bullyan yang menyakitkan. Tapi semua itu aku lakukan bukan tanpa sebab. Dia yang selalu mencari masalah denganku. Aku sudah enggan meladeni kenakalannya yang bebal, tetapi dia selalu muncul di waktu yang tidak tepat.
Puncaknya ketika hari pertama memasuki kelas 6, aku memukul kepalanya dengan bet tennis meja hingga membuat kepalanya mengeluarkan darah yang sangat banyak, dia menggangguku, melempariku dengan beberapa bola-bola kertas hingga mengenai bola pimpong yang sudah siap kupukul dengan smash backhand andalanku namun meleset karena ulah Sam.
Aku tidak terima.
#FLASHBACK ON
"Sammmmm..." Suara teriakanku menggema di segala penjuru ruang kelas. Aku sudah cukup menahan diri dengan mengabaikan keberadaannya. Jika biasanya aku yang tidak berhenti mengganggu dan memgerjainya bila ada waktu, kini keadannya berbalik.
Sam tahu bahwa aku sangat mencintai permainan pimpong, hanya bel tanda masuknya jam pelajaran yang bisa mengalihkanku dari permainan ini.
"Apa???" Tanyanya menantang sambil berjalan mendekatiku.
Ia kini berdiri di hadapanku dengan wajah minta ditabok itu, hingga...
"Pletak..."
Satu pukulan forehead mendarat di kepala bagian belakangnya.
Sam hanya bisa terpaku, sejenak menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan dan tubuhnya pun luruh terjatuh tepat di bawah kakiku.
Aku terdiam dan mematung. Tubuhku bergetar menatapnya. Aku tidak sengaja melakukannya. Itu hanyalah gerakan refleks sebagai respon dari tantangannya. Sungguh, tidak ada niat untuk menyakitinya apalagi membuatnya terluka seperti saat ini.
Semuanya terjadi begitu cepat. Seketika suara riuh mengisi segala ruang menyaksikan kejadian tersebut. Semua berkumpul mengelilingi tubuh Sam yang sudah terbujur tak berdaya. Hingga samar-samar suara tersebut menghilang seiring dengan kesadaranku yang juga ikut menghilang.
Itulah terakhir kali aku melihatnya. Dengar-dengar, Samudera dibawa oleh kedua orang tuanya berobat ke luar negeri, Sam pergi begitu saja meninggalkan rasa sesal yang menyesakkan di dada.
Aku masih sempat datang berkunjung ke rumahnya yang tidak jauh dari rumah kedua orang tuaku. Kami masih tinggal dalam kompleks yang sama meski tidak bertetangga juga. Kedua orang tua kami bersahabat. Saat ini ayah Sam ikut membantu mengembangkan perusahaan yang telah didirikan oleh ayah dan ibuku sejak 5 tahun yang lalu.
Dari informasi yang kudapatkan dari pembantu rumah tangga yang tinggal di rumahnya, sejak kejadian tersebut Sam dinyatakan koma dan belum sadar. Aku sungguh merasa bersalah dan ingin meminta maaf.
Aku tidak mengerti apa yang terjadi setelah peristiwa tersebut. Ada banyak kejadian aneh yang sulit untuk kucerna. Hanya dalam waktu sebulan, ayahku kehilangan perusahaan miliknya hingga kedua orang tuaku tiba-tiba saja mengalami kecelakaan lalu lintas hingga aku dibawa pergi oleh orang-orang yang tidak kukenal yang mengaku sebagai sahabat dekat ayah.
Aku yang masih terlalu kecil ditinggal pergi untuk selamanya oleh kedua orangku begitu saja sangat sedih dan tertekan.
Entahlah.. aku tidak tahu harus berbuat apa, aku masih terlalu kecil untuk mengerti urusan pelik orang-orang dewasa.
"Kita harus pergi sekarang juga nona muda, waktu kita tidak banyak!" Ucap salah seorang perempuan berwajah teduh yang usianya mungkin sepantaran ibuku.
"Tapi ayah..i..ibu.." Ucapku lirih memandangi tubuh kedua orang tuaku yang masih terbujur kaku di atas bangsal IGD rumah sakit. Air mataku terus mengalir, tenggorokanku rasanya sudah tidak mampu mengeluarkan kata menahan cekatan perasaan yang menghimpit.
"Keselamatan nona muda yang lebih utama saat ini, mari ikut kami nona!" Kembali perempuan tersebut meyakinkan. Aku hanya bisa menurut, meski hatiku begitu sedih kehilangan kedua orang tuaku dan sekarang harus ikut pergi bersama orang-orang asing sebelum mengikuti pemakaman kedua orang tuaku.
"Kami minta maaf nona, suatu saat nanti nona muda akan mengerti!" Ucapnya lagi dengan mengelus puncak kepalaku.
Namun, cerita ini bukan hanya tentang dendam masa kecil Sam kepadaku, perlahan tersingkap tabir akan konspirasi jahat yang membuat aku harus kehilangan kedua orang tuaku hingga aku harus terasing di salah satu kota di pelosok negeri ini.
Aku menjalani hari-hariku dengan terus belajar dan terus memelihara kengan terbaikku bersama dengan kedua orang tuaku. Tidak ingin membiarkan satupun menghilang dari isi kepalaku.
Suatu saat aku akan kembali, mengurai semua kenangan dan peristiwa yang telah terjadi. Aku Venus Aerglo Sanjaya pasti akan kembali. Cepat atau lambat, pasti kembali.
#Flasback Off
Tok tok tok
"Permisi pak Hasan."
Seorang gadis melangkah hati-hati masuk ke dalam ruangan pimpinan perusahaan tempatnya bekerja. Baru saja ia mendapatkan telpon untuk segera menghadap sang atasan.
"Oh..Venus, silahkan duduk!" Mengikuti perintah atasannya, dengan ragu gadis itu duduk di kursi yang sudah tersedia di depan meja kerja lelaki paruh baya yang tadi dipanggilnya dengan sebutan pak Hasan.
Gadis manis berperawakan kecil khas perempuan Asia pada umumnya itu meremas cemas kedua tangannya yang bertautan di atas pangkuannya.
"Maaf pak, ada apa yah memanggil saya ke sini?" Dengan ragu Venus memberanikan diri menyuarakan isi kepalanya yang sejak tadi berputar-putar seperti gasing sejak pertama dirinya diberi tahu oleh sekertaris pimpinan perusahaan untuk segera menghadap.
Bukan karena apa, masalahnya, ini adalah pertama kali baginya dipanggil secara pribadi menghadap pimpinan selama hampir 4 tahun dirinya mengabdi di perusahaan tempatnya bekerja.
"Apa sekertaris saya belum memberitahu kamu maksud saya memanggil kamu ke sini?" Tanya pak Hasal yang mata dan tangannya masih fokus pada layar 11 inch di hadapannya.
Venus menggeleng.
Pak Hasan kemudian menghentikan kesibukannya dan membuka kacamatanya memilih fokus pada Venus.
"Baiklah... ini..." Sebuah amplop coklat disodorkan ke hadapan Venus.
"Mulai minggu depan kamu akan bergabung dengan kantor pusat, jadi persiapkan diri kamu sesegera mungkin karena 2 hari lagi kamu akan diberangkatkan ke Jakarta. Itu adalah surat penugasan kamu!" Ucap pak Hasan menjelaskan.
"Ma..maksud bapak saya dimutasi? Ke..ke Jakarta, pak?" Venus masih shock mendengar penuturan atasannya itu.
Jakarta.. satu nama kota yang sudah lama ia kubur di dalam memorinya bersamaan saat langkahnya meninggalkan kota tersebut.
"Iya, kenapa? Apa kamu keberatan? Bukankah semua karyawan seperti kalian ini punya cita-cita yang sama yaitu bekerja di ibukota negara ini?" Tanya pak Hasan mengerutkan kedua alisnya. Tampak jelas raut keberatan di wajah Venus.
Venus menggeleng.
"Baik pak, akan saya pertimbangkan."
Brakkkk... pak Hasan langsung menggebrak meja.
"Venus Aerglo Sanjaya! Ini perintah, bukan tawaran yang bisa kamu pertimbangkan!" Geram pak Hasan. Ia tidak mau menerima kata penolakan karena penugasan Venus ke kantor pusat adalah perintah langsung oleh pimpinan tertinggi perusahaan ini. Ia tidak ingin dianggap tidak mampu menangani satu orang karyawannya jika sampai Venus menolak.
"Baik pak, baik. Sesuai perintah saya akan segera bersiap-siap!"
Tak ada perlawanan lagi dari mulut Venus. Ia sadar akan tugas dan kewajibannya sebagai karyawan di perusahaan ini.
Mungkin sudah jalan takdirnya seperti ini. Sekuat apa dirinya menolak untuk kembali ke kota itu namun takdir justru mendorongnya dengan keras agar segera kembali ke sana.
*****
"Apa kamu sudah siap, sayang?"
Tanya seorang perempuan paruh baya yang telah menggantikan peran ibu dan ayahku kurang lebih 15 tahun terakhir ini. Meskipun usianya telah termakan waktu, namun gurat kecantikannya masih tercetak sempurna menghiasi wajah teduhnya, pancaran kasih sayang dari tatapannya begitu menghangatkan.
"Iya bunda, InsyaaAllah aku udah siap. Terima kasih untuk segalanya selama ini!"
Ah, aku selalu tidak bisa menahan laju air mataku setiap kali mengingat kebaikan perempuan yang ada di dalam pelukanku saat ini. Beliau telah membaktikan seluruh jiwa raganya untuk melindungi dan membesarkan anak sahabatnya yang telah sebatang kara ini.
"Bunda yang berterima kasih, hmmm." Selalu seperti itu katanya setiap kali aku berterima kasih kepadanya. Entah sedekat dan sekuat apa hubungannya dengan ayah dan ibuku di masa lalu hingga beliau bisa memberiku cinta dan kasih sayang yang begitu besar semenjak hidup tanpa kedua orang tuaku.
Aku hanya bisa kembali mengeratkan pelukanku di tubuhnya, mengeja setiap aksara yang terbaca dari setiap dekapan kasih sayangnya.
"Apa bunda yakin tidak ingin ikut bersamaku? Aku takut jika harus sendiri di sana." Tanyaku lagi setelah mengurai pelukan kami. Rasanya berat meninggalkannya setelah begitu banyak hal yang beliau korbankan untukku sehingga bisa seperti sekarang ini.
Bunda Aisyah menggeleng lalu menyeka air mata yang sedari tadi menganak sungai di pipinya.
"Tugas bunda sudah selesai, sayang. Kini sudah waktunya kamu kembali mengambil kehidupan kamu yang telah mereka rampas dengan paksa. Ini bukan tentang balas dendam, tapi ini adalah tentang mengembalikan sesuatu pada tempat yang seharusnya. Apa kamu mengerti?" Ada cairan bening yang menggenangi wajah keriputnya.
Aku mengangguk pasti, sudah menjadi tugas dan kewajibanku untuk mengambil kembali apa yang telah menjadi hakku. Sudah terlalu lama aku bersembunyi di sini. Dan sekarang sudah waktunya untuk kembali setelah berjuang bertahun-tahun mendapatkan kepercayaaan dari kantor cabang tempatku bekerja untuk terpilih menjadi satu yang beruntung ditarik ke kantor pusat, tempat di mana diriku seharusnya berada. Bukan sebagai karyawan biasa, akan tetapi sebagai pemilik perusahaan tersebut.
"Iya bunda, aku mengerti. Doakan aku agar jalannya terbuka dan apa yang kita rencanakan menemui hasil yang sebagaimana kita semua harapkan."
"Aamiin... doa bunda selalu menyertai setiap langkahmu. Ingat, kamu harus berhati-hati, jangan gegabah mengambil langkah. Pelan-pelan saja, kenali musuh kamu secara mendalam. Meski informasi dari informan kita di sana sudah detail, akan tetapi kita harus tetap menyisakan ruang ketidak pastian agar selalu waspada."
Betul apa yang dikatakan bunda Aisyah, belajar dari kesalahan ayah di masa lalu, terlalu percaya diri, terlalu percaya dengan orang-orang yang ada di sisinya hingga beliau menutup mata terhadap kesalahan orang-orang terdekatnya. Berprasangka baik kepada semua orang itu memang perlu, tetapi bukan berarti kita abai dengan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa kapan saja menghampiri.
"Dan satu lagi..." bunda Aisyah kembali bersuara, "Samudera Biru masih dinyatakan hilang ingatan hingga detik ini, dia sama sekali tidak bisa mengingat semua kejadian sebelum tragedi bet bola pimpong itu, jadi jangan sampai rasa bersalahmu kepadanya merusak semua rencana kita. Karena melalui dirinyalah kamu akan bertemu dengan musuhmu yang sesungguhnya."
Aku mengangguk paham.
"Aku akan melakukan yang terbaik semampuku, bunda. Demi ayah dan ibuku. Aku berjanji akan memberikan keadilan buat mereka." Tegas tanpa ragu, janji itu selalu terpatri di setiap helaan nafasku.
"Ini sudah larut, istirahatlah."
"Iya, ini tinggal dikit lagi kok, bunda!" Ucapku sembari merapikan beberapa barang-barang ke dalam koper yang akan kubawa pergi ke Jakarta.
Tak banyak barang bawaanku, hanya beberapa pasang pakaian kantor dan rumah juga semua berkas-berkas penting yang akan menunjang pekerjaan dan tunjanku berada di sana.
Aku memang hanya perlu membawa diriku saja ke sana, karena dari informasi yang kudapatkan di kantor, semua fasilitas kehidupanku di sana akan ditanggung oleh perusahaan, mulai dari tempat tinggal, kendaraan operasional dan termasuk biaya hidup.
Seorang laki-laki berjalan dengan langkah panjang memasuki perusahaan yang sudah 6 tahun tahun terakhir ini dipimpinnya. Perawakannya yang tinggi dan tegap bak atlet bola basket membuatnya tampak seperti raksasa di antara beberapa orang bawahannya yang setia mengekor di belakangnya. Tidak ada senyum atau salam sapa yang diucapkan dari bibirnya, itu sudah menjadi pengetahuan umum bagi semua karyawannya. Hanya wajah angkuh dan sikap arrogant yang tampak begitu nyata di setiap garis wajahnya.
"Robby, segera pecat kepala departemen perencanaan dan aku tidak mau tau dalam waktu 1 minggu kepala perencanaan yang baru sudah mulai bekerja di gedung ini." Suara keras nan tegas bergema setelah Samudera memasuki ruangan kerjanya yang diikuti oleh beberapa asisten pribadinya.
"Baik pak, tapi apakah bapak tidak tertarik memilih sendiri kepala perencanaan yang baru dari beberapa nama yang sudah dikirimkan dari beberapa cabang perusahaan kita yang tersebar di beberapa kota di Indonesia?" Sela Robby sang asisten utama memberi penawaran. Dia tidak ingin gegabah memilih orang karena ini sudah kesekian kalinya atasannya itu memecat kepala departemen yang dipilihnya setelah melewati serangkaian kegiatan interview yang panjang dan melelahkan. Tapi hasilnya tetap zero di mata bosnya yang perfectionist itu.
Sejenak Samudera terdiam memikirkan ide Robby tadi.
"Baiklah, bawa ke mejaku semua data kandidat tadi." Ucapnya melambaikan tangan kepada Robby agar segera keluar dari ruangannya.
Samudera menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi kebesarannya. Ia memejamkan matanya kemudian memijat kedua pelipisnya.
Susah payah ia bangun perusahaan ini setelah berada diambang kebangkrutan akibat ulah ibunya sepeninggal ayahnya karena serangan jantung, dan sekarang kembali perusahaan saat ini sedang goyang akibat kesalahan orang dalam yang membocorkan informasi rahasia kepada perusahaan kompetitor.
Banyak hal yang sudah dikorbankannya untuk mengangkat kembali perusahaan ini setelah kejatuhannya, terutama masa mudanya. Dia sudah harus berjibaku dengan urusan pekerjaan saat dia masih awal-awal berstatus sebagai mahasiswa.
Beruntung, sejak dirinya dinyatakan sembuh dari komanya selama 3 bulan, meski ingatannya dinyatakan hilang, sejak saat itu Samudera lebih senang menghabiskan waktunya di kantor bersama ayahnya ketika diluar jam sekolah. Bahkan dia lebih sering tidur di kantor bersama ayahnya dibanding pulang ke rumah. Mereka enggan pulang, karena jika pulang pun, ibunya belum tentu ada di rumah, kalau pun ibunya di rumah, yang ada ayah ibunya akan selalu terlibat pertengkaran yang seolah tidak berujung.
Perusahaan yang bernama PT. Central Aerglo Mineral, tbk. yang dipimpinnya saat ini adalah perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan. Tidak tanggung-tanggung, perusahaannya tidak hanya terjun dalam satu komuditi tambang, tetapi mencakup nikel, emas dan batubara.
Awal mula perusahaan yang didirikan ayahnya bersama sahabatnya itu hanyalah perusahaan broker hasil tambang. Namun seiring berjalannya waktu, ketika sahabat ayahnya masih hidup, mereka sudah mulai membangun jaringan bisnis tambang nikelnya di pulau Celebes. Bertahun-tahun kemudian, di bawah kepemimpinan ayahnya, perusahaan itu pun berhasil semakin berkembang dan terjun mengelelola tambang emas di Maluku Utara dan tambang batubara di Kalimantan.
Petaka mulai menghampiri ketika ayah Samudera meninggal, hampir saja semua sahamnya melayang karena dijual oleh sang ibu. Beruntung Samudera bisa mengambil alih kembali saham yang telah terjual dan membawa perusahaan semakin berjaya dan semakin diperhitungkan.
"Permisi pak!"
Kembali Robby mendatangi Samudera di ruang kerjanya membawa data-data yang Sam minta sebelumnya.
"Ini data dari 5 kandidat calon kepala departemen perencanaan kita pak. Semuanya berdasarkan rekomendasi dari pimpinan cabang kita." Ucap Robby menjelaskan maksud dari amplop coklat yang diletakkannya di atas meja Samudera.
Tanpa menunggu jawaban dari Samudera, Robby pun segera pamit undur diri untuk kembali ke ruangannya.
Samudera membolak balik lembaran demi lembaran yang dibacanya, tidak ada yang begitu mencolok dari segi prestasi, kelimanya standar menurut penilaian Samudera.
Namun, ada satu nama yang entah mengapa terasa familiar baginya tetapi ia tidak bisa mengingatnya.
"Venus A. Sanjaya." Tanpa sadar lidah Samudera melafalkan nama tersebut entah sudah berapa kali sejak membaca biodatanya.
Samudera tetaplah Samudera yang dingin dan tidak terpengaruh dengan apapun di sekitarnya, meski satu nama tersebut cukup mengganggu di fikirannya, namun ia tidak ingin mengambil pusing untuk memikirkannya. Meski kelima kandidat yang biodatanya berada di atas mejanya saat ini yang paling mendekati kriteria yang dibutuhkannya saat ini adalah nama tersebut.
Segera tangannya mengambil gagang telpon dan menekan nomor ekstetensi milik Robby.
"Segera hubungi pimpinan cabang Maluku Utara, suruh secepatnya kirim orang terbaiknya ke kantor pusat dan kosongkan jadwalku sore ini."
Samudera sudah memantapkan pilihannya pada kandidat yang namanya entah mengapa terasa mengusik hatinya dan sialnya kepalanya terasa begitu sakit setiap kali ia berusaha memaksa sedikit dirinya untuk mengingat dimana ia pernah mendengar nama tersebut.
Satu hal yang diyakininya melihat reaksinya yang cukup berlebihan setelah membaca nama tersebut, pasti nama itu punya keterkaitan dengan masa kecilnya yang telah hilang dari memorinya.
Sebenarnya, Samudera tidak pernah lagi tertarik untuk menggali kembali ingatannya yang telah hilang, itu hanya masa kecil, menurutnya tidak akan ada hal spesial yang terjadi kala itu. Jangankan masa kecilnya, sejak mula ingatannya hingga detik ini pun rasa-rasanya hidupnya tidak ada yang menarik. Semua waktunya ia habiskan dengan belajar dan bekerja. Bukankah membosankan sekali menjadi dirinya?
Urusan cinta? Jangan tanyakan cinta kepadanya karena baginya cinta adalah lelucon paling konyol yang pernah dilihatnya, seperti cinta ibu dan ayahnya. Menikah tapi tidak bersama, bercinta tapi tanpa rasa cinta, beranak tapi seperti tidak punya, terikat tetapi memiliki ikatan-ikatan lain di tempat berbeda.
Sungguh itu adalah sebuah ironi yang membuatnya merasa tidak penting memiliki cinta karena dunia hanya tunduk pada kekuasaan dan kekuatan.
Hei, apa yang kalian pikirkan? Tentu saja dia adalah pria normal. Normal tidak harus sama dengan kebanyakan orang bukan? Misalnya, menikah. Tidak menikah bukan bukan berarti tidak normal bukan?
Bukan karena tidak laku, ketampanan dan kekuasaannya sudah sangat lebih dari cukup untuk menarik perempuan manapun dengan sukarela menyerahkan jiwa raganya di dalam genggamannya.
Namun, diantara sekian banyak perempuan yang telah melemparkan tubuhnya ke atas ranjang panasnya, tidak ada satupun diantara mereka yang mampu menyentuh ruang jiwanya. Semuanya datang dan pergi tanpa meninggalkan setitik kesan yang bisa membuatnya sedikit teralihkan dari dunianya.
Tapi.. Venus!
Mengapa nama itu terus tergiang-ngiang di pikirannya? Bukankah itu hanyalah nama dari salah satu planet di dunia ini? Ah, mungkin karena efek setelah membaca sebuah buku dimana ia menemui nama Venus di sana sebagai lambang kecantikan dan dewi cinta dalam mitologi Romawi.
Apakah ini hanya kebetulan atau sebuah petunjuk? Entahlah...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!