Sudah beberapa kali menarik napas, sudah beberapa kali pula mengusap dada. Tapi, ketenangan yang diharap, tak juga menyapa. Bahkan debaran kian tak terkendali, membuatnya harus menoleh kanan kiri. Untuk lebih memastikan apa benar itu detak jantungnya sendiri. Bukan tengah ada orang yang menabuh gendang dan diam-diam mengikuti.
Sebenarnya jauh di relung hati, misi yang harus dijalankannya ini sangat bertentangan dengan nurani. Gadis itu bahkan merasa sudah mengkhianati hijab yang selalu dipakainya selama ini. Tapi, demi untuk menyelamatkan harga diri, harga diri seorang wanita yang harus dijunjung tinggi. Mungkin tindakan ini cukup sepadan. Begitu ia menimbang dalam diri.
Di depan sana, roda mobil mewah seharga miliaran rupiah telah berhenti. Membuat kegelisahannya semakin menjadi. Keraguan dan semangat datang silih berganti. Hingga ia harus pejamkan mata berkali-kali, untuk bulatkan tekad di hati. Deru napasnya sudah hampir serupa dengan debar jantungnya yang tak terkendali. Gadis itu kian memejamkan mata rapat sekali, seraya mulutnya komat-kamit seakan merapal ajian sakti.
Gugup? jelas sekali.
Takut? jangan ditanya lagi. Ia bahkan sangat ingin mundur dan mengibarkan bendera putih pertanda menyerah. Tapi, sekali lagi ia bakar semangatnya kembali. Dan memilih melanjutkan misi.
Sesosok tampan rupawan keluar dari mobil itu. Seperti biasa, pesonanya yang tak terbantahkan selalu berhasil menghipnotis setiap yang memandang. Dan sikapnya yang tak pernah memerdulikan, justru membuat pesonanya kian berkilau.
Gadis itu memandangnya dengan napas menderu, mengumpulkan segenap keberanian dalam kalbu. Dan akhirnya langkah pun terayun, gegas memburu.
"Tuan Muda Erald!" Ia beranikan diri memanggil, dengan suara dibuat setegas mungkin. Padahal aslinya, tubuhnya hampir menggigil.
Berhasil, langkah tegap pemuda tampan rupawan itu berhenti. Tapi ia hanya tetap berdiri tegak saja, tanpa mau menoleh pada siapa yang memanggilnya. Gadis itu pun berlari, mengabaikan hijabnya yang berkibar kesana kemari. Dan kini ia telah berdiri di depan Rafaresh Emerald William, dengan napas ngos-ngosan. "Maaf ganggu," ucapnya, seraya berusaha mengatur napas. Tapi, sialnya debaran jantungnya malah kian kuat.
Tak ada jawaban, yang empunya wajah rupawan dan pemilik nama belakang--yang menunjukkan sebagai garis keturunan keluarga William, terlihat enggan memberikan tanggapan. Kecuali hanya tatap tajamnya yang menyapu pandang. Dan itu membuat debaran dalam diri si gadis kian tak bisa dikondisikan.
Sikap pemuda tampan ini membuat si gadis tak lagi bernyali, niat yang sudah terpatri, dan rencana yang sudah tersusun rapi, bukan hanya telah berantakan, tapi telah raip dan tak bersisa lagi. Ia hanya berdiri dengan sepasang lutut yang seakan bergetar, sedangkan kedua tangannya memilin-milin ujung hijabnya yang lebar.
Rafaresh Emerald William melihat hal itu sejenak, lalu kembali menatap lurus ke depan. "Jangan menghalangi jalan!" ucapnya dengan nada datar. Karena tak ada kata yang terucapkan, tentu saja tuan muda keluarga William itu langsung menilai, kalau gadis di depannya tak punya kepentingan. Mungkin ia hanya sedang mencoba peruntungan, dengan memanggil sang tuan muda, apakah akan didengar, atau diabaikan.
Si gadis terdongak. Lebih tepatnya memberanikan diri untuk terdongak, menatap seraut wajah rupawan yang menjadi pesona nomer satu di seantero Universitas bergengsi itu. Dan kini apa yang didapat? Ia tak dapat menafikan pesona tuan muda yang selalu menjadi sasaran pujian dan sanjungan dengan untaian kalimat indah.
"Sa-saya ada perlu." Gadis berhijab itu memberanikan diri berkata, ya meski dengan suara yang bergetar, dan ucapan yang terbata-bata. Keberanian itu didapat tatkala pandangannya tertuju pada satu arah, dimana beberapa orang yang tengah memantau tingkahnya, memberikan isyarat agar misi segera dilaksanakan dengan cepat. Jangan sampai terlambat. Jika tidak sandra akan segera dibabat.
"Katakan apa keperluanmu! Jangan membuang waktu!"
FYUH..
Ucapan Sang tuan muda, sanggup mendatangkan kembali keraguan yang telah diusir pergi. Pasalnya, sikap dingin yang dikombinasikan dengan tatapan tajam itu bak ****** beliung yang mampu mengusir siapa pun yang ingin mendekati. Tiba-tiba saja si gadis merasa kalau hawa dingin dari air terjun Niagara, telah berpindah ke wilayah kampus putih Pramudya.
Tapi, si gadis berhijab tak punya pilihan lain, selain terus maju. Maju menjalankan misi dari beberapa orang yang mengklaim diri punya kekuasaan mutlak, hingga bisa berbuat semena-mena di kampus itu.
"Aku terpaksa," ucap gadis itu mencoba menentang tajamnya tatapan Tuan muda Erald. Tapi hanya sesaat, ia tak cukup kuat bertahan. Karena irama jantungnya bahkan lebih keras dari dentuman bedug menjelang lebaran.
Akan tetapi gadis itu benar-benar tak punya pilihan lagi. Ia maju sekitar lima langkah hingga berada dalam jarak yang sangat dekat dengan tuan muda Erald. Sepasang kakinya berjinjit untuk mensejajari tinggi pemuda tampan di depannya. Dan, CUP.
Setelah melakukan aksi tak terduga itu, ia segera berlari dengan wajah merah padam karena teramat takut dan malu.
"Ckk." Pemuda tampan itu mengusap bibirnya dengan memendam kemarahan. Selama ini tak pernah ada yang berani berbuat sampai demikian. Jangankan untuk bertingkah yang macam-macam, ditatap saja, semua orang sudah menundukkan pandangan. Meskipun pesonanya tak terbantahkan. Sulit bagi siapa pun untuk tak terjerat pada ketampanannya yang nyaris tiada tandingan. Namun, para pecinta itu hanya memuja dalam diam, dan mengagumi dari kejauhan. Karena adanya jarak yang luas membentang, serta batas yang sangat tinggi menjulang.
Siapa yang tak tau pada Rafaresh Emerald Willliam, tuan muda keluarga William yang digadang-gadang sebagai pewaris kerajaan bisnis dan kejayaan keluarga William Pramudya. Maka tak pernah ada yang berani mendekati, jika tak berasal dari circle yang sepadan. Sehingga setiap ketertarikan harus dipendam, atau dibisikkan pada angin malam, kala sunyi dan tak ada orang. Agar tak menjadi bahan tertawaan.
Tapi, kini malah ada seorang gadis yang tidak ia kenal, bahkan melihat pun baru sekarang. Namun, dengan beraninya gadis itu telah mencuri ciuman. Kendati dalam durasi yang sangat singkat. Tapi cukup untuk membuat harga dirinya seakan terkoyak. Sang tuan muda merotasi pandangan pada pemuda sebayanya yang berdiri jarak dua langkah di belakang.
"Tau, apa yang harus kau lakukan?"
"Sangat tau, Tuan Muda." pemuda yang juga berwajah tampan itu langsung menjawab paham.
"Satu jam pun aku tak ingin menunggu, Devan," tegas sang tuan muda dengan kilat kemarahan pada kedua netra. pandangan yang setajam elang itu kini terlihat kian seram saja.
"Tak akan sampai selama itu," tegas Devan dengan sigap dan tekad kuat.
"Aku tunggu di kelas khusus."
Tuan muda Erald segera bergegas, dengan langkah yang lebih cepat. Membawa getar murka yang membayang jelas di kedua netra. Satu kata tindakan yang terpatri dalam dada. Bahwa tak akan pernah ada ampun untuk si gadis hijab yang telah mencuri ciuman pertamanya.
Apakah yang akan terjadi selanjutnya?
🌹🌹🌹
Assalamualaikum..Sesuai janji saya beberapa saat lalu, untuk merilis kisah anaknya Aresh dan Arra, serta beberapa tuan muda dari keluarga William yg lain. Selamat membaca ya, dan semoga berkenan...
Ziko Elvano William, menjadi orang ketiga yang memasuki ruangan. Karena sebelumnya sudah ada Ragasa yang duduk di pojok--sebagaimana kebiasaan anak itu-- bila sudah mengikuti class khusus ini. Dan di pojok paling depan juga sudah ada Devandra yang duduk dengan sangat santai dan hanya mengangkat sebelah alisnya atas kedatangan Elvan.
"Yang lain?" tanya Elvan singkat. Tak jelas pertanyaan itu dituju pada siapa. Tapi yang jelas, pertanyaan ini harus mendapatkan jawabannya.
"Aneth lagi dandan," jawab Ragas asal. Karena sepasang matanya tetap fokus pada gawai yang ia pegang. Namun, ia jadi tertawa sendiri dengan ucapannya barusan.
Elvan tak memberi tanggapan, sepertinya ia puas dengan jawaban Ragas yang asal-asalan. Selanjutnya hening, ketiga orang pemuda tampan itu sama-sama diam, sibuk masing-masing. Hingga sebuah suara membahana memecah keheningan dengan tiba-tiba. "Yang tercantik di kelas ini sudah datang."
Ragasa dan Devandra langsung menoleh pada gadis yang memang cantik sesuai dengan sesumbarnya itu, lalu keduanya sama-sama mengedikkan bahu santai dan kembali mengalihkan pandangan.
Sepertinya sesumbar dari Anneth tak perlu ditepis. Karena ia memang satu-satunya gadis di class khusus ini. Di samping, dia memang cantik beneran sih.
Anneth sempat mengerucutkan bibirnya, saat melihat reaksi Devan dan Ragas akan kedatangannya. Namun, tatapannya segera menemukan Elvan yang terlihat acuh saja. Anneth segera menghampiri sepupunya itu.
"Kakak tampan, aku duduk di sini ya," pintanya lebih dulu. Dan ia langsung duduk saja, meskipun Elvan hanya memberinya lirikan tanpa kata.
Interaksi jauh dari kata akrab dan mesra, memang sudah biasa terjadi di kalangan keluarga William ini. Tapi sebenarnya, jangan salah menilai. Mereka saling menyayangi dan melindungi satu sama lain.
Mr Hendry memasuki ruangan, sepasang mata tajam yang terbingkai kaca mata, memindai tatapan pada segenap yang ada. Sudah jelas, kalau mereka belum berkumpul semua. Tapi dosen ganteng yang sudah bergelar profesor di usia yang cukup muda itu tetap bertanya seperti biasa. "Sudah masuk semua?"
"Belum." Jawaban itu datang dari belakang Mr Hendry yang berdiri membelakangi pintu. "Maaf telat, Mr." Itu ucapan Arasya Davanka William. Ia masuk mendahului Althair Askara William yang mengekorinya, dengan tanpa kata.
Untuk saat ini, Askara dan Arasya masih menempuh pendidikan tingkat SMA. Tapi mereka berdua harus hadir juga dalam kelas khusus sebagai generasi keluarga William Pramudya juga.
Dua orang pemuda berwajah rupawan yang hampir seumuran ini segera mengambil posisi duduk di belakang Elvan.
Aneth membawa pandangannya ke belakang. "Kangen deh, pada dua orang adikku yang tampan," ujarnya seraya mengedipkan sebelah mata pada keduanya. Yang hanya ditanggapi Arasya dengan senyuman, sedang Askara? Dia Hanya diam menatap datar.
Pasti pada bertanya-tanya Siapa saja mereka. Tapi sebagian sudah dapat menduga, mengingat nama besar yang tersemat di belakang setiap nama. Namun, untuk lebih jelasnya, mari simak dengan seksama.
Di mulai dari Ziko Elvano William, dia adalah putra dari Edgard William dan istrinya, Nola. Lalu gadis cantik di sebelahnya, Anethtya william, putri kedua Anthoni William dan Frisca.
Sepasang pemuda rupawan yang hadir belakangan, Arasya Davanka William, putra dari Rafasya Aditya William dengan Quinshaa Daneen. Lalu yang tampan rupawan di sampingnya. Athair Askara William, putra kedua Damaresh William dan Aura Aneshka.
Dua orang pemuda yang lain. Devandra, putra dari Kaivan dan Naila. Dan yang terakhir, Ragasa, putra Stefan dan Clara.
Sudah lengkap semua? Belum. Masih ada Izara Darahifsa William, putri kedua Alarik William. Namun, Izara jarang mengikuti class khusus ini, karena ia memang tak lagi menempuh pendidikan di kampus putih Pramudya. Hanya setahun Izara belajar di kampus ini, sebelum berpindah ke kota Malang-Jawa timur, agar lebih dekat dengan kedua orang tuanya yang memang berdomisili di sana.
Ada lagi Angela William, kakak dari Anethya, yang sudah menempuh pendidikan S2 di luar negeri setelah menunaikan kewajiban belajar di kampus putih selama tiga tahun.
Bagi pembaca baru yang belum membaca kisah. CINTAKU TERHALANG TAHTAMU, pasti masih bingung, siapa saja nama-nama yang telah disebut barusan sebagai orang tua dari para tokoh di sini. Maka disarankan untuk membaca novel cintaku Terhalang Tahtamu, dulu agar lebih memahami asal-usul mereka.
"Kita mulai sekarang?" Mr Hendry yang sudah duduk di kursi kebesaran melontar tanya pada semua.
"Iya," jawab Elvan, sementara yang lain diam.
"Tunggu. Kak Erald belum datang," cegah Aneth. Hanya sepupunya yang paling tampan itu yang belum ada di ruangan. Tanpa kehadiran Erald, formasi para tuan muda dan nona muda William, pasti sangat kurang.
"Mulai saja, Erald punya otak dari kaca," tepis Elvan.
"Yak. Meski telat pelajaran, dia pasti bisa ngejar," sahut Devandra.
"Setuju. Mulai saja, Mr." Ragasa ikut-ikutan. Sedangkan Arasya dan Askara hanya tetap memilih diam. Mereka tak ikut andil dalam pembicaraan kakak-kakaknya. Selain mereka juga setuju kalau Erald memiliki kecerdasan yang mumpuni. Jadi meski tak ikut kelas ini, dia sudah tau pasti. Tapi ...
Seorang pemuda rupawan hadir tiba-tiba dari balik pintu ruangan, sesaat tatap mata elangnya menyapu wajah semua yang ada di dalam, lalu melangkah ke arah Mr Hendry. Menganggukkan kepalanya sopan, yang segera mendapat balasan sepadan. "Silakan duduk tuan muda Erald."
Rafaresh Emerald William, putra pertama Damaresh William dan Aura Aneshka itu, segera mengambil posisi duduknya, tanpa perlu menyapa dulu pada semua saudaranya.
Maka, dengan hadirnya sang tuan muda, Class khusus itu pun di buka.
Seminggu dua kali para tuan muda dan nona muda keluarga William itu mendapat pelajaran khusus dari Mr Hendry--profesor muda jebolan dari Harvard--yang ditunjuk langsung oleh Damaresh untuk mengajari mereka.
Pelajaran Khusus yang diberikan oleh Mr Hendry pada anak-anak Pramudya ini tentu saja merupakan bekal kepada mereka nantinya sebagai penerus kejayaan keluarga William Pramudya.
Satu jam berlalu, kelas pun usai. Mr Hendry segera meninggalkan ruangan. Di ikuti Askara dan Arasya, dua orang yang selalu kompak kemana-mana layaknya sepasang kembar.
"Mau kemana? Masih kangen." Anneth sempat mencegah langkah keduanya dengan ucapan itu. Tapi dua orang yang selalu kompak ini hanya menanggapi dengan senyum tipis dan terus berlalu.
Devandra menghampiri Erald yang masih duduk diam seakan enggan beranjak. "Namanya Aruna Syifabella." Atas ucapan Devan, tak hanya Erald yang sontak memperhatikan. Bahkan Aneth langsung pasang telinga tajam-tajam. Seorang Devan tiba-tiba menyebut nama perempuan, yang bahkan tanpa diawali pembicaraan sebelumnya, itu membuat Anneth seperti kebakaran jenggot saja.
Dan Elvan yang duduk di samping Anneth juga menoleh, ikut mendengarkan. Meninggalkan Ragas yang tetap sibuk dengan Gawai, apalagi yang dilakukan oleh anak Stefan ini kalau bukan main game kesukaan.
"Dia berasal dari daerah. Berada di sini karena pertukaran mahasiswa." Devan melanjutkan laporan, mengabaikan ekspresi yang lain, yang terlihat penasaran tingkat dewa. Tatapan Devan hanya tertuju pada Erald, yang menyimak penuturannya dengan seksama.
"Pertukaran mahasiswa," tuan muda Erald berucap lirih.
"Iya," sahut Devan singkat.
"Mulai kapan kampus ini mengadakan program pertukaran mahasiswa?"
"Mulai tahun kemarin," sahut Elvan. Ia segera mengambil alih memberi jawaban, karena tatapan Erald sudah mengarah kepadanya.
"Keputusan ini sudah sesuai prosedur, dan disetujui semua pihak. Saat itu kau sedang ada di luar negeri, Erald," terang Elvan lagi.
Erald hanya mengangguk singkat.
Di antara sekian Universitas yang dimiliki oleh keluarga William Pramudya, kampus puth ini yang paling khusus dan istimewa. Karena di sini tempat anak-anak Pramudya menjalankan pendidikannya. Mereka semua diwajibkan menempuh pendidikan minimal 2 tahun di kampus ini, sebelum berpindah pada Universitas lain yang diminati, baik di dalam, ataupun luar negeri.
Kampus putih ini memiliki sruktural sebagaimana Universitas pada umumnya. Namun, pada perjalanannya, keputusan tuan muda Erald dan tuan muda Elvan yang lebih dipatuhi di sini dari pada kepala Universitasnya sendiri. Bisa dikata, kalau tuan muda Erald dan tuan muda Elvan adalah penguasa di kampus ini. Itulah perbedaan yang sangat mendasar di sini, dengan kampus yang lainnya.
"Nunggu perintah lebih lanjut," ujar Devandra lagi, menyambung laporan singkat yang telah disampaikan.
"Masih perlu kutegaskan?" Jawaban Erald berupa sebentuk pertanyaan yang mengandung sindiran tajam.
"Mungkin ada hal lain." Devan tentu saja membela diri dengan ucapan ini. Karena sepanjang sejarah hidupnya, ia tak pernah gagal tiap kali menjalankan tugas dari tuan muda pertama keluarga William ini. Ya, walaupun semua keberhasilannya itu tak lepas dari peran serta Ragas yang selalu berhasil memuluskan langkahnya.
Ragasa putra Stefan. Ada yang tahu bagaimana Stefan? Bagaimana sepak terjangnya sebagai detektif Damaresh William yang anti gagal. Serta mempersembahkan kesetiaan selama hayat di kandung badan kepada sang majikan. Ragas, putranya. Ia mewarisi jiwa detektif handal sang ayah. Hanya bedanya, jika Stefan tampil sebagai pribadi yang tak banyak bicara, tak banyak bergaul, Ragas justru kebalikannya.
Ragasa type cuek dan apa adanya. Cukup humble, walau pada kenyataannya ia hanya berteman akrab dengan semua tuan muda klan William saja. Dan game, menjadi pacar sejatinya sejak kecil. Tapi, walaupun begitu, jangan ragukan jiwa detektifnya. Setiap perintah yang diterima oleh Devan dari Erald atau pun Elvan, Ragas lah yang bertindak sebagai pelaksana lapangan. Dan pada akhirnya ia hanya memilih acuh saja jika sudah di bagian eksekusi. Cara kerja Ragas ini, oleh yang lain, memang sudah dimaklumi.
Maka bagaimana pun tak bisa dinafikan, bahwa ragas dan Devan adalah bagian dari tuan muda keluarga William. Meski dalam tubuh mereka tidak mengalir darah William Pramudya. Namun, keberadaan mereka adalah pelengkap formasi para tuan muda keluarga terkaya seantero Indonesia Raya.
"Ada yang lebih patut, untuk dijadikan sanksi atas tindakan amoral itu?" Erald menekankan ucapannya. Tampak atmosfer kemarahan masih sangat pekat di wajahnya. Pun di kedua mata. Pertama kalinya dalam sejarah juga, ada seorang gadis yang tindakannya membuat Erald langsung merasa ingin muntah.
"Baik." Devan langsung paham, dan siap menjalankan keputusan.
"Tunggu! Ini ada apa sih? Siapa Aruna Syifabella itu?" Tanya Aneth yang sudah menyimpan rasa penasaran sejak tadi.
Tak ada yang memberikan jawaban. Erald hanya diam, Elvan hanya menggeleng ringan. Aneth jadi menghempaskan napas kasar melihat reaksi dua orang sepupunya yang sama-sama tampan.
"Ragas, bisa kasih tau, gak?" Aneth segera melayangkan pertanyaan pada Ragasa yang terlewat santai. Pemuda itu tetap tak terusik dari layar gawainya. Seakan benda pipih di tangannya adalah primadona dalam hidupnya.
"Gak tau," jawab Ragas yang malah membuat Aneth kian dihempas rasa penasaran.
"Kok bisa gak tau sih, kau, 'kan intelnya Kak Erald," sembur Aneth.
"Tanya tuh calon suamimu!" Ragas mengedikkan bahunya ke arah Devan. Kalau sudah hal ini yang disebut, Aneth langsung diam, setelah sesaat beradu pandang dengan Devandra, yang terkesan tak punya niat untuk menjelaskan apa-apa.
"Sudah, anak kecil, tak perlu ikut-ikutan urusannya orang dewasa." Elvan mencolek pundak Aneth dengan ujung jarinya.
"Selalu bilang anak kecil, aku hanya lebih muda dua setahun darimu, Kak. Bahkan aku juga sudah dijodohkan," gerutu Aneth dengan sepasang bibir yang agak dimajukan ke depan.
Elvan hanya tertawa renyah dan membawa tubuh jangkungnya itu bangkit dari peraduan. "Aku ikut." Aneth segera mengekori di belakang.
"Nyerah, untuk mengorek keterangan dari mereka?"
"Nyerah aja. Karena pasti gak guna," sahut Anneth dengan nada dibanting.
"Siap-siap, Bro. Calon istrimu akan menginterogasimu nanti," ucap Ragas sepeninggal Elvan dan Anneth.
🌻🌻
Lama amat sih," gerutu Prisil. Tak jelas berapa banyak menit yang ia lewati untuk menunggu Aruna di dalam toilet itu. Prisil bahkan sampai menyangka, Aruna sedang menguras bak mandi di dalam sana.
Aruna tak menjawab, ia hanya memilih duduk sambil mengusap titik-titik air di wajahnya dengan ujung jari. Aruna masih tak bisa mendefinisikan perasaannya saat ini, ketika semua rasa datang secara silih berganti. Antara lega, sudah berhasil menyelamatkan Wina dari kekejaman Meisya. Sekaligus kesal dan malu yang menghantam secara bersamaan dalam kalbu.
"Runa, kau apakan bibirmu sampai berdarah gitu?"
Aruna hanya menggeleng kecil, berusaha melupakan rasa perih pada kedua bibirnya, yang digosok keras dengan air, untuk menghilangkan bekas kecupan laknat yang ia lakukan pada tuan muda Erald barusan.
Prisil tergelak. "Tega amat kau melukai bibirmu sendiri. Aku liat tadi bibir kalian hanya bertemu sekilas, kau sampai melukainya untuk menghapus jejak." Prisil masih menuntaskan tawa sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Yang lain pasti berharap ada di posisimu saat ini. Tapi tak ada yang berani."
"Maksudnya?"
"Bisa mencicipi manisnya bibir tuan muda Erald, ya walau cuma sekilas seperti yang kau lakukan barusan."
Aruna membuang pandangan, terkesan tak suka jika tindakannya barusan jadi pembahasan. Tapi Prisil tak peduli, ia melanjutkan ucapannya sekedar memberitahukan Aruna sebuah fakta yang tidak diketahui gadis itu. Karna Aruna baru sebulan jadi mahasiswi di kampus ini. "Mereka yang bisa merasakan itu akan menjadikan hal ini sebagai prasasti abadi yang tak akan terlupakan sampai mati."
"Termasuk kamu?" Tebak Aruna.
"Bisa jadi." Prisil tertawa renyah.
"Seumur hidup. Ini perbuatan paling konyol yang pernah aku lakukan," sesal Aruna sambil menerawang. Setelah beberapa jenak kemudian.
"Perbuatan nekat, lebih tepatnya," imbuh Prisil.
"Ya." Aruna menunduk, aura penyesalan tak bisa ditepis dari wajahnya yang ayu.
"Nyesal ya? Wina selamat lho. Ini kan tujuanmu?"
"Iya." Kembali Aruna hanya menjawab singkat saja.
"Tapi, aku harus memberitahumu satu hal." Prisil menatap gadis berhijab di sampingnya itu dengan seksama. "Bahwa akibat dari perbuatanmu ini pasti akan panjang."
Aruna kini menatap Prisil dengan serius, menanti apa yang akan disampaikan oleh Prisil lebih lanjut. Dia memang tak sempat memikirkan akibatnya, ketika memutuskan untuk menyelamatkan Wina dengan cara yang menurutnya, cukup gila.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!