Davina adalah seorang gadis yatim piatu yang dititipkan kepada paman dan bibi sejak kecil.
Paman dan bibi Davina, mereka adalah kakak kandung dari mendiang ayahnya.
Sayangnya kedua orang tua tersebut sama sekali tak menyayangi Vina. Mereka menganggap, gadis itu hanyalah pembantu dan benalu yang merepotkan. Mereka sangat membenci Davina.
"Vina.... Vinn......" teriak Luna, yang tak lain adalah bibi, Vina.
Mendengar teriakan sang bibi, Vina pun segera berlari menghampiri wanita itu. Jika tidak makan habislah riwayatnya.
"Iya, Bi, saya datang," jawab Vina, lembut.
"Kamu itu punya telinga nggak sih, dipanggil dari tadi nggak dateng-dateng." Luna menatap emosi.
"Maaf, Bi." Vina menunduk, malas berdebat.
"Hari ini, kamu jangan pulang telat, nanti mau ada tamu, mereka mau lihat kamu," ucap Luna dengan nada tingginya seperti biasa.
"Emang ada apa, Bi. Kok mau lihat Vina?" tanya Vina, lugu.
"Jangan banyak tanya kamu, pokoknya ntar malem dandan yang cantik. Jangan bikin malu kamu, udah janda bisanya ngrepotin aja," ucap Luna, ketus.
Vina diam.
"Ingat ya, harusnya kamu tu bersyukur. Masih ada yang mau minang kamu. Udah janda, jelek, bodoh lagi. Dasar!" umpat wanita paruh baya itu lagi.
Setelah puas menghina dan mengumpat kesal, wanita judes pun pergi meninggalkan Vina yang masih bertanya-tanya, apa yang sebenarnya diinginkan wanita jahat itu.
Jujur, Vina tidak mengerti dengan ini. Sang bibi terlalu misterius baginya. Selalu penuh teka teki.
Tak ingin ambil pusing dengan cemoohan tersebut, Vina tersenyum. Meskipun senyuman itu terasa hambar di hatinya. Tapi mau apa lagi? Bukankah hanya itu yang bisa ia lakukan ketika mendapat hinaan.
Ya ... mendapatkan cemoohan seperti itu memang sudah baginya. Namun, dia adalah manusia. Tak dipungkiri bahwa hatinya pun sebenarnya terluka.
Vina tidak menampik, bahwasannga dia memang seorang janda. Tetapi, apakah salah? Toh menjadi janda juga dia tidak meminta. Lucunya, banyak orang yang tidak tahu bahwa sebenarnya dirinya masih virgin. Masih belum disebut bahkan sehelai benang pun oleh Sang suami.
Kilas balik tentang suami Davina..
Sang suami meninggalkan dirinya sesaat setelah akad. Bahkan di tengah-tengah acara resepsi pernikahan mereka.
Suami Vina bekerja sebagai seorang dokter IGD di salah rumah sakit ternama di Jakarta. Beliau mengalami kecelakaan ketika mendapatkan panggilan darurat dari rumah sakit di mana ia bekerja tiga tahun silam.
Sejak saat ini, Vina menjalani hidupnya dengan penuh hinaan. Terlebih dari paman dan bibinya sendiri.
Vina menatap cermin yang saat ini ada di depan matanya.
Dadanya yang mulai sesak, memaksanya untuk menghela napas dalam-dalam.
Tak ingin terusik dengan masalah yang menderanya, Vina pun memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kamarnya. Melanjutkan kegiatannya untuk bersiap menjalani aktivitasnya.
"Tuhan, Vina tidak menyalahkan takdir. Tapi bisakah Vina mendapat kebahgiaan, sedikit saja. Setidaknya bisa keluar dari neraka ini," Vina tersenyum kecut sembari memakai tas punggungnya. Kemudian ia pun segera melangkah meninggalkan kamar.
Tak ingin mendengar kemarahan Luna, Vina langsung memutuskan pergi bekerja..
Secepat kilat ia mengeluarkan motor kesayangannya agar bisa segera mengindari amukan wanita itu.
Dalam perjalanan ke kantor, Vina berusaha menetralkan segala rasa yang kini menghantam relung jiwanya.
Ia berusaha sekilas mungkin menerima alur kehidupan yang selama ini ia jalani.
Sedikit prinsip yang ia tancapkan di dalam otaknya, sesuatu yang memang ditakdirkan terjadi, maka terjadilah.
Vina percaya, bahwa apa yang terjadi dalam hidupnya adalah kehendak Sang Pemilik Hidup. Bukankah begitu?
Tak ingin membebani pikirannya, dengan hal-hal aneh. Vina pun mencoba cuek. Ia hanya ingin bekerja. Bisa mencukupi dirinya sendiri. Itu saja, agar suatu hari nanti, jika terjadi sesuatu padanya, maka ia tak perlu merepotkan orang lain soal biaya.
Sekilas tentang Davina...
Davina seorang janda muda berusia 24 tahun. Ia bekerja di salah satu perusahaan fashion ternama di Jakarta. Ia memang hanya staf biasa tapi keahlian mendesain, sering mendapat pujian dari atasan. Bahkan atasanya sering memberinya pujian dan bonus yang cukup membuat siapapun bangga mendengarnya.
Mengenai kehidupan pribadinya, teman-teman kantor memang sudah banyak yang tahu. Bahwa dia memang seorang janda. Mantan suaminya adalah seorang dokter.
Namun bagaimana dan kapan tepatnya suami wanita tersebut meninggal, teman temanya tidak ada yang tahu.
Vina bukalah orang yang mudah terbuka soal masalah pribadi. Itu sebabnya yang mereka tahu hanyalah, Vina memang janda sebelum ia diterima bekerja di kantor ini.
***
Di sebuah kamar yang cukup mewah terlihat sepasang pasutri sedang membicarakan Davina.
"Mami suka sekali dengan perempuan itu, Pi. Dia anggun, cantik, ahhh... kenapa nggak kita duluan aja yang ketemu ya, Pi. Kenapa harus keluarga mantan suaminya itu," ucap seorang wanita baruh baya dengan senyum manisnya.
"Namanya jodoh, Mi. Mana ada yang tahu.Yang penting kelurga yang dititipin anak itu kan udah menerima lamaran kita. Tinggal kita bujuk putra manjamu itu, supaya mau menikah dengan anak temen Papi itu."
"Serahkan semua sama Mami, Pi. Tenangkan pikiran Papi. Mami punya cara untuk membuat putra kita mau menikah dengan pilihan kita. Sayang sekali kalo anak temen Papi itu jadi mantu orang lain. Entahlah, Mami suka sekali dengan anak temen Papi tu!"
"Dia itu mirip sekali dengan ibunya, Mi. Suka gambar, suka desain, manis, hobi masak. Cuma satu jeleknya... "
"Apa tu?"
"Nggak mau sama Papi," jawab pria paruh baya itu, terkekeh. Sehingga membuat Sang istri cemburu gemas.
Bersambung...
Di kediaman keluarga Bagaskara....
"Yoga, nanti malam ikut mami sama papi, kita makan malam di rumah almarhum teman papi ya!" ajak Ibu Sifa, yang tak lain adalah ibu dari pria tampan itu.
Yoga mengerutkan dahinya. Malas saja. Karena ia tahu apa yang diinginkan kedua orang tuanya itu.
"Mau ngapain sih, Mi. Ngajak ajak Yoga segala, malas ah," tolak Yoga, cemberut.
"Yoga, kamu itu sudah nggak muda, lihat usiamu sudah 29 tahun, bawa pacar aja nggak pernah. Kamu mau jadi perjaka tua. Pokoknya kamu nurut sama, Mami. Ini perempuan biar janda dia baik, mengerti!" bujuk ibu Sifa, sedikit menggoda agar Sang putra mau dijodohkan dengan wanita pilihannya.
"Hah, janda, Mami udah gila. Anak tampan gini suruh nikah sama janda. Udah nggak ada gadis lagi apa, Mi?" gerutu Yoga kesal.
"Dia ini anak temen almarhum papimu, sebelum temen papi kamu meninggal, beliau menitipkan putrinya pada kita. Yoga ayolah mengerti papi sedikit. Lagian perjodohan ini juga udah disepakati ketika kalian baru lahir. Ya kan Mi, " saut Pak Galih, ayah Yoga. Ikutan mencoba membujuk sang putra.
"Ha? Yang benar aja Pi! Gila aja main jodoh-jodohin. Ogah Yoga!" tolak Yoga lagi.
"Eh, nggak boleh gitu... dia itu baik. Percaya deh sama Mami. Em, kalo kamu lihat dia pasti melongo. Ayu pisan yo, Pi. Udah gitu lemah lembut. Wis to, di jamin langka perempuan model gini. Yakin deh sama Mami," ucap Bu Sifa lagi, semangat membujuk Sang putra agar mau dijodohkan dengan Davina.
"Mi, Pi ... ni ya Yoga kasih tau, pokoknya Yoga nggak mau terlibat sama acara beginian titik. Pokoknya Yoga ogah, mau se glowing apapun pilihan kalian. Oke, please jangan paksa Yoga. Nanti kalo saatnya dapet istri, pasti dapet lah. Ngapain pakek acara jodoh-jodohin segala," jawab Yoga tegas.
"Oke nggak masalah, kalo begitu semua fasilitas kamu, Papi cabut. Mana ... Mana semua ke siniin, kunci mobil, apartemen, kredit card, nanti siang siap-siap Papi juga mau mundur jadi investor di perusahaan kamu. Ha... satu lagi, jangan minta Papi bantu kamu kalo lagi kena masalah. Papi pun ogah. Sekarang merasa udah bisa kan tanpa, Papi. Jadi jalankan sendiri usahamu. Jangan merengek kalo ada apa-apa," jawab Pak Galih, mulai tak sabar.
"Rasain sekarang!" Bu Sifa terlihat senang.
"Ya ampun Pi, kayak apa sih wajah si janda ini. Kok bisa bikin Papi jadi setega ini sama Yoga. Oke Yoga mau ikut permainan ini. Tapi, kalau Yoga nggak cocok jangan paksa ya." Yoga menatap kesal.
"Nggak bisa. Bukan begitu konsepnya. Kalo kamu masih mau semua fasilitas itu, berarti kamu harus nikah sama dia." balas Pak Galih.
"Astaga, Pi! Pernikahan bukan mainan. Gimana mau nikah, kenal aja belum. Ahhh... Papi!" Yoga cemberut.
"Kalian ta'aruf. Sudah jangan membantah.
Pernikahan kalian akan kita laksanakan dua minggu lagi, jadi bersiap-siaplah, nanti malam langsung tunangan," tambah Pak Galih serius, tidak main-main. Karena ia takut Yoga keburu dapat investor lain dan berubah pikiran.
"Hah? Apa Pi.... " Yoga ingin protes, namun tak memiliki celah. Pak Galih dan Ibu Sifa langsung memilih pergi meninggalkanya sendiri. Sengaja, agar Yoga tidak protes lagi. Keputusan sudah final, tak bisa diganggu gugat lagi.
Bagi Yoga, keputusan itu serasa tamparan untuknya.
Yoga merasa dirinya tidak dihargai. Hingga ia pun mengancam marah. Marah pada wanita itu. Baginya, wanita seperti racun.
Yoga berjanji akan membuat wanita itu menderita jika dia sampai mau menerima permohonan ini.
"Lihat saja nanti. Gara-gara dia kebebasanku terancam," gumam Yoga dalam hati.
Di detik berikutnya, mata Yoga menangkap keberadaan kedua orang tuanya.
Pak Galih dan Bu Sifa terlihat bercengkrama mesra di ruang tamu.
Melihat kedua orang tuanya belum pergi, Yoga pun berinisiatif menawar keputusan itu. Barang kali masih ada kesempatan baginya untuk lari dari periode ini.
"Pi, ayolah... masak nggak ada syarat lain selain itu. Yoga bakalan balikin deh uang Papi, asal jangan suruh Yoga nikah sama dia! Kenapa nggak Zaki aja yang dijodohin. Kenapa mesti Yoga" tawar Yoga, memelas, sedikit manja.
"Papi nggak terima tawar menawar Yoga. Papi sama Mami udah cukup sabar ngadepin kamu. Kami nggak mau tau, pokoknya kamu nurut sama Papi atau kalau nggak, kamu tahu konsekuensinya. Zaki masih kecil. Ngapain kamu sodorin dia. Kamu yang tua, maka kamu saja duluan," ucap Pak Galih, tak mau kalah.
Yoga geram. Ingin rasanya ia kabur saja.
Sayangnya, ia tak bisa melakukan itu. Jika fasilitasnya dicabut, bagaimana dengan bisnis yang baru dia rintis? Bagaimana nasib para kariawanya nanti?
Ya Tuhan!
Yoga menghela napas dalam. Diraihnya kunci mobil. Tanpa berpamitan, ia langsung meninggalkan kediaman keluarganya dengan perasaan benci yang membara.
Bersambung....
Sesuai permintaan sang bibi, Vina berdandan secantik mungkin. Memakai baju yang di sediakan oleh wanita galak itu.
Jujur, hatinya menangis sakit.
Bagaimana tidak? Ia sudah menolak halus perjodohan ini. Tapi, tak disangka, ia malah disiksa dan dicaci maki oleh paman dan bibinya.
Sore tadi, ketika ia berusaha menolak, sabetan ikat pinggang langsung mendarat di punggung dan pahanya. Bukan hanya itu, beberapa bekas cubitan juga bersarang di lengan dan pahanya.
Rasanya perih sekali. Seperih luka hati yang ia rasakan saat ini.
Vina meneteskan air mata beberapa kali. Sungguh ia sedih, malu, dan sakit.
Bagaimana tidak? Ia buka anak kecil lagi. Namun diperlakukan seperti bocah kecil. Andai tidak ingat pesan kedua orang tuanya sebelum meninggal, mungkin Vina sudah melaporkan mereka pada pihak yang berwajib.
Tak ingin membuat malu kedua orang yang telah membesarkannya, Vina pun menghapus air mata.
Lalu kembali menyapu wajah ayunya dengan make up untuk menyamarkan bengkak di mata.
Di luar kamar, terdengar suara Doni, paman Vina tertawa. Sepertinya, tamu yang mereka tunggu sudah datang.
"Silahkan masuk Pak Galih, Bu Silvi. Aduh, bawa apa ini. Repot-repot sekali," sapa Luna basa-basi.
"Ini nggak ngrepotin kok. Cuma syarat aja." Bu Silvia tersenyum.
"Ini calon mantu kita, Pa? Duh tampan sekali?" Luna mengelus lengan Yoga.
"Iya, Jeng, ini loh calon mantumu. Kenalin Pak Doni, Bu Luna, ini putra kami, namanya Yoga Bagaskara," ucap Pak Galih, membalas sapaan calon besannya.
"Owalah, ganteng pisan yo, Pa!" Luna kembali tersenyum.
Sedangkan Yoga hanya menyunggingkan senyum. Untuk menghormati mereka tentunya. Tak lupa, untuk menjaga martabat keluarga, Yoga juga mengulurkan tangan sebagai tanda perkenalan kepada paman dan bibi calon istrinya.
"Mari masuk, silakan duduk. Ya, beginilah tempat tinggal Vina. Kami harap ini tidak jadi masalah," ucap Luna.
"Ah, tidak, Bu. Jangan merendah! Eh mana calon mantu kami, Pak?" tanya Pak Galih.
"Oh ada, sebentar saya panggilkan dulu ya. Silakan dicicipi cemilannya," jawab Luna seraya beranjak dari tempat duduknya. Tentu saja untuk memanggil Davina. Sedangkan yang lain meneruskan obrolan mereka. Agar mereka bisa saling kenal satu sama lain.
Tak lama berselang, Luna pun datang bersama Davina. Luna tersenyum ramah sembari menggandeng Vina.
Keluarga Pak Galih langsung terpesona melihat wanita yang hendak menjadi menantunya itu.
Bagaimana tidak?
Davina memang sangat cantik. Tubuhnya yang ramping, rambutnya hitam legam, kulitnya putih bersih dan pembawaanya yang kalem, memberikan nilai plus bagi mereka. Tetapi itu tidak berlaku bagi Yoga. Pria tampan ini malah mengumpat kesal dalam hati. Ingin rasanya ia menampar wajah sok polos wanita itu.
"Ini yang namanya Davina ?" tanya Bu Silvi.
"Iya, Tan. Ini saya," jawab Vina. Tersenyum sekilas.
"Kamu cantik sekali, terakhir kita ketemu pas kamu umur 6 tahun lo. Oiya, kamu inget mas Yoga, nggak?" tanya Ibu Silvi dengan senyum ramahnya.
Vina tersenyum dan menggeleng.
'Syukurlah kamu nggak inget sama aku. Apalagi aku, aku tidak akan pernah sudi mengingatmu. Dasar wanita jelek,' batin Yoga, kesal.
"Ya udah sini Tante kenalin," ucap Ibu Silvi seraya menggandeng tangan Vina dan mengajak perempuan cantik itu mendekati sang putra.
Yoga tersenyum dan mengulurkan tangannya pada wanita tersebut. Begitupun Via, ia segera menyambut uluran tangan itu.
Mereka pun berkenalan. Saling melempar senyum.
'Cih ... wanita kampungan model begini, di pasar juga banyak, Ma, Pa! Astaga!' gerutu batin Yoga lagi.
Di sudut hati yang lain, Vina merasakan aura ketidaksukaan pria yang hendak dinikahkan dengannya.
Mungkin karena ia terbiasa dikucilkan. Makanya ia bisa merasakan tanpa dikasih tau.
Prasangka itu didukung, tanpa sengaja beberapa kali ia melihat, Yoga menatapnya tajam sembari meremas jari-jemarinya. Seperti seseorang yang sedang menahan amarah.
Tuhan, tolong jangan pria ini. Vina takut, Tuhan. Tolong beri dia kekuatan untuk menolak. batin Vina penuh harap.
Sayangnya, harapan itu musnah ketika keluarga calon suaminya ini mengutarakan maksud dan kedatangan mereka ke rumah ini.
"Jadi begini, Pak Doni, Bu Luna, Nak Vina. Sebelumya kami minta maaf, Nak Vina. Mungkin ini terkesan mendadak tapi paman dan bibimu sudah setuju. Maksud kami kesini adalah meminangmu, Nak. Sesuai janji Om sama almarhum ibumu dulu. Bahwa sebenarnya kamu dititipkan sama Om. Hanya saja kami tidak tahu alamatmu. Dan satu bulan yang lalu, ada karyawan Om yang ternyata mengenal almarhum ibumu juga. Lah dari situlah kami tahu tempat tinggalmu. Ternyata nggak jauh-jauh amat. Nah, makan dari itu, berhubung Om punya anak laki laki maka Om putuskan untuk menjadikanmu mantu kami. Biar Yoga, anak kami yang aka menjagamu. Bagaimana?" ucap Pak Galih panjang lebar.
Vina menatap bingung. Tak tahu harus menjawab apa. Hatinya bergejolak ingin menolak. Namun paman dan bibinya tak mungkin mengampuninya. Tapi, jika ia menerima... lihatlah, tatapan calon suaminya itu. Begitu tajam dan mengerikan. Vina takut, sangat takut.
Lama Vina tenggelam dalam dilema. Terdiam tanpa bisa mengucap kata.
Tak sabar, Luna pun langsung mencubit pinggang Vina.
Spontan, wanita lemah ini pun langsung menjawab iya. Sungguh ia tak punya pilihan lain.
"Baik Om jika itu yang terbaik," jawab Vina spontan.
Vina menundukkan kepala. Hatinya bergemuruh takut.
Bagaimanapun tidak?
Ia pahami, jawaban itu akan membawanya ke babak baru penyiksaan di dalam kehidupan yang harus ia jalani.
Namun, apa boleh buat, bukankah hidupnya memang ditakdirkan begini. Semua alur sudah ada yang menentukan.
Di lain pihak, ada hati satu ibu yang melihat kasihan pada Vina. Yaitu, Bu Silvi.
Entah mendapat firasat dari mana, tiba-tiba saja ia menangkap kesedihan yang mendalam di wajah calon mantunya.
Firasat buruk itu pun membuat wanita berhati lembut ini pun berjanji akan melindungi Davina. Akan menjaga Davina. dan membuat wanita itu bahagia. Jika Tuhan benar menakdirkan Davina sebagai menantunya.
"Yoga boleh minta satu permintaan, Pa?" tanya Yoga.
"Boleh! coba katakan," jawab Pak Galih.
"Yoga, maunya akad nikah di rumah aja. Karena Yoga sibuk, resepsinya boleh ditunda dulu kan?" ucap Yoga.
"Nggak masalah kalau itu mau kamu. Karena tak perlu resepsi, bagaimana kalo akadnya kita laksanakan besok saja. Niat baik bukankan tak baik kalo ditunda. Bagaimana Pak besan, Bu besan" Pak Galih menatap kedua calon besannya, meminta pertimbangan.
"Kami ngikut aja pak besan. Ya, Pa,"jawab Luna.
Sedangkan Pak Doni hanya mengangguk saja.
" Gimana, Ga? Kamu siap menikah besok?" tanya Pak Galih.
"Oke, nggak masalah," jawab Yoga singkat.
"Baik kalo begitu, nanti Papi kabari pak penghulu, masalah jamnya, besok kami kabari Pak Besan," ucap Pak Galih.
"Siap, Pak. Tidak masalah. Masalah baju pengantin bagaimana?" tanya Pak Doni.
"Aduh, jangan khawatirkan itu. Tantenya Yoga punya butik yang menyediakan baju pengantin. Besok Vina kami jemput dan langsung bisa pilih baju. Sekalian di rias di sanasana. Gimana? semua setuju?" ucap Pak Galih.
"Tidak masalah. Vina senang kok begitu, ya kan Vin? Kamu senang kan?" jawab Luna semangat.
Bagaimana tidak? uang mahar yang diterima Vina jumlahnya sangat fantastis dan itu adalah miliknya. Semua yang Vina dapat dari mertua kayanya ini adalah miliknya.
Bagaimana dia tidak semangat?
"Vina... Kok diam? Gimana? Kamu mau kan skenarionya begitu besok? atau Vina punya impian lain soal gaun pengantin?" tanya Bu Silvi.
"Tidak, Tan. Vina ikut saja," jawab Vina singkat. Masih menundukkan kepalanya. Karena ia takut, ketiga tamunya ini menangkap kesedihannya.
"Baiklah jika kamu tak masalah dengan keputusan ommu. Besok, Om sama tantenya Yoga yang jemput kamu ya, Nak. Jangan takut. Menikah tidak se mengerikan itu. Menikah itu ibadah, Sayang. Asalkan kamu ikhlas, pasti semua akan baik-baik saja. Oke!" ucap Bu Silvi sembari mengangkat dagu Vina dan menaksa Vina untuk menatap matanya.
Vina menatap sekilas. Lalu kembali menundukkan kepala.
Sayangnya, adegan itu memunculkan rasa marah di hati Yoga.
Yoga masih mengumpat kesal di dalam hati. Wajah polos Vina ternyata membuatnya muak.
Cih wanita kampungan, lihat calon suaminya tampan kaya langsung aja jawab iya dasar janda genit,' umpat batin Yoga.
Setelah pembicaraan panjang lebar itu, akhirnya mereka pun sepakat melaksanakan pertunangan sekarang.
Dan pernikahan akan dilaksanakan besok pagi di aula masjid dekat rumah Yoga.
Malam semakin larut keluarga Pak Galih akhirnya berpamitan.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!