Di sudut kamar terlihat seorang wanita tengah duduk di depan jendela, melihat sekeliling rumah yang basah di timpa hujan semalam. Entah kenapa pagi ini dia merasa sedikit gelisah karena suaminya tak kunjung pulang setelah semalam suntuk. Alasannya sih ronda malam, tapi entahlah benar atau tidak. Karena setiap mereka pulang kampung, suaminya itu langsung berkeliaran kemana mana seperti burung keluar dari sangkar. Mereka baru saja pulang setelah seminggu bekerja di luar kota. Nara, Seorang pedagang warung makan dan Bagus seorang kuli bangunan. Merantau demi menghidupi kedua putra mereka dan ibu dari Nara yang berada di desa. Awalnya mereka hanya menitipkan putra pertema mereka, namun dengan seiring waktu mereka memutuskan membawa kedua putra mereka ke kota. Meski begiti Nara tidak lupa dengan kewajiban atas ibu angkatnya tersebut. Ya, Nara di adopsi oleh adik dari ibu kandungnya yang tidak bisa mempunyai keturunan. Sejak usai dua tahun Nara di angkat sebagai anak oleh bibinya sendiri. Sebenarnya Nara juga ingin memboyong ibu angkatnya ke kota ikut bersama kedua putra mereka. Akan tetapi, ibu Sumiati tidak mau meninggalkan rumah. Karena keputusan itu mau tidak mau Nara harus membagi waktu antara kerja, keluarga, dan ibu angkatnya. Seminggu sekali Nara pulang kampung dan kebetulan jarak kota ke desa hanya berjarak sekitar tiga jam saja.
"Nara.....bangun, sudah siang" Teriak ibu Sumiati dari luar.
Suara itu membuat Nara terkejut "Astaga suara emak udah kaya petir menyambar saja" Segera turun dari ranjang lalu membuka pintu kamar.
"Mas Bagus..." Tiba tiba saja suaminya sudah ada di depan pintu kamar. Laki laki berkalungkan sarung itu tersenyum "Sudah bangun?"
"Ya udah lah dari tadi malah. Semalem kamu tidur di mana, mas?" Melipat kedua tangan sembari bersandar pada tepi pintu.
Menyentuh bahu sang istri "Namanya ngeronda ya pasti tidur di pos ronda to, buk."
Melihat ujung bibir suaminya dia tau kalau saat ini Bagus tengah berdusta. Sebagai istri tidak sulit baginya untuk menilai mana yang benar dan mana yang dusta.
Mendekatkan wajah "Ngeronda apa ngerondo?"
Seketika mimik wajah Nara langsung penuh kecaman. Membuat Bagus gelagapan. Tidak seperti biasa kalau Bagus berkata jujur pasti akan ngotot bilang kalau dia itu tidak berbohong. Tapi kali ini Bagus malah berpaling muka sembari memijat jidat "Aduh, kamu itu ya bisa aja becandanya. Udah ah aku mau tidur bentar, mata ngantuk banget udah kaya kena lem...." Tanpa perduli pandangan Nara padanya, langsung saja masuk ke dalam kamar.
"Mulai nggak beres nih"
"Nara....kamu itu lho di panggilin dari tadi kok nggak nyaut, budek kamu ya"lagi lagi teriakan itu membuat Nara menutup kedua telinga. Ibu Sumiati memang tipe orang ceplas celpos. Suka bercanda dan kadang sangking ceplas ceplosnya beliau kerap kali mengundang tawa.
"Ya Allah, mak. Masa anak gadisnya di bilang budek"
Reflek bu Sumiati memukul lengan Nara "Iya gadis tapi bukan perawan...."
"Lho, lho, justru karena udah nggak perawan makanya emaknya masih cakep kaya bintang ketoprak.....hahaha" Nara mulai meledek sang ibu yang juga suka menggoda dirinya. Usia tidak membatasi seseorang untuk terus tertawa, apa lagi kalau sudah menginjak usia tua akan lebih baik perbanyak bahagia dari pada marah marah.
"Oooooo....dasar gadis edan" Ibu Suamiati langsung mencubit lengan Nara kemudian membawanya duduk di meja makan.
"Aduh, duh, sakit. Udah ah mak sakit tau...."
"Makanya jangan suka ngeledek Emak terus..." Beliau langsung menuangkan nasi ke atas piring Nara.
"Wah Emak paling tau anaknya kelaparan"
"Wes nggak usah banyak cing cong, buruan makan Emak udah nungguin dari tadi malah baru bangun. Anak anak kamu aja udah pada main di luar, kamu malah baru melek" Begitulah ibu Sumiati terus ngoceh sepanjang waktu. Meski begitu tidak mengurangi rasa sayang kepada ibu angkatnya. Sejak dulu dia bertekat tidak akan membuat beliau sakit hati, meski terkadang ucapam beliau menyakiti hati. Namanya juga orang tua harus banyak di maklum.
Nara menyentuh lengan ibu Sumiati "Iya deh iya aku ngaku salah, mak. Ya udah ah makan yuk"
Ketika sesuap nasi baru saja di kunyah tiba tiba Ibu Rohaya menatapnya "Eh....suami kamu tadi kok keluar dari rumah Bustomi. Ngapain dia di sana? katanya ngeronda kok di rumah temannya"
Seketika saja nasi yang hendak tertelan serasa seret. Nara langsung mengambil segelas air putih lalu meminumnya.
"Emak nggak salah lihat, kan?"
Beliau menggeleng kepala sembari melihat ke arah pintu kamar lalu berbisik pelan "Dengar dengar si Bustomi nggak ada di rumah lho.... jangan, jangan....." Belum sempat mereka bicara lebih jauh, datanglah kedua putra Nara.
"Buk minta duit buat jajan..." Kedua putranya langsung berlarian ke arahnya.
"Jajan terus kalian ini, nih di bagi berdua" Uang kertas sepuluh ribu di berikan kepada putra sulung untuk di bagi berdua.
"Makasih buk" Keduanya kembali keluar.
"Loh kamu mau kemana?" Tanya Ibu Sumiati.
"Aku mau langsung tanya mas Bagus, Mak. Apa benar dia ke rumah Bustomi atau tidak"
"Nara tapi jangan bilang kalau emak yang kasih tau"
Tanpa kata Nara langsung menuju kamar.
"Mas bangun, aku mau ngomong sama kamu" Menghuyung tubuh Bagus agar dia bangun.
"Emmmmm....apa sih buk, aku masih ngantuk banget. Nanti aja ya" Bukannya bangun tapi malah menutup telinga menggunakan bantal. Nara pun kesal, bantal itu lansung di tarik lalu di lempar ke lantai.
"Nara....kamu ini apa apaan sih, suami pulang ronda mau tidur malah di ganggu terus. Bisa nggak sih nunggu sampe aku bangun baru kita biacara" Hendak kembali berbaring namun Nara langsung menarik bantal di bawah kepala Bagus.
"Apa sih kamu ini, maunya apa?" Bentak Bagus. Mata yang tadinya lengket seketika melotot. Bagus adalah tipe suami pemarah. Sedikit saja kesal dia langsung melontarkan kalimat kasar. Berbanding terbalik dengan sifatnya kala di hadapan orang lain, sifat sok manis dan kepedulian yang tinggi membuat semua orang berdecak kagum. Mereka belum tau di balik kelembutan sifatnya ada sosok pemarah yang hanya di tunjukkan kala di rumah.
Dengan berani Nara berdiri melipat kedua tangan. "Sekarang aku mau kamu jawab dengan jujur mas.....Apa benar kamu dari semalam tidur di rumah Bustomi?"
"Jangan fitnah kamu, dari semalam aku itu jaga di pos ronda sama pak Eko. Kalau kamu nggak percaya tanya saja sama dia...." Mengambil telepon genggam lalu menghubungi teman dekatnya itu.
"Ko....sekarang lo jelasih sama bini gue kalau semalam gue tidur di pos sama Elo" Ujar Bagus.
"Tadi malem?(Suara terputus sejenak) Oh iya tadi malam kita tidur di pos ronda" Jelas Eko.
Dari percakapan itu Nara masih belum percaya sepenuhnya. Dari gelagat Pak Eko sudah jelas kalau mereka ada kong kalikong. Apa lagi Pak Eko ini orangnya juga tidak beres, suka main judi dan juga main wanita. Istri pak Eko saja sampai meninggalkan dia karena sifat buruknya.
"Oke, makasih ya ...." Telepon langsung di matikan. Bagus kembali naik ranjang "Udah jelas kan sekarang? jadi bini tu jangan cemburuan nanti cepet tua"
kedus tangan Nara mengepal erat.
"Kamu kira semudah itu aku percaya sama kamu, mas? Tidak. Aku akan mencari bukti supaya kamu tidak bisa berkelit lagi..." Nara lebih yakin akan ucapan ibu angkatnya di banding dengan suaminya itu.
Sembari meringkuk "Terserah"
Nara masih merasa ada hal yang di rencanakan suaminya di belakang.
"Oke, kali ini kamu menang. Tapi lain kali aku akan menggenggam bukti kuat untuk menyudutkan kamu mas" Gumamnya sembari keluar dari kamar.
"Aman...." Bagus lega melihat Nara kelaur kamar. Dia mengira kalau Nara tidak akan curiga lagi padanya.
"Makasih ya bos atas bantuannya...."mengirim pesan singkan pada pak Eko yang sudah menolongnya dari maut.
Para lelaki hidung belang saling kerja sama untuk menutupi dosa mereka.
"Gimana suamimu mau ngaku?" Saat ibu Suamiati menghampiri Nara, ternyata diam diam Bagus menguping di balik pintu.
"Oh jadi semua ini karena Emak....Kalau begitu kedepannya harus lebih hati hati sama orabg tua yang satu ini" Bagus tidak menyangka jika pergerakannya selalu di intai ibi mertua. Tapi siapa perduli, laki laki akan lebih tertantang apabila mereka sudah mengincar sesuatu. Meski ada bara api si depannya sekali pun akan tetap di lalui.
"Biasa lah Mak dia nggak mau ngaku...." Nara berjalan sembari di ikuti sang ibu. Keduanya berjalan menuju teras rumah. Dan betapa terkrjutnya Nara karena tidak sengaja melihat tetangga depan rumahnya itu mengintip di balik jendela.
(Ya Allah prasangkan macam apa ini) Guman Nara seraya duduk.
Tidak lama kemudian si tetangga tadi kekuar dengan membawa sapu "Eh dek Nara sudah bangun" Sapa Merry (Istri Bustomi)
"Iya, mbak. Tumben jam segini masih bawa sapu"
Merry menghampiri Nara yang tengah duduk depan teras rumah. Jarak rumah mereka tidak begiti jauh hanya berjarak bebetapa meter saja. Di sdepan rumah terasnya ada jalan yang hanya bisa di muat satu mobil saja, semacam jalan setapak biasa.
"Ngapain baik baikin dia, udah jelas suamimu itu...." belum sempat bicara lebih Nara lebih dulu mencubit paha sang ibu.
"Silahkan duduk" Dengan ramah Nara mempersilahkan Merry duduk.
"Emak masuk dulu ya..."
Nara dan Merry duduk bersama. Namun, mata Merry terus saja jelalatan kesana kemari. Kadang melihat samping rumah kadang melihat dalam rumah, sudah seperti pencuri hendak beraksi.
"Cari siapa, mas Bagus?"
"B......bukan, bukan. Aku dari tadi nggak ada liat anak anak kamu, mereka pada kemana ya"
Dengan ssntainya Nara menyunggingkan senyum "Oh kirain cari mas Bagus dia masih tidur. Kalau anak anak sih biasa paling main di rumah sebelah...." Sengaja Nara memancing reaksi Merry supaya dia tau kebenaran apa yang mereka sembunyikan.
"Emmmm.....kalau begitu aku pulang ya dek belum masak soalnya" Merry bangkit dan lagi lagi kedua matanya melihat ke dalam rumah.
"Loh kok buru buru sih Mbak, sarapan dulu kek"
"Ah nggak usah lah dek banyak ngerepotin dek Nara sama mas Bagus. Aku tak pulang aja ya nanti bapaknya anak anak pulang belum ada masakan"
Nara ikut bangkit "Oke, silahkan kalau begitu"
Merry pun langsung buru buru meninggalkan runah Nara sampai sapu yang tadi di bawa tertinggal di rumah Nara. Nara hendak mengembalikan sapu itu, tapi tiba tiba ada telepon masuk.
Selesai menerima telepon Nara langsung berjalan ke rumah Merry. Ketika sampai di depan pintu ia terkejut melihat Merry tengah memegang kemeja warna biru muda "Kemeja itu bukannya milik mas Bagus.." Nara tidak berani langsung tuduh, dia pura pura tenang meski dalam hati sempat memanas
"Ehem..."
Seketika Merry yang tengah trrdenyum senyum sembari melihat kemeja itu langsung menjatuhkan kemejanya "Dek Nara...." mimik wajahnya terlihat gugup seketika melihat Nara yang kini berdiri tegak di depan pintu.
Nara langsung menghampirinya dan mengambil kemeja itu "Wah kemeja Pak Bustomi bagus juga ya Mbak, beli di mana?"
Tangan Merry gemetaran "Emmmm.....itu, beli di, em di mana ya aku juga lupa dek" Segera ia meraih kembali kemeja di tangan Nara.
"Silahkan duduk dek"
"Nggak usah mbak saya hanya mau ngembaliin sapu aja kok" Ujar Nara dengan masih mengamati kemaja biru di tangan Merry.
"Astaga....dasar aku pelupa" menepuk kening sendiri.
"Ya sidah mbak aku mau pukang dulu ya soalnya nanti sore langsung balik"
"Lho kok pulang kampunh cuma sehari mbok ya seminggu gitu biar Emak ada temennya"
(Enak aja dia kira aku bodoh kali ya) Tatapan Nara tiba tiba penuh selidik.
"Nggak lah mbak warung siapa yang jaga. Lagian senin anak anak harus sekolah. Ya sudah mbak aku pulang ya"
Sore hari keluarga Nara bersiap kembali pulang ke kota. Nara sibuk berkemas, sedangkan kedua putranya masih berada di kamar mandi. Bagus sendiri mengecek kesiapan kendaraan. Tak lama kemudian Bagus kembali masuk "Buk, aku keluar bentar mau beli Rokok"
"Hem...." Rasanya Nara masih kesal dengan sikap Bagus, tidak hanya pemarah tapi juga pembohong. Begitu banyak dusta dalam pernikahan mereka. Tapi Nara yakin jika suatu saat nanti cepat atau lambat semua akan terungkap dengan sendirinya.
"Masih marah?" Bagus menghampiri Nara lalu memeluk sang istri dari belakang.
"Apaan sih, lepas..."
Bagus semakin mengeratkan dekapan tangannya "Udah ah jangan marah gitu, senyum dong" Bukan rahasia umum lagi kalau seseorang tengah bermain api di belakang sifatnya akan berubah ubah. Terkadang marah tanpa sebab dan terkadang manis seperti gula. Sangking manisnya sampai pelakor langsung mendekat.
"Apa sih mas, lepas. Aku mau beres beres...." Sekuat tenaga melepas diri akhirnya Bagus meregangkan dekapannya hingga Nara lepas dari pelukan.
"Ya sudah aku mau beli rokok di tepat Bustomi" Bagus berbalik badan.
"Oh iya mas, di mana kemeja biru yang aku belikan waktu lebaran tahun lalu?"
Seketika langkah Bagus terhenti "Kemeja?(Berpikir sejenak)kemeja biru yang mana?"
Nara langsung meraih ponsel mencari foto suaminya saat mengenakan kemeja yang di maksud "Yang ini...." Sebuah foto keluarga kala lebaran tahun lalu di perlihatan.
"Oh kemeja itu, ada kok di lemari. Coba kamu cari dulu....emang buat apaan?"
Nara langsung membuka lemari pakaian "Sudah aku cari dua kali tapi tidak ada. Jangan bilang kemeja itu ketinggalan di rumah seseorang" Nada sindiran membuat Bagus terkesiap. Dia baru ingat kalau semalam dia memakai kemaja itu.
(Aduh pake ketinggalan lagi) Merasa bingun jawaban apa yang harus ia beri. Nara sendiri bukan tipe wanita cemburu tanpa ada sebuah alasan. Sejatinya seorang istri punya firasat kuat apa bila suaminya mulai nyeleweng.
"Kok diam? nggak berani ngaku ya" Dengan santai Nara duduk sembari terus memasukkan pakaian ke dalam tas ransel.
"Oh..... kejema itu to, kayanya ketinggalan di rumah mbak Aisyah deh, pas dulu itu kan kita nginap di sana"
"Oooooo....ya sudah kalau begitu" Nara tidak mau semakin memojokkan Bagus kalau dia belum menggenggam bukti yang nyata. Sebenarnya banyak sekali hal yang menguatkan kecurigaannya. Namun, Nara tidak mau bertindak gegabah.
Bagus lantas keluar kamar sembari mengotak atik layar ponsel.
"Sampai saatnya tiba aku harus banyak bersabar" Tanpa di sadari air mata mulai menetes perlahan.
Tidak hanya satu atau dua kali suaminya bermain wanita. Dua tahun lalu tepat di depan mata dia melihat suaminya bersikap tidak wajar dengan seorang janda muda yang bekerja di warung makan miliknya. Janda muda satu anak dengan tubuh gempal dan body seksi. Mereka kerap kali kepergok saling melempar senyum dan beberapa kali Nara melihat suaminya itu berbisik bisik di belakang. Tidak hanya itu Nara juga mendengar desas desus perselingkuhan suaminya dari Eca (Gadis muda yang juga bekerja di warung makan miliknya). Eca bilang kerap kali melihat majiakannya itu memberikan uang tanpa sepengetahuan Nara. Tapi Nara tidak mau langsung menuduh tanpa dia tau sendiri dengan kedua mata. Dia menutupi semua itu dengan dalih uang yang di beri suaminya untuk membayar uang kos yang di tinggali Eca dan si janda muda. Eca sendiri tidak banyak tanya dia hanya mengiyakan saja, meski di belakang diam diam dia menyelidiki hubungan mereka.
Pada suatu hari tepatnya waktu jam makan siang. Eca sibuk melayani pembeli di depan sedangkan Nara sehabis mandi kemudian menjemur handuk di lantai atas. Entah setan mata yang merasuki Bagus, tiba tiba saja dia menarik tangan si janda muda menuju dapur. Tanpa rasa takut dia langsung mencumbu si janda. Keduanya saling berpagut. Sangking asiknya bercumbu tanpa mereka sadari Nara melihat kejadian itu. Sontak saja Nara langsung berteriak keras mungkin. Mereka berdua terkejut langsung melihat ke atas di mana Nara mematung di sana. Sangking kerasnya suara Nara membuat Eca dan benerapa pembeli berlarian ke dapur. Mereka bingun ada hal apa sampai Nara berteriak kencang. Parahnya si janda langsung lari. Semua orang bertanya tanya ada gerangan apa yang terjadi.
Setelah Bagus menghampiri sang istri kemudian menariknya naik ke lantai atas. Dari bawah mereka mendengar perdebatan sengit antara mereka. Tidak hanya itu ada suara pecahan kaca juga yang terdengar. Eca tau bahwa kedua bosnya tidak dalam keadaan baik baik saja. Dia langsung meminta para pembeli kembali keluar. Setelah bebetapa jam kemudian Bagus turun dan langsung pergi begitu saja. Eca yang masih di depan melihat sekilas wajah bos wanita penuh derai air mata. Dalam hati Eca menduga kalau perselingkuhan rekan kerjanya sudah terungkap. Tapi dia tidak mau ikut campur terlalu dalam. Eca hanya diam dan melanjutkan pekerjaannya. Sebenarnya Eca tidak tega melihat Nara sedih seperti itu, akan tetapi dia sadar ada batasan untuk orang alin ikut campur dalam urusan rumah tangga sang majikan. Setelah merasa tenang barulah Nara akan bercerita pada Eca tentang kebenaran yang ada. Sang suami yang berani ciuman di depan matanya secara tidak langsung. Kejadian itu membuat Nara dan Eca semakin dekat sampai Nara menaruh percaya pada Eca. Sejak saat itu Nara selalu bercerita tentang masalah rumah tangganya pada Eca. Meski Eca hanya sebagai pendengar tapi setidaknya Nara lega bisa mengeluarkan keluh kesahny.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!