Briana yang sadar diri hanya dijadikan pembantu oleh Erlon berniat ingin mencari pekerjaan, karena selama ini Erlon tidak pernah memberikan uang untuk sekedar membeli keperluannya, sehingga hari ini ia memutuskan untuk keluar dari rumah itu hanya untuk mencari pekerjaan. "Pak, saya mau keluar sebentar. Ya, saya janji akan kembali sebelum Tuan Erlon pulang," kata Ana kepada security yang menjadi penjaga rumah mereka sejak dua bulan belakangan ini.
Tanpa rasa ragu security itu mengiyakan Ana. "Baik Non, hati-hati di jalan."
Ana merasa lega karena security itu tidak menanyakan kemana dirinya akan pergi, karena ia tidak perlu mencari alasan. "Iya, Pak. Kalu begitu saya pergi dulu."
Ana memang takut kepada Erlon tapi apa boleh buat, papanya yang sedang mendekam di penjara membuat dirinya harus memiliki banyak uang untuk menyewa pengacara terkenal supaya meringankan hukuman Darel. Meski itu terdengar sangat mustahil, karena ia tahu Darel tidak hanya memiliki kasus narkoba ada kasus lain yang lebih membuatnya harus mendekam di penjara lebih lama lagi.
Angin yang berhembus sepoi-sepoi mengiringi langkah Ana yang entah kemana arah tujuannya, cahaya matahari sudah berada di tengah-tengah langit yang biru menandakan hari sudah siang. Tetapi, Ana sama sekali belum bisa mendapatkan pekerjaan, sehingga langkah kakinya terhenti di sebuah cafe yang ada poster bertulisan sedang mencari karyawan baru siapa cepat dia yang dapat. Ketika senyum di bibir ranum Ana terukir, ia dengan cepat masuk ke dalam cafe itu. "Permisi, apa disini masih ada lowongan pekerjaan?" tanya Ana pada salah satu pelayan di cafe itu, yang ia lihat sedang bersih-bersih.
"Yah, Mbk telat. Tadi sudah ada yang ngisi di bagian dishwasher," kata pelayan wanita itu sambil mengelap meja.
"Apa tidak ada pekerjaan lain, misalnya bersih-bersih?" Ana bertanya lagi, ia pikir mungkin ada pekerjaan lain.
"Maaf Mbk, semua sudah ada," jawab pelayan itu ramah.
"Oh, kalau begitu saya permisi dulu." Ana berbalik ingin keluar dari cafe tapi, seorang laki-laki yang sepertinya adalah manajer di cafe itu memanggilnya.
"Tunggu, Briana Azalia," panggilnya.
Ana menoleh seakan tidak percaya, ternyata temannya dulu di panti asuhan sinar jaya di luar negri kini terlihat sangat gagah dengan setelan jas. "Kak Bimo, apa kakak juga bekerja di sini?" tanya Ana tanpa tahu Bimo lah pemilik cafe.
Bimo adalah teman Ana sewaktu di panti asuhan, ternyata Bimo di bawa ke Indonesia oleh orang tua angkatnya. Ana bisa langsung mengenali wajah Bimo karena ia melihat tahi lalat Bimo di kedua pipi kiri dan kanan, ditambah mata Bimo yang sipit memakai kacamata.
"Bukan Mbk, kenalin ini menejer di cafe ini," celetus pelayan itu sambil berlalu pergi.
"Wah, kakak sekarang sudah sukses ya," kata Ana dengan antusias.
"Ah, ini hanya cafe kecil Ana. Kamu tadi mau melamar pekerjaan?" tanya Bimo.
Ana menunduk lesu. "Tadinya, tapi kata pelayan kakak, sudah gak ada lowongan di sini."
"Ada kok, kamu bisa nyanyi di cafe ini. Kebetulan penyanyi cafe yang biasanya di sini mengundurkan diri," kata Bimo berbohong, padahal dia sendiri yang telah memecat penyanyi tersebut.
"Tapi. Kan, suara Ana jelek kak," ucap Ana lirih.
"Suara kamu merdu Ana, jangan merendah begitu. Mari duduk kita bisa ngobrol-ngobrol dulu," ajak Bimo.
Ana duduk lalu menceritakan Bimo bagaimana bisa ia sampai di Indonesia, tapi ia tidak menceritakan kalau dirinya sudah menikah.
*
*
"Akhirnya bisa pulang." Ana saat ini sedang menunggu taksi di pinggir jalan. Namun, mobil sport berhenti di depan yang membuatnya menatap ke arah mobil itu. "Kak Bimo, maaf ya, tadi Ana gak sempat pamit," kata Ana jujur, karena tadi ia tidak melihat keberadaan Bimo di cafe.
"Gak apa-apa, ayo naik. Taksi biasanya jam segini jarang lewat."
Ana terlihat ragu untuk naik, karena ia takut Bimo mengetahui tempat tinggalnya.
"Ana tunggu taksi aja kak, takut nanti ngerepotin kakak."
"Ngerepotin bagaimana, ayo cepat nanti keburu hujan."
Ana menatap langit-langit yang tidak terlihat ada bintang dan bulan, menandakan mendung. Terpaksa ia naik, karena ia takut penyakitnya kambuh kalau sampai ia terkena air hujan disebabkan karena suhu tubuhnya yang rendah.
"Hm … tapi kak, kakak bisa kan, antar Ana jangan sampai depan rumah. Karena orang tua angkat Ana nanti bisa marah."
"Nanti biar kakak, yang akan mengatakan kepada kedua orang tua Ana." Bimo tidak tahu saja Ana sedang berbohong.
"Jangan kak, soalnya orang tua angkat Ana tidak suka melihat Ana bawa laki-laki ke rumah."
Bimo menyipitkan matanya sambil menatap Ana. "Baiklah, Ana." Mobil yang dikendarai Bimo menembus kegelapan malam, ia sengaja memperlambat laju mobilnya karena ia betah berlama-lama di dalam mobil berduaan dengan Ana.
Sedangkan Ana yang tau Bimo pelan sekali melajukan mobilnya, membuka suara, "Kak, bisa tidak percepat laju mobilnya, nanti Ana bisa terlambat untuk pulang." Ana sebenarnya takut pada Erlon, ia pikir Erlon sudah pulang dari kantor.
"Oke, adik manis Bimo," sahut Bimo.
Ana seketika teringat panggilan sayang Bimo pada dirinya Adik manis saat mereka masih di panti asuhan.
*
*
"Stop kak, Ana turun disini saja."
Bimo langsung menginjak pedal rem setelah mendengar Ana. "Rumah kamu dimana emangnya?"
"Disana kak," ucap Ana sambil menunjuk entah itu rumah siapa, karena rumah Erlon masih berjarak lima perumahan elit itu baru akan sampai.
"Rumah orang tuamu bagus. Ternyata orang yang mengadopsi mu bukan orang sembarangan Ana."
"Ana pergi dulu kak, sampai ketemu di cafe."
"Oke, sana jalan. Biar kakak bisa melihat Ana masuk."
Ana berjalan sambil beberapa kali berbalik, ia ingin memastikan bahwa Bimo sudah pergi atau belum hingga dirinya sampai di depan gerbang, Bimo masih saja betah melihatnya dari kejauhan. Ia melambaikan tangan sambil menyuruh Bimo untuk segera pulang, dan benar saja Bimo melaju sambil melambaikan tangannya juga.
"Huff, aku bisa bernapas lega. Untung saja pemilik rumah ini sedang pergi ke luar kota. Jadi aku bisa menunjuknya sebagai rumahku."
Baru saja Ana akan kembali berjalan suara klakson mobil yang sangat ia kenal terdengar sangat menyebalkan seperti si pemilik mobil.
"Woi, sudah kemana kau?" tanya Erlon yang masih di dalam mobil sambil mendengar musik. "Aish, sejak kapan aku peduli, sudahlah." Erlon kembali melajukan mobilnya tanpa menyuruh Ana untuk naik ke dalam mobilnya.
"Menyebalkan, tahan Ana ini hanya akan berlangsung satu tahun saja. Sekarang tinggal tujuh bulan lagi. Semangat untuk diriku sendiri."
Ana melangkahkan kakinya menuju gerbang yang menjulang tinggi, ia kemudian melihat Erlon masih didalam mobil. Kenapa Tuan Erlon belum masuk?
"Kau, cepat kesini!" teriak Erlon karena Ana hanya diam di depan gerbang.
"I-iya … Tuan." Ana berlari ia ingin memastikan kenapa Erlon memanggilnya. Sesampai di dekat mobil Erlon, Ana menatap Erlon. "Ada apa Tuan?"
"Ada apa, ada apa. Nih bawa pakaian kotor ku yang tadi aku bawa dari kantor."
Saat Ana melihat pakaian Erlon yang begitu banyak di dalam mobil, ia hanya bisa menghembuskan nafas. Karena ia tahu semua pakaian itu sudah ia cuci sebelumnya dan tidak pernah melihat Erlon menggunakanya. "Perasaan semua ini sudah saya cu–"
"Belum, lihat sendiri kotor begitu," sergah Erlon. Sambil tersenyum disaat melihat wajah Ana begitu kesal.
Erlon sedang menikmati makan malam yang Ana masak untuk dirinya, tapi ia heran karena tidak melihat keberadaan Ana dari tadi. "Mana tuh cewek dekil, kenapa belum keluar makan malam," gumam Erlon. Ia lupa kalau Ana sedang mencuci pakaian yang tadi ia bawa dari kantor. Saat dirinya sudah selesai makan ia beranjak ingin menaiki anak tangga, tapi Erlon menghentikan langkahnya karena baru mengingat bahwa malam ini teman-teman sekolahnya yang dulu mengajaknya untuk berkumpul, karena sudah terlalu lama mereka tidak bertemu di tambah kata teman-temanya ia harus membawa pasangan.
Tidak mungkin, 'kan aku mengajak dia, bisa-bisa mereka semua menertawakan aku. Kalau ternyata istri seorang Erlon hanya gadis katro … Ah, sial.
Saat Erlon sedang asik dengan isi pikirannya Ana yang sudah selesai dengan tugasnya akan bersiap-siap untuk tidur. Namun, dia yang melihat Erlon yang bengong malah ikut berdiam diri di dekat tangga sambil memperhatikan Erlon.
Sangat tampan, tapi kenapa sifatnya sangat menyebalkan. Ana membatin.
Tanpa sadar ternyata Erlon menatap dirinya sehingga membuat Erlon berdehem beberapa kali. "Sedang apa kau, hmm. Apa kau sedang mengagumi wajahku yang sangat tampan nan rupawan ini," kata Erlon membuat Ana menunduk tidak berani menatapnya lagi.
Ana memang mengagumi wajah tampan Erlon, tapi sampai sekarang ia belum bisa merasakan getaran pada hatinya.
"Sa-saya mau, memberikan Anda ini tuan." Ana memberikan Erlon sebuah kartu undangan yang didapatkan dari saku jas Erlon. "Ini tuan, ambil."
Erlon mengambil undangan itu lalu menyobeknya. "Ini tidak penting, apa kau tidak bisa membacanya." Erlon kembali menuju meja makan, lalu ia menyambar kunci mobilnya. "Kunci pintu, aku malam ini tidak akan pulang."
Ada rasa penasaraan di hati Ana karena Erlon tidak biasanya pergi malam-malam begini. Namun, rasa penasaran itu hanya mampu ditahan di dalam benaknya jasa. "Baik, tuan."
"Apa kau tidak mau menanyakan kemana aku akan pergi?" tanya Erlon saat melihat wajah Ana biasa saja.
"Maaf tuan, saya tidak berhak tahu urusan pribadi Anda," jawab Ana dengan nada suara yang terdengar lirih.
"Baguslah, kalau kau sadar diri."
*
*
Erlon sudah sampai di alamat yang temanya kirimkan melalui google maps, lalu ia turun dari mobil sambil melepas kacamata hitamnya dan ternyata salah satu temannya sudah menunggunya. "Woy Firman, dimana yang lain?" sapa Erlon, saat melihat laki-laki yang sedikit berisi itu.
Ternyata Teman yang menunggunya dari tadi bernama Firman sahabat karibnya. Sewaktu di sekolah dulu, dan juga Firmanlah yang telah mengajarkan Erlon untuk minum-minuman keras sehingga Erlon menjadi kecanduan seperti sekarang ini.
"Hai. Bro, lu makin tampan aja, mana tuh kembaran lu si Erlan?"
"Dia lagi keluar negeri, besok lusa mungkin baru bisa pulang." Saat Erlon sedang mengobrol dengan Firman, seorang wanita menepuk bahunya.
"Hai, Erlon. Sudah lama kita tidak bertemu ternyata lu tambah mempesona," ucap Mila yang sudah sejak dulu menaruh rasa pada Erlon, tapi Erlon pura-pura tidak tahu itu semua.
"Lu Mil, ayo kita masuk. Yang lain sudah menunggu dari tadi," kata Firman. Karena ia juga tahu sampai sekarang Mila masih menaruh rasa yang sama pada Erlon.
Sedangkan Erlon yang mendapat tatapan genit dari Mila merasa tidak nyaman. "Gue masuk duluan ya, guys."
Mila dan Firman yang melihat Erlon masuk dengan cepat mengikutinya dari belakang. Tapi sebelum itu Mila berbisik kepada Firman sambil memberikan Firman sejumlah uang. "Lu bisa 'kan Fir, gue mohon kali ini saja."
"Sorry. gue gak bisa," ucap Firman. Namun, Mila tidak tinggal diam ia tetap berusaha membujuk Firman. Hingga Firman yang terkenal sebagai playboy cap kadal dengan antusias menerima tawarannya.
Boleh juga nih, body bak gitar spanyol. Apa gue terima aja ya.
"Gimana, apa lu setuju?"
"Oke, deh. Tapi ingat rahasia ini hanya kita berdua yang tahu."
Mila mengangguk dan kembali menambahkan Firman sejumlah uang bagi Mila uang bukanlah hal yang sulit baginya, mengingat mamanya adalah satu-satunya anak dari kakeknya yang akan menerima seluruh harta warisan kekayaan sang kakek.
Mereka berdua ikut bergabung bersama teman-teman yang lain, Mila sengaja memilih tempat duduk di sebelah Erlon supaya ia bisa leluasa melihat wajah Erlon yang selalu terbayang-bayang di pelupuk matanya.
Dan ternyata mereka semua tidak ada yang membawa pasangan itu hanya akal-akalan mereka saja. Supaya melihat Erlon membawa pasangannya, tapi ternyata Erlon hanya datang sendiri.
"Wah kalian begitu cocok, kenapa gak pacaran aja sih," seloroh salah satu teman Erlon setelah melihat Mila duduk di sebelah Erlon.
"Gue gak mau pacaran, lebih baik langsung nikah. Gimana Bro," jawab Erlon sambil meninju lengan Firman.
"Cie-cie, yang mau langsung dilamar. Buruan deh lu kasih tahu bokap sama nyokap lu Mil," ucap salah satu teman Erlon lagi.
Pipi Mila sudah bersemu merah, Karena ia mengira apa yang dikatakan teman-temannya adalah kenyataan bukan gurauan. "Kalian bisa aja," kata Mila malu-malu.
"Sudah deh, ngapain bahas hal yang gak penting gini. Bukankah kita kesini untuk bersenang-senang." Nada datar Erlon membuat mereka menatapnya secara bersamaan.
"Jangan-jangan lu g*y ya, Er. Bisa-bisanya lu mengira menikah hal yang yang tidak penting," ucap Firman mulai memanas-manasi Erlon. "Andai lu tau, gimana rasanya surga dunia," sambung Firman.
"Enak aja lu, ngatain gue g*y, gue gini-gini milih pasangan." Erlon menunjuk ke lima teman laki-lakinya dan jari telunjuknya berhenti di depan dahi Firman. "Lu kayak orang yang sudah menikah, bahas-bahas masalah surga dunia." Erlon seketika jadi teringat ucapannya dulu saat dirinya dan Ana baru menikah dengan kalimat yang ia lontarkan surga dunia.
"Gue memang belum menikah Bro, tapi gua bisa tau mana gadis sama janda." Sambil menurunkan jari Erlon, Firman kembali menuangkan minuman keras ke dalam gelas Erlon yang sudah kosong.
Detik demi detik berlalu, tidak terasa malam pun sudah semakin larut Erlon yang sudah teler karena terlalu banyak minum, minta supaya Firman mengantarnya ke panthouse yang dulu Zizi beli. "Gue, duluan kepala gue rasanya sudah muter-muter. Lu Fir, tolong anter gue ke alamat ini." Erlon kemudian memberikan Firman ponselnya.
"Gue juga mau ikut nebeng deh Fir, soalnya supir gue lagi nganter bonyok ke bandara," ucap Mila sambil mengedipkan matanya pada Firman.
—-
Suara isak tangis membuat Erlon mengucek matanya beberapa kali sebelum nyawanya kembali terkumpul. Dan alangkah terkejutnya, ketika ia menoleh melihat Mila yang tubuhnya ditutupi selimut sama seperti dirinya.
"Apa-apaan ini Mila, kenapa lu bisa ada disini," tanya Erlon dengan wajah memerah.
"Gue yang seharusnya bertanya, kenapa lu tega ngelakuin ini ke gua. Padahal niat gue baik mau nganterin lu. Tapi lu malah … ."
Erlon kembali mengingat-ngingat. Dan ingatannya hanya kepada Firman yang mengantarnya. "Gua nyuruh Firman b*d*h, bukan lu," bentak Erlon.
"Apa lu gak inget, hah … Firman nyuruh gue buat ngantar lu," suara Mila menggema. "Gimana kalau gue hamil, apa lu mau tanggung jawab?" tanya Mila sambil menghapus air matanya.
Erlon mencoba mengintip bagian bawahnya ternyata benar ia hanya mengenakan CD. "Sial, kenapa gue gak inget semuanya."
"Jawab Er, apa lu mau tanggung jawab," ucap Mila sekali lagi.
Erlon mengacak rambutnya dengan kasar, ia takut kalau sampai daddy nya tahu. Bisa-bisa ia akan dibunuh.
Daddy bisa membunuhku, ****!! apa yang harus aku lakukan.
"Mana bisa lu hamil, kita ngelakuin itu hanya satu kali. Jangan mengada-ngada."
"Kita lihat saja Erlon, semoga ucapan lu benar."
Ana melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi, tapi sang suami belum juga pulang. Saat dirinya sedang bersiap-siap di kamar untuk segera berangkat ke cafe, ia dikagetkan karena suara ketukan pintu dari luar dengan sangat keras.
Siapa ya, padahal aku belum membuka pintu. Jangan-jangan maling.
Ana sudah ketakutan, karena biasanya jam segini security yang di depan pergi sarapan di warung depan komplek perumahan elit itu, terdengar suara gedoran pintu semakin keras sehingga membuat Ana memberanikan diri membuka pintu dengan membawa sebuah raket nyamuk. Tapi sebelum Ana membuka pintu tersebut, pintu itu sudah didobrak dari luar sehingga terlihatlah Erlon dengan penampilan yang acak-acakan.
"Kau, kenapa tidak membuka pintu dengan cepat," pekik Erlon melihat Ana membawa raket nyamuk.
"Tu-tuan, ba-bagimana bi–"
"Kau lupa, aku punya kunci cadangan jadi aku bisa masuk dari mana saja, dan kapan saja … dodol." Erlon berkata begitu sambil menatap penampilan Ana dari bawah sampai atas. Tidak terlihat menarik sedikitpun, dasar cupu.
"Siapkan aku air hangat." Erlon berlalu setelah mengatakan itu. "Dan jangan lupa pilih setelan jas untukku!" perintah Erlon dengan berteriak.
Mata Ana tertuju pada bak sampah yang berisi kemeja yang tadi malam Erlon pakai. Ia heran kenapa Erlon bisa membuangnya padahal itu kemeja kesayangannya.
Kenapa dibuang, apa tuan Erlon sudah bosan memakinya.
Saat Ana mengambil kemeja itu, ia mencium bau parfum seorang wanita yang begitu menyengat di tambah ada beberapa bekas lipstik yang menempel di kemeja yang berwarna putih polos itu.
Apa tuan Erlon, mempunyai kekasih. Siapa kira-kira wanita yang telah mampu meluluhkan hatinya.
"Kau, cepatlah! jangan sampai aku terlambat." Lagi-lagi suara Erlon terdengar berteriak. Sedangkan Ana dengan cepat menyembunyikan kemeja itu. "Apa setelah kau tinggal dirumah ini, gendang telinga kau sudah tidak berfungsi lagi?"
"Sa-saya akan segera kesana tuan."
Tapi Erlon malah melihat Ana menyembunyikan kemeja yang tadi ia buang. Senyum jahat di bibir Erlon terukir.
"Kau tahu, tadi malam aku bertemu dengan wanita yang sangat cantik. Aku rasa dia itu tipeku banget."
Reaksi Ana tetap biasa saja, padahal Erlon ingin melihat Ana akan bersedih atau malah memarahinya. "Wah ... selamat ya tuan, ternyata ada juga yang mau dengan Anda."
Erlon tidak percaya dengan jawaban yang Ana berikan, ia merasa Ana sudah ketularan sang mommy yang bisa menyembunyikan segala hal. "Setelah kau dan aku bercerai, aku akan segera melamarnya."
"Sekali lagi selamat tuan," ucap Ana dengan tulus.
Perempuan aneh, apa dia tidak tertarik kepada ku sedikit saja. Wajahnya selalu terlihat biasa saja.
Ana membiarkan Erlon melamun, ia kemudian masuk ke kamar Erlon untuk menyiapkan air hangat. Namun, ia terkejut melihat semua isi lemari Erlon yang telah ia rapikan kini terlihat berantakan sekali.
Tadi begitu rapi dan wangi, sekarang kenapa jadi begini. Bisa-bisa aku terlambat ke cafe hanya untuk mengulang pekerjaan yang satu ini. Hmm … .
Saat Ana berbalik ingin menanyakan kenapa isi lemari Erlon bisa berantakan begini. matanya malah melotot tidak percaya ternyata Erlon sudah bertelanjang dada ia dapat melihat dengan jelas banyak sekali roti sobek di perut Erlon.
"Apa kau sekarang tertarik dengan tubuh ku. Lihatlah, air liurmu akan menetes." Erlon tertawa renyah sambil melewati Ana.
Ya Tuan, mataku sudah tidak perawan lagi, dasar tuan Erlon.
—-
Setelah Ana sampai di cafe, ia malah terlihat ragu untuk masuk karena merasa dirinya sudah terlambat. "Duh, masuk gak ya, soalnya aku udah telat dua puluh lima menit."
Bimo yang baru datang juga melihat Ana masih berdiri dengan cepat menghampirinya. "Kenapa masih di luar?"
"Kak Bimo, aku terlambat," lirih Ana.
Bimo meraih tangan Ana, lalu mereka bergandengan masuk ke dalam cafe.
"Tidak apa-apa, adik manis. Kamu 'kan bekerja disini hanya untuk menyanyi saja jadi, tidak masalah kamu datang terlambat," kata Bimo dengan suara lembut tidak seperti Erlon yang lebih sering membentaknya.
"Kakak lupa, aku juga 'kan, disini bantu buat bersih-bersih," ucapan Ana membuat Bimo menjewer pipinya dengan ngemes.
"Maksud kakak tuh, kamu bantu bersih-bersih di sekitar ruangan kakak saja. Apa sekarang Ana paham?"
Ana melihat pelayan yang lain menatapnya dengan tatapan yang tidak suka, karena mendapat perlakuan yang berbeda dari yang lain. "Pak," ucap Ana sehingga membuat Bimo kaget.
"Kenapa jadi Pak, aku bukan Bapak-bapak Ana." Bimo memperbaiki poni Ana yang berantakan. "Begini lebih manis."
"Supaya enak di dengar," ucap Ana dengan pelan.
"Tapi aku tidak suka Ana, tetaplah memanggil ku dengan sebutan Kakak bukan Pak."
"Ayolah, hanya untuk di cafe saja." Ana memohon kepada Bimo supaya pelayan yang lain tidak salah paham.
Bimo yang tidak tega melihat raut wajah Ana yang berubah menjadi sendu, ia terpaksa mengiyakan permintaan Ana.
"Tapi ingat, hanya di cafe saja."
"Baik Pak, saya kerja dulu."
Karena Ana yang terlalu bersemangat, tidak menyadari kalau lantai tempatnya berdiri belum kering setelah di pel tadi. Al-hasil ia terpeleset terjadi lah adegan slow motion untung saja Bimo dengan gesit menangkap tubuhnya, semua yang ada di sana membuka mulut lebar-lebar karena baru kali ini Bimo si manager begitu peduli dengan seorang pelayan. Biasanya ia akan selalu cuek bebek meski salah satu dari pelayan mereka mengalami hal yang serupa malah ia lebih sering marah-marah gak jelas, kali ini sungguh amazing.
"Lain kali hati-hati," ucap Bimo.
"Saya terlalu bersemangat Pak, terima kasih telah menolong saya." Ana lalu menunduk tiga puluh derajat.
—-
Erlon yang merasa sekarang bisa bebas pergi ke bar sesuka hati, tanpa takut sang daddy akan marah padanya karena yang Kenzo tahu Erlon sudah berubah tidak mabuk-mabukan lagi sejak menikah dengan Ana. Tapi malah sekarang Erlon semakin sering mengunjungi bar tersebut.
"Tambah lagi, pelayan," ucap Erlon yang baru datang, tapi sudah terlihat ada beberapa botol minuman yang terjejer rapi di atas meja.
Pelayan itu saling pandang, karena melihat isi botol masih penuh. "Maaf Tuan, bukankah Anda belum me–"
"Tamu adalah raja, jadi cepat ambilkan aku lagi!" potong Erlon dengan cepat dan dengan nada suara membentak. Entah kenapa malam ini ia sangat haus ingin meminum-minuman yang dapat membahayakan kesehatannya sendiri.
Pelayan itu kemudian memngambilkan Erlon dua botol lagi, ia takut Erlon akan kembali ngamuk seperti yang dulu-dulu bila keinginannya tidak terpenuhi.
"Bagus … kalian boleh keluar sekarang," perintah Erlon kepada kedua pelayan itu.
Tetapi, kedua pelayan itu malah diam karena terkesima melihat bibir Erlon menyungkingkan senyum.
"Keluar! sebelum botol ini meleyang ke kepala kalian,"cetus Erlon yang tahu dirinya di perhatikan oleh kedua pelayan tersebut. Padahal saat ini ia sedang memperhatikan dederan botol minuman beralkohol itu.
Kedua pelayan itu, langsung kelaur tanpa berani menatap Erlon lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!