Perempuan dengan gamis hitam melangkah cepat melewati pinggiran jalan raya yang masih basah karena guyuran hujan tadi pagi. Sesekali ia melompat menghindari genangan air agar kakinya yang terbungkus kaos kaki coklat muda tidak basah. Ia bersyukur karena hujan sudah tidak sederas tadi sehingga bisa leluasa bergerak tanpa harus membawa payung.
Alisha Sabiya Nadifah biasa dipanggil Ica adalah mahasiswi semester awal Manajemen Bisnis Pariwisata di Politeknik Negeri Banyuwangi. Ica bekerja paruh waktu di Butik Muslimah yang letaknya sekitar 1 kilometer dari tempat kos nya untuk biaya kuliah agar tidak terlalu menyusahkan orangtuanya.
"Berangkat kerja dek Ica?" Seorang lelaki yang tengah membaca majalah islam di depan sebuah toko buku menyapa Ica.
Ica mendongak mendengar seseorang menyapanya.
"Iya Kak Arfan.." Ica tersenyum membalas sapaan lelaki tersebut.
Arfan menurunkan majalah di tangannya agar Ica bisa melihatnya. Bola matanya yang hitam pekat terlihat berbinar-binar di balik kacamata baca nya.
Ica mengenal baik laki-laki tersebut berawal dari dirinya yang bergabung dengan ekstrakurikuler Rohis dan Arfan merupakan ketua umumnya. Arfan adalah senior Ica 1 tingkat yang dikagumi wanita di kampus karena ketampanan dan kealimannya.
"Nggak bawa payung?" Tanya Arfan.
"Enggak, cuma gerimis biar cepet sampai di butik kan sambil lari-larian." Ica terkekeh. "Mari Kak Arfan.." Ica menunduk sesaat sebelum melanjutkan perjalanannya yang sudah dekat.
Arfan memperhatikan punggung kecil Ica yang perlahan menjauh. Bibir Arfan menyunggingkan senyum samar di balik majalah yang menutupi wajahnya. Hangat. Entah kenapa dada Arfan terasa hangat melihat adik tingkatnya itu.
Ica meletakkan sandalnya di rak yang telah disediakan sesampainya di depan bangunan berukuran cukup besar bertuliskan Butik Muslimah di atas pintu masuk.
"Assalamualaikum." Ica mengucapkan salam sambil membuka pintu menyapa Aisyah yang berada di belakang meja kasir.
"Waalaikumussalam." Aisyah tersenyum manis, ia memiliki wajah oriental seperti orang keturunan chinese pada umumnya. Ia memeluk agama islam sekitar 2 tahun yang lalu sejak mengenal Umar yang kini menjadi suaminya. "Mbak pikir kamu bakal telat karena hujan." Aisyah beranjak dari duduknya.
"Cuma gerimis Mbak." Sahut Ica sambil mengembangkan senyumnya.
"Kalau gitu Mbak balik dulu ya." Aisyah meraih tas lalu menyampirkan di bahunya. "Hati-hati jaga butik ya." Aisyah melihat ke seluruh ruangan di butiknya. "Saya balik ya!" Serunya kepada 4 pegawai lain yang sedang melayani para pembeli.
"Iya mbak!" Jawab Maia, Anisa, Shafa dan Aini bersamaan.
Ica memperhatikan Aisyah yang berjalan meninggalkan Butik. Walaupun lahir di keluarga tionghoa, kini Aisyah menjadi muslim yang taat sehingga para pegawai banyak belajar darinya. Ia menyembunyikan kulit putihnya dengan selalu mengenakan gamis dan jilbab panjang lengkap dengan kaos kaki kadang juga memakai cadar untuk beberapa acara tertentu.
Ica duduk di belakang mesin kasir menggantikan Aisyah. Setiap hari ketika Ica datang maka Aisyah akan pulang untuk istirahat dan akan kembali lagi setelah isya' sebelum akhirnya menutup butik.
"Ca yang ini ya." Maia menghampiri meja kasir membawa sepotong gamis berwarna salem untuk diproses sebelum pembeli membayarnya.
"Ini aja Mbak?" Tanya Ica memastikan tidak ada belanjaan lain yang tertinggal dijawab anggukan oleh Maia sebelum meninggalkan meja kasir dan melayani pembeli lain.
Sesaat kemudian si pemilik gamis menghampiri meja kasir.
"Gamis sifon salem?" Ica melihat perempuan di depannya memastikan sekali lagi.
"Iya." Jawab perempuan tersebut sembari mengangguk singkat.
"Tiga ratus dua puluh lima." Ica menyebutkan harga gamis tersebut lalu pembeli menyerahkan 4 lembar seratus ribuan. Ica membungkus gamis yang sudah dilipat rapi dengan plastik bening kemudian memasukkannya ke dalam tas kertas berwarna magenta yang merupakan warna khas Butik Muslimah. "Terimakasih." Ica menyodorkan belanjaan dan uang kembalian.
Butik Muslimah memang selalu ramai setahu Ica sejak dirinya bekerja tapi tidak pernah membeli gamis disini karena harganya yang tergolong mahal untuk mahasiswi sepertinya. Kadang ia hanya membeli kaos kaki, ciput, jilbab yang harganya masih terjangkau.
Ica mendongak melihat pintu masuk yang terbuka kemudian muncul seorang laki-laki tampan bertubuh tinggi atletis mengenakan jas alamamater Universitas Airlangga. Daniel adalah adik Aisyah sangat terlihat dari wajahnya yang mirip dengan Kakak perempuannya. Saat ini Daniel adalah mahasiswa semester 5 UNAIR kampus Banyuwangi jurusan kedokteran hewan.
"Dek ica, ada HP nya Kak Atalie nggak?" Lelaki bernama Daniel itu menghampiri Ica. "Katanya ketinggalan disini."
"Aku cari ya." Ica membuka laci meja mencari ponsel milik Aisyah. "Ini.." Ica memberikan ponsel pada Daniel.
"Makasih." Daniel memasukkan ponsel milik Aisyah ke dalam saku jas nya. "Kebiasaan Kak Atalie suka lupa sama barang nya." Daniel tersenyum lebar. Ia biasa memanggil Aisyah dengan nama kecil sebelum menjadi mualaf yakni Atalie. "Oh iya, aku bawa pie coklat buat kamu sama yang lain juga." Daniel meletakkan dua kotak pie di atas meja. "Dimakan ya." Tambah Daniel.
"Makasih Kak Daniel." Ica tersenyum. Daniel seringkali membelikan makanan untuk pegawai butik Aisyah bahkan kadang makan bersama. Walaupun terlahir dari keluarga kaya, Daniel tidak pernah angkuh ataupun sombong sangat mirip dengan Aisyah yang memilih membuka butik sendiri dari pada meneruskan bisnis keluarganya berupa Pusat Perbelanjaan, hotel dan beberapa Taman Hiburan di Banyuwangi.
"Sama-sama, aku pulang ya." Daniel memberikan senyum manisnya sebelum pergi meninggalan butik.
Ica memperhatikan punggung Daniel yang kokoh semakin jauh lalu menghilang di balik pintu.
"Assalamualaikum!" Suara seseorang yang tidak asing di telinga Ica. Sesuai dugannya, pemilik suara melengking itu adalah Dianis yang tiba-tiba masuk ke dalam butik.
"Waalaikumussalam, ngapain kamu kesini?" Ica melihat sahabatnya yang tersenyum lebar menghampirinya. Dianis adalah sahabat Ica sejak kecil hingga sekarang selalu satu sekolah bahkan sekarang satu kos pula.
"Eh aku pinjam laptop kamu ya." Pinta Dianis dengan wajah memelas untuk merayu Ica.
"Buat apa?" Ica melihat Dianis sesaat sambil melayani pembeli yang hendak membayar belanjaannya.
"Buat ngerjain tugas dari Pak Deni, laptop aku lagi demam tuh nggak bisa dipake."
"Emang kamu nggak kerja?" Ica memberikan tas belanjaan milik pembeli beserta uang kembalian tidak lupa mengucapkan terimakasih.
"Aku bawa ke tempat kerja ada free wifi jadi bisa numpang disana." Dianis mengangkat alisanya meminta persetujuan Ica. Teman-teman di kampus menyebutnya wanita paling beruntung karena bisa bekerja di toko buku milik Arfan.
"Iya boleh, bawa aja."
"Oke makasih cantikku" Dianis mencolek pipi Ica sesaat. "Eh, pie punya siapa nih?" Mata Dianis melirik dua kotak pie di atas meja.
"Ambil aja satu kalau mau, barusan dikasih Kak Daniel."
"Yang barusan papasan sama aku itu namanya Daniel?" Dianis mencomot satu potong pie mini dari dalam kotak dan buru-buru mengantonginya. Ica mengangguk untuk menjawab pertanyaan Dianis. "Cogan ya." Ia tersenyum jahil pada sahabatnya yang entah kenapa pipinya bersemu merah saat nama Daniel disebutkan. "Duh sampe lupa, nih dari Kak Arfan." Dianis menyodorkan sebuah flashdisk pada Ica yang ia ambil dari saku.
"Flashdisk punya siapa?"
"Katanya kamu kemarin cari buku di toko Kak Arfan tapi stoknya habis jadi dia kasih ebook nya buat kamu, ini udah dari semalem tapi aku lupa mau kasih ke kamu."
"Bilang makasih ya sama Kak Arfan."
"Oke, aku berangkat dulu." Dianis keluar dari butik.
Sedangkan Ica memasukkan flashdisk ke dalam tas kecil yang biasa dibawanya ketika bekerja. Ica melanjutkan pekerjaannya melayani pembeli yang hendak membayar belanjaannya dengan sepenuh hati dan suka cita. Ia selalu bersyukur karena dikelilingi orang-orang baik di sekitarnya sehingga dirinya bisa belajar banyak hal dari mereka.
Cerita ini pertama kali dipublish di wp dan masih on going sampai sekarang.
Jangan lupa tinggalkan komentar kalian tentang apapun^^
Oh iya, kira-kira kalian lebih suka ada foto tokoh nya atau nggak?
Daniel menuruni anak tangga satu per satu dengan langkah santai. Ia melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan kirinya, menunjukkan pukul 7 tepat. Kuliahnya dimulai 3 jam lagi, sebelum pergi ke kampus Daniel berniat mencari beberapa buku di toko buku dekat butik Kakaknya.
"Sarapan dulu Daniel." Tegur Mama Daniel yang sedang menuangkan air putih ke dalam gelas di depan suaminya.
"Aku mau sarapan di rumah Kak Atalie aja." Sahut Daniel.
"Duduk dulu Daniel." Ujar Papa Daniel dengan nada datar tapi sanggup membuat Daniel menuruti permintaannya. Daniel bergegas menghampiri meja makan lalu duduk berhadapan dengan Mamanya.
"Papa harap kamu nggak ikut-ikutan Kakak kamu." Nada bicara Papa Daniel dingin tanpa melihat lawan bicaranya justru sibuk mengaduk bubur kacang merah yang masih berasap. "Semoga Atalie menjadi anggota pertama dan terakhir yang telah berpindah keyakinan." Tambahnya.
Daniel hanya manggut-manggut tanpa menanggapi ucapan Papa nya.
"Papa nggak pernah benci sama Atalie atau Umar dengan keluarganya, hanya saja hati kecil Papa nggak bisa terima karena dari kecil Mama dan Papa mendidik kalian menjadi umat yang taat."
"Yah.." Daniel kembali mengangguk beberapa kali. Daniel belum memiliki keyakinan mengikuti jejak Kakaknya memeluk islam, lagi pula ia tidak sanggup jika harus melakukan ibadah 5 kali sehari atau puasa satu bulan. Pergi ke gereja setiap minggu saja ia jarang melakukannya. Dulu ia memang rajin beribadah saat duduk di sekolah menengah, tapi entah kenapa sekarang ada saja alasannya untuk tidak pergi ke gereja.
"Kalau gitu Daniel berangkat dulu ya." Daniel beranjak dari duduknya setelah menerima anggukan dari kedua orangtuanya.
Lelaki bermata sipit itu mengendarai mobilnya menuju rumah Aisyah yang jaraknya tidak terlalu jauh bahkan tak jarang Daniel tidur di rumah Kakak perempuannya itu. Setiap kali berada disana, Daniel merasa hatinya lebih tenang entah kenapa, ia tidak tau alasannya.
Sekitar 10 menit kemudian Daniel sudah sampai di depan rumah tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan rumahnya dengan cat dominan putih dan gerbang berwarna hitam. Daniel turun dari mobil untuk membuka gerbang yang tidak terkunci.
"Loh Mas Daniel kok nggak klakson aja biar saya bukain gerbangnya." Seorang satpam rumah menegur Daniel.
"Udah biasa pak." Daniel tersenyum.
"Saya saja yang masukin mobilnya mas." Tawar satpam yang biasa menjaga gerbang tersebut.
"Oh nggak usah, saya cuma sebentar mau numpang sarapan." Daniel terkekeh. "Biarin disitu aja deh."
"Baik kalau gitu." Satpam tersebut mengangguk patuh. Sedangkan Daniel masuk ke dalam rumah yang sepi. Maklum Aisyah dan suaminya hanya tinggal berdua kadang Daniel ingin sekali mendengar suara tangisan bayi, tapi sayang Kakak nya belum bisa memberinya keponakan walaupun telah 2 tahun menikah.
Senyum Daniel mengembang ketika melihat Aisyah memasak sedangkan Umar suaminya merangkul dari belakang. Daniel berdehem agar mereka berdua sadar bahwa ada orang lain disini.
"Daniel." Umar menyapa Daniel setelah melepas pelukannya pada Aisyah. "Duduk, kita sarapan bareng ya."
"Aku kesini memang mau sarapan." Ucap Daniel santai sembari duduk di salah satu kursi meja makan.
"Kamu kuliah pagi hari ini?" Aisyah meletakkan semur daging di atas meja makan yang baru diangkat dari wajan.
"Iya nanti jam sepuluh, aku mau cari buku dulu di toko deket kos nya Ica."
Aisyah memberikan piring yang sudah berisi nasi pada suaminya lalu pada Daniel.
"Makan ini." Umar menyodorkan sebuah kurma di dekat mulut Daniel.
"Apa?" Daniel melihat kurma di tangan Umar penasaran, ia tak pernah tahu buah tersebut sebelumnya. Daniel hendak mengambil alih buah itu dari tangan Umar tapi kakak iparnya itu tidak memperbolehkannya.
"Buka aja mulutmu." Ujar Umar, Daniel menurut saja. "Kunyah perlahan." Titah Umar.
"Enak." Daniel manggut-manggut sambil mengunyah buah kurma yang kering, rasanya legit dan sangat manis membuatnya ingin makan satu buah lagi. "Aku mau satu lagi, atau dua.." Daniel melihat Umar yang sedang memperhatikannya.
"Makanlah tujuh." Ucap Aisyah yang langsung disambut seruan gembira di Adiknya karena boleh memakan banyak buah yang sangat lezat itu.
Daniel memakan satu per satu buah yang disediakan pada toples di meja, ia menikmati setiap buahnya. Sedangkan Umar dan Aisyah memulai sarapannya karena sudah makan kurma sebelum Daniel datang.
******
Daniel berjalan menuju meja kasir setelah mendapat 3 judul buku yang ia inginkan.
"Ini aja mas?" Seorang laki-laki yang merupakan pegawai toko buku milik Arfan melayani Daniel yang hendak membayar bukunya. Daniel menjawabnya dengan anggukan.
"Tiga ratus tujuh puluh lima." Lelaki tersebut menyebutkan nominal harga buku yang telah dibeli Daniel. Ia memasukkan tiga buku milik Daniel ke dalam goodie bag berwarna coklat.
"Eh masukin kesini aja." Daniel menunjukkan tas punggung miliknya yang sudah terbuka. Pegawai tersebut menuruti permintaan Daniel. "Makasih ya." Daniel menyodorkan 4 lembar seratus ribuan lalu mengenakan tas nya lagi setelah mendapatkan uang kembalian.
Daniel melihat perempuan yang tidak asing baginya tengah duduk di salah satu kursi di depan toko buku, dengan semangat ia menghampiri Ica yang sedang serius melihat layar laptopnya di atas meja.
"Dek Ica!" Daniel menyapa Ica ramah lengkap dengan senyum manisnya.
Ica mendongak dan membalas sapaan Daniel.
"Lagi sibuk?" Tanya Daniel.
"Iya, ngerjain tugas, Kak Daniel lagi cari buku?" Ica melihat Daniel sesaat.
"Iya udah dapat, aku boleh duduk disini nggak?"
"Boleh." Ica mengangguk disertai senyum tipis. Daniel duduk menghadap Ica dipisahkan oleh meja berbentuk lingkaran. "Kak Daniel belum berangkat kuliah?" Tanya Ica tanpa melihat Daniel yang berada di hadapannya.
"Belum, masih jam sepuluh kuliah dimulai." Daniel memperhatikan Ica yang kembali fokus pada laptopnya. Daniel berpikir bahwa dirinya kurang menarik karena Ica tidak pernah melihatnya lebih dari 5 detik.
"Kampus Kak Daniel yang dimana?"
"Di SMAN 1 Giri." Daniel tidak mengalihkan pandangannya dari wanita cantik yang tidak sadar bahwa lelaki di depannya sedang mwmperhatikannya. "Dek Ica berangkat kuliah sama siapa?"
"Sendiri, lagian tinggal jalan kaki ke kampus." Ica tersenyum membuat sudut bibir Daniel ikut tertarik untuk membentuk senyuman manis. "Aku ke dalam dulu ya Kak sebentar." Ica beranjak dari duduknya lalu pergi meninggalkan Daniel sebelum lelaki itu menjawab ucapannya. Ica berjalan masuk ke dalam toko buku untuk mengembalikan flashdisk milik Arfan yang dipinjamkan kepadanya untuk menyelesaikan tugas kuliah.
Daniel tertarik pada buku tebal di samping laptop Ica, ia mengambilnya lalu membuka halaman pertama. Daniel mengerutkan kening karena buku tersebut memiliki tulisan arab, ia tidak asing dengan buku tersebut karena sering menjumpainya di rumah Aisyah bukan hanya satu tapi banyak. Daniel penasaran pada isi buku tersebut, ia berniat mencari tahu pada Ica sebentar lagi.
"Jangan!" Ica menyambar Al-qur'an dari tangan Daniel dan langsung mendekapnya dengan mata berkaca-kaca membuat Daniel kebingungan.
"Maaf Dek Ica, aku cuma buka halaman pertama dan nggak tahu isi di dalamnya, kamu nggak usah khawatir kalau buku tersebut rahasia." Daniel merasa bersalah karena telah membuat Ica menangis. "Maaf.." ucap Daniel sekali lagi. "Aku janji nggak akan penasaran lagi sama barang-barang kamu, maaf aku lancang, jangan nangis." Ingin sekali Daniel menghapus air mata yang meleleh di pipi Ica tapi tidak mungkin. Daniel menghormati perempuan di depannya yang selalu menjaga diri dengan menutup aurat.
"Kak Daniel maaf, ini Al-qur'an, Kakak nggak boleh pegang." Jelas Ica dengan suara gemetar sembari mengusap air matanya.
Daniel berusaha mencerna ucapan Ica tapi tidak bisa mengerti. Mungkin itu batasan umat islam terhadap agama lain.
"Sekali lagi aku minta maaf, kamu jangan nangis lagi.." Pinta Daniel, entah kenapa hatinya sakit melihat Ica menangis apalagi dirinya yang telah membuat gadis cantik itu menangis.
"Kak Daniel nggak salah, tadi aku reflek aja terus tiba-tiba nangis." Ica tersenyum sambil melihat Daniel sesaat.
"Nanti aku bawain martabak ya ke Butik sebagai permintaan maaf."
"Oh jadi Kak Daniel mau nyogok aku pakai martabak?" Ica pura-pura memasang wajah marah membuat Daniel gemas ingin mencubit pipinya.
Daniel tertawa melihat reaksi Ica yang tidak disangkanya.
"Kalau nggak mau martabak, kamu mau apa?" Tanya Daniel setelah menghentikan tawanya.
"Kak Daniel kan calon dokter hewan kenapa nggak bawain binatang aja?" Ica tertawa singkat hingga pipinya bersemu merah.
"Boleh juga." Daniel tersenyum lebar.
"Aku cuma bercanda, nggak serius." Tangan Ica menutupi mulutnya yang tersenyum lebar Akhirnya Daniel jadi mendapat ide untuk memberi hadiah pada Ica.
Tidak terasa karena terlalu asyik mengobrol, satu jam sudah mereka lalui. Daniel pamit pada Ica karena harus segera berangkat kuliah yang kampusnya berada di SMAN 1 Giri, UNAIR Banyuwangi belum memiliki kampus sendiri sehingga harus melakukan proses belajar disana.
Daniel tampak memperhatikan Ica dari dalam mobil sebelum meninggalkan kawasan toko buku. Ia tidak bisa berhenti tersenyum setelah bertemu dengan gadis cantik itu.
Sementara itu Arfan bingung melihat isi flashdisk yang baru saja dikembalikan oleh Ica. Terdapat banyak foto Akhwat bercadar berfoto dengan Ica. Arfan segera mencabut flashdisk tersebut lalu berjalan keluar toko untuk menghampiri Ica karena flashdisk mereka tertukar.
"Ica!" Seru Arfan menghampiri Ica yang baru saja menutup laptopnya.
"Kenapa Kak?" Ica beranjak dari duduknya.
"Flashdisk nya ketuker Ca." Arfan menyodorkan flashdisk milik Ica.
"Oh ya?" Ica mengambil flashdisk di dekat ponsel dan laptopnya. "Maaf ya Kak Arfan, untung Kakak langsung tahu kalau flashdisk nya ketuker." Ica tersenyum sambil menukarkan flashdisk milik mereka.
"Belum berangkat kuliah?" Tanya Arfan melihat Ica sendiri. Tadi ia melihat ada seorang laki-laki mengenakan jas almamater UNAIR mengobrol akrab dengan Ica. Arfan jadi penasaran apa hubungan mereka.
"Iya ini mau berangkat." Ica membereskan barang-barangnya di atas meja lalu memasukkan ke dalam tas.
"Oh iya Ica, jangan lupa hari Ahad kita ada bakti sosial di daerah Giri, berangkat pagi."
"Baik." Ica mengangguk mengerti. "Kalau gitu aku nanti kasih tahu yang lain."
"Iya." Arfan tersenyum canggung sambil mengangguk beberapa kali. Ia merasa canggung ketika berdua seperti ini karena mereka jarang sekali bicara hanya berdua.
"Aku berangkat dulu Kak Arfan." Ica tersenyum tipis sebelum meninggalkan Arfan.
Arfan kembali masuk ke dalam toko bukunya setelah Ica tidak lagi terlihat dari pandangannya. Setiap sebulan sekali anggota Rohani Islam mengadakan acara bakti sosial, membagikan makanan, pakaian baru maupun bekas layak pakai kepada siapapun yang membutuhkan. Anggota laki-laki dan perempuan Rohis terpisah namun ketika ada acara mereka akan bersama-sama melakukan kegiatan tersebut.
Arfan Khalif Ahmad
Alisha Sabiya Nadifah
Daniel Alindra
Setiap akhir pekan Ica dan Dianis biasanya pulang ke rumah untuk melepas rindu dengan orangtua setelah 5 hari penuh mengerjakan tugas kuliah dan bekerja namun akhir pekan kali ini mereka tidak bisa pulang karena Ica memiliki kegiatan bakti sosial Rohis dan komunitas Teman Hijrah Banyuwangi(THB).
"Sarapan dulu nih." Dianis datang mengejutkan Ica yang sedang bersiap-siap memasukkan barang keperluannya ke dalam tas kecil. Dianis membawa roti isi telur mata sapi dan susu coklat, Ica mengakui bahwa sahabatnya itu pandai membuat makanan tak seperti dirinya yang tidak mahir memasak.
"Kamu ngga ikut?" Tanya Ica pada Dianis yang sudah memulai sarapannya. Dianis hanya menggeleng pelan sebagai jawaban.
"Aku juga mau keluar." Katanya. "Lagian aku bukan anggota Rohis, malu ah mau ikut."
Ica tidak segera menanggapi ucapan Dianis karena sedang membaca doa sebelum makan.
"Keluar kemana?" Tanya Ica akhirnya sembari memasukkan sepotong roti ke dalam mulutnya.
"Ada deh jalan-jalan."
Ica diam tidak lagi membalas perkataan Dianis. Mereka menyelesaikan sarapan lalu bersiap pergi karena tempat kos juga sepi jadi berdiam disana tidak ada gunanya, teman yang lain berlibur atau pulang ke rumah masing-masing.
***
2 mini bus yang ditumpangi oleh anggota Rohis perempuan dan laki-laki berhenti di halaman panti asuhan yang luas. Mereka disambut oleh anak-anak panti dan komunitas THB yang sudah sampai di tempat lebih dulu.
"Ukhti Ica.." Zayaan sang ketua Rohis perempuan menyapa Ica yang baru turun dari mini bus. Ia merupakan senior Ica satu angkatan dengan Arfan. Sesuai namanya, Zayaan memiliki wajah yang cantik dan lemah lembut. Sudah banyak yang hendak melamarnya namun Zayaan tidak berniat menerima mereka. Ia memendam perasaannya pada Arfan. Jika peka, maka Arfan akan mengetahui hal tersebut namun sayang lelaki itu kurang peka terhadap keadaan di sekitarnya apalagi memang banyak yang suka mencari perhatiannya.
"Iya Ukhti Zayaan." Ica tersenyum manis pada Zayaan.
"Itu teman-teman Ukhti yang dari THB?" Zayaan melihat ke arah segerombolan perempuan berpakaian dominan hitam bahkan sebagian besar dari mereka mengenakan cadar.
"Iya, saya permisi mau menyapa mereka dulu."
"Tafadhol Ukh."
Ica berjalan menghampiri teman-temannya dari komunitas THB. Mereka sulit sekali berkumpul seperti ini karena kesibukan dari masing-masing anggota. Mereka menjadwalkan bertemu sebulan sekali untuk menjaga silaturahmi.
"Assalamualaikum." Ica mengucapkan salam yang langsung dijawab oleh teman-temannya. Ica menjabat satu per satu dari mereka dan saling memeluk.
"Alhamdulillah, pertemuan kali ini lengkap." Ica tersenyum melihat teman-temannya. Jika berkumpul, Ica mengenakan pakaian yang berbeda karena komunitas THB biasa mengatur dresscode gamis warna hitam sedangkan dirinya mengenakan rok panjang berwarna peach dan jas Rohis.
"Alhamdulillah, Ukhti Shanum dari Jember hari ini ikut hadir." Ucap salah seorang dari mereka. Ica mencari sosok Shanum, anggota THB paling muda dan bukan dari daerah Banyuwangi. Walaupun komunitas ini memiliki nama Teman Hijrah Banyuwangi tapi mereka tetap menerima anggota dari luar Banyuwangi.
"Mbak Ica." Shanum yang mengenakan cadar menyapa Ica agar tahu keberadaannya. Ica melihat Shanum yang berdiri tepat di hadapannya, Ica membalasanya dengan senyum manis. Ica mengira di balik cadarnya, Shanum juga sedang tersenyum terlihat dari matanya yang sedikit menyipit.
"Semoga acara ini bisa memberikan berkah bagi kita semua ya Ukhti." Seru Ica yang langsung diaminkan oleh semua anggota THB.
Pengurus panti mempersilahkan beberapa dari anggota Rohis dan THB masuk ke dalam panti sebagai perwakilan. Tidak semua bisa masuk karena jumlah mereka lebih dari seratus orang. Sebagian yang lain membantu memasukkan pakaian dan bahan makanan ke dalam panti yang telah dikumpulkan oleh anggota Rohis dan THB.
"Kami dari anggota Rohani Islam Poliwangi dan anggota Teman Hijrah Banyuwangi mengucapkan terimakasih kepada pihak panti yang telah mengizinkan kami berkunjung kesini dan mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila kedatangan kami mengganggu waktu teman-teman disini." Arfan mewakili semuanya mengutarakan maksud kedatangan mereka walaupun sudah ada janji sebelumnya tapi mereka tetap harus mengutamakan bertingkah laku santun.
"Justru kami yang berterimakasih karena kedatangan adik-adik bisa menambah keceriaan anak-anak disini, terimakasih banyak untuk bantuannya semoga dibalas kebaikan oleh Allah subhanuwata'ala." Salah satu pengurus berterimakasih kepada semuanya yang telah datang.
Setelah memasukkan semua bantuan ke dalam panti, mereka melakukan foto bersama sebagai dokumentasi.
Sekitar 30 menit kemudian, mereka pamit pulang agar kegiatan panti berjalan seperti biasa tanpa terganggu. Senyum bahagia dan seruan keceriaan menghiasi setiap anak-anak panti asuhan mengantar para anggota Rohis sebelum mereka meninggalkan halaman panti.
"Ica beneran mau disini dulu, nggak ikut pulang sama yang lain?" Arfan bertanya pada Gysta yang memberitahu bahwa dirinya masih ingin bersama anggota THB.
"Iya, nanti aku pulangnya bisa naik bus." Ica menjawab sembari tersenyum tipis.
"Nanti kalau ada apa-apa telfon aku ya." Ujar Arfan tanpa ragu membuat Ica kebingungan karena menganggap lelaki itu berlebihan, lagi pula dirinya sudah biasa bepergian sendiri atau berdua saja dengan Dianis.
"Telfon Kakak?" Tanya Ica memastikan bahwa ia tidak salah dengar.
"Ummm, maksudnya.." Arfan menggaruk alisnya yang tidak terasa gatal. "Telfon aku atau yang lain karena aku bertanggung jawab atas keselamatan anggota Rohis." Arfan tersenyum canggung, jantungnya berdegup kencang karena telah salah bicara.
"Kak Arfan nggak perlu khawatir, mungkin nanti ada teman-teman juga yang naik bus."
"Yah." Arfan mengangguk beberapa kali. "Kalau gitu aku duluan Ca."
"Iya hati-hati di jalan." Ica tersenyum tipis sebelum Arfan meninggalkan dirinya.
Diam-diam di balik cadar, seorang perempuan memperhatikan pemandangan di depannya, menyaksikan keakraban Arfan dan Ica. Lalu ia tersenyum tipis, senyum yang tidak diketahui siapapun kecuali dirinya.
Ica dan Teman Hijrah Banyuwangi pergi ke taman kota yang jaraknya dekat dengan lokasi panti. Mereka akan berbagi ilmu, pengalaman dan saling menguatkan satu sama lain. Karena berjuang di jalan Allah di zaman sekarang tidaklah mudah, banyak cemoohan yang seringkali mereka dengar. Kadang penampilan yang sedikit berbeda dari yang lain membuat mereka terasingkan.
"Aku pernah waktu itu ke pasar, semua orang liatin dengan pandangan yang aneh, bahkan ada yang lari ketakutan sambil teriak ter*ris." Salah satu dari anggota THB mengungkapkan curahan hatinya dengan mata berkaca-kaca namun bibir di balik cadar itu membentuk senyum kebahagiaan.
Anggota lain ikut merasakan kesedihan dan meneteskan air mata karena dalam Hadits Riwayat Muslim dikatakan bahwa Perumpamaan kaum mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi dan menyayangi, seumpama tubuh, jika satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh yang lain akan susah tidur atau merasakan demam.
Mereka saling menguatkan satu sama lain agar senantiasa istiqomah berada di jalan Allah hingga di akhirat nanti.
***
Daniel terdiam cukup lama di dalam mobil, menimbang-nimbang binatang apa yang akan diberikannya pada Ica. Kemarin gadis itu bergurau ingin Daniel memberikannya binatang tapi Daniel tak menganggap itu hanya candaan, menurutnya ia memang harus memberikan Ica hadiah.
Setelah berpikir lama akhirnya Daniel memutuskan untuk menghentikan mobil nya di depan toko ikan hias, ia akan membeli satu untuk Ica.
"Pak pilihkan saya satu ikan hias yang cantik dan ukurannya tidak terlalu besar." Pinta Daniel pada si pemilik toko.
"Ini bagus Mas, biasanya orang-orang suka pelihara yang lincah dan cerah seperti ini." Bapak tersebut mengambil salah satu ikan berwarna kuning dengan jaring kecil.
"Boleh deh." Daniel mengangguk, ikan adalah pilihan tepat untuk menjadi hewan peliharaan karena perawatannya tidak sulit bagi Ica yang jarang di rumah karena karena kuliah dan bekerja hingga malam.
Daniel memasukkan seekor ikan di dalam plastik dan akuarium kecil lengkap dengan hiasannya ke dalam mobilnya. Tiba-tiba matanya menangkap sosok perempun yang tidak asing baginya, perempuan yang selalu dicarinya, berjalan hendak masuk ke dalam masjid yang jaraknya sekitar 20 meter dari tempat Daniel berdiri saat ini. Dengan gerakan cepat, Daniel menutup pintu mobilnya lalu berlari menghampiri gadis bergamis tersebut.
"Dek Ica!" Daniel berseru, si pemiliki nama spontn membalikkan badan mengentikan langkahnya sedangkan teman yang lain sudah masuk ke dalam masjid.
"Kak Daniel.." Ica terkejut melihat lelaki itu di hadapannya.
"Dek Ica ngapain disini, maksudnya, aku pikir Dek Ica pulang." Daniel tersenyum lebar.
"Aku baru dari panti deket sini terus sekarang mau shalat dhuhur sebelum kembali ke tempat kos." Jelas Ica dengan senang hati.
"Adek sama orang-orang yang pakai penutup wajah itu?" Daniel melihat ke arah pintu masuk masjid, ia melihat Ica bersama mereka baru saja.
"Oh." Ica menutup mulutnya menahan tawa melihat wajah polos Daniel yang mengucapkan 'penutup wajah' "itu namanya cadar bukan penutup wajah."
"Tapi itu membuat wajah mereka tertutup." Kilah Daniel.
"Iya, mulai sekarang Kak Daniel harus menyebutnya cadar." Tegas Ica disertai senyum ceria. "Kak Daniel ada kuliah di hari minggu?" Tanya Ica karena kampus Daniel berada di daerah ini.
"Iya." Daniel mengangguk. Sebenarnya tidak ada jadwal kuliah hari ini, ia kesini hanya untuk membeli ikan hias.
"Ya udah, aku masuk dulu, udah adzan biar nggak ketinggalan shalat berjamaah." Pamit Ica pada Daniel yang sebenarnya masih ingin mengobrol lebih lama dengan perempuan bertubuh mungil itu.
"Iya, aku juga mau pulang, sampai jumpa Dek ica." Daniel memberikan senyum manisnya sebelum mereka berjalan ke arah yang berlawanan. Ica dan Daniel sama-sama menoleh setelah beberapa langkah lalu sama-sama tersenyum malu seperti tertangkap basah karena ketahuan melihat lagi. Akhirnya mereka kembali memandang lurus ke depan berusaha tidak menoleh ke belakang lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!