Pada awal tahun 1293 Masehi atau 1215 tahun Saka Raden Wijaya bersama pasukan Mongol menyerang Daha dan berhasil menundukkan Jayakatwang.
Pasukan mongol akhirnya bersedia membantu Raden Wijaya dengan syarat mereka harus tunduk pada Kubilai Khan. Setelah berhasil menduduki Daha, Raden Wijaya kemudian meminta izin untuk kembali ke Majapahit demi mempersiapkan penyerahan dirinya.
Setelah sampai di Majapahit, Wijaya secara tiba tiba membunuh para prajurit mongol yang mengawalnya. Dengan kesaktian yang dimilikinya bukan hal sulit bagi Raden Wijaya membunuh mereka dalam satu kali serangan.
Raden Wijaya kemudian menyusun rencana untuk memukul mundur pasukan Mongol saat mereka sedang berpesta merayakan kemenangan. Raden Wijaya memimpin pasukannya bersama beberapa Abdi setianya macam Lembu sora, Nambi dan ronggolawe menyerang mereka. Serangan yang dilakukan tiba tiba itu ditambah dengan banyak prajurit Mongol dalam keadaan mabuk membuat Raden Wijaya berhasil memukul mundur mereka.
Kehilangan banyak prajuritnya membuat Ike Mese, Komandan pasukan memutuskan menarik pasukannya dan meninggalkan tanah Jawa.
Setelah situasi berhasil dikendalikan Raden Wijaya kemudian Mendirikan kerajaan Majapahit dan menobatkan dirinya sendiri menjadi raja dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana.
Semua rakyat bersuka cita menyambut Raden Wijaya sebagai harapan baru karena selama ini mereka tertindas akibat perlakuan semena mena Jayakatwang.
Dihari yang sama dengan penobatan Raden Wijaya sebagai Raja Majapahit, seorang pria paruh baya terlihat tersenyum puas memandang sebuah Pedang dengan gagang berbentuk Naga kembar di tempat persembunyiannya.
Namun tiba tiba senyumnya menghilang saat Aura merah mulai menyelimuti pedang ditangannya. Dia segera menyarungkan kembali pedang itu sambil menggeleng pelan.
“Energi Eyang Wesi Megantara benar benar sulit ditaklukkan.” Raut Wajah Mpu Supo menjadi buruk saat mengetahui Pedang pusaka yang diciptakannya masih belum bisa dikendalikan.
Kegelisahan Mpu Supo dapat dipahami mengingat umurnya yang sudah sepuh, dia berencana menjadikan Pedang pusaka itu sebagai karya terakhirnya.
Dibanding Mpu Gandring dan Mpu Tantular, nama Mpu Supo memang kalah mentereng bahkan cenderung tidak dikenal. Kalahnya pamor Mpu Supo dari dua kompetitornya itu bukan karena ilmu kanuragan atau pusaka nya yang kalah sakti namun lebih karena misteriusnya keberadaan Mpu Supo.
Mpu Supo tak pernah menampakkan diri di dunia persilatan dan lebih memilih menyendiri di Telaga Kayangan api. Sebuah tempat yang dianggap mitos oleh dunia persilatan karena belum pernah ada yang benar benar menemukan tempat itu.
Mpu Supo terus memandangi pedang berwarna hitam pekat ditangannya itu sambil merapal Ajian Lebur Saketi untuk menaklukkan Roh Eyang Wesi Megantara yang merupakan mahluk gaib terkuat di tanah jawa, namun semakin dia berusaha menekan kekuatan Eyang Wesi semakin kuat pula aura merah yang berusaha keluar dari pedang itu.
Mpu Supo mengumpat dalam hati, dia mulai menyesal karena mengikuti petunjuk yang muncul di mimpinya berkali kali. Semua berawal saat dia sedang bertapa disebuah gua di Telaga kayangan api sepuluh tahun silam.
Mpu supo merasa didatangi oleh seorang kakek tua dengan jubah lusuh yang memintanya membuat sebuah pedang yang akan meredam segala angkara murka di Bumi. Kakek tua itu berpesan untuk memulai proses pembuatan pedang pusaka saat terjadi ledakan di langit.
Mpu Supo awalnya tak mengerti maksud ucapan kakek tua itu sebelum sebuah meteor meledak dan jatuh didekat hutan larangan. Mpu supo segera melesat kearah hutan larangan dengan ilmu meringankan tubuhnya dan menemukan sebuah batu Meteor di hutan itu.
Mpu sopo kemudian menjadikan batu meteor itu sebagai bahan campuran bersama logam terbaik untuk membuat sebuah pedang pusaka.
Mpu Supo kembali dituntun oleh kakek tua itu untuk bertapa di gunung Merapi selama sepuluh tahun untuk memasukkan Ruh pusaka kedalam pedangnya.
Hasilnya, sebuah pusaka yang diberi nama Pedang Megantara yang kini ada digenggaman nya, sebuah pedang pusaka terkuat yang sampai saat ini belum bisa ditaklukkannya.
Sebagai pemilik Ajian Lebur Saketi, Mpu Supo adalah salah satu orang yang paling disegani di dunia persilatan. Puluhan pusaka sakti telah dia ciptakan dan taklukkan namun hanya pedang Megantara yang sampai detik ini belum berhasil ditaklukkannya.
“Apakah aku salah telah menciptakan pusaka ini? Kekuatan Eyang Wesi ditambah aura jahat yang berasal dari batu langit itu membuat pedang ini semakin liar. Bagaimana jika ternyata aku menciptakan pusaka yang justru menjadi pemicu angkara murka di bumi Majapahit?," Mpu Supo yang larut dalam kekhawatirannya tidak menyadari aura merah yang keluar dari pedang ditangannya perlahan meresap ke setiap pori di kulitnya.
Dia kemudian meletakan pedang itu ditempat biasa menaruh pusaka ciptaannya dan melangkah pergi. Mpu Supo ingin membuka kembali kitab Serat Jiwa untuk mencari cara menaklukkan pusaka ciptaannya.
Kitab Serat Jiwa adalah sebuah kitab ilmu kanuragan tingkat tinggi ciptaannya yang memadukan energi alam dengan tenaga dalam. Dia berharap dapat menemukan solusi menaklukan pedang Megantara.
***
( Kadipaten Tuban )
Ketika Matahari masih malu malu menampakkan sinarnya di Kadipaten Tuban, terlihat sesosok gadis cantik sedang bertarung dengan beberapa pendekar bertubuh kekar. Gerakan pedang yang ditunjukkan gadis itu menandakan ilmu kanuragannya lumayan tinggi.
“Hanya ini kemampuan pendekar Tengkorak merah? Aku benar benar kecewa,” Ucap gadis itu penuh percaya diri. Dia berputar memainkan pedangnya dengan lincah. Meskipun tubuhnya tergolong mungil namun gadis itu bisa menutupinya dengan kecepatannya.
“Tak kusangka cucu tua bangka itu hebat juga," ucap Rajendra kagum. Sebagai murid paling berbakat Perguruan Tengkorak merah yang merupakan perguruan terbesar di tanah Jawa, tak mudah bagi Rajendra untuk kagum pada kemampuan seseorang.
Rajendra masih belum bergerak dari tempatnya, dia terus mengamati jurus pedang Embun perusak hati milik Perguruan Angin biru yang diperagakan Arkadewi.
Perguruan Angin Biru dan Tengkorak merah merupakan dua perguruan terbesar di tanah jawa. Dua perguruan yang mewakili masing masing aliran ini saling bersaing dalam ilmu kanuragan.
Rajendra menggelengkan kepalanya ketika para muridnya tak berkutik dihadapan jurus pedang embun perusak hati.
"Kalian harus aku didik dengan lebih keras lagi," Rajendra mengeluarkan aura hitam untuk menekan Arkadewi sebelum mencabut pedangnya. "Akan kurusak wajah cantikmu nona," pria itu menyeringai sesaat sebelum menyerang Arkadewi.
"Sial, aku dalam masalah besar," Arkadewi tersenyum kecut saat melihat Rajendra bergerak cepat kearahnya. Dia tau betul seberapa tinggi Ilmu kanuragan murid terbaik Tengkorak merah yang sudah menguasai Ilmu Tarian Iblis pembakar sukma di usia yang sangat muda.
Saat pedang keduanya beradu di udara, puluhan murid tengkorak merah mundur bersamaan, mereka tidak ingin terkena efek jurus pedang Rajendra yang sangat mematikan.
Hanya dalam beberapa tarikan nafas Rajendra sudah mampu mendesak Arkadewi mundur, dia bahkan mempermainkan gadis itu dengan menyerang ke satu titik untuk
Arkadewi yang mulai kehabisan tenaga terlihat kesal karena Rajendra selalu mengarahkan serangan ke wajahnya.
"Mau sampai kapan kau melindungi wajah cantikmu," Rajendra meningkatkan kecepatannya. Pola serangan pedangnya semakin sulit ditebak.
Saat Rajendra sudah berhasil mendekati gadis itu, di memutar tubuhnya dan mengayunkan pedangnya tepat kearah wajah Arkadewi.
Arkadewi yang tidak siap menerima serangan ini terpaksa melindungi wajahnya dengan kedua tangannya yang telah dialiri tenaga dalam.
Arkadewi terpental mundur dengan luka dikedua tangannya.
"Kau sepertinya terlalu sayang dengan wajahmu ya? hal itu semakin membuatku ingin merusaknya," Rajendra melangkah mendekati Arkadewi yang terlihat ketakutan.
Arkadewi yang sudah putus asa berniat melakukan serangan terakhirnya. Kalaupun dia harus mati hari ini maka Rajendra harus ikut mati.
"Kau masih belum menyerah ya?," Rajendra tersenyum sinis melihat Arkadewi merapal jurusnya.
Saat keduanya hampir kembali bertarung puluhan prajurit Tuban tiba tiba muncul dan mendekati mereka.
"Hei! Apa yang kalian lakukan?," Salah satu prajurit berteriak keras.
"Sial! Pasukan Ranggalawe selalu merepotkan". Rajendra memberi tanda muridnya untuk bersiap menyerang.
Kelengahan Rajendra dimanfaatkan Arkadewi untuk melarikan diri. Dia menggunakan sisa sisa tenaga dalamnya untuk melesat secepat mungkin.
Raut wajah Rajendra berubah buruk saat mengetahui Arkadewi melarikan diri. Dia bisa saja mengejarnya namun muridnya sedang bertempur melawan prajurit Tuban.
"Aji, bawa dua orang untuk mengejar gadis itu, biar aku yang menghadapi antek antek Majapahit ini". Rajendra mengeluarkan pedang pusaka nya dan mulai menyerang.
"Baik kakang," Aji bersama dua pendekar lainnya memisahkan diri dari rombongan dan mengejar Arkadewi.
***
Fiksi sejarah pertama Autor.. Semoga bisa diterima para Reader PNA..
Terima kasih dan ditunggu dukungannya...
Arkadewi melesat cepat diantara rimbunnya hutan di pinggiran kadipaten Tuban. Hujan deras disertai petir tak menyurutkan nyalinya, dia terus berlari masuk hutan demi menghindari kejaran pendekar Tengkorak merah.
Terbersit rasa penyesalan dalam hatinya saat teringat kembali pertengkaran dengan ayahnya yang merupakan ketua perguruan Angin biru. Sebuah perguruan aliran putih terbesar di tanah Majapahit ini merupakan musuh bebuyutan Tengkorak merah.
Arkadewi melarikan diri karena ayahnya memaksanya menikah dengan murid paling berbakat perguruan Elang Sakti. Ki Warta ingin membangun kekuatan untuk melawan Tengkorak merah yang semakin kuat saat berhasil menemukan Kitab Panca geni.
"Semua gara gara ambisi ayah," umpat Arkadewi sambil menahan rasa sakit akibat luka sabetan pedang Rajendra. Tetesan air hujan seolah menyamarkan tangisan gadis cantik itu, dia merasa ayahnya tega mengorbankan putri satu satunya demi ilmu kanuragan.
Harapannya kembali muncul saat mendengar suara air terjun di kejauhan.
"Sepertinya mereka tidak mengejar ku lagi," Arkadewi menoleh kebelakang sesaat sebelum mempercepat langkahnya kearah suara air terjun.
Mata Arkadewi makin berbinar saat samar samar melihat seorang pemuda seperti sedang bersemedi dipinggir sungai. Dia yakin siapapun orangnya dia adalah pendekar tingkat tinggi dunia persilatan karena berani bertapa di hutan yang mencekam ini.
"Semoga dia mau membantuku lepas dari kejaran Tengkorak merah," gumamnya dalam hati.
Saat Arkadewi hanya berjarak beberapa meter dari pemuda itu, dia menghentikan langkahnya tiba tiba. Wajahnya berubah kecut dan dipenuhi amarah setelah mengetahui jika pemuda dihadapannya itu bukan sedang bersemedi tapi sedang Buang air besar.
Pandangan mata mereka berdua bertemu sesaat sebelum Arkadewi melampiaskan kekesalannya.
"Hei! Apa kau sudah gila? Menatap seorang gadis sambil berjongkok seperti itu dengan wajah seolah tidak berdosa?," Arkadewi berteriak pada pemuda dihadapannya. Dia langsung membalikan tubuhnya tanpa menunggu jawaban pemuda yang dimarahinya.
"Hei nona, harusnya aku yang marah padamu. Kau datang entah dari mana dan mengintip ku lalu seenaknya menuduhku berbuat tidak sopan padamu? Kurasa ilmu kanuragan membuat isi kepalamu terganggu". Ucap pemuda itu kesal namun dia masih belum beranjak dari posisinya. Pemuda itu menatap tetesan darah yang jatuh dari kedua tangan Arkadewi sambil menggeleng pelan.
"Kalian orang orang dunia persilatan memang bodoh, saling membunuh satu sama lain demi sesuatu yang semu". Kali ini raut wajah pemuda itu berubah dingin, dia seperti sangat membenci dunia persilatan dan isinya.
"Setidaknya kami tidak pernah melakukan hal bodoh disaat hujan seperti ini". Ucap Arkadewi sinis.
"Kau pikir buang air hal bodoh? apa kau tak pernah melakukannya?".
"Tapi kami tak pernah melakukannya dibawah air hujan seperti ini dan cepat pakai celanamu bodoh!".
Pemuda itu terdiam sejenak, dia baru sadar telah dalam posisi berdiri dan belum mengenakan pakaiannya.
"Apa salahnya sekali sekali tidak pakai celana?". Pemuda itu tidak mau kalah.
"Kau memang bodoh". Saat Arkadewi hendak memukul pemuda itu tiba tiba sebuah panah melesat kearahnya dan tepat mengenai perutnya. Tubuh Arkadewi roboh ketanah terkena panah beracun itu.
"Mereka masih terus mengejarku". Pandangan Arkadewi perlahan memudar sebelum dia tak sadarkan diri.
"Maaf nona aku harus pergi, aku paling tidak suka terlibat masalah dunia persilatan". Pemuda itu berlari menjauhi tubuh Arkadewi yang tergeletak dipinggir sungai. Namun belum jauh melangkah tiba tiba pemuda itu menghentikan langkahnya, dia terlihat bingung sesaat.
Beberapa pendekar terlihat mendekat saat anak panah tepat mengenai Arkadewi.
"Sial!". Pemuda itu menggeleng pelan sebelum mendekati gadis itu dan menyambar tubuhnya dengan cepat. Dia kemudian berlari diantara derasnya air sungai, masuk kehutan dan menghilang di kejauhan.
Tak lama setelah kepergian pemuda itu 4 orang pendekar muncul dari dalam hutan.
"Apa kau yakin dia terkena panah beracun milikmu?". beberapa pendekar tengkorak merah terlihat mencari Arkadewi di setiap sudut sungai.
"Panahku memang mengenainya namun sepertinya ada yang membawanya pergi". Ucap Aji sambil memegang darah segar yang ada di batu. "Dia membawa Arkadewi kearah sana, cepat kejar sebelum jauh". Perintah Aji pada pendekar lainnya.
***
Arya Wijaya memasuki sebuah gua sambil menggotong tubuh Arkadewi. Pakaiannya kini dipenuhi darah gadis itu.
"Apa yang sebenarnya kalian pikirkan, saling bunuh seolah nyawa tidak ada harganya". Arya meletakan tubuh Arkadewi disebuah batu yang biasa dia gunakan untuk tidur.
"Maaf nona aku terpaksa melakukan ini". Gumam Arya sambil merobek sedikit pakaian yang dikenakan Arkadewi. Dia memeriksa luka gadis itu dan mencabut panah beracun yang menancap diperutnya. Arya mencium ujung anak panah itu dan terlihat mengingat ingat sesuatu.
"Racun Mawar hitam? Aku harus segera mencari penawarnya sebelum terlambat". Arya melangkah keluar untuk mencari tumbuhan penawar racun.
Sepeninggal Arya Wijaya, Arkadewi terlihat berusaha membuka matanya. Dia merasakan sakit yang sangat ditubuhnya.
"Ayah...". Ucap Arkadewi seperti mengigau, tubuhnya menggigil menandakan racun Mawar hitam mulai menjalar ditubuhnya.
Racun Mawar hitam menjadi sangat terkenal di dunia persilatan karena pernah digunakan oleh pendekar wanita terkuat bernama Mentari ribuan tahun lalu. Racun Mawar hitam sangat ditakuti karena bisa membunuh orang dalam hitungan jam. Racun itu akan menyiksa orang yang terkena sebelum menghentikan seluruh organ tubuh.
"Bagaimana para pendekar itu bisa memiliki racun legendaris itu". Gumam Arya saat memasuki gua sambil membawa beberapa tumbuhan yang akan digunakannya sebagai penawar racun.
Arya Wijaya langsung meramu tumbuhan yang dibawanya karena melihat Arkadewi terus menggigil sambil sesekali mengigau. Setelah ramuannya jadi, Arya langsung meminumkannya pada Arkadewi.
"Siapa sebenarnya gadis ini? mengapa dia dikejar kejar pada pendekar itu". Gumam Arya dalam hati.
Setelah tubuh Arkadewi terlihat tenang dan tidak menggigil, Arya menyenderkan tubuhnya di dinding gua. Dia menghela nafas panjang sebelum memejamkan matanya dan mengistirahatkan tubuhnya.
"Hei, mau sampai kapan kau terus lari seperti pengecut! Leluhurmu akan menangis malu saat melihat keturunannya tidak berguna sepertimu". Seorang pria tua yang diselimuti kobaran api membentak Arya Wijaya.
"Apa gunanya aku belajar Ilmu kanuragan jika akhirnya tetap kehilangan orang orang yang kusayang. Sebaiknya kau pergi, apapun yang kau katakan aku tak akan merubah keputusanku".
"Dasar bodoh! seharusnya di usiamu saat ini kau sudah menjadi pendekar hebat jika kau mau". Pria itu mengeluarkan sebuah keris dari tangannya dan menghujamkan ke tubuh Arya sekuat tenaga.
Arya Wijaya menjerit ketakutan sebelum dia terbangun dari mimpinya. Arya Wijaya memeriksa perutnya yang tadi tertusuk keris di dalam mimpinya. Sebuah tanda menghitam terlihat tepat ditempat keris tadi menancap.
"Mimpi itu lagi, siapa sebenarnya kakek tua itu". Gumam Arya dalam hati.
Arya Wijaya melangkah mendekati Arkadewi yang masih belum sadarkan diri. Dia memeriksa tubuh gadis itu dan mengangguk anggukan kepalanya.
"Racunnya sudah mulai menghilang dari tubuhnya, Syukurlah aku tidak terlambat memberinya penawar racun".
Arya kemudian duduk kembali ditempatnya dan mengambil sebuah buku yang selalu dibawanya sejak dia masih kecil. Buku yang sudah kumel itu dibukanya beberapa halaman sebelum ditutupnya kembali.
"Apa sebenarnya maksud orang itu memberikan kitab ini padaku". Ucap Arya Wijaya sebelum memasukan kembali kitab itu kedalam pakaiannya.
Saat ini Arya Wijaya belum menyadari jika kitab itu akan menjadikannya pendekar terkuat bahkan mungkin melebihi kehebatan Pendekar Pengguna Naga api Sabrang Damar.
"Selalu ada harga untuk setiap kekuatan besar". Arya mengingat ingat tulisan awal di kitab yang baru dibacanya. "Itulah kenapa aku paling membenci Ilmu kanuragan, hal hal konyol yang harus dibayar dengan sesuatu yang tidak sedikit". Dia menggelengkan kepalanya berkali kali.
***
Sebuah pukulan keras membangunkan Arya dari tidur lelapnya. Malas malas dia membuka matanya yang masih terasa berat sambil memegang tubuhnya yang terasa sakit.
"Apa yang kau lakukan padaku saat aku tak sadarkan diri? Jawab!". Arkadewi membentak Arya yang masih berusaha mencerna situasinya.
"Kau tidak bisa membangunkan orang dengan cara yang lebih lembut ya nona?". Arya protes dengan cara membangunkan gadis itu.
"Jawab aku! apa yang kau lakukan saat aku tak sadarkan diri". Arkadewi terlihat memegangi pakaiannya yang sudah robek di bagian perutnya. Air matanya menetes dari bola matanya.
"Jika aku tidak merobek pakaianmu mungkin saat ini kau sudah menjadi mayat. Seenaknya main tuduh, kau kira apa yang bisa didapat dari tubuh kurus kerempeng sepertimu hah?".
Arkadewi semakin emosi setelah mendapat jawaban dari Arya Wijaya. Dia melangkah pergi keluar gua meninggalkan Arya sendirian.
"Wanita itu benar benar aneh". Ucap Arya sambil menatap kepergian Arkadewi.
(Perguruan Angin biru)
Ki Warta tampak duduk di kursi kebesarannya yang sudah dia duduki hampir dua puluh tahun lamanya. Dari tempat duduknya itulah dia menancapkan pengaruh perguruan Angin biru di dunia persilatan.
Namun kali ini ada yang sedikit berbeda, Ki Warta tampak gelisah di atas kursi megah itu. Sesekali dia menggebrak meja menahan amarah sambil memejamkan matanya.
"Kemana perginya anak itu, bagaimana dia bisa berfikir untuk mempermalukan ku". Ucap Ki Warta geram.
Tak lama salah satu tetua Angin biru mengetuk ruangannya.
"Ketua, Aku ingin melaporkan sesuatu". Ucap Laksmana pelan.
"Masuklah". Balas Ki Warta sedikit bersemangat. Sejak perginya putri semata wayangnya, ki Warta selalu menunggu kabar keberadaan putrinya diruang kerjanya.
"Apa kau sudah menemukan keberadaan Dewi?". Tanya ki Warta.
Laksmana mengangguk ragu "Mahesa mendapat kabar jika nona Dewi berada di Kadipaten Tuban namun....". Laksmana terlihat ragu melanjutkan ucapannya.
"Apa terjadi sesuatu pada putriku?".
"Beberapa orang melihat nona Dewi diserang oleh beberapa pendekar Tengkorak merah ketua". Laksmana menundukkan kepalanya, dia yakin ketuanya akan murka mengingat hubungan Angin biru dengan Tengkorak merah.
"Apa katamu?". Wartha menggebrak mejanya. "Mereka sudah berani secara terbuka menyerang putriku, jika aku tidak membunuh mereka seumur hidupku tak akan pernah tenang".
"Ketua mohon bersabar, yang terpenting saat ini adalah menyelamatkan nona Dewi. Aku telah mengutus Mahesa untuk menjemput nona, semoga dia cepat menemukan nona Dewi". Laksmana menenangkan Warta.
"Bagaimana aku bisa bersabar ketika putriku diserang". Suara Warta meninggi.
"Jika ketua sendiri yang ingin menjemput nona aku akan menemani anda. Aku juga sudah menulis surat pada tuan Rangga lawe untuk membantu menyisir wayah Tuban".
Warta menarik nafasnya perlahan, dia mencoba menenangkan diri. Meninggalkan perguruan saat Tengkorak merah sedang menebar ancaman bukan pilihan bijak. Tengkorak merah bisa menyerang kapan saja jika mengetahui Warta meninggalkan perguruan.
"Baiklah, aku akan menunggu kabar darimu. Pastikan putriku selamat".
"Aku akan berusaha ketua" . Laksmana menundukkan kepalanya sebelum melangkah keluar.
"Anak itu keras kepala sepertimu Wulan". Warta bergumam dalam hati. Sejak ditinggal ibunya, Arkadewi cenderung menjadi anak yang memberontak. Keinginannya untuk menjadi pendekar wanita seperti ibunya kadang menjadi pemicu pertengkaran mereka berdua.
***
Arkadewi berjalan menjauh dari gua sambil mengumpat, Matanya masih berair namun sudah sedikit tenang setelah mendengar jawaban Arya.
"Ibu, seandainya kau masih hidup mungkin ayah tidak akan berbuat seenaknya". Arkadewi memutuskan duduk di sebuah batu yang terletak tak jauh dari gua.
"Jika aku pergi sekarang sepertinya akan sangat berbahaya, mereka pasti masih mencariku".
Arkadewi kemudian memutuskan kembali masuk gua. Bagaimanapun tetap bersama Arya adalah pilihan yang paling baik mengingat Arya sepertinya mengenal baik hutan ini.
Arya hanya tersenyum melihat tingkah Arkadewi yang seperti anak kecil.
"Makanlah, kau membutuhkannya untuk memulihkan tubuhmu". Arya menyodorkan beberapa buah yang dia ambil saat mencari ramuan racun mawar hitam.
"Apa kau tinggal di hutan ini?". Tanya Arkadewi sambil memakan buah yang tadi diberikan Arya padanya.
"Bisa dikatakan seperti itu".
"Apa kau punya orang tua? atau kau melarikan diri dari kedua orang tuamu kemudian terdampar disini?".
"Hampir tepat, aku memang melarikan diri ketempat ini namun bukan dari kedua orang tuaku. Aku melarikan diri karena muak melihat kalian yang menamakan diri pendekar berbuat seenaknya". Ucap Arya dingin.
"Kau sepertinya sangat membenci dunia persilatan". Arkadewi mengernyitkan dahinya.
Arya tidak menjawab pertanyaan Arkadewi, dia lebih memilih menghabiskan makanannya.
Arkadewi terus menatap Arya heran, Sebagai anak dari ketua perguruan dia diberi perlakuan khusus untuk mempelajari ilmu kanuragan. Arkadewi langsung dibimbing oleh Laksmana, orang kepercayaan ayahnya.
Dia telah menguasai jurus embun perusak hati yang merupakan jurus terkuat milik Angin biru. Hal ini memungkinkan dirinya bisa merasakan tenaga dalam seseorang namun kali ini dia tidak dapat merasakan sama sekali tenaga dalam ditubuh Arya.
"Apa dia menyembunyikan kemampuannya dariku". Gumam Arkadewi dalam hati.
Beberapa saat kemudian Arya tampak menghentikan makannya, raut wajahnya terlihat kesal.
"Ayo kita pergi". Ucap Arya sambil membereskan beberapa pakaiannya.
"Pergi?". Arkadewi mengernyitkan dahinya.
"Kau tidak ingin tertangkap bukan? ada 3 orang pendekar menuju kemari, salah satunya memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi". Setelah membereskan barangnya, Arya bergegas keluar dari gua. "Ayo cepat!". Arya berbicara setengah berbisik.
"Ah baik". Tanpa pikir panjang Arkadewi menyambar pedangnya dan mengikuti kemana Arya melangkah. Dia terus menatap punggung pemuda dihadapannya itu.
"Dia bisa merasakan kehadiran pendekar dari jarak yang sangat jauh? bahkan dengan sangat detail. Apakah dia benar benar pendekar pilih tanding dunia persilatan". Gumam Arkadewi dalam hati, namun dia buru buru membuang jauh pikirannya saat terbayang bagaimana mereka pertama bertemu dipinggir sungai.
"Mana ada pendekar bodoh seperti dirinya".
Langkah Aya terhenti saat beberapa anak panah tiba tiba melesat kearahnya.
"Sial! Kita dikepung, ayo ikuti aku". Arya berlari sedikit memutar kearah kiri untuk mencari jalan pintas lainnya namun sebuah panah yang melesat cepat dan menancap tepat dihadapannya membuat gerakan Arya terhenti. Dia terjatuh dan menjerit kesakitan.
"Gawat! Dia tidak menguasai ilmu kanuragan apapun". Arkadewi melesat kearah Arya dan menangkis serangan serangan panah yang mengarah padanya.
"Hei kau baik baik saja? kita harus cepat pergi dari sini". Ucap Arkadewi sambil berusaha memapah tubuh Arya.
"Apanya yang baik baik saja? kau lihat darah ini terus menetes dari kakiku. Bagaimana jika darahku habis, apa kau mau bertanggung jawab?". Arya berteriak keras.
Ada rasa bersalah dalam diri Arkadewi pada pemuda yang menyelamatkan nyawanya itu. Mereka terus berlari masuk hutan tanpa memperdulikan arah, yang ada dipikiran mereka hanya berlari kedepan demi menghindari kejaran pendekar tengkorak merah itu.
"Hei beristirahatlah sejenak, sepertinya lukaku semakin parah". Arya meringis kesakitan.
Merasa mereka telah berlari cukup jauh dan tidak ada tanda tanda pengejaran lagi, Arkadewi menyetujui permintaan Arya sambil mengobati lukanya. Dia meletakan tubuh Arya dibawah pohon rindang.
"Coba kulihat lukamu". Ucap Arkadewi khawatir, dia merasa sangat bersalah jika pemuda yang tidak ada hubungannya dengan dunia persilatan ikut terluka.
Namun raut wajah Arkadewi berubah seketika saat melihat luka goresan kecil di kaki Arya.
"Hei bodoh, ini hanya luka gores biasa, bagaimana kau bisa berteriak seperti orang terluka parah. Apa kau selemah itu?". Umpat Arkadewi.
"Luka ya tetap luka mau sekecil apapun tetap sakit". Ujar Arya tak mau kalah.
"Dasar bodoh". Arkadewi menginjak luka gores yang di kaki Arya membuat pemuda itu semakin menjerit.
"Kau tidak bisa memperlakukan orang dengan lembut ya? bagaimana jika luka ini semakin parah dan aku kehilangan kakiku?".
"Apa luka sekecil itu bisa membahayakan nyawamu?". Arkadewi tersenyum sinis.
Pertengkaran mereka terhenti saat Aji tiba tiba muncul dihadapan mereka.
"Kalian pikir bisa lari dariku?". Aji mencabut pedangnya dan bersiap menyerang.
Arkadewi mengumpat dalam hati, dengan kondisinya saat ini akan sulit melawan salah satu pendekar kuat Tengkorak merah.
"Hei, ayo kita serang bersamaan, mungkin kita memiliki harapan untuk menang". Arkadewi memutar pedangnya ke depan.
"Kau saja yang urus dia, kakiku sedang terluka". Ucap Arya polos.
"Dasar lemah! Lama lama kupotong kaki tidak berguna itu". Hardik Arkadewi.
"Apa kau sudah gila, seenaknya main potong kaki orang lain".
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!