NovelToon NovelToon

Love Me Please, Mas Duda

01 - KAMBING HITAM

Sebuah mobil sport mewah keluaran terbaru berhenti tepat di depan sebuah kafe yang cukup terkenal di kalangan para muda mudi terutama para mahasiswa di salah satu kampus bergengsi di kota Jakarta. Kafe yang dekat dengan universitas Nusa Bangsa ini sering dijadikan tempat nongkrong anak-anak muda.

Namun pagi ini, kafe masih sepi karena baru saja buka. Seorang gadis cantik turun dari mobil sport yang tadi memasuki halaman parkir kafe.

Dengan tersenyum manis gadis itu berjalan memasuki kafe dengan mengendap-endap karena ingin mengejutkan sahabatnya. Dilihatnya sang sahabat sedang mengelap meja kafe dan nampak sedang bersenandung kecil.

Gadis itu memeluk sahabatnya dari belakang untuk mengejutkannya.

"Astaga! Shezi! Bikin kaget saja!" pekik si gadis pelayan kafe.

"Hehe, kaget ya? Maaf! Tapi aku memang sengaja mengejutkanmu!"

"Ini masih pagi, kamu mau kemana?" tanya si gadis pelayan.

"Aku mau mengajakmu pergi."

"Tapi Zi, aku kan sedang bekerja. Hari ini aku kuliah sore, makanya aku ambil shift pagi."

"Astaga, Dea! Kafe ini milikku, jadi kamu jangan khawatir. Hari ini kamu akan kuizinkan untuk libur selama satu hari."

Si gadis pelayan hanya menghela napas mendengar permintaan sahabat baiknya ini. Namanya Midea Lestari, biasa dipanggil Dea. Gadis 20 tahun ini harus rela bekerja dan kuliah secara bersamaan. Dia harus menghidupi dirinya sendiri selama menempuh pendidikan di kota. Beasiswa yang dia dapatkan tidak memberikan uang bulanan untuknya hidup sehari-hari.

Alhasil Dea harus bekerja paruh waktu untuk bisa memenuhi kehidupannya di kota ini. Beruntung Dea bertemu dengan Shezi, gadis kaya yang memiliki sebuah usaha kafe. Dea bisa bekerja disana dengan menyesuaikan jadwal kuliahnya.

"Ayolah, De! Hari ini keluarga besarku mengadakan pesta di puncak. Aku ingin mengajakmu kesana."

"Keluarga besarmu? Tidak, Zi. Siapa aku sampai harus ikut acara keluargamu?" Dengan halus Dea menolaknya.

"Kau adalah sahabatku, Dea! Tentu saja kau sudah seperti keluargaku!" Shezi memeluk Dea. Memang benar Dea sudah seperti saudara untuk Shezi.

Shezi si anak orang kaya tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya yang sibuk bekerja. Dia juga hanya seorang anak tunggal. Beruntung ada Dea yang selalu siap mendengar keluh kesahnya dan menjadi saudarinya.

"Tapi tetap saja aku tidak enak dengan karyawan lain, Zi. Mereka pasti akan bergosip tentangku."

Shezi menatap para pelayan lain yang juga sedang membersihkan kafe.

"Apa kau pikir mereka akan protes? Apa mereka siap jika harus dipecat?" Shezi mengatakan itu dengan cukup keras. Shezi selalu mengeluarkan ancaman jika ada yang berani bergosip tentang Dea.

Shezi memang menggaji karyawannya tidak main-main. Dia berani mengeluarkan uang cukup banyak hanya untuk membayar para karyawan. Menurutnya, uang bisa mengendalikan segalanya. Itulah yang kadang membuat Dea geleng-geleng kepala. Tapi Dea juga hanya bisa diam karena Dea juga butuh uang untuk dirinya hidup.

Dengan sedikit terpaksa, Dea akhirnya menyetujui untuk pergi dengan Shezi. Dea melepas celemek yang sedari tadi menempel di tubuhnya.

"maaf ya teman-teman. Aku benar-benar tidak bisa menolak si Nona Muda. Kita semua akan celaka jika aku menolak," ucap Dea merasa tak enak dengan karyawan lainnya.

"Tidak apa, De. Hanya dia yang mau menggaji tinggi pelayan kafe seperti kita. Kami bisa mengatasi semuanya disini," jawab seorang teman Dea.

"Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu ya."

Dea keluar kafe dengan membawa tas slempang andalannya. Ia melihat Shezi sudah berdiri di samping sebuah mobil sport berwarna merah.

"Mobil siapa, Zi?" tanya Dea yang terperangah melihat mobil baru milik Shezi.

"Keren kan? Papa membelikanku mobil baru karena hari ini dia tidak bisa ikut datang ke acara keluarga besar."

Shezi membuka pintu mobil dan mempersilakan Dea untuk masuk. Banyak yang berpikir jika Dea adalah gadis yang beruntung karena bisa menaiki mobil mewah milik Shezi.

Selama perjalanan, mereka berbincang mengenai banyak hal terutama yang berhubungan dengan kampus. Dea adalah mahasiswi keguruan. Cita-citanya sedari kecil adalah menjadi seorang guru.

Dengan kepintarannya Dea berhasil mendapatkan beasiswa penuh dari universitas. Kini tinggal selangkah kaki impiannya untuk menjadi guru akan terwujud. Rencananya setelah lulus, Dea akan kembali ke kampungnya dan menjadi pengajar disana.

Jalanan cukup lengang pagi ini ke arah puncak karena memang ini bukan akhir pekan. Shezi yang ingin merasakan sensasi berbeda dengan mobilnya, menginjak pedal gas lebih dalam hingga menambah kecepatan laju mobil.

"Zi, hati-hati! Jangan terlalu ngebut!" Lerai Dea.

"Kamu tenang saja! Jalannya sepi kok!"

"Tapi, Zi. Tetap saja kita harus mematuhi aturan lalu lintas."

"Iya, De. Tenang saja! Lagian sebentar lagi juga sampai kok di villa milik pamanku."

Mata Dea melotot ketika Shezi dengan sengaja menerobos lampu merah.

"Zi, itu tadi lampu merah!" pekik Dea

"Tidak ada polisi yang jaga! Jalan terus saja!"

Dea bingung dengan pemikiran Shezi yang selalu menganggap enteng segala hal. Dea hanya bisa berpegangan pada pegangan mobil karena mobil melaju cukup kencang.

Tanpa Shezi sadari sebuah mobil melintas dari arah kiri. Ini adalah kesalah Shezi karena ia menerobos lampu merah.

"Shezi, awas!" Teriak Dea yang merasa tabrakan tak mungkin bisa dihindari.

Shezi tak bisa mengendalikan laju mobil dan menabrak mobil yang baru saja melintas. Shezi langsung membanting kemudi agar mobil tidak terguling. Beruntung Shezi tetap menginjak pedal rem dan membuat mobilnya berhenti meski harus menghantas pembatas jalan.

Kepala Dea harus terbentur kaca mobil dan membuatnya tak sadarkan diri. Sementara Shezi masih menutup matanya. Mobil barunya ini memiliki sistem pengaman yang cukup bagus hingga tidak mengakibatkan si pengemudi terluka. Air bag mobil berhasil menyelamatkan nyawa Dea dan Shezi.

Namun hal berbeda dengan mobil yang ditabrak oleh Shezi. Mobil itu hampir terjatuh di jurang. Shezi yang keluar dari mobilnya berjalan menuju ke mobil yang di tabraknya.

"To...long....!" Terdengar suara rintihan seorang wanita dari dalam mobil.

Shezi menutup mulutnya. Tangannya gemetar karena baru saja melakukan hal yang tak terduga. Shezi menggeleng cepat.

"Jika papa tahu soal ini, maka ... tamat riwayatku!" Lirih Shezi.

Dengan tangannya yang masih gemetar, Shezi meraih ponselnya dan menghubungi seseorang.

"Ha-halo, Kak! Kak, tolong aku!" Suara isak tangis Shezi dan panik membuat seseorang di seberang telepon segera memutus panggilan.

"Aku harus bagaimana?" Gumam Shezi dengan memegangi kepalanya.

Jalanan benar-benar sepi saat ini. Shezi merasa beruntung karena tidak ada saksi mata disini selain Dea yang masih tak sadarkan diri.

Tak lama sebuah mobil sport hitam menghampiri Dea. Seorang pria muda keluar dari dalam mobil.

"Shezi, ada apa? Apa yang terjadi?" Tanya pria itu.

Shezi menceritakan semua kejadian yang dialaminya pagi ini. Si pria nampak berpikir keras untuk menemukan sebuah solusi.

"Kak, aku harus bagaimana? Orang di mobil itu masih hidup, apa kita harus menolongnya? Tapi ... papa pasti akan menghukumku jika tahu aku yang menabraknya." Shezi hanya bisa menangis merutuki kebodohannya.

"Baiklah, cepat bantu kakak!" Si pria muda itu menuju ke mobil Shezi yang remuk di bagian depan. Ia membuka pintu mobil dan melihat seorang gadis muda yang pingsan.

"Cepat bantu kakak pindahkan dia!"

"Eh? A-apa maksud kakak?"

"Kita pindahkan dia ke bagian pengemudi."

Shezi membulatkan mata. "Maksud kakak, kita menjadikan dia kambing hitam atas kecelakaan ini?" Tanya Shezi.

"Apa kau mau papamu marah, hah?! Kau tahu sendiri seperti apa papamu!"

Shezi nampak berpikir keras. Dia tidak ingin menyalahkan Dea atas semuanya. Tapi dia juga tidak mau menerima amukan papanya.

"Baiklah. Mari kita lakukan!" Putus Shezi kemudian.

Mereka berdua memindahkan tubuh Dea ke bangku pengemudi. Shezi membersihkan semua sidik jari miliknya di mobil itu dan menggantinya dengan sidik jari Dea.

"Ayo kita pergi!" Ajak si pria yang adalah kakak sepupu Shezi.

"Lalu, bagaimana dengan orang di mobil itu?" Tunjuk Shezi mengarah ke mobil yang di tabraknya.

"Aku akan menelpon polisi dan ambulans."

Usai menghubungi pihak berwenang, Shezi dan kakak sepupunya pergi tanpa meninggalkan jejak. Shezi menatap Dea dengan perasaan bersalah. Namun Shezi tak memiliki pilihan lain selain menjadikan Dea sebagai kambing hitam untuknya.

"Maafkan aku, De. Suatu saat aku akan membalas kebaikanmu atas apa yang sudah kau lakukan ini," batin Shezi.

B e r s a m b u n g

02 - Masa Depan Berakhir

Dea membuka matanya dan mendapati dirinya berada di sebuah ruangan yang serba putih. Ia ingat jika dirinya baru saja mengalami kecelakaan bersama sahabatnya, Shezi.

Dea mengerjapkan matanya. Ia menatap sekelilingnya. Seorang perawat datang menghampirinya.

"Nona, kau sudah sadar?" Tanya perawat itu yang diangguki oleh Dea.

"Saya akan panggilkan dokter!" Perawat itu pergi dari ruangan itu dan memanggil seorang dokter.

Tak lama seorang dokter datang dan memeriksa kondisi Dea. Lukanya tidak begitu parah. Hanya sebuah luka benturan di pelipis sebelah kiri.

"Jika kau sudah merasa lebih baik, kau bisa bangun, Nona." Dokter itu kemudian meninggalkan Dea.

Dea yang masih terlihat lemah seketika terbangun kala mengingat tentang apa yang terjadi dengannya tadi. Ia ingin menemui Shezi dan mencari tahu bagaimana kabar sahabatnya itu. Lalu, bagaimana juga dengan korban yang ada di mobil yang di tabrak oleh Shezi?

Semua hal itu membangkitkan rasa keingintahuan Dea yang berjalan dengan tertatih. Dea keluar dari ruang IGD dan melihat beberapa petugas polisi berdiri tak jauh dari sana.

Dea masih berdiri mematung ketika semua orang kini menatapnya.

"Itu dia yang sudah membunuh istri saya!" Seorang pria berpakaian jas rapi menunjuk Dea dengan suara lantangnya.

Dea yang kebingungan hanya bisa menggelengkan kepalanya. Seorang petugas polisi menghampiri Dea.

"Apa benar Anda yang bernama Midea Lestari?"

"I-iya." Dea amat gugup karena pria berjas itu terus menatapnya.

"Maaf jika kami harus memberitahu Anda akan hal ini mengingat kondisi Anda baru saja sadarkan diri."

"Ti-tidak apa, Pak. Se-sebenarnya ada apa ya, Pak?" Akhirnya Dea memberanikan diri bertanya.

"Apa Nona ingat telah mengalami kecelakaan?"

"I-ingat. Teman saya yang mengemudi. Dia menabrak sebuah mobil. Lalu, bagaimana dengan kondisi orang yang ada di mobil itu, Pak?"

Petugas polisi itu hanya bisa menghela napas karena sepertinya Dea masih bingung dengan yang terjadi.

"Mobi yang Anda tabrak adalah milik Nyonya Nola Hutama. Dan mereka adalah keluarganya."

Dea melirik kearah pria berjas tadi dan seorang wanita paruh baya yang sedang menangis.

"Nyonya Nola meninggal dunia dalam perjalanan ke rumah sakit."

Dea menutup mulutnya tidak percaya. Ia menggeleng kuat dan ikut menangis. Ia ikut merasakan apa yang sedang dirasakan oleh keluarga korban.

"Nona Midea, Anda harus ikut kami ke kantor. Anda ditahan atas tuduhan kelalaian yang menyebabkan kematian. Anda sudah menyetir tanpa mengindahkan rambu-rambu lalu lintas. Dan menyetir dalam kecepatan yang cukup tinggi. Silakan ikut kami!"

"Tidak! Bukan saya yang menyetir mobil itu! Teman saya yang mengemudi, Pak!" Dea mencoba membela diri.

"Silakan jelaskan di kantor saja, Nona. Kami hanya melaksanakan perintah. Mari!"

Dea masih tak percaya dengan apa yang terjadi saat ini. Ia berharap jika semua ini adalah mimpi dan ia akan segera bangun.

Dea menatap kedua orang yang masih berdiri disana dan menatapnya tajam.

"Bawa dia dan hukum seberat-beratnya!" Ucap pria itu dingin kepada Dea.

"Dia sudah membuat putriku kehilangan ibunya. Maka dia juga harus kehilangan masa depannya," lanjut pria itu.

Dea yang akan melangkah bersama dengan petugas polisi tiba-tiba berbalik badan dan menghampiri kedua orang itu.

"Bukan aku pelakunya! Bukan aku yang menabrak mobil istrimu!" Dea memegangi tangan pria itu dan memohon.

"Tolong percaya padaku! Aku tidak melakukannya! Aku bahkan tidak bisa menyetir. Tolong percaya padaku, Tuan!" Dea memohon dengan mata yang sudah digenangi oleh air mata.

Pria bernama Shady Hutama itu menepis tangan Dea. "Bawa dia, Pak! Kau harus menanggung semua akibat dari perbuatanmu. Bersiaplah!"

Dea menggeleng kuat. Kedua petugas polisi memegangi lengan Dea dan membawanya keluar.

Shady menatap dengan penuh amarah kepergian Dea.

"Shady..." Suara lembut ibunda Shady membuatnya menoleh.

"Iya, Ibu"

"Ibu rasa gadis itu bukanlah pelakunya," ucap wanita paruh baya bernama Nilam.

Shady tertawa sinis. "Mana ada maling yang mengaku. Kita lihat saja nanti apakah benar dia pelakunya atau bukan!"

#

#

#

Sudah tiga hari Dea berada di kantor polisi. Sejak itu pula Dea tidak pernah bicara apapun selain pembelaan dirinya yang tidak bersalah.

Dea sudah menjelaskan semuanya jika yang menyetir mobil itu adalah Shezi, sahabatnya. Namun ternyata pihak kepolisian memiliki jawaban lain.

"Sahabat Anda bernama Shezi Kalendra? Beliau sudah memberikan keterangan kepada pihak penyidik. Beliau bilang Anda yang memaksa untuk meminjam mobil terbaru miliknya."

Bahkan ketika Dea meminta untuk bertemu dengan Shezi, sebuah fakta mengejutkan kembali ia dapatkan.

"Nona Shezi tidak berada di Indonesia. Saat kecelakaan itu terjadi, beliau sedang bersiap untuk berangkat ke luar negeri. Semua hal terkait keberangkatannya sudah kami konfirmasi, dan itu memang benar."

Tubuh Dea melemas ketika mendengar semua hal mengenai Shezi.

"Apa ini Shezi? Apa kau yang melakukan semua ini? Tega sekali kau membuatku harus kehilangan masa depanku. Aku harus mengubur dalam-dalam impianku!" Batin Dea menangis menjerit dengan tangan terkepal.

"Nona, sebaiknya Anda mengaku saja. Dengan begitu, hukuman Anda bisa lebih ringan."

Dea menatap seorang petugas yang memintanya mengaku.

"Saya tidak akan mengakui hal yang tidak saya lakukan! Sampai kapanpun saya tidak akan mengakuinya karena saya bukan pelakunya!" teriak Dea dengan kemarahan yang terlihat jelas di matanya.

Sementara itu di ruangan berbeda, ternyata Shady mendengar teriakan Dea. Shady menggertakkan giginya mendengar teriakan Dea.

"Bagaimana ini, Tuan?" tanya seorang petugas kepada Shady.

"Tetap proses seperti yang seharusnya. Aku yakin dia pasti akan mengaku suatu saat nanti. Jika dia tidak mau mengaku pun, semua bukti tetap mengarah padanya, dan hanya dia saja pelaku utamanya!" ucap Shady dengan sorot mata tajamnya.

#

#

#

Satu bulan telah berlalu, putri Shady dan Nola yang selamat dari kecelakaan maut itu kini di rawat oleh sang nenek, Nilam. Sejak lahir Naura sebenarnya bukanlah seorang bayi yang rewel dan suka menangis. Namun entah kenapa akhir-akhir ini Naura sering menangis hingga Nilam tidak bisa lagi menenangkan bayi mungil itu.

"Ada apa denganmu, Nak? Apa kau merindukan ibumu?" ucap Nilam sambil menggendong cucunya.

Hingga Shady kembali dari kantor, Naura masih terus menangis.

"Ada apa, Bu? Kenapa Naura menangis?" tanya Shady yang ikut khawatir.

"Ibu juga tidak tahu, Bang. Ibu sudah memberinya susu tapi dia tidak mau. Ibu menyerahkannya kepada perawat, tapi malah tangisnya makin kencang."

Shady nampak berpikir. "Kemarikan, Bu! Biar Shady gendong."

Shady menengadahkan tangannya dan bersiap menerima baby Naura. Dan benar saja, tangis bayi mungil itu langsung terhenti ketika mendapat dekapan hangat dari sang ayah.

"Sepertinya dia merindukan papanya," gumam Nilam.

"Kau harus banyak menghabiskan waktu dengan putrimu, Bang. Kasihan Naura. Dia sudah kehilangan mamanya, apa dia juga harus kehilangan papanya?"

Kalimat Nilam membuat Shady terhenyak. Ia sadar jika sejak kelahiran Naura, ia makin menyibukkan diri dengan pekerjaan agar bisa melupakan rasa sakitnya karena ditinggal sang istri.

"Bang, apa tidak sebaiknya kamu menikah lagi? Berikan seorang ibu untuk Naura. Kasihan putrimu jika dia harus tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu."

"Tidak ada yang bisa menggantikan Nola, Bu."

"Ibu tahu. Tidak ada yang seperti Nola. Tapi pikirkan masa depan Naura."

Shady nampak berpikir sejenak. "Jika ada yang harus bertanggung jawab untuk semua yang terjadi terhadap Naura, maka ... hanya ada satu orang yang harus menebusnya."

"Eh? Siapa maksudmu, Bang?" Nilam tampak mengernyitkan dahinya.

"Gadis itu! Dia yang harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi dengan Naura!"

03 - Terpaksa Menikah

Sebulan telah terlewati. Dea masih mendekam di balik jeruji besi dan beraktifitas layaknya tahanan yang lain. Dea sudah pasrah menerima nasibnya. Namun meski begitu, Dea tetap bersikukuh jika dirinya bukanlah pelaku sebenarnya. Sulit dipercaya bagi orang yang tidak melihatnya secara langsung, karena memang semua bukti mengarah kepadanya.

Hari itu, Dea sedang menjalani kegiatannya bersama dengan para tahanan wanita yang lainnya ketika seorang petugas rutan memanggil namanya.

"Saudari Midea Lestari! Mari ikut saya!"

Dea hanya mengikuti langkah si petugas tanpa banyak bertanya.

"Selamat, mulai hari ini kamu di bebaskan dari sini."

"Eh? A-apa?!" Dea tidak percaya dengan apa yang di dengarnya.

"Keluarga korban sudah membayar jaminan untuk kebebasan Anda. Silakan bereskan barang-barangmu dan segera keluar dari sini."

Mata Dea berkaca-kaca. "Ini serius, Bu? Jadi, saya di bebaskan?"

"Benar. Silakan!"

Dengan perasaan haru yang menyelimuti hatinya, Dea keluar dari tempat itu dengan mengucap rasa syukur yang luar biasa.

"Selamat siang, Nona Dea. Saya Roni. Saya asisten tuan Shady Hutama. Silakan Nona ikut saya." Seorang pria muda berdiri tegap dan hormat kepada Dea.

"Ah iya. Tapi, saya harus ikut kemana?" Dea masih tidak mengerti dengan situasi yang baru saja terjadi.

"Silakan masuk, Nona. Saya bertugas menjemput Anda." Roni membuka pintu mobil dan mempersilakan Dea masuk.

Dea tidak merasa curiga sedikitpun karena ia tahu betul jika Shady Hutama adalah pria yang sudah memenjarakannya. Lalu sekarang pria itu juga yang sudah membebaskannya.

"Baiklah. Setidaknya aku harus berterimakasih kepadanya kan." Dea pun masuk ke dalam mobil mewah yang menjemputnya.

#

#

#

Setelah berkendara selama 45 menit, Dea tiba di sebuah rumah mewah dan besar milik keluarga Hutama. Mulutnya menganga melihat keindahan rumah yang ada di depannya.

"Silakan masuk, Nona. Tuan Shady sudah menunggu." Roni membuyarkan lamunan Dea.

Dea mengangguk kemudian melangkah masuk. Dea melihat ada beberapa orang yang sedang duduk di sofa ruang tamu.

Tampak Shady sedang menandatangani sebuah berkas yang Dea tak tahu apa itu.

"Selamat, Tuan Shady. Dengan ini Anda sudah resmi menikah dengan Nona Midea Lestari." Seorang pria berjas rapi berjabat tangan dengan Shady.

"A-apa? Menikah?" Dea mematung mendengar pernyataan pria itu.

Setelahnya orang-orang yang tadi memenuhi area ruang tamu kini sudah berlalu pergi. Sementara Dea masih mematung berdiri di tempatnya.

"Kenapa kau hanya berdiri disana? Masuklah! Mulai saat ini kau akan tinggal disini." Shady menghampiri Dea.

Dea yang akhirnya tersadar kini menatap Shady.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Tuan? Kenapa pria tadi bilang jika saya dan Anda..." Dea tak bisa melanjutkan kalimatnya.

"Benar! Kita sudah menikah, Nona Midea Lestari. Tapi, pernikahan ini tidak seperti pernikahan pada umumnya. Saya akan membuat kontrak perjanjian nikah yang harus kamu tanda tangani. Dan kamu harus ingat posisimu disini adalah untuk menjadi pengasuh Naura bukan menjadi istriku. Status istri hanya untuk mengikatmu agar kau tidak bisa kabur dari sini."

Kaki Dea terasa lemas. Tubuhnya terhuyung ke belakang. Ia tak percaya jika setelah keluar dari penjara, dia akan kembali terpenjara dalam pernikahan yang diatur oleh Shady.

Air mata Dea lolos begitu saja membasahi wajah pucatnya. "Jika Anda hanya mencari pengasuh untuk putri Anda, kenapa Anda harus susah payah menikahi saya?" Suara Dea terdengar bergetar tapi sebisa mungkin dia akan terlihat tegar.

"Saya punya alasan tersendiri untuk melakukan ini. Dan kamu! Kamu adalah orang yang sudah membuat Naura kehilangan ibunya. Jadi kamu harus bertanggung jawab atas perbuatanmu!"

"Tidak! Bukan saya pelakunya! Saya tidak membunuh siapapun!" tegas Dea dengan kilatan mata tajam menatap Shady.

Suara tangis Naura menggema di rumah besar itu. Mendengar suara tangisan bayi membuat Dea tergerak untuk mencari sumber suara.

Langkah kaki Dea membawanya ke sebuah kamar bayi perempuan yang bernuansa merah jambu. Dea melihat seorang bayi menangis di atas tempat tidur.

Dea memang sangat menyukai anak-anak. Karena ia memiliki tiga orang adik dengan usia berdekatan. Sejak dulu Dea lah yang mengasuh ketiga adik-adiknya disaat kedua orang tuanya sibuk mencari uang.

"Sst! Sayang! Kenapa menangis?" Dea segera menggendong bayi mungil yang masih berusia satu bulan itu. Dea menimang-nimang bayi Naura dengan lantunan lagu nina bobo yang indah.

Di depan pintu kamar, Shady dan ibunya hanya bisa saling pandang ketika Dea berhasil menghentikan tangisan Naura. Nilam tersenyum melihat Dea yang terlihat sangat menyayangi Naura.

"Sepertinya kamu melakukan hal yang benar, Bang. Naura sudah menemukan ibu pengganti pilihannya sendiri." Nilam menempuk bahu Shady. "Ibu yakin jika gadis itu bukanlah pelakunya."

Kalimat Nilam membuat Shady kesal. Entah kenapa ia tak terima jika Naura langsung menerima kehadiran Dea. Shady pun memilih untuk meninggalkan kamar Naura.

Nilam menghampiri Dea yang sudah meninabobokan Naura.

"Dea? Namamu Dea kan?" Sapa Nilam.

"I-iya, Nyonya." Dea menundukkan wajahnya.

"Saya Nilam, ibunya Shady. Maaf atas sikap putra saya." Nilam mengajak Dea duduk di tepi ranjang.

Dea hanya mengangguk.

"Bagaimana kamu bisa membuat Naura langsung diam dan tidak menangis lagi? Saya yakin jika Naura pasti menyukaimu." Nilam menggenggam kedua tangan Dea.

"Terima kasih, Nyonya. Saya hanya berpengalaman dalam mengasuh ketiga adik saya."

"Jangan memanggilku nyonya. Panggil saja Ibu."

"Tapi, Nyonya..."

"Kamu adalah istri Shady. Jadi kamu juga putriku."

Mata Dea berkaca-kaca. Entah dia harus bahagia atau bersedih karena mendapatkan ibu mertua yang baik seperti Nilam, namun mendapat suami yang dingin seperti Shady.

"Apa Nyonya..." Dea ragu untuk melanjutkan kalimatnya.

"Ibu percaya jika kamu bukanlah pelaku sebenarnya. Ibu akan membujuk Shady agar menyelidiki kasus ini dan menyembunyikan berita kebebasanmu dari penjara. Ibu akan berada di pihakmu."

Dea segera memeluk Nilam dan menangis dalam dekapan ibu mertuanya itu. Dea menumpahkan segala rasa sedihnya kepada Nilam. Selama satu bulan ini, terasa berat untuk Dea menjalani semua hukuman dari apa yang tidak dia lakukan.

#

#

#

Kelelahan menangis, Dea akhirnya tertidur di kamar Naura dengan memeluk bocah kecil itu. Shady yang baru kembali dari kantor, cukup terkejut dengan pemandangan yang ada di depannya.

Naura tertidur lelap dalam dekapan Dea. Bayi mungil seakan telah menemukan ibu pengganti yang membuatnya nyaman.

Shady mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam kamar Naura dan memilih untuk menuju kamarnya.

"Kamu sudah melihat sendiri bukan? Dea adalah ibu pengganti yang tepat untuk Naura. Dan ibu minta padamu untuk bisa menyelidiki kasus ini dengan lebih teliti lagi. Ibu yakin jika Dea bukanlah pelakunya."

Shady menghela napasnya. "Tapi semua bukti mengarah kepadanya, Bu."

"Ibu yakin ada hal besar di belakang kecelakaan itu, Bang. Kamu harus menemukan kebenarannya." Pinta Nilam.

"Mobil yang menabrak Nola terdaftar atas nama Shezi Kalendra. Ibu tahu kan jika kita sudah lama menjalin bisnis dengan keluarga Kalendra. Aku hanya tidak mau semua semakin rumit karena kita meragukan kesaksian Shezi."

Nilam masih tak paham dengan pemikiran putranya. "Jika kamu ingin menemukan pembunuh Nola, maka seharusnya kamu kesampingkan urusan bisnis dan utamakan urusan keluargamu."

Nilam meninggalkan Shady usai mengatakan semua hal yang membuat putranya kalah telak. Shady masuk ke dalam kamarnya dan merasakan suasana hampa disana.

"Nola... Maafkan aku... Maafkan aku karena harus melakukan ini..."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!