NovelToon NovelToon

KENANGAN DAN ABU HORMUZ

Episode 1 - Awaken

Seperti mendengar seseorang yang memanggilnya, pria itu pun membuka matanya. Gelap. Malam hari mungkin? Tapi tidak hitam legam, masih ada cahaya di sana. Suatu api, di atas kepalanya. Suatu api telah dinyalakan oleh seseorang. Lilin. Tidak hanya satu lilin, namun beberapa batang lilin kecil ditempatkan pada interval yang seragam

sejajar pada dinding yang tampaknya membentang tanpa akhir. Di mana ini?

Entah kenapa, dia begitu sulit bernapas. Dia menyentuh dinding dan merasakan bahwa dinding tersebut keras dan kasar. Sebenarnya itu tidak bisa disebut dinding, lebih tepatnya itu adalah batu. Dan tentu saja, jika seseorang tidur di atas batu, maka punggungnya akan sakit. Mungkin dia sedang berada di dalam gua? Memang terasa seperti itu. Gua? Kenapa dia berada di dalam gua?

Lilin-lilin itu diletakkan pada tempat yang cukup tinggi di atasnya, tapi jika dia bangun dan menjulurkan tangannya, mungkin dia bisa menggapainya. Namun, di sana cukup gelap sehingga dia bahkan tidak bisa mengukur seberapa panjang lengannya sendiri, dan dia hampir tidak melihat apa-apa di bawah kakinya.

Dia bisa merasakan keberadaan orang lain di sekitarnya. Jika dia mendengar dengan seksama, dia bisa mendengarkan napas terengah-engah orang lain. Orang lain? Apa yang akan dia lakukan jika ada orang lain bersamanya? Dia tidak tahu, tapi tampaknya ini cukup gawat. Meski demikian, suara itu tampaknya berasal dari orang lain.

“Apakah ada orang lain disini?” dia memanggil dengan sedikit ketakutan.

“Ya.” Balasan segera terdengar. Itu adalah suara seorang laki-laki.

“Aku di sini,” suara lainnya menjawab, dan kali ini adalah suara wanita.

“Emmm….” Suara laki-laki lain pun ikut menjawab.

“Sepertinya begitu,” ada lagi yang menjawabnya.

“Ada berapa orang di sini?”

“Kenapa kau tidak mencoba untuk menghitungnya?”

“Yang lebih penting lagi, dimana kita berada?”

“Aku tak tahu…..”

“Tak ada yang tahu?”

“Apa-apaan ini?”

Dia kebingungan. Ada apa ini? Kenapa dia ada di sini? Kenapa? Seberapa lama dia berada di sini?

Pria itu mengepalkan tangannya dengan erat di dadanya, seakan-akan dia ingin merobek sesuatu. Dia tidak mengerti. Seberapa lama dia berada di sini, kenapa dia ada di sini? Ketika memikirkan tentang itu semua, dia merasa bahwa ada bagian tertentu di otaknya yang mengetahui jawaban atas semua pertanyaan tersebut, namun itu lenyap sebelum dia mampu mengingatnya kembali. Dia tidak tahu. Itu membuatnya kesal. Dia tak paham apapun.

“Kita tak bisa duduk diam di sini selamanya,” seseorang berkata. Itu adalah suara laki-laki yang parau dan rendah.

Dia bisa mendengar suara batu yang diinjak di bawah telapak kakinya. Sepertinya orang yang berbicara itu bangkit dari duduknya.

“Ke mana kau akan pergi?” suatu suara wanita bertanya padanya.

“Aku akan mencoba untuk menyusuri lilin-lilin yang tertata di dinding,” dia menjawab untuk menunjukkan bahwa itu adalah satu-satunya hal yang bisa dia usahakan.

Tidakkah pria itu takut? Kenapa dia tidak marah? Pria yang berjarak sejauh dua lilin ini cukup tinggi. Dia bisa melihat kepala pria itu sedikit karena cahaya remang-remang dari lilin. Rambutnya tidak hitam…. melainkan berwarna perak.

“Aku juga ikut,” salah satu gadis bilang begitu.

“Sepertinya, aku juga ikut,” seorang lainnya juga menyatakan hal yang sama, itu adalah suara laki-laki.

“T-Tunggu sebentar! Kalau begitu, aku juga ikut!” suara bocah lain juga membalasnya.

"Ada juga jalan pada arah sebaliknya," kata orang lain. Suaranya sedikit bernada tinggi melengking, tapi mungkin dia adalah seorang pria. "Namun, tidak ada lilin di sana."

"Jika kau ingin pergi ke arah itu, maka pergi saja," pria berambut perak menjawabnya dengan tak acuh, sembari terus berjalan.

Sepertinya semua orang mengikuti pria berambut perak. Jadi, pria lainnya juga mengikutinya. Dia tidak mau ditinggal sendirian, sehingga dia buru-buru bangkit untuk berdiri. Dia berjalan bersama mereka dengan kaku, salag satu tangannya meraba sepanjang dinding batu. Tanah di bawah tidaklah mulus, dan agak bergelombang, namun dia masih bisa melintasinya.

Ada beberapa orang di depan dan di belakangnya, tapi dia tidak tahu siapakah mereka. Dari suaranya, dia menduga bahwa semua orang di sana berusia muda. Meskipun hanya satu atau dua orang, sepertinya ada yang aku kenal di dalam kelompok ini ... pikirnya.

Seseorang yang kukenal? Seorang kenalan? Seorang teman? Aneh. Tak satu hal pun bisa kupikirkan. Tidak,

bukan itu. Lebih tepatnya, wajah orang-orang yang disebut "kenalan" atau "teman" menghilang begitu saja ketika aku coba mengingat-ingatnya. Dia tidak mengingat suatu hal pun. Bukan hanya teman-temannya, tapi bahkan

keluarganya. Namun anehnya, dia tidak merasa bahwa memorinya hilang. Rasanya lebih seperti memorinya kabur ketika dia mencoba untuk mengingatnya.

"... Mungkin lebih baik tidak usah memikirkan tentang hal-hal seperti itu." kata pria itu pada dirinya sendiri.

Suatu balasan datang dari seseorang di belakangnya. Pasti itu adalah suara seorang gadis muda. "Tidak memikirkan tentang apa?"

"Tidak, tidak ada. Tidak ada apa-apa… Hanya saja…"

Tidak ada? Sungguh? Apakah benar-benar tidak ada? Apa yang dimaksud dengan “hanya saja”?

Pria itu menggeleng. Pada suatu tempat, tampaknya mereka perlu berhenti. Namun, mereka terus saja berjalan. Mereka harus terus berjalan. Akan lebih baik tidak memikirkan suatu hal pun. Dia punya perasaan bahwa jika dia semakin coba mengingat, maka akan semakin banyak hal yang dia lupakan.

Deretan lilin masih terus

berjajar tanpa henti. Dia tak pernah tahu kapan deretan lilin-lilin ini

berakhir. Seberapa jauh mereka harus berjalan? Mungkin mereka harus berjalan

cukup jauh. Atau mungkin tempat tujuan mereka tidak jauh lagi. Apapun itu, dia

tidak tahu. Dia telah kehilangan kepekaan waktu dan ruang.

"Ada sesuatu di sini," seseorang di depannya berkata. "Cukup terang. Apakah itu lampu?"

"Ada gerbang," kata pria berambut perak, lantas pria lainnya pun menjawab "Mungkin itu jalan keluar!"

Segera setelahnya, kaki pria itu terasa lebih ringan. Meskipun ia tidak bisa melihat apa-apa, dia punya perasaan bahwa mereka sedang menuju arah yang benar. Langkah kaki mereka semakin dipercepat, dan tak lama kemudian mereka bisa melihatnya. Lebih terang dari lilin apapun, itu adalah lentera yang digantung pada tembok. Benda itu

member cahaya pada suatu struktur yang memang tampak seperti gerbang.

Pria berambut perak menjulurkan tangannya dan menggoyangnya dengan kasar. Selain rambutnya yang berwarna perak, ia juga berpakaian seperti seorang gangster. "Aku membukanya," kata si pria berambut perak, dan ketika ia menggoncangnya sedikit lebih keras, gerbang itu terbuka dengan berderit.

"Whoa!" Beberapa orang berteriak sekaligus.

"Bisakah kita keluar dari sini?" Kata seorang gadis, yang berada tepat di belakang orang itu.Pakaiannya agak mencolok, bahkan sangat mencolok.

Pria berambut perak mengambil beberapa langkah maju melalui pintu gerbang. "Ada tangga. kita bisa naik ke atas. "

Tangga itu menuju pada koridor sempit berjamur dan berbau yang terhubung pada tangga batu lainnya.Tidak ada lilin, tapi terlihat suatu sumber cahaya yang berasal entah dari mana. semua orang pun langsung membentuk barisan dan mulai naik sedikit demi sedikit. Di bagian atas, ada gerbang lagi, tapi yang satu ini tidak akan

bergeming.

Pria berambut perak menggedor beberapa kali dengan kepalan tangannya. "Apakah ada orang di sana? Tolong buka gerbangnya!" Teriaknya. Dia terdengar sangat marah.

Gadis berpenampilan mencolok di belakangnya pun ikut bergabung, dia berteriak dengan segenap udara yang terhimpun di paru-parunya. "Apakah ada orang di sana?! Buka gerbangnya!"

"Hei! Buka pintu gerbangnya cepat!" Orang di belakang mereka, yaitu pria berambut pendek berantakan juga ikut berteriak.

Sesuatu terjadi tak lama setelahnya. Pria berambut perak menarik tangan dari pintu tersebut dan mundur sedikit. Sepertinya seseorang telah datang di balik pintu itu. Si rambut berantakan dan gadis mencolok juga tiba-tiba terdiam. Terdengar suara gelas yang terjatuh, dan pintum pun terbuka.

"Keluar," kata seseorang. Entah kenapa, pria itu tahu bahwa itu adalah suara dari orang yang telah membuka kunci pintu tersebut.

Tangga itu menuju ke suatu ruangan yang dibangun dari batu. Tidak ada jendela, tetapi pencahayaan terus menyala pada ruangan itu, ada juga satu set tangga yang menuju ke lantai selain yang mereka naiki. Ruangan itu sendiri tampak agak primitif dan berbau. Yang pasti, itu bukanlah ruangan seperti pada umumnya di jaman sekarang ini. Orang yang membuka pintu gerbang juga berpakaian aneh. Dan yang membuatnya semakin aneh adalah, pakaian yang menutupi tubuhnya tidak hanya terbuat dari kain, melainkan juga dari logam.... Apakah itu benar-benar ... baja?

Dan yang menutupi kepala orang itu ... si pria benar-benar ingin menyebutnya helm perang. Benda yang

tergantung di pinggang orang itu bukanlah tongkat. Mungkin itu pedang? Armor, helm, dan pedang. Jaman apakah ini? Atau, jika dia mempertimbangkan hal lainnya, bukankah seharusnya situasi ini membuatnya sedikit khawatir?

Ketika pria ber-armor itu menarik sesuatu yang dipasang ke dinding, dinding dan lantai bergetar sedikit, dan suara berat bergema di seluruh ruangan. Beberapa bagian dari dinding bergerak, dan terbuka perlahan. Dinding batu masuk, dan lubang berbentuk segiempat muncul di hadapannya.

"Keluar," kata pria ber-armor itu sekali lagi, sembari mengarahkan dagunya pada lubang tersebut.

Pria berambut perak pergi terlebih dahulu, diikuti oleh gadis berpenampilan mencolok. Lantas, orang-orang lainnya mengikuti si rambut perak begitu saja, seakan-akan mereka ditarik olehnya. Di luar. Kali ini, mereka benar-benar ke luar. Apakah waktunya adalah senja atau fajar? Tak seorang pun tahu. Langit yang terlihat remang-remang

membentang tanpa henti ke segala arah. Mereka berdiri di atas bukit yang cukup tinggi, dan di belakang mereka, suatu menara besar menjulang tinggi. Apakah tadi mereka berada di dalam bangunan tersebut? Atau mungkin lebih akurat untuk mengatakan bahwa mereka barusan berada di bawahnya ...

Jika dihitung jumlah orang yang berada di sana, ada delapan anak laki-laki termasuk pria berambut perak, pria berambut berantakan, dan pria itu sendiri, dan empat anak perempuan termasuk gadis berpenampilan mencolok, sehingga jumlah total mereka adalah 12 orang. Suasananya masih cukup gelap sehingga dia tidak bisa melihat sosok setiap orang secara detail, tapi jika dinilai dari sosok, pakaian, gaya rambut, dan raut wajah secara umum….. pria itu sama sekali tidak mengenali mereka.

"Itu terlihat seperti suatu kota," kata seseorang. Dia memiliki rambut halus dan fisiknya ramping. Dia menunjuk pada suatu arah di luar bukit.

Ketika melihat ke arah itu, si pria bisa melihat bangunan yang berdesak-desakan. Itu adalah suatu kota. Itu sungguh tampak seperti kota. Itu pasti kota. Di sekitarnya terdapat pagar yang tinggi, tidak, bukan pagar. Lebih tepatnya, itu adalah dinding kokoh yang menjulang tinggi.

"Itu lebih mirip suatu kastil daripada kota," pria kurus yang mengenakan kacamata berbingkai hitam angkat bicara.

"Suatu kastil," pria itu berbisik kepada dirinya sendiri. Mengapa suaranya tidak terdengar seperti dirinya sendiri?

"Jadi ... di manakah ini?" Seorang gadis mungil yang tampak pemalu dengan gugup bertanya dari balik tubuh pria berambut perak.

"Tidak ada gunanya bertanya padaku, karena aku pun tak tahu," jawab pria itu.

"Ah, maaf. Apakah ada yang tahu? Di mana kita?"

Tidak ada yang tahu suatu hal pun, kecuali jika ada beberapa orang yang sengaja memberikan masalah pada

gadis mungil pemalu itu, atau jika ada orang-orang yang menyembuyikan informasi karena beberapa alasan tertentu.

"Serius?" Kata isi pria berambut berantakan sembari menyisir rambutnya yang acak-acakan.

"Ah!" Kata pria lain yang mengenakan jersey bergaris, sembari ia bertepuk tangan. Dia memiliki semacam aura yang terkesan ‘tidak pernah susah’.

"Mengapa kita tidak bertanya padanya, yaitu pria ber-armor yang menjaga gerbang tadi?"

Semua orang mengalihkan perhatian mereka ke pintu. Akhirnya mereka menyadari sesuatu. Pintu itu semakin

sempit dan sempit.

Batu itu naik dari tanah, dan sedikit demi sedikit menutup celah tempat mereka keluar tadi.

"Tunggu…….." Pria tak pernah susah bergegas menuju ke dalam dengan panik, tapi dia tidak berhasil tepat waktu. Celah itu menghilang, dan kembali menjadi dinding yang seakan-akan tidak pernah terbelah.

"Tunggu, bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Siapa pun yang melakukan ini, cukup sampai di sini, dan hentikan semuanyaaaa ... "katanya, sembari menyeka tangannya di atas permukaan tembok. Dia melakukan pekerjaan sia-sia dengan menggedor-gedor dinding keras itu. Tidak ada yang terjadi.

Tak lama kemudian ia menyerah dan merosotkan tubuhnya ke tanah.

"Ini tidak baik," seorang gadis dengan rambut panjang yang dikepang berkata.

"Yang benar saja?" pria berambut berantakan itu berjongkok, sampai kepalanya sejajar dengan lutut. "Serius nih? Serius nihhhh ...???”

"Dan, mereka tepat waktu!" Suara melengking seorang gadis menggema di sekitar mereka.

Siapa itu? Ada empat gadis : si gadis berpenampilan mencolok, si gadis berambut kepang, si gadis mungil pemalu, dan akhirnya tampak seorang gadis yang bahkan lebih kecil daripada dia, mungkin ukuran tubuhnya kurang dari 120 cm. Suara wanita melengking itu tampaknya bukan berasal dari si gadis mencolok, kepang, atau bahkan

mungil-pemalu. Mungkin saja itu bahkan bukan suara milik gadis super kecil.

"Semuanya sudah muncul, ya, datang untuk berkunjung, ya. Kalian bertanya-tanya di manakah ini? Sini, kuberitahu kalian!”

"Di mana ini?!" pria tak pernah susah berteriak, sembari melompat untuk berdiri.

"Jangaaaaaaann keburu, jangaaaaaann berteriak, jangaaaaaaann ricuh, tetaaappp tenang!" Entah kenapa, tapi suara itu datang dari belakang menara. "Cha-lalalalalaaan, cha-lalalalalaaan, Lalan ..." Sembari berdendang,

terlihat gadis lain yang menyembulkan kepalanya keluar dari menara. Rambutnya diikat dengan gaya mirip gadis pedesaan.

"Halo. Apa kabar. Selamat Datang di Hormuz. Namaku Ruemedan Ahmad, ijinkan aku untuk menjadi pemandu kalian. Senang bertemu dengan kalian. Senang bertemu denganmu"

"Cara dia berbicara membuatku kesal," pria dengan berambut cepak berkata. Rahangnya digertakkan dengan begitu keras, sampai-sampai suara gemeletak giginya terdengar.

"Wah!" Ruemedan Ahmad menarik kepalanya masuk sebentar, kemudian menyembulkannya lagi. "Sangat menakutkan. Sangat menakutkan. Aku mohon jangan marah seeeeeperti ituuuuuuuu. Oke? Oke? oke?"

Si pria berambut cepak mendecakkan lidah padanya. "Kalau begitu jangan membuatku kesal!"

"Diiiiiiiiiimengertiiiiiiiiiiiiiiii!" Ruemedan Ahmad melompat keluar dari bawah tower dan membungkuk di depan semua

orang. "Ahmad akan bertingkah sopan mulai dari sekarang! Saaaangat  sopaaan! Apakah tidak masalah bagimu? Tidak apa-apa kan?”

"Kau melakukan itu dengan sengaja!"

"Ups, mereka menyadarinya! Whoops, oops, jangan marah, jangan memukul, jangan menendang, Ahmad tidak suka kesakitan, aku lebih suka diperlakukan dengan baaaaaaiik. Jadi, bisakah kita memulai pembicaraannya? Dapatkah aku melaksanakan tugasku?”

"Cepat dan lakukan itu," kata pria berambut perak dengan suara rendah. Tidak seperti pria berambut cepak, dia tidak terlihat marah; Namun, suaranya terdengar agak mengancam.

"Baiklah." Ruemedan Ahmad tersenyum lebar. "Aku akan melanjutkan pekerjaanku, oke?"

Langit menjadi lebih terang daripada beberapa menit yang lalu, dan berangsur-angsur semakin cerah. Waktunya bukanlah senja, sebaliknya, ini adalah pagi hari. Malam berubah menjadi fajar.

"Untuk saat ini, mohooooon ikutlah denganku. Atau, aku akan meninggalkan kalian…. "

Kuncrit Ruemedan Ahmad berayun ke kiri-kanan ketika dia berjalan ke arah mereka. Terdapat suatu jalan yang mengarahkan dari menara ke bawah bukit. Pada kedua sisi jalan yang terbuat dari tanah hitam terdapat hamparan rumput, dan pada padang rumput di sekitar bukit, sejumlah besar batu putih bertebaran. Jumlah batu-batuan tersebut sangatlah banyak, dan seakan-akan disusun pada suatu pola tertentu. Mungkin ada orang yang sengaja menempatkan batu-batu itu di sana.

"Hei, apakah itu ..." pria berambut berantakan menunjuk ke arah batuan. "Apakah itu batu nisan?”

Pria itu mulai merinding. Si pria berambut berantakan benar juga, terlihat ada beberapa tulisan yang terpahat pada permukaan batu. Beberapa batu bahkan memiliki bunga yang ditempatkan di depannya. Kuburan. Apakah seluruh kawasan bukit ini merupakan kuburan?

Ruemedan Ahmad, berjalan ke depan kelompok, dia bahkan tidak menghiraukan hamparan batu nisan itu.

"Hehehehe," dia cekikikan.

"Mungkin saja. Siapa tahu. Tapi jangan khawatir, dan tidak perlu khawatir. Belum waktunya kalian berada di sana. Belum waktunya kalian berada di sana, kan? Ehehehehe ... "

Pria berambut cepak mendecakkan lidahnya lagi pada gadis itu, dan dia menghentak tanah dengan jengkel. Dia tampak cukup marah, tapi tampaknya dia bersedia mengikuti Ruemedan Ahmad kemanapun ia pergi. Pria berambut perak terus mengikutinya, begitupun dengan pria berkacamata, gadis berpenampilan mencolok, dan dan juga gadis super kecil.

Si pria tak pernah susah berteriak, "Oi! Oi! Aku juga ikut, aku juga ikut! Aku juga ikut!" dan dia pun mulai mengejar pria berambut perak sambil terjatuh-jatuh.

Tidak banyak pilihan di sini, tapi ke manakah Ruemedan Ahmad mengarahkan mereka? Dimanakah ini? Pria

itu mendesah dan mengalihkan pandangannya ke langit. "A……pa…." Dia  terperanga.

Apa itu tadi?

Benda itu tergantung cukup rendah di langit, akan tetapi itu bukanlah matahari. Itu terlalu besar untuk menjadi bintang, lagipula wujud benda itu semakin menyusut. Bentuknya mirip seperti setengah bulan ataupun bulan sabit. Mungkin benda itu adalah bulan. Tapi jika itu memang bulan, harusnya bulan tidak seperti itu ...

"Itu berwarna merah."

Pria itu berkedip beberapa kali dan melihat benda tersebut lagi dan lagi. Tidak peduli seberapa banyak dia melihatnya, warnanya jelas-jelas merah bagaikan batu Ruby. Di belakangnya, si gadis mungil yang pemalu juga menyadarinya. Pria itu menoleh dan mendapati bahwa gadis itu juga menatap bulan aneh tersebut.

"Apa…" Si gadis berkepang tampaknya juga sudah menyadarinya Dia berkedip beberapa kali lalu terkekeh-kekeh dengan pelan. "Ohh wahai bulan yang besar, kau kelihatan merah sekali. Indah banget. "

Pria berambut halus menatap bulan merah yang tergantung di langit fajar. Ekspresi wajahnya tampak takjub.

"Whoa," kata pria berambut berantakan dengan tatapan mata terbelalak.

Ada pria lain yang badannya terlalu besar, tapi tampaknya dia hanya bergumam dengan nada rendah dan santun.

Pria itu tidak tahu di manakah dia berada, dari manakah ia berasal, atau bagaimana bisa dia sampai di sini. Dia tidak bisa mengingat apapun yang berhubungan dengan hal-hal tersebut. Tapi ada satu hal yang benar-benar dia yakini, yaitu: di tempat dia berasal, bulan tidak terlihat merah seperti ini. Artinya, dia bukan berasal dari tempat

ini.

Bulan yang merah itu sungguh ...... tidak wajar.

Episode 2 - Tanpa Tahu Apapun

Ada daerah di mana terdapat bangunan yang terbuat dari batu berjajar di jalanan, dan ada juga daerah yang penuh dengan bangunan kayu. Mereka sekarang sedang berada pada jalanan berbatu yang penuh dengan begitu banyak persimpangan, sehingga sulit untuk melihat ke mana arah tujuan mereka. Air berlumpur mengalir pada saluran

air sempit di kedua sisi jalan yang luas, tapi tidak dalam jumlah besar. Bau busuk yang mungkin adalah limbah manusia tercium oleh hidung mereka, tapi setelah beberapa saat berjalan, hal tidak menyenangkan itu sudah tidak terasa lagi.

Ruemedan Ahmad memimpin kelompok yang terdiri dari 12 orang menuju ke kota yang telah terlihat dari atas bukit. Menurut dia, kota ini disebut Atalante. Kelompok ini melewati sejumlah manusia yang sepertinya adalah warga kota ini. Meskipun waktunya masih dini hari, kesibukan sudah terlihat di beberapa tempat pada kota ini. Penduduk kota menatap pendatang baru seolah-olah mereka adalah hewan yang eksotis. Tapi keduabelas orang ini juga melakukan hal yang sama karena para warga berpakaian cukup aneh.

Pakaian mereka jauh lebih sederhana, tanpa hiasan, dan agak lusuh dibandingkan dengan pakaian mereka sendiri.

"Tempat apa ini..." si pria tak pernah susah memulai percakapan.”Maksudku, apakah tempat ini seperti suatu negara yang asing?”

"Ahh ..." pria berambut berantakan memiringkan kepalanya ke satu sisi seolah-olah dia tahu jawabannya.”Suatu negara asing. Negara? Tunggu dulu, berasal dari negara manakah aku? Aneh, aku tidak ingat apapun. Aku juga tidak ingat alamat rumahku ... Kenapa?”

"Kau masih belum menyadarinya?" kata pria berambut perak dengan nada rendah.”Aku juga tak ingat apapun kecuali namaku."

Pria itu terganggu oleh cara bicara si pria berambut perak.”Tak ingat apapun”, konotasi kalimat itu berbeda jika dibandingkan dengan: “aku sudah lupa”. Mungkin hal yang sama juga terjadi pada pria berambut perak, yaitu ketika dia mencoba mengingat memori tertentu, itu hilang begitu saja tepat ketika dia hampir mengingatnya kembali.

"Nama?" pria berambut berantakan memukul dadanya.”Namaku Marco ... Tapi eee, aku tidak ingat apa-apa lagi. Memoriku hilang? Serius nih?”

"Kalau begitu..." pria itu pun merasa bahwa dirinya sedang memainkan peran sebagai si  bodoh. Dia melakukannya tanpa sengaja, dan ia sedikit menyesalinya, tapi ia tidak bisa berhenti sekarang.”Kedengarannya seperti Kau mengalami amnesia atau sejenisnya"

"Hei." Marco mendesah.”Jika kau hendak memerankan si bodoh, maka lakukan dengan lebih... yahh, kau tahu lah. Katakanlah dengan lebih percaya diri. Jika kau mengucapkannya dengan ragu-ragu, maka lawakannya tidak akan lucu dan tak seorangpun mau tertawa. Ah, sudahlah, biarkan saja... Lantas, siapakah namamu?”

"Kau…’membiarkannya saja’?", dia memerankan si bodoh…, tidak…, lebih tepatnya, dia memang benar-benar bodoh. Namun siapakah namanya? ”Namaku ... sepertinya namaku Haruhiro."

Si pria berambut berantakan, Marco, semakin bertingkah lebay.”Sepertinya? Jangan bilang kau bahkan tidak tahu namamu sendiri! Kita semua di sini mengalami hal yang sama, kan? Kita semua di sini tak ingat apapun kecuali nama kita, kan?”

Pria ini… pria ini sungguh menyebalkan…. begitulah pikir Haruhiro, sembari dia menatap pria berambut perak yang terus berjalan di belakang Ruemedan Ahmad. Siapakah nama pria berambut perak itu? Dia ingin tahu, tapi dia terlalu takut untuk bertanya padanya. Sebenarnya Haruhiro tidak ingin menghindari si pria berambut perak,

namun masihlah sulit untuk menanyakan hal itu. Akhirnya, dia pun mengalihkan rasa penasarannya pada si pria berambut lurus di sampingnya.”Kau, namamu siapa?”

Pria berambut lurus memberikan senyum pada Haruhiro. Dia tampak seperti seseorang yang sangat penyabar.”Namaku Udin. Aku senang bahwa kita semua seusia; karena aku akan canggung jika berkomunikasi dengan bapak-bapak ataupun ibu-ibu.”

"Oh. Ya, tentu. Aku pun pasti canggung jika memanggilmu Pak Udin”

"Ya, tentu saja."

Udin hanya tersenyum dan Haruhiro menanggapinya tanpa berpikir panjang. Jika dilihat dari luarnya, Udin

tampak seperti orang baik dan dapat dipercaya. Sementara itu, nama si pria menyebalkan itu adalah Marco. Sama halnya dengan pria berambut perak, Haruhiro pun cukup ragu mengajukan pertanyaan pada pria berambut cepak yang tampaknya kurang bersahabat. Haruhiro berkesan bahwa gadis berpenampilan mencolok berasal

dari dunia yang sama sekali berbeda dengannya. Si pria berkacamata sepertinya cukup mudah untuk didekati, namun entah kenapa, dia juga sungkan menanyakan sesuatu padanya.

Bagaimana dengan si gadis berkepang, gadis mungil yang pemalu, dan gadis super kecil? Si gadis mungil

yang pemalu berada paling dekat dengannya, dan Haruhiro ingin memulai suatu percakapan dengan gadis itu. Untuk permulaan, mungkin ia harus bertanya namanya. Tapi ketika Haruhiro membuka mulut untuk bertanya, ia mulai sedikit gugup.

Dia berkata dengan pelan, "Permisi."

"I…Iya ...?"

"Anu…..uhhh…ahhh….sebenarnya ini tidak penting…. Dan aku tidak bermaksud mencari tahu…"

"Namaku Gori !" pria tak pernah susah menyela dengan nada keras, sembari berpose aneh.”Lupakan pria ini, mari kita memulai dengan para gadis! Bagaimana kalau kita saling mengenal satu sama lain?”

Si gadis berkepang memiringkan kepalanya ke samping.”Nggak ah."

"Awww ..." Gori yang tak pernah susah, diacuhkan secara tragis.

Haruhiro pikir itu semacam gangguan, namun berkat itu dia jadi sedikit lebih tenang.”Erm, siapa namamu?”  tanyanya pada gadis mungil yang pemalu, dan Haruhiro berusaha sekeras mungkin untuk memberikan pertanyaan sangat singkat sekaligus mengena.”Maksudku, sepertinya akan lebih mudah untuk bercakap-cakap jika kita saling memanggil nama kita masing-masing. Yah, daripada tidak tahu.”

"Umm ..." gadis mungil yang pemalu menundukkan pandangannya dan menyembunyikan matanya di balik

poni, seolah-olah dia sedang berusaha keras untuk menghindari kontak mata secara langsung.

Tubuhnya biasa-biasa saja, namun ada sesuatu di wajahnya yang membuat dia tampak begitu manis. Ada pasti ada yang disembunyikan olehnya.

"Maaf... Namaku Alice.”

"Kau tidak perlu minta maaf."

"Maaf, itu kebiasaan buruk. Maaf, aku akan lebih berhati-hati.”

Alice gemetar bagaikan bayi rusa yang baru lahir. Apakah dia sungguh akan baik-baik saja? Haruhiro cukup khawatir setelah melihat tingkah si gadis kecil dan dia merasakan semacam keinginan untuk melindungi gadis itu.

"Kau cukup tinggi," Haruhiro berkata pada pria besar namun tampaknya cukup santun.”Berapa tinggimu?"

Raksasa itu berkedip, ekspresinya agak kosong.”Tinggi? 165 cm."

"Seratus enam puluh lima!?" Marco menyela.”Maksudmu, aku cukup pendek jika dibandingkan dengan tinggimu?!”

"Tidak, itu tidak benar ..." kata si raksasa.”Mungkin saja tinggiku 182 cm. Oh. Sepertinya namaku adalah Barto."

"Sumbangkan tinggimu 10 cm padaku, Barto!" Marco meminta hal yang mustahil sembali mencoleknya.”Jika aku mendapatkan 10 cm, maka tinggiku akan menjadi 170-an, dan kau juga 170-an, sehingga mungkin aku bisa lebih tinggi darimu! Mengagumkan, bukan?”

"Aku akan melakukannya andaikan aku bisa..."

Haruhiro hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri karena kurang interaktif sehingga Marco menyela dan

mengambil alih percakapannya dengan Barto.”Tinggimu tidak lebih dari 165 cm, mungkin kau hanya 162 cm."

"Diam! Dan apakah itu buruk bagimu? Dilihat dari penampilanmu, kau tidak berbeda dariku!”

"Kalau tinggiku sih pasti kurang dari 165 cm.”

"Kau seperti keledai! Seekor keledai yang mendiskriminasikan orang lain hanya karena kalah tinggi beberapa sentimeter!”

"Kau memang bocah tengik."

"Apakah kau baru saja mengatakan sesuatu? Aku tidak bisa mendengarmu. Apa yang baru saja kau katakan?"

"Tidak ada. Aku tidak mengatakan apa-apa.”

"Pembohong! Kau baru saja memanggilku dengan sebutan bocah tengik, ya ‘kan! Kau tidak bisa menipu telinga yang peka ini! Aku mendengar apa yang kamu katakan! Dan sepertinya kau tadi juga mengatakan: ‘kembalilah ke neraka wahai setan berambut berantakan, iya kan!!??"

"Aku sungguh tidak mengatakan hal seperti itu."

"Dan kau memanggilku dengan sebutan rambut berantakan! Tak seorang pun boleh memanggilku dengan sebutan itu! Itu adalah kata-kata yang dilarang!”

 "Aku bilang, aku tidak pernah mengatakan itu. Jangan menuduh orang lain mengatakan yang tidak dia sebutkan.”

"Aku mendengarmu! Telinga setan ini sudah mendengar terlalu banyak! Aku mendengarkan begitu banyak sampai-sampai aku menjadi tuli! Terserah. Untuk saat ini, ingat ini baik-baik! Aku tidak pernah memaafkan siapa pun yang memanggilku dengan sebutan rambut berantakan! Siapapun yang melakukannya akan mendapat hukuman mati.

Hukuman mati!"

"Hei rambut berantakan," kata pria berambut perak, sembari berbalik.”Kau sedang membuat kegaduhan. Diamlah.”

"Ya, om." Marco si rambut berantakan tampak patuh kali ini.”Aku minta maaf. Aku sekarang akan berhenti berbicara."

"Barusan kau bilang bahwa kau tidak akan memaafkan siapapun yang menyebutmu rambut berantakan," kata Haruhiro sambil mengangkat bahu.

"Idiot," kata Marco dengan berbisik.”Aku adalah tipe orang yang memilih waktu dan kondisi. Aku pernah dijuluki Master Pemilih. Aku akan menjadi Raja Keputusan!”

"Ya baiklah. Jadilah apa pun yang kau inginkan, wahai Raja Putus."

"Bukan Raja Putus, tapi Raja Keputusan! Ketika aku jadi raja kelak, aku akan memperlihatkan semuanya kepadamu…"

"Hei, rambut berantakan." Pria berambut perak berhenti dan berbalik untuk melihat Marco sekali lagi.”Diam."

Marco segera berlutut dan membungkuk.”Aku mohon pengampunan darimu!"

"Daripada jadi Raja Keputusan," kata Haruhiro, sambil menatap ke arah Marco di bawah, "kenapa kau tidak menjadi Raja Sujud saja?"

"Raja Sujud?! Tidak mungkin! Tidak peduli seberapa lama aku bersujud, aku masihlah terlihat sangat keren!”

"Hei rambut berantakan." Nada pria berambut perak sekarang bahkan semakin mengerikan.”Ini sudah ketiga kalinya aku memperingatkan dirimu."

Marco berlutut lagi, membungkuk dengan begitu rendah, sampai-sampai dahinya menyentuh jalan berbatu.”Aku sungguh minta maaf padamu! Mohon maafkan aku.”

Orang ini sudah syah menjadi Raja Sujud, pikir Haruhiro, tapi dia tak pernah mengutarakannya. Jika Haruhiro mengatakan itu, maka Marco akan terus mengoceh tanpa akhir. Mereka berjalan dengan diam sampai Ruemedan Ahmad membawa mereka berhenti di depan suatu bangunan batu setinggi dua lantai.

Benda yang berada diatas bangunan itu adalah bendera bergambar bulan sabit merah pada latar putih, dan simbol yang sama muncul di papan nama.”PAS---CAD---BATAS---AT ” ditulis disana, tapi ada sesuatu yang tidak benar terlihat. Setelah dilihat lebih dekat, ia tahu bahwa bagian dari kata-kata tersebut sudah memudar, dan beberapa huruf telah jatuh.

"Tada!" Ruemedan Ahmad menunjuk ke tanda tersebut.”Akhirnya kita tiba! Ini adalah tempat yang terkenal! Pasukan Cadangan Perbatasan Atalante, Markas Red MooN."

"Red MooN," Haruhiro menarik napas, dan melihat tanda itu sekali lagi. Memang benar jika huruf yang hilang ditambahkan kembali, itu akan terbaca: Pasukan Cadangan Perbatasan Atalante, Markas Red MooN.

"Ayo masuk!" Sembari didorong oleh Ruemedan Ahmad, mereka memasuki bangunan itu, dan akhirnya mereka tahu bahwa bagian dalamnya terlihat seperti bar. Ruangannya luas, dilengkapi dengan meja dan kursi, dan ada juga meja counter di belakang. Di belakang meja berdiri seorang pria dengan tangan bersedekap. Tidak ada orang

lain yang hadir di sana.

"Di sinilah aku akan meninggalkan kalian!" Ruemedan Ahmad membungkuk pada pria di belakang meja.”Bro-bro, apakah kau akan berbaik hati dengan menjelaskan segala rincian tugas yang bakal dibebankan pada mereka?”

"Oke," pria yang disebut Bro itu menjawab, dan melambaikan tangan pada Ruemedan Ahmed. Dia merebahkan tubuhnya dengan gerayan lebay.

"Kalau begitu, aku pamit dulu, sampai jumpa!"

Ketegangan di ruangan tersebut tampak meningkat setelah pintu terayun dan ditutup oleh Ruemedan Ahmad.

Mungkin ini terjadi karena cara Bro memandangi mereka, seolah-olah dia sedang melakukan inspeksi. Tidak… itu tidak benar… mungkin alasan utama ketegangan ini adalah karena kehadiran Bro itu sendiri. Dia sangat aneh. Sangat aneh.

Bro mencondongkan tubuh ke depan, menempatkan siku di meja, dan menyandarkan dagunya di atas jari-jemari yang dilipat. Haruhiro melihat bahwa pria itu memiliki dagu terbelah. Rambutnya berwarna merah. Bibirnya berwarna hitam, tapi mungkin itu hanyalah lipstick. Dia memiliki alis lebat dan panjang yang melingkari mata

berwarna biru ... Mata berwarna biru langit itu membuat penampilannya semakin menakutkan. Wajahnya ditutupi dengan make-up yang tebal, dan tulang pipinya terlihat jelas karena dia mempertebalnya dengan blush warna merah terang.

Tapi, tidak peduli seberapa serius Haruhiro menatapnya, ia masih terlihat seperti manusia biasa.

"Hmm ... sangat bagus," kata Bro, sembari mengangguk. Dia meluruskan tubuh dan melanjutkan ucapannya, "Selamat datang, wahai anak-anak kucing muda. Namaku Bro Lan Victor. aku adalah seorang komandan, atau jika kalian mau, kalian bisa menyebutku 'bos'. Aku berasal dari Pasukan Cadangan Perbatasan Atalante, Red MooN. Kau boleh juga memanggilku 'komandan' atau 'Bro'. Semuanya terserah kalian, tapi pastikan kalian memanggilku dengan penuh kasih sayang seperti anak yang memanggil ibunya sendiri, paham?"

"Komandan." Pria berambut perak melangkah ke depan meja, dan dia memiringkan kepalanya ke satu sisi.”Jawab aku. Aku mengerti bahwa tempat ini disebut Atalante. Tapi, apakah yang disebut Pasukan Perbatasan itu? Apakah Pasukan Cadangan itu? Kenapa aku disini? Kau pasti tahu sesuatu, ‘kan?”

"Kau memang punya keberanian!" Bro berkomentar dengan gembira dan tertawa.”Aku suka anak-anak sepertimu. Siapa namamu?"

"Hector. Aku tidak suka orang bencong seperti dirimu."

"Apakah begitu?"

Apa yang terjadi selanjutnya, Haruhiro tidak cukup mengerti. Gerakan Bro tidak hanya cepat, tapi juga halus bagaikan mentega.

"Hector. Biarkan aku memberikan beberapa alasan padamu," Bro berkata sambil menyipitkan matanya. Tetapi pada saat Haruhiro menyadari apa yang terjadi, Bro sudah menodongkan ujung pisau tepat di bawah dagu Hector.”Tak seorang pun yang memanggilku bencong bisa hidup lama setelah keluar dari sini. Kau tampak seperti anak yang pintar, jadi kau pasti memahami apa yang aku katakan, ‘kan? Masih ingin mengejek diriku?”

 "Sungguh?" Jawab Hector. Haruhiro tersentak saat Hector meraih pisau dengan tangan kosong. Dia mencengkeramnya dengan cukup keras sembari mengepalkan genggamannya, kemudian darah mengalir deras dari sela-sela jarinya.”Aku tidak pernah memiliki niat untuk hidup lebih lama, dan sifatku membuatku tidak pernah mundur ketika menghadapi ancaman. Jika kau berniat untuk membunuhku, maka bunuh saja aku sekarang juga, wahai Komandan Bencong."

"Akhirnya ..." Bro menjilat bibirnya sendiri yang berwarna hitam dan membelai pipi Hector.”Aku akan melakukannya lagi dan lagi dengan sangat sempurna, sampai-sampai kau tidak akan melupakannya.”

"Kau tahu," Marco berbisik pada Haruhiro, "ketika ia mengatakan 'melakukan', maksudnya mungkin adalah melakukan hal-hal yang tidak biasa. Ya, pasti begitu."

"Ngelakuin apa sih?" Tanya si gadis berambut kepang pada Marco dengan ekspresi bingung.

"Err, yahhh, maksudku ... Dia akan meletakkan ‘itu’ pada tempat yang tidak semestinya. Kau tahu kan, ‘itu’ adalah tempat dimana biasanaya ‘itu’ muncul. Kamu tahu apa maksudku? Iya kan, Haruhiro?”

"Jangan memulai. Jika kau memulai percakapan ini, maka kau harus tanggung resikonya nanti."

"Dingin sekali. Apakah kau anti-sosial atau sejenisnya? Keterampilan orang-orang sepertimu ada di bawah titik nol.”

"Hey, hey." Gori yang tak pernah susah menyela perselisihan antara Hector dan Bro.”Bukankah kalian berdua baru saja bertemu? Lantas, apa gunanya saling berselisih? Mari kita saling memaafkan dan melupakan masalah ini! Mati kita bergembira dan berteman satu sama lain, oke? Oke? Demi aku!”

"Untuk kepentinganmu?" Hector mencemooh dan memelototinya. Namun demikian, ia akhirnya melepaskan pisau itu.

Bro juga menarik pisaunya, dan dia menyeka pisau berlumuran darah dengan kain.”Tampaknya selalu ada orang semberono dalam suatu kelompok. Delapan pria, empat wanita. Jumlah wanitanya cukup sedikit, tapi sepertinya itu tidak masalah. Pria cenderung lebih baik dalam pertempuran jika dibandingkan dengan wanita."

Alis Udin menyipit.”Pertempuran?"

"Oh, kau mendengarku?" Bro terkekeh-kekeh dengan pelan. Kemudian, Haruhiro mengulanginya dengan suara yang sedikit serak.”Bertarung."

"Tempat ini adalah markas pasukan cadangan, sehingga ..." Udin melirik ke bawah.”Itu artinya kami adalah pasukan relawan?"

"Tepat sekali!" Bro bertepuk tangan dengan perlahan.”Kau juga tampak menjanjikan. Tepat sekali. Kalian semua bisa menjadi pasukan relawan. Meskipun begitu, kalian benar-benar memiliki pilihan untuk menolak.”

"Wahai ahli membuat pilihan….," kata Haruhiro sembari menepuk punggung Marco.”Sepertinya bakatmu dibutuhkan di sini."

"Oh? Ah! Betul! Betul! Aku ... dibutuhkan?”

"Kau semua bisa memilih," kata Bro sembari menjentikkan jari telunjuknya dengan ringan pada mereka.”Mengambil tawaranku atau meninggalkannya begitu saja. Dan tawaranku adalah: daftarkan diri kalian sebagai Pasukan Cadangan Perbatasan Atalante, Red MooN. Nah, kalian akan memulai sebagai peserta latihan, itu berarti kalian

akan belajar bagaimana cara menjadi prajurit secara mandiri.”

"Apa…" tanya gadis berpenampilan mencolok, ekspresinya terlihat ketakutan, "kami harus mengerjakan pekerjaan sebagai pasukan cadangan?”

"Tentu saja kalian harus bertarung." Bro menjentikkan tangan dengan jengkel, seakan-akan dia enggan memberi penjelasan.”Di sini, di daerah perbatasan, kita sebagai manusia berselisih dengan ras-ras lainnya. Dan ras-ras tersebut adalah makhluk yang bisa kalian sebut monster. Pekerjaan pasukan perbatasan adalah membunuh

monster-monster itu dan melindungi perbatasan kita. Tapi jujur, itu bukanlah pekerjaan mudah. Kalian akan disibukkan dengan pekerjaan melindungi daerah Atalante sebagai markas terdepan. Di situlah kita, sebagai pasukan cadangan, dibutuhkan."

"Dengan kata lain," pria berkacamata mendorong kacamatanya sampai menempel pada hidungnya, "selagi pasukan perbatasan melindungi kota ini, pasukan cadangan keluar untuk mengurangi jumlah monster-monster itu. Apakah aku benar?

"Sebenarnya..." kata Bro sembari membuka tangannya lebar-lebar bagaikan bunga mekar. Dia melakukan itu agar terlihat manis, namun pada kenyataannya, pemandangan itu terlihat agak mengganggu.”Sebenarnya, kita adalah bagian dari pasukan perbatasan reguler. Kita melindungi daerah perbatasan bukan hanya dengan bertarung. Kalian juga akan ditugaskan ke luar perbatasan untuk memukul mundur lawan-lawan yang hendak memasuki kota. Namun, operasi skala kecil seperti itu tidak membutuhkan pasukan reguler dalam jumlah besar. Bergerak bersama pasukan besar memerlukan: perencanaan, persiapan logistik, jalur pasokan, dan berbagai hal merepotkan lainnya. Itulah yang berbeda pada kita.”

Gori mengangguk dengan antusias dan lebay ketika mendengarkan setiap keterangan dari Bro.”Apa maksudnya ‘kita berbeda’?"

"Pasukan cadangan." Bro melipat tangannya dan memutar-mutarkan jarinya.”Kita adalah pasukan yang mudah beradaptasi dan mudah dimobilisasikan. Kita akan memandu arah, menyusup, dan ber-gerilya. Kita bertugas melemahkan kemampuan musuh untuk melawan. Bahkan jika kita bekerja sama dengan pasukan reguler, kita tidak akan menjalankan taktik yang sama seperti mereka. Kita terorganisir dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri sekitar 3 sampai 6 orang, dan masing-masing kelompok menggunakan akal mereka sendiri, kemampuan untuk

mengumpulkan informasi, dan perhitungan ketika membasmi musuh. Seperti itulah tugas kita sebagai pasukan cadangan Red MooN, dan seperti itulah cara kita beroperasi.”

"Dan ..." Hector menekuk jari-jari pada tangan kanannya. Pendarahan pada jari-jemarinya tampaknya telah berhenti.”Bagaimana jika kami menolak tawaranmu untuk bertarung?"

Bro memiringkan kepalanya ke satu sisi, kemudian mendorong pinggulnya ke belakang. Tidak jelas apakah ia

mencoba untuk melawak atau memberikan ancaman dengan pose yang lucu. Apa pun itu, tingkahnya benar-benar menakutkan.

"Seperti yang sudah aku katakana sebelumnya, kalian selalu bisa memilih nasib kalian masing-masing. Jika kau memilih untuk tidak untuk menjadi anggota pasukan cadangan, kau dapat meninggalkan tempat ini sekarang juga, dan jangan pernah kembali lagi."

"Kalau begitu, sepertinya aku memilih untuk pergi," kata Marco. Dia mengusap-usap rambutnya yang berantakan.”Aku masih tidak tahu persis apa yang sedang terjadi, tapi aku adalah orang yang pasif.”

"Aku paham," kata Bro.”Kalau begitu, selamat tinggal…. Hati-hati di jalan."

"Itu saja!?" Marco, yang telah berjalan ke pintu, tiba-tiba berhenti dan berbalik dengan memutar tumitnya.”Kau sedingin Haruhiro! Tapi tunggu sebentar, jika aku pergi sekarang, apa yang harus aku lakukan?”

"Aku tidak lagi mempunyai tanggung jawab padamu," Bro tertawa.”Jika kau tidak ingin menjadi anggota Red MooN, maka kau bebas untuk pergi. Jika kamu memutuskan untuk mendaftar sebagai anggota pelatihan, kau akan menerima sepuluh perak dariku. Aku pikir, itu cukup untuk hidup saat ini.”

"Perak?" Mata Udin melebar sembari dia merogoh sakunya untuk mencari sesuatu.”Aku lupa ... kita butuh uang."

Haruhiro menggeledah kantong depan dan belakang celananya, namun dia tidak menemukan apa-apa. Ia tidak punya uang.

"Kerja paruh waktu," Marci mengerang dan meremas wajahnya.”Kalau begitu, aku harus mencari kerja paruh waktu secara berkala. Mungkin…"

"Semoga berhasil," kata Bro sembari mengangkat bahu dengan tingkah lebay.”Pekerjaan lain mungkin bahkan lebih  berat daripada menjadi pasukan relawan. Bahkan jika ada orang yang mempekerjakanmu, gajimu akan sangat rendah, sampai-sampai kau akan hidup dengan mengais-ngais rezeki. Mungkin juga kau akan memulai karirmu sebagai budak yang menjadi bawahan seorang Tuan.”

"Guh," Gori

memukul sisi kepalanya sendiri.”Aku tidak pantas jika harus bekerja sebagai

budak. Aku kira, tidak ada pilihan selain mengikuti rute pasukan pelatihan?”

"Aku ulangi lagi….Semuanya terserah pada masing-masing individu… apakah kalian mau mendaftar ataukah tidak, semuanya memiliki kebebasannya masing-masing" kata Bro sembari menunjukkan jarinya pada masing-masing individu pada kelompok kami.

Hector menghela napas panjang.”Kalau begitu katakan dengan singkat, apa yang harus aku lakukan selanjutnya."

"Oh, Hector, Kau mengecewakan aku. Apakah kau tidak mendengarkan? Kau harus melawan musuh dengan

menggunakan akalmu sendiri, kemampuan untuk mengumpulkan informasi, dan perhitungan yang akurat. Itulah cara kita beroperasi.”

"Jadi maksudmu, kami harus mencari tahu sendiri tentang apa yang akan kami lakukan sebagai pasukan

pelatihan?”

"Singkatnya," Bro mengangguk. Dia menaruh benda seperti koin berwarna merah pada masing-masing kantong kulit yang jumlah keseluruhannya adalah 12 buah. Bri mengambil salah satu benda mirip koin itu, yang terdapat ukiran bergambar bulan merah.

"Benda ini akan berfungsi sebagai pengidentifikasi dan simbol bahwa kalian adalah anggota pelatihan Red MooN. Ini akan menjadi satu-satunya bukti bahwa kalian adalah anggota pelatihan, jadi jangan sampai hilang. Yahh, kalian tidak harus menggenggam benda ini sepanjang waktu, sih….. Pokoknya, jika kalian setuju dengan kontrak dan membayar 20 perak, maka kalian akan menjadi anggota pelatihan resmi Red MooN. Artinya, kalian akan terikat oleh berbagai keuntungan dan pembatasan.”

"Tunggu sebentar," kata pria berambut cepak. ”Kau menyuruh kami membayar sejumlah uang untuk mendaftarkan diri sebagai relawan?”

"Ya. Apakah ada masalah dengan itu?”

"Itu tidak bisa diterima."

"Apakah kau bisa membeli makanan, pakaian atau melakukan sesuatu tanpa adanya uang? Jangan mengeluh pada sesuatu jika kau sudah membayarnya. Jika kamu tidak menyukainya, maka pergi saja kemudian mati di suatu tempat.”

Hector tersenyum.”Walaupun hidup adalah neraka, kita masih membutuhkan uang, eh?"

"'Neraka?'" Bro memiringkan kepalanya ke satu sisi, tampaknya dia tidak terbiasa dengan kata itu.”Ya, sepertinya hidup memang mirip seperti hal itu. Itu artinya, kau harus mencari tahu apa yang akan kau lakukan, dan ke mana kau harus pergi, tapi akan lebih bijaksana jika kau membayar kontrak agar terikat dengan Red MooN.”

"Baiklah," kata Hector, dia mengambil koin Red MooN dan kantong kulit miliknya. ”Anggota pelatihan pasukan cadangan atau apa pun itu, aku akan melakukannya dan pergi dari sini."

Pria berambut cepak pergi setelah Hector, dia mengambil koin merah dan kantong kulit miliknya. Gadis

berpenampilan mencolok, Udin, dan pria berkacamata melakukan hal yang sama.

"Aku juga akan mengambilnya, terimakasih banyak!" Gori menyatakan itu, lantas dia memilih suatu koin dan kantong. Namun, dia juga mengambil kantong kedua.

"Oi, hanya boleh ambil satu!" Bro menyentaknya dan menampar tangannya.

Haruhiro tidak bisa melihat pilihan selain ikut mendaftarkan diri. Tapi untuk apa? Dia tidak tahu. Mungkin untuk uang dan bertahan hidup di tempat ini? Jika bergabung dengan Red MooN adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan uang, maka dia tidak melihat pilihan lain, tetapi bagian dari dirinya sama sekali tidak menyukai ini.

Alice, gadis berambut kepang, dan gadis super kecil… semuanya tampak ragu-ragu. Begitu pula dengan Marco

dan si raksasa Barto. Mata biru langit milik Bro menatap mereka.”Dan bagaimana dengan kalian semua?"

"Aku punya semacam firasat bahwa aku akan terjebak pada suatu perangkap," Marco bergumam pada dirinya sendiri sementara bergerak mendekati meja.

"Kalau ada kemauan pasti ada jalan, kalau tidak ada kemauan, maka tidak ada jalan ...” gadis berambut kepang itu mengatakannya sambil mengikuti apa yang Marco lakukan.

"Um," Haruhiro menoleh ke arahnya.”Sepertinya perkataanmu itu salah."

"Oh, tapi itu benar toh?" Gadis berambut kepang berbalik menatapnya sembari meraih koin dan kontong miliknya.”Seingat Vina sih seperti itu.”

"Itulah masalahnya. Kalimat yang benar adalah: 'di mana ada kemauan, di situ ada jalan.'"

"Oh, aku paham. Namun bukankah ‘Kalau ada kemauan pasti ada jalan’ terdengar lebih imut? Vina pikir bahwa imut juga penting.”

"Ya, aku rasa poin keimutanmu naik beberapa level."

"Yep!" si gadis berambut kepang itu rupanya bernama Vina, dan dia pun hanya cekikikan dengan ekspresi kegembiraan yang ikhlas.

Sementara Haruhiro berbicara dengannya, gadis super kecil juga sudah memungut koin merah dan kantong kulit. Hanya tersisa 3 orang yang belum mengambil bagiannya, dan mereka adalah: Barto, Alice, dan Haruhiro sendiri. Entah kenapa, Haruhiro tidak ingin menjadi orang yang terakhir mengambil kantong itu, sehingga ia mengambil

jatahnya lebih cepat daripada 2 orang terakhir. Ketika Haruhiro sedang memeriksa isi kantong, Barto perlahan-lahan mendekati meja counter, dan mengambil bagiannya. Alice adalah yang terakhir mengambil miliknya.

"Selamat," Bro bertepuk tangan sembari memamerkan senyum pada mereka. ”Kalian semua adalah anggota pelatihan Red MooN sekarang. Bekerjalah lebih keras dan berusahalah dengan mandiri sesegera mungkin, oke? Bila kau telah menjadi anggota sepenuhnya, kau bahkan dapat kembali dan berbincang-bincang denganku. Kau boleh menemuiku jika ingin membahas apapun yang kau inginkan.”

Tiba-tiba, ada suara hentakan disertai dengan dengusan. Ketika Haruhiro menoleh ke arah suara itu, ia melihat bahwa pria berambut cepak sudah jatuh ke lantai. Itu terjadi begitu cepat, sampai-sampai Haruhiro tidak melihat apa-apa, tapi tampaknya Hector telah menendang si pria berambut cepak sampai jatuh. Apakah Hector sengaja

menjegalnya? Tapi mengapa?

"Bangunlah," kata Hector dengan wajah tanpa ekspresi.

"Apa yang kau lakukan?!" pria berambut cepak berteriak sambil bergegas berdiri. Hector mendorongnya kembali ke bawah, sampai membuat dia merangkak di lantai.

"Ada apa?" Kata Hector.”Bangun."

"********, apa sih yang kamu lakukan?"

"Saat kau melihat aku, kau pasti berpikir : ‘apakah dia lebih kuat dariku ataukah aku yang lebih kuat darinya’, bukankah begitu? Aku akan menunjukkan kepadamu. Cepat bangun."

"Sial!"

Hector menunggu untuk menyerang ketika pria berambut cepak mencoba bangun lagi. Itu sudah jelas, bahkan bagi pengamat dadakan seperti Haruhiro. Yang pria berambut cepak harus lakukan adalah menahan serangan Hector. Tapi itu tidak terjadi, pria berambut cepak mencoba untuk mengelak. Hector meninju sebelum lawannya bisa menghindar, kemudian dia menendangnya lagi. Hector mencengkeram telinga, menariknya, dan dengan erangan yang keras, lawannya pun bertekuk lutut. Tidak hanya sekali, tapi serangan itu terjadi beberapa kali secara berturut-turut. Hector kemudian menangkap kepala si pria berambut cepak dengan kedua tangan, lantas menanduknya

dengan kekuatan penuh.

Ada suara retak yang keras dan lawannya roboh ke lantai dengan posisi berlutut.

"Kau benar-benar keras kepala," Hector mengatakan itu sembari mengetok kepala lawannya dengan jarinya. Darah menetes dari dahi pria berambut cepak yang berubah warna menjadi sangat merah. ”Namamu?"

Pria berambut cepak masih roboh dengan satu tangan di lantai, dan lututnya masih bisa menopang berat badannya sendiri. Dia mempertahankan posisi itu mungkin karena dia menganggap bahwa jatuh terjerembab bukanlah hal yang bisa dibanggakan.

"Namaku Ron. Kau sungguh kuat, dasar ********.”

"Kau cukup tangguh. Bergabunglah dengan aku, Ron.”

"Ahh. Boleh saja.”

"Baiklah. Siapa lagi yang mau ...” Hector melirik di sekitar ruangan, dan matanya berhenti pada sosok Udin.

Udin membalas tatapan Hector, dan matanya bahkan tidak bergeming.

Lantas, Hector berpaling dari Udin begitu saja, kemudian dia malah memusatkan perhatiannya pada pria

berkacamata. ”Sepertinya kau bisa bertarung dengan benar. Ikutlah denganku."

Pria berkacamata berkedip beberapa kali, kemudian menyilangkan lengannya di atas dadanya. Dia mendorong

kacamatanya ke atas hidungnya dan mengangguk dengan keras, seolah-olah ada seseorang yang menarik-narik dagunya. ”Baik…baik. Namaku Putra. Terimakasih sudah mengajakku, Hector.”

Hector tersenyum dengan licik, lalu matanya tertuju pada Haruhiro.

Apa? Aku? Mungkinkah aku menarik perhatiannya ... pikir Haruhiro. Dia terkejut, seakan-akan jantungnya

melompat di dalam dadanya. Penampilan Hector tidak hanya kuat…. Namun dia sudah membuktikan kekuatan yang sesungguhnya dengan mengalahkan Ron begitu mudah. Dia juga memiliki kemampuan untuk berpikir cepat dan mengambil tindakan dengan tepat. Tampaknya, sulit bagi Haruhiro untuk bekerja bersama Hector tanpa

disertai rasa takut, namun jika dia bisa menanggulangi rasa takut itu, maka Hector adalah anggota kelompok yang sangat bisa diandalkan. Jika Haruhiro bergabung dengan grup Hector, berbagai hal yang akan dihadapinya kelak akan jauh lebih mudah.

Haruhiro mengakui itu. Ya, ia ingin bergabung dengan kelompok Hector. Dia sangat menginginkannya.

Tapi ia segera kecewa. Hector, langsung saja mengabaikannya dan merubah tatapannya pada orang lain. Sepertinya Haruhiro tidak cukup layak di mata Hector.

"Kau, yang kerdil itu."

"Ya?" si gadis super kecil menjawabnya dengan suara imut. Dialah yang terkecil dari ke duabelas anggota kelompok, dan begitupun dengan suaranya.

"Ayo," Hector member isyarat dengan satu tangan.”Chibi" tampak bingung, tapi dia bergerak mendekati Hector dengan terhuyung-huyung, kemudian menatapnya. Hector pun menepuk kepalanya.

"Kau sepertinya akan berguna, maka ikutlah denganku."

Chibi mengangguk.”Oke." Wajahnya merah, seperti warna gurita rebus. Sepertinya, peran gadis itu di dalam kelompok Hector tidak lebih dari sebuah maskot.

Tapi, Hector bilang bahwa dia nanti akan berguna? Sungguh? Hector telah menganggap bahwa si kecil akan

lebih berguna daripada Haruhiro. Dia merasa sedih sekaligus jengkel.

"Kami akan pergi," kata Hector sembari memberikan isyarat dengan mengarahkan dagunya ke jalan keluar.

Ketika Hector, Ron, Putra, dan Chibi mulai meninggalkan tempat, si gadis berpenampilan mencolok meneriakkan

sesuatu, "Tunggu! Bawa aku bersamamu!"

Hector menghela napas pendek.”Aku tidak butuh orang yang tidak berguna bagiku."

"Aku akan melakukan apapun," katanya sembari menempel padanya. ”Namaku Sasa. Kumohon, aku akan

melakukan apapun yang kau minta…. Apa pun….."

"Apa saja?" kata Hector sembari mendorongnya agar menjauh.”Jangan pernah lupa kata-kata itu."

"Tidak akan."

"Dan jangan menyentuhku tanpa izin."

"Aku mengerti."

"Baik. ikutlah."

"Terima kasih, Hector!"

Sasa membuka pintu dan kelompok Hector beranjak keluar. Sasa adalah yang terakhir keluar. Ketika pintu

tertutup kembali, yang tersisa di dalam ruangan adalah 7 orang yang telah ditolak oleh Hector.

"Gah," Gori mengerutkan kening dan menggaruk kepalanya.”Aku juga ingin bergabung dengan tim Hector. Hector dan Ron tak terkalahkan dalam pertarungan, Putra terlihat seperti orang pintar, Chibi manis, dan Sasa juga manis. Sungguh bagus Party itu. Tapi tidak ada gunanya mengeluh tentang hal itu sekarang. Aku akan pergi melihat-lihat di sekeliling kota. Sampai jumpa!"

Setelah hanya mengatakan itu, Gori pun pergi. Tatapan mata Haruhiro bersilangan dengan Alice untuk sesaat, sebelum akhirnya mereka saling memalingkan wajah.

"Kurasa, aku juga akan pergi," kata Udin sembari menuju pintu keluar.”Kita tidak akan mendapatkan apapun dengan berdiri di sini tanpa bertindak. Aku akan melihat-lihat sekeliling dan mencaritahu apa yang bisa aku temukan. Sampai jumpa nanti.”

"Baiklah, sampai jumpa nanti," kata Haruhiro, dan dia pun melambaikan tangan untuk mengucapkan salam perpisahan. Dalam hati, Haruhiro merasa bahwa akan lebih baik jika dia mengikuti Udin Tidak seperti Hector, Udin lebih mudah untuk didekati, dan dia tampak seperti seorang pria yang berhati baik. Tampaknya, dia bisa diandalkan.

Haruhiro tidak peduli pada Marco, tapi bagaimana dengan Alice dan Vina? Apa yang mereka rencanakan untuk selanjutnya? Dan Barto juga masih di sini. Oh, benar. Jika mereka semua mengikuti Udin bersama-sama, mungkin mereka bisa….... tapi itu sudah terlambat. Udin sudah pergi. Namun, jika mereka mengejar Udin sekarang, sepertinya mereka masih bisa menyusulnya.

"Hei, semuanya, mari kita semua mengikuti Udin. Tidak ada gunanya tinggal di sini ...” Haruhiro mengatakan itu di saat pintu terbuka dengan tiba-tiba.

Apakah Udin kembali untuk kami? Itulah pikir Haruhiro, namun ternyata bukan. Orang yang memasuki bangunan

itu adalah pria yang berbeda. Sepertinya dia lebih tua daripada Haruhiro dan yang lainnya. Tubuh bagian atas dan bawahnya ditutupi dengan kulit, dan dia mengenakan semacam topi berbulu di kepalanya. Ada juga busur dan tempat anak panah yang tergantung di punggungnya. Tatapan matanya setajam rubah, dan mulutnya sedikit bengkok.

"Selamat pagi, Komandan."

"Aduh…. Aduh" Bro berpaling pada pria itu.”Bukankah kau Ragil. Apa yang terjadi? Apakah ada sesuatu yang kau butuhkan dariku?”

"Tidak…. tidak ada," pria yang disebut Ragil berkata sembari melirik Haruhiro dan yang lainnya. ”Aku mendengar bahwa kelompok lain baru saja tiba."

"Kabar memang berhembus dengan cepat. Aku baru saja kedatangan 12 orang, dan sekarang hanya tersisa 5 orang di sini.”

"Hanya tersisa ampas, ya?"

Marco pun mulai menggerutu.”Masalah bagimu?"

"Apakah ada yang lain?" Ragil berkata sambil melotot pada Marco, sebelum akhirnya dia mengalihkan pandangannya pada Haruhiro dan yang lainnya. Pria itu menganalisis mereka semua secara singkat.”Hmph. Kelompok kami baru saja kehilangan seorang raksasa, jadi…. Hei kau yang berbadan besar…… tampaknya kau cocok.”

Barto menunjuk dirinya sendiri.”…Aku?"

"Iya kamu. Siapa lagi pria yang berbadan besar di sini? Kami akan memintamu bergabung pada Party kami, dan kau akan diajari keterampilan menggunakan tali. Kami bahkan akan meminjamkan uang padamu. Ini adalah tawaran yang luar biasa. Jika kau cerdas, kau pasti tidak mau melewatkan kesempatan ini.”

"Ah, oke ..."

"Serius, Barto? Kau akan pergi dengan dia?” Marco menyambar lengan kiri BArto.”Jangan lakukan itu. Sudah jelas dia tidak bisa dipercaya ...”

"Ah, benar ..."

"Aku tidak bisa dipercaya!? Lupakan dia, dan bergabunglah denganku!” Ragil menarik lengan Barto yang lain. ”Keterlaluan jika ada anggota pelatihan yang mengabaikan ajakan bergabung dengan suatu Party. Kau harus bersyukur!”

"Uh, oke ..."

"Jangan biarkan dia menipumu, Barto! ******** pengkhianat tidak pernah mau diperlakukan seperti pengkhianat!”

"Eh, um ... ow ... sakit ..."

Marco melepaskannya. ”Oh, maaf, maaf."

"Ayo kita pergi!" Ragil menyentakkan Barto dengan segenap kekuatannya, dan menyeret Barto keluar.

Bahu Alice melemas.”... Dia pergi."

"Dengan begitu..." Vina menghitung orang yang tersisa di sekitarnya, dan menunjuk masing-masing individu. Satu, dua, tiga; Haruhiro, Marco, Alice. Dan yang terkhir adalah dirinya sendiri. ”Semuanya ada empat.”

"Sampai kapan kalian berdiri di situ," kata Bro sambil menguap, "Apakah kalian semua berencana tinggal di sini? Aku adalah orang yang sibuk, dan aku punya pekerjaan yang harus dikerjakan. Jika kalian hanya akan berdiri di sana, maka aku akan mengusir kalian.”

Marco tampak seperti anjing yang ekornya berada di antara kakinya, dan dia pun menoleh pada Haruhiro dan yang lainnya.”Ayo pergi?"

"Ya," Haruhiro

menjawab dengan ekspresi payah dan menyedihkan.

Episode 3 - Kehilangan dan Tak Punya Pilihan

Sepertinya, pilihan terbaik adalah meninggalkan markas Red MooN, namun ke mana mereka harus pergi? Walaupun mencaritahu lebih banyak informasi tentang Atalante adalah langkah pertama, Haruhiro dan yang lainnya tidak tahu dari manakah mereka harus memulai. Mereka juga tidak tahu siapakah yang bisa dimintai bantuan. Kelompok Hector, Gori, Udin, bahkan Ragil dan Barto tak tahu sudah pergi ke mana. Sepertinya semuanya sudah berpisah untuk menapaki jalannya masing-masing.

 Haruhiro, Marco, Alice, dan Vina berdiri di luar markas Red MooN dalam keadaan linglung selama beberapa waktu.

Alice lah yang pertama kali berbicara untuk memecah keheningan.”Ap...Apa yang harus kita lakukan sekarang?"

Mengapa bertanya? Justru aku lah orang yang harus bertanya padamu, Haruhiro ingin menyelatuk seperti itu, namun atas dasar kesopanan terhadap gadis, dia pun membalas pertanyaan itu,

"Pertanyaan bagus. Apa yang harus kita lakukan sekarang…"

"Apa... yang harus kita lakukan?" Ulangnya.

"Kalian..." Marco menghela napas berat.”Kalian harus lebih… yahhh kalian tahu… lebih mandiri atau semacamnya. Sekarang bukan waktunya untuk bertanya tentang apa yang harus dilakukan…."

"Kalau begitu, apakah kau punya ide?" Kata Haruhiro.

"Aku sedang berpikir keras tentang itu."

Vina terkikik.”Berarti, kamu juga tak punya ide."

Marco menggosok bagian bawah hidungnya dengan jari.”Sialnya, aku masih belum punya ide.”

Ini sungguh menyebalkan, Haruhiro hanya bisa berpikir seperti itu. Mungkin Ragil benar; mungkin mereka hanyalah ampas yang tak berguna. Mereka adalah empat ampas yang tidak bisa membuat keputusan atau melakukan suatu hal pun secara mandiri. Bahkan sejak awal, mereka belum tentu bisa bekerjasama, dan yang mereka lakukan saat ini hanyalah terpaku di depan markas Red MooN bersama-sama. Jika dibandingkan dengan yang lain, mungkin ini adalah pilihan terburuk.

"Barto sangat beruntung," kata Marco, dan dalam hati, Haruhiro setuju dengannya. ”Ragil tampak seperti semacam tempat berteduh baginya, lagipula dia adalah seorang veteran. Barto bisa tinggal di tempatnya dengan gratis. Bahkan mungkin, dia akan mendapatkan kemudahan karena telah bergabung dengan Party veteran yang tahu berbagai hal. Mengapa dia dipilih? Akulah yang seharusnya mereka ambil. Aku sungguh lebih berguna daripada dia. Serius.”

"Nggak tau deh," kata Yume dengan ramah, dan Haruhiro menimpali, "Aku meragukannya."

Marco menuding pada mereka berdua secara bergiliran. "Kalian berkata begitu karena kalian tidak pernah tahu tentang apa yang mampu aku lakukan! Jangan lupa ini. Aku adalah seorang pria yang penuh bakat! Aku sudah terkenal bahwa aku memiliki potensi tersembunyi sejak lahir!”

"Potensimu tidak akan tersembunyi jika kau terkenal," Kata Haruhiro.

"Tidak sopan! Kau akan kelelahan jika menganalisis semua kelebihanku secara mendetail."

"Aku malah lelah karena mendengar ocehanmu."

"Kau sama sekali tidak punya stamina, Haruhiro. Tidak berguna sama sekali. Buruk sekali, buruk, buruk, buruk.”

"Hanya perkataan macam itu yang bisa keluar dari mulut seorang pria berambut berantakan."

"Jangan sebut rambutku berantakan!"

"Hei, bukankah rambut berantakan juga merupakan hal yang bisa kau banggakan?”

"Sungguh? Apakah rambut berantakan sekeren itu? Aku tidak benar-benar percaya padamu…"

"Tapi rambut Vina lurus, iya toh?" Kata Vina. ”Vina selalu cemburu pada rambut keriting alami seperti itu. Jadi, aku tidak memasalahkan rambut Marco yang berantakan!”

"Sungguh? Apakah rambutku benar-benar keren? Serius?”

"Ya! Rambut berantakan berarti pikirannya juga berantakan, dan itu sungguh menawan!”

"Menawan? Aku baru tahu bahwa ada pria yang disebut menawan oleh seorang gadis ... tapi itu tidak buruk, aku kira. Namun, pikiran yang berantakan membuat diriku terkesan seperti orang idiot ...”

Suatu suara dengusan pelan bisa didengar. Haruhiro berbalik dan melihat Alice menyembunyikan wajah di balik tangannya, dan bahunya sedikit bergetar.

"Whoa." Marco menatap dengan heran.

Vina juga memandang Alice, dan dia berkedip. Tentu saja, Haruhiro juga terkejut. Ternyata Alice sedang menangis.

"A-apa yang salah?" Tanya Haruhiro sembari mengulurkan tangan untuk menenangkan bahu si gadis mungil yang terus bergetar. Mungkin, bukanlah ide yang baik untuk melakukan kontak fisik. Bagaimanapun juha, dia hanyalah seorang gadis kecil.

"T…Tidak….apa…apa." Alice menjawab dengan terpatah-patah. ”Sungguh… tidak apa-apa ... Aku hanya sedikit khawatir, itu saja ...”

"Ah..." kata Haruhiro.

Dia tidak bisa berkata apapun. Bahkan dalam keadaan seperti ini, mereka bertiga bisa bergurau dengan lepas tanpa mempedulikan sekitar. Setidaknya Alice ingin mengatakan bahwa dia begitu peduli tentang situasi yang tengah mereka hadapi saat ini.

"Cup…cup," Vina dengan lembut menepuk punggung Alice.”Gadis baik, gadis baik, ndak apa-apa kok. Semuanya akan baik-baik saja. Vina sendiri ndak paham sih, tapi ...”

Marco mengerutkan kening.”Kau tidak bisa meyakinkannya ..."

Haruhiro mengusap bagian belakang lehernya.”Tapi, kita memang tidak bisa berdiri terus di sini tanpa melakukan apapun. Walaupun kita berhenti berbicara, itu tidak akan membantu. Mungkin kita harus…. Yahh, kau tahu… eh ... Sepertinya kita harus menemukan anggota Red MooN veteran lainnya seperti Ragil. Mungkin ... kita bisa mencari seseorang seperti itu dan mengajukan beberapa permohonan.”

"Kalau begitu, carilah!" Marco menampar punggung Haruhiro. "Cari orang seperti itu dan dapatkan info tentang mereka! Akan kuserahkan semuanya padamu, Haruhiro!”

"Pintar sekali kau… menyuruh orang lain bekerja."

"Sepintar profesor!"

"Kau benar-benar membuatku kesal."

"Jujur saja, aku tak peduli akan perasaanku."

"Sialan."

"Diam. Kau sendiri yang menyarankannya, maka kerjakanlah saranmu itu, Memang seperti itulah dunia ini bekerja." kata Marco.”Tapi… okelah, kita bisa membagi pekerjaan ini. Haruhiro, tugasmu adalah pergi mencari anggota Red MooN dan mendapatkan informasi tentang mereka, pekerjaan Alice hanyalah menjadi gadis yang tertekan, pekerjaan Vina adalah membuat Alice merasa lebih baik, dan pekerjaanku adalah berdiam diri di sini sambil menunggu kau kembali!"

"Marco, Apakah kau sungguh berniat bermalas-malasan dan tinggal di sini?" Haruhiro menjawab.

"Aku senang melakukan berbagai hal, namun aku benci melakukan pekerjaan yang tidak asyik.”

"Bersenang-senang... bukan itu intinya."

"Kesenangan adalah alasan utama! Aku adalah seorang pria yang menghabiskan setiap waktu untuk menikmati kesenangan hidup. Jika hidupku tidak menyenangkan, maka itu bukanlah hidupku. Bagaimana denganmu, Haruhiro? Kau mungkin adalah orang yang tak pernah menikmati hidup, itu terlihat jelas pada matamu yang selalu

mengantuk.”

"Mataku terlihat seperti ini sejak aku dilahirkan!" Tampaknya gentian Marco yang menghakimi Haruhiro, namun dia pun tak banyak protes, "Baik. Aku akan pergi. Aku akan berkeliling untuk mencari anggota Red MooN.”

"Akhirnya. Kenapa kau tidak bilang sejak awal kalau kau bersedia? Kita tak perlu banyak berdebat, kan?”

Haruhiro sangat ingin memaki Marco sebagai balasan, namun sepertinya itu tak ada gunanya. Orang seperti Marco hanya akan menurunkan levelmu menjadi serendah dirinya. Itu tidak layak.

"Aku akan kembali sebentar lagi, tunggu saja di sini," kata Haruhiro pada Vina dan Alice, lantas dia pun   meninggalkan markas Red MooN.

Dia masih tidak tahu ke mana dia harus pergi. Matahari mungkin mengarah ke timur, itu artinya di sebelah sana adalah utara, dan di sini adalah selatan, kemudian barat ada di sebelah sana.

Pada arah utara, terdapat suatu menara besar bagaikan kastil yang menjulang tinggi ke langit. Bangunan itu adalah titik tengara yang baik, sehingga Haruhiro memutuskan untuk pergi ke arah menara tersebut. Tapi ia bukanlah seorang turis, Haruhiro mengingatkan itu pada dirinya sendiri. Apakah pergi ke sana adalah suatu ide yang baik?

Haruhiro tidak memiliki keraguan bahwa semuanya akan baik-baik saja pada Kelompok Hector. Udin mungkin masih bisa bertahan, entah bagaimana caranya. Si Gori yang tak pernah susah mungkin tanpa malu bertanya pada semua orang di kota. Haruhiro berharap Barto tidak tertipu oleh Ragil. Jika Ragil benar-benar bisa dipercaya,

maka Barto mungkin adalah orang yang memulai petualangan ini dengan sangat baik jika dibandingkan dengan anggota lainnya.

"Kurasa aku tidak punya pilihan selain menemukan seseorang untuk ditanyai," Haruhiro berkata kepada dirinya sendiri. Tapi siapa? Mungkin orang-orang yang berjalan-jalan di sekitarnya ... tapi tunggu dulu. Pertama, apa yang harus ia tanyakan? Pasukan cadangan. Benar, ia harus bertanya tentang Red MooN. Lantas, di manakah ia akan menemukan anggota Red MooN?

Dia mulai mencari orang yang berlalu-lalang di sekitarnya dengan penampilan paling menjanjikan. Umur tidak masalah, tetapi seseorang yang tampak ramah adalah pilihan yang lebih baik. Namun, hampir setengah dari keseluruhan orang di kota memusatkan perhatian pada Haruhiro. Lebih tepatnya, mereka menatapnya. Apakah

Haruhiro terlihat aneh? Mungkin dia memang terlihat aneh. Pakaiannya sungguh berbeda.

Tidak peduli di mana pun ia mencari, ia tidak sanggup menemukan orang yang bisa didekati. Dia punya perasaan bahwa semua orang melihatnya seperti semacam alien. Atau mungkin dia saja yang paranoid?

"Sepertinya ini adalah pekerjaan yang tidak mudah. Atau mungkin aku saja yang terlalu pengecut ...”

Haruhiro berkeliaran di jalan-jalan yang tampak asing. Dia menuju ke arah menara dan mencoba untuk mengumpulkan keberaniannya. Yah, ia punya perasaan bahwa cepat atau lambat keberaniannya pasti akan semakin meningkat. Terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali, tapi ...

Lalu ia tiba di suatu tempat. Setelah melewati alun-alun yang bersih, dia mendapati suatu menara batu yang megah. Sebagian besar bangunan di sekitarnya terdiri dari 2 tingkat, namun ada beberapa yang terdiri dari 3 tingkat. Bangunan di sekitarnya yang relatif pendek membuat kesan bahwa menara itu sangatlah tinggi, namun kenyataannya menara itu memang cukup tinggi menjulang.

Itu adalah suatu bangunan yang megah. Bangunan itu tampak sangat kokoh. Jendela dan pintu dihiasi dengan dekorasi yang dibuat halus. Di samping pintu gerbang dan beberapa tempat di sekitar alun-alun, berdiri pria yang terbungkus dengan armor besi. Ada juga para penjaga yang berdiri sambil memegang tombak pada satu

tangan, dan perisai pada tangannya yang lain. Bangunan itu dijaga dengan ketat, mungkin ada seorang petinggi yang tinggal di sana. Mungkin seorang Gubernur berdiam di sana, pikir Haruhiro.

Sementara Haruhiro berdiri di tengah alun-alun dan menatap bangunan tersebut dengan mata terbelalak, seorang penjaga mendekat. Armor pria itu berdenting karena beberapa logam saling berdempet.

"Apa yang kamu lakukan di sini? Apakah kau punya urusan dengan Menara Tenku?”

"Tenku? Ehh, tidak ada. Aku tak punya urusan dengannya ...”

"Kalau begitu pergilah. Atau apakah kau ingin ditangkap dengan tuduhan sebagai pengacau ketenangan Yang Mulia Khun Atalante?”

"Eh, tidak, aku tidak ingin ditangkap ... Benar juga. Maaf, aku akan pergi.”

Haruhiro buru-buru meninggalkan alun-alun. Dia tidak bisa memastikan, tapi ternyata menara yang disebut Tenku didiami oleh orang yang merupakan bangsawan di daerah perbatasan ini. Dia merasa bahwa ia telah berhasil mengumpulkan potongan pertama informasi tentang tempat ini. Tapi siapa pun yang tinggal di sana, dia pasti adalah sosok yang terkenal pada daerah ini.

"Atalante. Khun Atalante. Yang Mulia. Menara Tenku. Perbatasan ... Pasukan Frontier. Red MooN. Pasukan cadangan ...”

Haruhiro membisikkan semua kata-kata asing itu pada dirinya sendiri sembari terus melaju ke utara.

Sembari dia berjalan, semakin banyak orang muncul pada jalanan di sekitarnya. Toko. Dia telah tiba pada daerah di mana toko berdiri, dan juga terlihat warung pinggir jalan yang penuh sesak dengan pengunjung. Walaupun masih ada beberapa stan yang masih bersiap-siap, lebih dari setengah dari mereka sudah dibuka untuk berbisnis. Di sana terdapat berbagai macam stan makanan, toko pakaian, dan barang-barang kebutuhan lainnya dalam jumlah besar. Kegaduhan para pedagang yang mempromosikan barang-barang mereka bisa terdengar dan itu membuat suasana

di sekitar semakin hidup.

"Suatu pasar?" Kata Haruhiro pada dirinya sendiri.

Seakan-akan sedang diarahkan, Haruhiro pun memasuki area perbelanjaan itu. Aktivitas perdagangan semakin banyak dan sesak. Harga semua item ditulis dengan kode 1C, 3C, 12C, dan sebagainya. Haruhiro bisa membaca tag harga yang cukup baik, tapi dia tidak begitu tahu makna tulisan itu. Para pedagang memanggilnya, "Kau Pak, apa yang ingin kau beli ...” ada juga yang berkata padanya, " Kamu Pak, datang dan lihatlah ...” Tapi Haruhiro menghindari mereka dan bergegas melanjutkan perjalanan. Haruhiro mengutuk dirinya sendiri karena dia bahkan

tidak memiliki keberanian untuk berinteraksi dengan pedagang yang jelas-jelas tidak berbahaya.

Tiba-tiba, aroma sedap memenuhi udara. Rambut di belakang leher Haruhiro naik.

"Daging…"

Mulutnya mulai berair. Makanan ... Seseorang yang berdiri di sana sedang memanggang kebab. Ada juga stan yang menjajakan hidangan mendidih dari suatu penci besar, di stan lainnya, terlihat gunungan roti yang ditumpuk dan menggugah selera. Berbagai jenis sandwich ada di sana, ada juga roti kukus isi daging di situ ... Uap, asap, aroma. Haruhiro tidak tahan lagi. Tangannya mulai mengusap-usap perut, dan dia sadar bahwa perutnya berbentuk cekung ke dalam. Kenapa baru sadar sekarang? Dia sedang kelaparan.

"Tapi... tapi Alice dan Vina sedang menunggu," Haruhiro menegur dirinya sendiri. ”Siapa yang peduli pada Marco, tapi ... tidak benar jika aku meninggalkan mereka di sana sementara aku mengisi perut di sini.”

"Tapi ... pepatah lama berkata 'Kau tidak akan bisa bertarung dengan perut kosong." Dan Haruhiro membenarkan tindakannya sendiri.”Itu artinya, aku juga tidak bisa berjalan dengan perut kosong ... dan aku tidak ingin berjalan dengan perut kosong ... Permisi!”

Karena tidak mampu menahan lebih lama lagi, Haruhiro pun langsung menuju ke arah stan daging kebab. Dia dengan panik mencari kantong kulit dan mengeluarkan koin perak. Apakah dia bisa membeli makanan dengan ini? Apakah itu cukup? Bagaimana jika itu tidak cukup?

"Tolong beri aku satu kebab!" Kata Haruhiro.

"Apa!?" Mata pria berperut buncit di belakang stan melebar. ”Satu perak?! Kau tidak perlu membayar sebanyak itu! Satu kebab harganya empat perunggu… harganya tertulis jelas di sini, apakah kau lihat? Aku tidak memberikan diskon, tapi aku juga tidak bisa menerima hal yang berlebihan! Itulah cara Kebab Dory berbisnis!"

"Empat perunggu?" Haruhiro melihat koin.”Maksudmu aku tidak bisa membeli kebab dengan ini?”

"Saru perak bernilai seratus perunggu. Kau dapat membeli 25 kebab dengan itu. Kau tidak mungkin memakan kebab sebanyak itu, kan? Lagipula, ini bukan waktunya makan siang, jadi aku hanya punya 50 perunggu sebagai kembalian.”

"Jadi perunggu adalah ..."

"Tentu saja koin berwarna perunggu ini…." Pria berperut buncit mengeluarkan koin yang tampak seperti simbol milik anggota pelatihan Red MooN, tapi mungkin ukurannya lebih kecil. Dia pun menunjukkan itu kepada Haruhiro.”Ini adalah perunggu. Jangan bilang kau tidak tahu? Walaupun kau memang berpakaian aneh.... kau adalah seorang anggota Red MooN, kan?"

"Um, tidak juga. Aku hanyalah seorang anggota pelatihan. Aku masih baru.”

"Aku paham. Nah, kau adalah anggota Red MooN yang sedikit 'berbeda', mudah-mudahan kau paham apa yang aku maksudkan. Meskipun kau punya perak, apakah kau tidak punya satu perunggu pun?”

"Tidak, tidak ada perunggu. Dan satu perak seharga seratus perunggu ...” Dengan kata lain, 10 perak yang Haruhiro miliki saat ini harganya sama dengan 1000 perunggu. Dia bisa membeli 250 kebab. Tapi satu kebab saja ukurannya sudah sangat besar, dan dia pasti kekenyangan jika makan satu. Dengan demikian, 250 kebab berarti 250 kali makan. Jika dia makan 3 kali sehari, maka dia bisa bertahan hidup selama sekitar 80 hari. Itu cukup lama. ”Maaf, aku masih seorang anggota pelatihan.”

"Jadi, kau tidak paham tentang perunggu." Orang berperut buncit itu mengerutkan kening dan kemudian mengambil napas dalam-dalam. ”Kalau begitu, kau pasti juga tidak paham tentang Bank Atalante. Mengapa kau tidak pergi ke sana dan melihat-lihat? Kau bisa menukarkan uangmu di sana untuk membeli segala sesuatu, bahkan kau bisa menyimpan uang sisa milikmu.”

"Bank Atalante?"

"Tempatnya terletak pada arah selatan dari pasar ini. Keluarlah dari sisi Menara Tenku, lewatilah 3 jalan, kemudian belok kiri. Bank itu ada di sana. Kau tidak akan kesulitan menemukannya karena ada tanda di luar bank tersebut.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!