"Mas ayo dong! Aku sudah telat ini!" teriak istriku dari halaman rumah. Aku dan istriku menikah sudah 13 tahun namun semakin kesini sikap istriku semakin membuatku kesal.
"Iya,iya sebentar." ucap ku sambil mengeluarkan motor dari dalam rumah.
"Ayo dong mas ini sudah jam berapa? Kamu kan juga harus kerja." gerutu istriku
"Iya iya sabar dong." jawabku kesal
Motor melaju menembus keramaian kota mengantarkan istri menuju kantor yang berada di pusat kota.
Setalah tak berapa lama akhirnya sampai di depan kantor, istriku pun langsung turun dan melepas helmnya. Setelah berpamitan dan mencium tanganku ia langsung masuk ke dalam kantor. Akupun bergegas menuju kantor tempatku bekerja. Jalanan yang semakin padat mengakibatkan kemacetan di beberapa tempat. Aku berusaha mendahului pengendara agar aku tidak terlambat untuk datang ke kantor. Dan benar saja aku datang jam 8 tepat ketika memasuki kantor.
"Tumben siang Gas?" sapa satrio yang lebih dahulu sampai
"Iya nih, tadi harus antar istri dulu soalnya."
"Memang motor istrimu kemana Gas? bukankah ada motor sendiri?"
"Motornya masuk bengkel Yo, nanti baru mau di ambil." jawabku sambil duduk di kursi kerja
Suasana yang semula sangat hening tiba tiba dkagetkan oleh suara teriakan Satrio
"Apa? beneran pak?" semua rekan kerja nampak kebingungan melihat reaksi Satrio yang harus berteriak. Namun semua tak ada yang berani bertanya tentang apa yang terjadi. Mereka hanya berbisik dengan teman yang berada disamping mereka.
Setelah pak Bayu meninggalkan Satrio barulah kami menanyakan apa yang sebenarnya terjadi pada Satrio.
"Ada apa sih Yo?" tanya Bela ingin tahu
"Aku mau di pindah tugaskan ke pusat." jawab Satrio lesu. Seketika suasana di dalam kantor menjadi haru. Kehilangan teman seperjuangan akan tetap membuat sesak dalam dada. Meskipun ia di pindah tugaskan ke tempat yang lebih baik namun kebersamaan bersama Satrio sudah melekat diantara kami semua.
"Kita harus mengadakan perpisahan untuk Satrio." ucap Bela kepada semua rekannya
"Iya aku setuju, jam makan siang kita ketemu di cafe dekat kantor saja." jawabku memberi usul
Setelah beberapa lama akhirnya jam makan siangpun tiba aku dan rekan rekan kerja menuju cafe untuk mengadakan perpisahan Satrio. Baru saja aku meletakkan pantat di kursi cafe tiba tiba hp ku berdering.
"Hallo, iya ini lagi makan siang. Di cafe dekat kantor. Apa? Sekarang? Aku gak bisa, soalnya ada perpisahan temen aku. Kamu pulang naik ojek saja, aku sibuk." aku memutus telepon sepihak karena masih teringat perlakuan istri yang membuatku seperti ini.
Setelah acara perpisahan dengan Satrio semua kembali ke pekerjaan masing masing. Meskipun jam jam segini kantuk mulai terasa namun semua tetap fokus kepada pekerjaan.
...****************...
Ketika motor sudah terparkir dihalaman rumah kulihat Boy anak sulungku sedang bermain dengan ayah di teras. Tak nampak keberadaan istriku dirumah.
"Hai Boy, bermain apa kamu?" aku mendekat dan Boy langsung meraih tanganku untuk di cium.
"Main lego ini yah."
"Oh, dimana ibu Boy?"
"Gak tau yah." jawab Boy sambil fokus bermain lego kembali
"Siska belum pulang Gas" ucap ayahku dengan sedikit rasa kesal. Memang ayahku sedikit tidak menyukai Siska karena ia terlalu sibuk dengan dunia nya, sehingga pekerjaan rumah sering kali terlupa atau bahkan tidak pernah ia kerjakan. Menyapu tak pernah, Mencuci baju pun harus aku yang melakukan, Memasak sering kali ditinggal dan akhirnya gosong. Sudah habis beber0a panci karena ulah Siska. Anak pun sangat tidak dekat dengannya. Tidak seperti kebanyakan ibu yang selalu dekat dengan anak mereka. Anakku malah dekat dengan kakeknya dan pengasuhnya. Mungkin itu yang menjadikan ayah tidak suka terhadapnya.
Setelah beberapa menit menunggu namun ia juga tak kunjung pulang aku berusaha untuk menelponnya. Terdengar nada sambung di telinga menandakan jika ponselnya aktif, namun tak kunjung di angkat. Ku coba mengulangi beberapa kali panggilan hingga akhirnya deru mesin motor memasuki halaman. Terlihat dua sosok wanita berhijab sedang asyik bercanda gurau. Satu wanita turun dari motor dan melambaikan tangan kepada wanita yang lain. Setelah kepergian wanita itu aku langsung menghampiri Siska dan menyakan keberadaannya seharian ini
"Dari mana kamu? Jam segini baru pulang. Lihat Boy tidak ada temannya! Apa kamu sudah tau Boy sudah makan atau belum? Sudah mandi atau belum?" cerocosku tak henti
"Aku baru saja ada pertemuan mas, aku tadi minta jemput untuk antar aku ke tempat pertemuan, tapi kamu yang gak bisa."
"Kenapa gak kasih kabar juga?"
"Sudahlah mas aku capek seharian ini, lagian dirumah kan ada ayah jika pengasuh Boy sudah pulang." jawaban seperti ini yang aku tidak suka dari Siska. Ia selalu meremehkan semua orang disekitarnya. Dan lagi saat dirumah bukannya suami dan anak yang mereka cari, namun ia akan langsung kedalam kamar dan bermain dengan benda pipih yang canggih itu. Entah apa yang dia lakukan berkirim pesan dengan orang atau hanya pura pura sibuk agar terbebas dari pekerjaan rumah.
...****************...
Drrtt,drrtt
Ponsel diatas nakas berbunyi menandakan pesan masuk. Aku bangkit untuk meraih ponsel itu dan tertera nama Satrio disana. Matahari belum sepenuhnya bersinar ada apa ini pagi pagi Satrio memghubungiku. Ku lihat istriku juga sudah bangun dari tidurnya, terlihat layar ponsel yang menyala dari balik selimutnya. Posisinya yang membelakangiku membuatnya todak sadar jika akupun telah bangun.
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun" gumamku membuat istriku menoleh kepadaku
"Loh mas Bagas sudah bangun? Siapa yang meninggal mas?" tanya Siska
"Iya sudah makanya jangan lihat hp terus, jadi gak sadar kalau suami sudah bangun." jawabku kesal. Bukannya bangun menyiapkan sarapan atau melakukan pekerjaan seperti istri istri yang lain ini malah bermain hp.
"Ayah Satrio meninggal, nanti kamu ikut melayat dulu ya?"
"Gak bisa mas, hari ini aku sangat sibuk."
"Sebentar saja."
"Gak bisa ya gak bisa mas, kamu kesana sendiri saja!"
"Satrio itu teman aku dari SMA lo Sis, seenggaknya kamu menunjukan simpatimu kepadanya." ucapku kesal penuh penekanan
"Aku sibuk mas, gak bisa di tinggal pekerjaanku. Lagian kamu kan juga sudah datang kesana, sudahlah tidak apa apa." ucap Siska kekeuh
Mendengar jawaban Siska akan membuat tambah kesal aku putuskan meninggalkannya dan duduk di teras rumah. Terlihat para petani berbondong menuju ke sawah mereka. ada yang berjalan kaki, ada yang naik sepeda serta tak ketinggalan ibu ibu rumah tangga yang sudah asyik ngerumpi di tukang sayur. Semua memiliki kesibukan sendiri, tidak seperti istriku yang hanya hp,hp,dan hp terus.
"Monggo mas Bagas." teriak bapak bapak ketika berjalan di depan rumah.
"Eh, i-iya pak. Sudah mau berangkat pak?" teriakku membalas sapaan mereka
"Iya mas Bagas, olahraga dulu disawah,hahaha" teriak bapak bapak yang membawa cangkul dipundaknya dan menggenggam teko air ditangan satunya.
"Hahaha bapak bisa saja, hati hati pak!" sahutku.
"Iya mas Bagas terimakasih." begitulah bertetangga saling menyapa saling melempar gurauan. Ini yang membuatku merasa betah tinggal didesa
Sudah sejak lama aku duduk di teras rumah kopi panas tak juga kunjung datang, apa yang sebenarnya di lakukan istriku didalam. Menyapu tidak, berbelanja tidak. Aku kembali masuk ke dalam rumah dan mencari keberadaannya namun yang terlihat hanya ayah yang sudah siap dengan peralatan bebersihnya.
Aku menengok dalam kamar ternyata istriku masih asyik dengan ponselnya di bawah selimut, terkadang ia tersenyum melihat benda pipih itu.
"Siska?"
"Siska?"
teriakku membuka pintu kamar lebar
"Apa sih mas, pagi pagi kok teriak teriak!"
"Kamu tu ya, beberes rumah tidak sibuuuuk terus dengan hp!" aku meraih hp di genggamannya dan melemparnya jauh. Masih untung hp itu tidak terpelanting ke lantai, hanya jatuh diatas kasur lantai yang sedikit mengeras.
"Mas ni apa apaan sih!" teriak Siska mendorong tubuhku dan berjalan memgambil ponselnya
"Mas kenapa sih sebenarnya? datang datang hanya mau marah? Ini masih pagi lo mas."
"Kamu itu sudah tau masih pagi seharusnya juga tahu apa yang harus kamu lakukan, bukan malah bermain hp terus di dalam kamar."
"Aku sedang bisnis mas. Kamu sih gak tau." gerutu Siska meninggalkanku keluar dari kamar
Kulihat Siska berjalan menuju dapur, ya akhirnya dia tau juga apa yang harus ia lakukan setiap pagi. Seperti membuatkanku secangkir kopi misalnya gumamku dalam hati. Loh kok dia berjalan terus, apa dia malah ke kamar mandi. Benar benar keterlaluan Siska. Jika sudah masuk kedalam kamar mandi mau berapa jam pun ia akan betah disana. Aku menghela nafas berat.
...****************...
"Mas ayo kita berangkat!"
"Hm"
Ia sudah siap dengan seragam kantor dan sapatu hells nya, tak lupa sebuah jam berwarna perak melingkar di pergelangan tangannya. Tas kecil juga tak luput dari pundaknya serta tangan kirinya memegang helm yang hendak ia gunakan
"Ayo mas, sudah telat nih. Kemarin sih lupa mau ambil motor di bengkel karena ada pertemuan." gerutu Siska sambil menaiki kursi penumpang
"Hm" jawabku
Motor kulajukan sedikit kencang, alih alih mendapat pelukan dari Siska malah pukulan di belakang punggung yang ku dapat
"Gak usah ngebut juga kali mas!" teriaknya dibelakang punggungku
Aku melakukan itu karena sengaja agar ia memelukku dan melepaskan benda pipih itu dari tangannya. Namun apalah daya, semua yang ku lakukan sia sia.
Pernikahan ini semakin lama membuatku semakin muak dengan sikap Siska. Berbagai pertanyaan hinggap di kepala mengenai tingkah lakunya yang semakin berubah. Apakah dia memiliki kekasih lain? Kenapa dia terkadang tersenyum sendiri melihat ponselnya? Kecurigaan mulai merasuki pikiran ini. Aku mencoba menepis, namun semua perbuatan Siska membuatku semakin menaruh curiga.
"Gas, kok melamun saja sih? kamu nanti ikut malayat bareng kita gak?" tanya Bimo membuyarkan lamunanku
"Eh i-iya, bareng kalian saja."
"Ok habis pulang kantor ya? Jangan lupa! Nanti kamu malah pulang lagi, kamu kan termasuk Isti (Ikatan Suami Takut Istri) hahaha." tawa Bimo mengejekku, aku hanya tersenyum kecut menanggapi perkataan Bimo. Memang sedari dulu aku berusaha mementingkan istri dari hal lainnya, termasuk berkumpul dengan teman teman. Namun apa yang aku lakukan justru tidak sepadan dengan yang aku dapatkan dari istriku. Ia tak seperhatian dulu, selalu sibuk dengan dunianya dan ia juga tidak mau jika aku hendak menyentuhnya.
...****************...
Bendera kuning yang berkibar menandakan rumah yang sedang berduka. Terlihat Satrio duduk termenung disudut ruangan dengan sesekali mengusap ujung netranya. Suasana rumah duka sudah terlihat sepi, hanya beberapa kerabat yang masih singgah disana.
"Yo, ada teman temanmu." suara ibu ibu memakai gamis hijau tosca mendekat ke arah Satrio. Satrio yang semula termenung mendongakkan kepala dan mencoba berdiri menyambutku dan teman teman.
"Sabar ya yo."
"Turut berduka cita ya yo."
"Yang sabar mas Satrio."
"Sabar ya yo, semoga amal ibadahnya di terima oleh Allah SWT."
Ucapan duka terus bergantian dari rekan rekan kerja membuat Satrio kembali menitikkan air mata
"Ma-maafkan al-almarhum jika me-mempunyai ke-kesalahan." sahut Satrio dengan penuh isak
Hari semakin sore, kami memutuskan untuk pulang setelah melantunkan do'a bersama dan berbincang sebentar dengan Satrio.
...****************...
"Dari mana mas?" tanya Siska saat aku melangkah masuk kedalam rumah
"Melayat dari rumah Satrio"
Ku lepaskan sepatu dan menaruhnya di atas rak. Kuletakkan tas kerja di sebuah kursi sudut di ruang tamu dan merbahkan tubuhku disana. Ku mencoba memejamkan mata namun pikiran buruk menghantui diri. Apakah mungkin Siska selingkuh? atau memang jualan online? aku mulai curiga dengan semua sikap Siska. Aku bangun dan menuju ke kamar mandi, kusiram tubuh ini dibawah air mengalir agar menjadi lebih rileks. Setelah beberapa waktu di kamar mandi aku memutuskan untuk ke kamar berganti baju dan mencoba bicara dengan Siska.
"Sis?" tak ada sahutan
"Sis?" lebih keras aku memanggilnya namun tak juga ada sahutan
"Sis?" teriakku membuat Siska membulatkan mata
"Apa sih mas, teriak teriak mulu deh." jawabnya tanpa merasa bersalah
"Kamu sudah aku panggil 3 kali tapi gak nyahut tau gak?" jawabku kesal
"Iya iya ada apa?"
"Aku mau ngomong."
"Ngomong ya ngomong aja mas, gitu aja harus bilang mau ngomong." jawab Siska tanpa memalingkan wajahnya dari layar pipih itu
"Kamu lihat apa sih?"
"Ini grup kantor aku mas." jawabnya terus asyik membalas pesan teks tersebut yang terkadang disertai senyuman dari bibirnya.
"Emang ada yang lucu? kok kamu senyum senyum begitu?" bukannya jawaban yang aku dapat malah tertawa lebar yang ia suguhkan. Aku menggelengkan kepala melihat tingkah Siska, hingga aku putuskan meninggalkan kamar.
Belum sampai kaki melangkah keluar Siska memanggilku hingga membuatku menoleh dan berhenti
"Mas mau kemana? Katanya mau ngomong?" ucapnya menatap ke arahku. Sebenarnya Siska wanita punya perasaan gak sih, hal seperti itu saja masak harus dijelaskan. gumamku dalam hati
"Mas kok diam saja? Katanya mau ngomong?" Sudah kutungguin lo dari tadi" aku menghela nafas berat. Ku langkahkan kaki mendekat dimana Siska berada seperti sebelumnya.
"Kamu itu ditungguin malah mau keluar!" ucapnya sambil menepuk punngungku sedikit keras.
"Ayo sekarang ngomong!" aku masih membungkam mulut agar dia merasa bahwa dialah yang salah disini. Namun semakin aku mengunci rapat mulut ini bukannya merasa bersalah ia kembali melanjutkan pesan singkat di layar ponselnya.
Aku mengeram marah dan segera merebut ponsel itu dan memasukkannya kedalam saku celanaku. Aku sudah muak dengan sikap Siska yang seperti itu
"Mas ih,apa apaan sih? Balikin hp aku dong!" Siska mencoba mencari dan mengambil ponsel yang aku sembunyikan.
"Kamu diam dulu!" bentakku lebih tegas kali ini
"Mas kenapa sih?" ia menarik tangannya dari pangkuanku dan menatapku nanar
"Apa kamu gak merasa bersalah?"
"Bersalah kenapa mas? memangnya aku salah kenapa? aku dari tadi dikamar terus lo." ucap Siska membela diri
"Kamu tetap tidak bisa melihat apa kesalahanmu?" suara lantamg kembali aku ucapkan untuknya. tapi lagi dan lagi Siska tidak merasa bahwa dirinya bersalah, ia hanya terus menggelengkan kepala tanda ia tidak melakukan kesalahan.
"Apa yang kamu sembunyikan dariku?"
"Apa yang kau sembunyikan dariku?"
"Apa? Gak ada apa apa mas!" jawab Siska mengelak. Aku mengambil dan membuka ponsel Siska. aku harus tau apa yang dia lakukan sehingga tidak ada waktu selain bermain ponsel.
"Mas apa apaan sih, sini hp nya!" teriak Siska merebut dan menyembunyikan hp
"Oh kamu ternyata bermain serong di belakang aku ya Sis?"
"Enak aja, mas jangan asal tuduh dong."
"Kalau begitu bawa sini hp nya!"
"Gak mau, mas tau gak ini PRI-VA-SI."
"Oh begitu, ok fine." aku meninggalkan Siska di dalam kamar. Hari sudah semakin larut, aku memutuskan untuk tidur di kamar Boy.
"Ayah kok tidur disini?" tanya putra ku curiga
"Iya, soalnya di kamar panas siapa tahu di kamar Boy gak panas lagi." jawabku memberi alasan. satu detik, dua detik hingga beberapa lama mata ini belum juga terlelap. Pikiran ini terus tertuju pada sikap Siska yang keterlaluan. Terlebih lagi setelah aku tinggalkan, bukannya ia mencariku dan meminta maaf padaku tapi yang terjadi ia tetap kekeuh dengan pendiriannya dan tidak berusaha mengejarku.
'Ok baiklah, itu privasimu. Aku tidak akan mengusik dirimu lagi, begitu kamu, jangan pernah mengusik hidupku!' gumamku dalam hati
Beberapa kali aku memejamkan mata akhirnya mimpi membawaku ke alam bawah sadar. Aku tak tahu kapan aku tertidur yang jelas malam ini akan menjadi mal yang sangat panjang bagiku.
...****************...
Koko ayam di pagi hari tak juga membuatku terbangun dari mimpi. Hingga dering ponsel berbunyi dan membangunkanku. Alisku berkerut, terlihat panggilan dari nomor yang tak tersimpan dalam kontakku, hendak aku abaikan takut memang ada yang penting, akhirnya aku putuskan untuk menjawab. Belum sampai tombol jawab aku tekan, panggilan itu sudah berakhir. Ku tunggu panggilan berikutnya namun tak kunjung datang. Akhirnya aku menaruh kembali ponsel itu di atas nakas. Beruntung hari ini hari minggu, aku tidak perlu ke kantor dan bertemu dengan Siska. Aku akan diam di kamar Boy sampai merasa lebih baik.
Kulangkahkan kaki ingin keluar dari kamar, bagaimanapun akan sangat bosan jika seharian di dalam kamar, namun aku masih malas untuk bertemu Siska. Ku urungkan lagi niatku aku kembali bersandar di ranjang Boy. Tanganku meraih ponsel di atas nakas
'Baru pukul 9' gumamku, namun semakin lama aku menunggu, membuat cacing cacing diperut kian meronta. Mereka sudah tak bisa menunggu untuk makan sesuatu. Akhirnya ku langkahkan kaki ke dapur mencari makanan. Betapa terkejutnya aku melihat kondisi dapur. Begitu bersih dan rapi, tanpa ada makanan apapun yang tersaji. Aku semakin kesal dibuatnya. Aku memutuskan untuk mencari makan diluar, saat aku melintasi kamarku dan Siska terdengar ia sedang tertawa - tawa kecil di dalam sana. Aku semakin geram dan merasa marah. Ku langkahkan kaki dengan cepat, terlihat Boy dan ayah di teras rumah.
'pasti mereka juga belum makan, akan aku bungkuskan nanti untuk mereka'
"Ayah mau kemana?"
"Mau keluar sebentar, kamu tunggu disini dengan eyang kakung ya?"
Boy hanya mengangguk dan melanjutkan bermain
"Belilah makanan! Di dapur tidak ada apa apa. Kasian Boy belum makan." seru ayah setelah aku naik diatas motorku
"Iya."
Motor melaju menuju warung makan lalapan. Hanya berjarak 1 kilometer dari rumah. Aku memesan 3 bungkus nasi lalapan dan segera kembali kerumah.
Sesampai dirumah aku langsung memberikan bungkusan itu kepada ayah dan Boy. Sedangkan aku memilih makan di dapur. Saat hendak ke dapur, tepatnya di depan kamar aku melangkah bersamaan Siska keluar dan sudah bersiap dengan menenteng tas di pundaknya hendak keluar. Akupun terus berjalan ke dapur dan tidak menyapa ataupun bertanya kepadanya, begitupun sebaliknya.
Terdengar ia menyapa Boy dan ketika Boy merengek ingin ikut bukannya turut mengajaknya ia malah menolak dengan alasan ia akan bekerja. Akhirnya Boy dapat menerima alasan itu hingga ia todak merengek lagi. Deru mesin motor semakin lama semakin menghilang, ya Siska sudah berangkat.
Daripada aku hanya berdiam diri dirumah semakin membuatku lebih suntuk akupun pergi meninggalkan rumah. Biarlah Boy bersama ayah yerlebih dahulu, toh ia sudah lebih besar sehingga tidak terlalu merepotkan ayah. Dan juga ibunya saja tidak mau memgajaknya.
Aku menyalakan motor dan bergegas pergi. Ku telusuri jalanan kota karena akupun tak memiliki arah tujuan, setelah berputar untuk yang kesekian kali aku putuskan berhenti di cafe dekat alon alon. Aku memesan kopi untuk menemaniku duduk di cafe. Setelah pesanan datang terlihat sekumpulan wanita datang dengan riuhnya duduk di hadapanku.
'Itu kan?' gumamku sambil menunjuk ke arah salah satu wanita yang kemungkingkan aku kenal. Ia pun melihat ke arahku dan berjalan mendekatiku. Ia menggeser bangku di depanku.
"Hai Gas, sudah lama gak ketuma ya?" serunya mengulurkan tangan
"Eh i-iya Vir." aku pun menyambut uluran tangan Virna. Iya, dialah Virna seseorang yang pernah dekat denganku begitu pula Siska. Sebelum menikahi Siska aku sempat menaruh hati kepadanya. Virna yang merupakan teman sekelas Siska merupakan primadona di sekolah. Aku ingin mendekatinya dengan bantuan Siska. Namun bukannya ia yang ku dapat melainkan Siska lah yang menjadi istriku.
"Bagaimana kabarmu Gas?
"A-aku baik kok Vir. Kalau kamu?"
"Aku juga baik, gimana kabar Siska?"
"Mm, sudahlah gak perlu bahas Siska." jawabku kesal jika mengingat nama Siska
"Kok gitu sih?" tanya Virna bingung
"Lagi ada masalah ya?" sambung Virna
"Mm" aku bingung menjawabnya. Memang kondisi ku dengan Siska saat ini sedang bermasalah
"Suamimu bagaimana kabarnya?" akupun melontarkan pertanyaan yang sama agar ia berhenti menanyakan Siska
"Aku sudah bercerai dengan Damar." ucap Virna dengan tersenyum tanpa merasa canggung ataupun bersedih atas perceraiannya
"Kok bisa?" tanyaku ingin tahu
"Vir...."teriak seseorang teman Virna dengan lambaian tangannya
"Aku pergi dulu ya, lain kali kita ngobrol lagi boleh minta nomormu?" ucap Virna sambil mengambil ponselnya di dalam tas. Akupun menyebutkan nomor ponselku dan Virna mencatatnya. Virna melambaikan tangan dan kembali beekumpul bersama temannya. Saat Virna baru saja meninggalkan tempat duduknya datang lagi seorang wanita yang sangat aku kenal. Dengan wajah masamnya ia duduk di hadapanku. Aku mendengus kesal melihat wajahnya hingga kupalingkam wajahku dan melihat kesisi yang lainnya.
"Apa yang kamu lakukan mas?" tanya Siska melebarkan matanya
"Jadi kamu selingkuh dengan Virna dibelakang aku?"
ucapan demi ucapan dikatakan Siska dan tak ada satupun yang perlu aku dengar dan aku jawab, karena semua perkataan Siska tidak ada yang benar.
Aku mengunci rapat bibir ini, karena malas bertemu Siska, apalagi di tempat ramai seperti ini
"Mas?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!