Bertumpu di atas dua kaki yang lemah, nyaris ambruk tanpa sisa tenaga ternyata sangat sulit untuk dilakukan. Keseimbangan seperti hilang namun tubuh menolak untuk rubuh.
Hembusan angin malam yang dingin, menerbangkan dedaunan dari sebatang pohon tinggi yang berdiri tegak di bawah jalan layang hingga hanya dedaunannya saja yang terlihat jelas.
Di bawah sana, ada sebuah danau yang di belah oleh jembatan besar dengan riak airnya yang tenang namun menghanyutkan.
Helaian rambut hitam nan panjang ikut terbawa terbang bersama semilir angin dingin yang meremangkan bulu kuduk bagi jiwa yang sedang gamang.
Di tepian jalan itu, tepat di atas tembok penghalang jalan, berdiri seorang wanita yang tengah menatap nanar riak air danau di hadapannya. Wajah sembab dengan tatapan kosong, hidungnya yang merah dengan lingkar mata yang bengkak seperti telah mengeluarkan seluruh air matanya hingga habis.
Hanya tersisa air mata terakhir di sudut mata yang ia biarkan mengering terbawa tiupan angin yang menerpa wajahnya.
Helaan nafasnya yang berat terasa sangat sesak dengan banyaknya amarah yang bergejolak di rongga dada. Sesekali ia memejamkan matanya berharap semua bayangan kejadian hari ini hilang dari benaknya. Tolong, jangan terlalu bising, aku sedang sangat lelah, mungkin begitu pekiknya dalam hati.
Sayangnya semakin lama sepertinya isi kepalanya semakin hingar. Semakin banyak suara yang ia dengar dengan beragam emosi yang berpadu menjadi satu. Dan semakin lama bayangan kekecewaan di benaknya semakin nyata silih berganti tanpa bisa ia hentikan.
Merentangkan tangannya, seraya menengadahkan wajahnya menatap langit malam yang gelap, wanita itu lalu memejamkan matanya. Sebentar saja, berada di bawah langit malam yang di terangi ribuan bintang sementara ia merasa sangat sepi, harusnya ini untuk yang terakhir kalinya. Lain kali, ia ingin merasakan hangat dari cahaya gemintang yang menyinarinya dan membuatnya tidak merasa sendiri.
Bukan, tidak hanya langit. Mungkin semua hal ini cukup ia alami untuk terakhir kalinya.
Satu langkah lagi, ia melangkahkan kakinya menuju ujung tembokan yang curam, maka semuanya cerita sedih ini akan berakhir. Tidak ada siapapun di sana selain beberapa kendaraan yang melintas dan sesekali mengabadikan moment apa yang mereka lihat.
“Itu tuh cewek beneran apa kuntilanak sih?” salah satu remaja yang berada di atas boncengan sepeda motor, menghentikan laju kendaraannya lantas menepi.
Ia memperhatikan baik-baik wanita yang berdiri di ujung tembok pembatas pinggir jalan layang.
Satu remaja yang berada di atas boncengan ikut memperhatikan. Matanya membelalak saat ia sadar ada yang salah dengan wanita itu.
“Dia mau bunuh diri begok!” timpal remaja itu. Ia turun dari motor yang melaju pelan lalu berjalan lebih cepat, menghampiri wanita itu.
“Cewek beneran ya?” remaja yang masih di atas motor ikut turun. Yang ia ingat saat ini adalah mengeluarkan ponselnya dari dalam saku, menyalakan kamera lantas mengambil beberapa foto dan video lalu mempostingnya di laman media sosialnya.
“Viral nih pasti!” imbuhnya lagi dengan tergesa-gesa. Baginya ini kesempatan langka yang bisa membuat akun media sosialnya viral.
Secepat ketikan jari, live video yang ditayangkan pun diikuti banyak orang dan langsung dihujani banyak komentar. Remaja itu tampak asyik membalas setiap komentar yang masuk dengan jawaban yang di buat seolah suasana sangat mencekam.
Sementara temannya lebih memilih mendekat pada wanita itu.
“Deketin dong ngab!” komentar salah satu netizen.
“Hahahaha..” remaja itu tertawa girang karena berhasil mendapat banyak perhatian.
“Terus deketin bro!” lanjutnya penuh antusias.
Namun seruannya tidak di hiraukan kawannya. Remaja itu malah berjalan mendekat pada wanita yang seolah mengabaikan kegaduhan mereka.
“Kak, lo lagi ngapain?” tanya remaja tersebut. Ia terus mendekat pada wanita yang hanya membisu.
“Bro, gue zoom ya?” bisik temannya yang mendekat.
“Berisik bego! Orang lagi kayak gini lo malah asyik live! Gila lo ya!” Hardik remaja tersebut seraya menepis ponsel temannya.
Ponselpun terjatuh dan terlempar cukup jauh.
“Haish! Anjrit lo emang.” Dengan segera remaja itu mengambil ponselnya. “Geblek , layarnya sampe retak gini.” Gerutunya, tidak terima ponselnya jadi korban. Ia mengusap-usap layar ponselnya dengan lengan baju.
“Ada apaan dek?” tanya seseorang dari dalam mobil yang berhenti di dekat remaja itu.
“Tau tuh bang, ada yang mau bunuh diri kali.” Ucapnya acuh. Saat ini memeriksa ponselnya jauh lebih penting.
Tidak menunggu lama, sampai kemudian beberapa mobil dan motor ikut berhenti dan melihat apa yang terjadi di depan mereka. Mereka berkerumun dan mulai gaduh.
“Kak, jangan maju!” seru remaja tersebut. Satu langkah yang hendak di ambil wanita itupun terhenti.
“Di situ berbahaya, sini lo kasih tangan lo ke gue okey.” Bujuk remaja tersebut seraya mengulurkan tangannya.
Wanita itupun menurunkan tangannya yang terentang. Bibirnya yang pucat tersenyum simpul. Ada kepedihan yang ia simpan di balik tarikan garis bibirnya.
Dengan wajah yang cemas dan berusaha menenangkan, remaja itu mendekat.
“Percaya sama gue, kasih tangan lo ke gue. Kalau ada apa-apa, gue bisa dengerin lo. Lo bisa omongin semuanya baik-baik. Gak usah,”
“Berhenti.” Lirih wanita itu. Pelan namun tegas.
Langkah remaja itupun terhenti dengan wajah yang di liputi kekhawatiran.
Orang-orang semakin banyak berkerumun dan kendaraan ikut menepi mencari tahu apa yang menghadang jalan mereka. Sebagian ikut mengeluarkan ponselnya dan melakukan hal yang sama, merekam dan memfoto. Sementara beberapa orang inisiatif menghubungi kantor polisi untuk meminta bantuan.
“Okey, gue berhenti tapi tolong lo jangan maju. Please kasih tangan lo ke gue,” suaranya terdengar terbata-bata. Bukan perihal mudah membujuk seseorang yang memiliki keinginan untuk mengakhiri hidupnya, agar berhenti.
Kalimatnya pun terhenti, saat tiba-tiba wanita itu berbalik. Menunjukkan wajah cantiknya yang terlihat pucat. Rambut yang tergerai dan berantakan. Mata yang merah dan basah, serta bibirnya yang kering, pucat pasi.
“Lo tenang okey.” Remaja itu mengendap mendekat, langkahnya hati-hati agar tidak mengusik wanita yang terlihat putus asa tersebut.
“Kasih tangan lo ke gue, hem?” Ia kembali mengulurkan tangannya.
Melihat betapa berantakannya penampilan wanita itu, tentu bukan sebuah candaan jika kemudian ia berdiri di tepian jurang dan siap melompat.
Perlahan wanita itu menggeleng. Air matanya yang sudah kering, kembali menetes tanpa isakan. Bibirnya yang kering itu bergetar, seperti bergumam tapi tidak ada suara yang terdengar.
Remaja itu mengernyitkan dahinya. Seperti wanita itu tengah memberikan pesan terakhir.
“Gue gak denger suara lo!" gertak remaja itu setengah panik.
"Apapun yang mau lo sampein, lo sampein di sini. Depan gue langsung.” Lagi, ia berusaha membujuk.
Wanita itu hanya menggeleng. Lantas ia tersenyum. Tidak lagi berusaha berbicara, seperti tenaganya habis. Dan dalam beberapa saat,
“AAARRGGG!!!!!!!” beberapa orang berteriak saat tiba-tiba wanita itu mundur satu langkah seraya memejamkan matanya sebelum kemudian memilih menjatuhkan tubuhnya dari ketinggian.
“KAK!!!!” sontak remaja itu terteriak. Tangannya yang terulur kini gemetaran dan kakinya yang lemas. Matanya membulat sempurna tidak percaya kalau wanita tadi benar-benar sudah tidak ada lagi di hadapannya. Wanita yang ia bujuk susah payah, pergi dengan cara yang ia pilih sendiri.
“BYUR!!!” di susul suara air yang menyembur saat tubuh wanita tersebut yang tercebur ke dalam danau.
“BELLA!!!!” teriak seorang laki-laki yang tiba-tiba saja berlari kencang menuju tepi jalan, menyusul wanita itu. Dan,
“BYURR!!!” suara kedua yang terdengar di susul oleh teriakan orang-orang yang melihat.
Hening. Ya untuk beberapa saat semua hening dengan pikiran mereka yang kosong tanpa bisa berpikir apapun.
“Apa mereka mati?” Mungkin hanya pertanyaan itu yang ada di benak mereka.
Dalam beberapa saat, mereka kompak berlari menuju tepi jalan. Melihat ke bawah jembatan yang ternyata sangat tinggi jaraknya dari permukaan danau. Hanya riakan air yang terlihat di permukaan.
“Apa mereka mati?” tanya seorang wanita dengan gemetar.
Remaja itu hanya menggeleng. Melihat jarak jembatan dan danau setinggi ini, ia tidak yakin kalau dua orang itu selamat.
Di bawah sana, seorang laki-laki berenang menyelam ke dalam danau. Ia mencari tubuh wanita yang tadi di susulnya. Beruntung air danau tidak terlalu keruh sehingga masih bisa melihat dalam air walau samar-samar.
Matanya membulat saat tubuh wanita itu sudah melayang di dalam air dengan mata terpejam. Tidak ada usaha untuk berontak saat dalamnya air danau perlahan mengisi mulut, hidung lalu rongga paru-parunya. Hanya gelembung air yang kemudian keluar bersamaan dengan helaan nafasnya yang hampir habis. Seperti ia sudah sangat siap dengan apa yang akan dihadapinya.
Dengan cepat laki-laki itu menghampiri sang wanita dan meraih tubuhnya. Di tariknya tubuh wanita itu ke permukaan lalu berenang dengan cepat menuju tepian danau.
Membaringkannya di tempat yang rata dengan sekujur tubuh yang basah kuyup. Tetesan air masih berderai melewati rahangnya yang kokoh lalu menetes bersamaan dengan air dari rambutnya.
“BELLA!! HEY!! BELAA!!!” panggil laki-laki itu seraya menepuk wajah sang wanita.
Matanya yang bulat terlihat merah dan dipenuhi kecemasan.
“BELLA PLEASEEEEE BELL!!!” suaranya nyaris putus asa.
Wanita bernama Bella itu tidak merespon sedikit pun.
Dengan cepat ia memeriksa pernafasan Bella, mendekatkan telinga ke hidung dan mulut Bella. Tidak ada hembusan nafas yang terasa. Dadanya pun tidak terlihat bergerak naik turun layaknya seseorang yang bernafas normal.
Di periksanya denyut nadi Bella, masih terasa walau lemah. Tanpa menunggu lama, ia segera mengkompresi dada Bella bergantian dengan memberi napas buatan.
“Bella!!! Bertahan bell!!!” gumam laki-laki itu seraya terus mengkompresi dada Bella.
Tiga kali melakukan hal yang sama, mengkompresi dan memberi nafas buatan sampe akhirnya,
“HUWEK!!!” Bella memuntahkan air dari saluran pernafasannya.
Dengan cepat laki-laki itu meraih tubuh Bella dan membantunya bangun. Di peluknya Bella dengan erat. Sedikit bisa bernafas lega saat ia bisa mendengar hembusan nafas Bella yang masih tersengau.
“Bella, hey! You're safe bell, you’ll be okey hem? Hey...” menepuk-nepuk wajah Bella yang tampak kelelahan dan berusaha menarik nafas dengan berat.
Bella menatap laki-laki di hadapannya yang terlihat panik. Lekat untuk beberapa saat,
“Devan...” ujarnya berbisik.
“Ya ini gue. Ini gue bell.” Serta merta Devan mengeratkan pelukannya pada Bella. Ada tangis yang di tahannya di antara rasa syukur karena wanita ini masih bernafas dalam pelukannya.
Bella hanya terpaku. Tanpa ada sisa tenaga akhirnya ia terkulai lemas jatuh pingsan di pelukan Devan .
“Gue capek, van.” Batinnya, sebelumnya kesadarannya sepenuhnya hilang.
*******
1 bulan lalu
Suara langkah kaki ceria beradu dengan lantai keramik yang di pijak oleh seorang gadis dengan 4 laki-laki muda yang mengikuti langkahnya di belakang. Ia asyik menunjukkan letak ruangan di kantor tempat ia bekerja berikut orang-orang yang berada di ruangan tersebut. Ritme bicaranya yang teratur dengan intonasi suara yang enak di dengar serta bibir yang selalu tersenyum menjadi daya tarik tersendiri dari gadis berusia 25 tahun ini.
Para lelaki muda di belakangnya asyik mencatat apa yang di jelaskan gadis yang akrab di sapa Bella oleh rekan kerjanya.
“Ini ruangan koordinator produksi, ada mas iwan.” Ujar Bella seraya mengetuk pintu ruangan.
“Mas iwan, izin yaaa...” imbuhnya saat membuka pintu.
“Yo bell. Bawa anak baru?” tanya laki-laki setengah baya yang sedang merapikan rambutnya sehabis solat ashar.
“Magang mas. Di departemen aku. Ayo kalian sapa mas iwan, dia orang paling loyal di PH ini.” Bella mengacungkan jempolnya pada para lelaki di belakangnya.
“Sore mas.” Kompak mereka terangguk sopan.
“Sore. Selamat datang di sarangnya dunia creative. Tempat dimana program-program seru di buat di PH ini." Tidak lupa Iwan mempromosikan PH tempatnya bekerja.
"Beruntung kalian ketemu bella yang gemoy ini, dia jiwanya departemen art.” Ia menunjuk Bella yang tersenyum kagum pada laki-laki penuh kharisma ini.
Iwanpun balas mengacungkan jempolnya pada Bella, membuat para laki-laki itu menatap Bella dengan penuh penasaran. Sehebat apa sih wanita supel ini? Mungkin itu yang ada di benak mereka.
“Sa ae mas iwan. Makasih ya mas, aku tinggal.”
“Lanjut bell! Jangan lupa minum kopi.” Canda Iwan yang di sahuti gelengan kepala dan tawa kecil dari Bella. Iwan memang sangat suka menggodanya yang coffee addict.
Sekali lalu, ia kembali menutup pintu dan melanjutkan langkahnya.
“Mba bella udah lama kerja di PH ini mba?” tanya anak magang bernama Adit.
“Cukup lama, sekitar 6 tahun. Awalnya pas kuliah aku coba magang di sini, lumayan lah buat nambahin uang jajan. Eh tau-taunya malah keterusan dan betah sampe sekarang deh.” Sahut Bella enteng.
Ia jadi ingat, dulupun ia pernah menjadi mahasiswa magang seperti empat anak lelaki ini. Rasanya baru kemarin padahal sudah lebih dari 5 tahun.
“Okey, sekarang kita ke sana.” Bella menunjuk salah satu ruangan yang bertuliskan “Direktur.”
“Beliau yang paling sering di cari sama para artis, di ajak pedekate.” Bisik Bella sambil mengedipkan mata kanannya.
“Cewek apa cowok mba? Masih muda gak?” Reno ikut penasaran.
“Hahahahaha.... Masih muda lah. Pada zamannya.” Memelankan sebagian suaranya di ujung kalimat.
Mereka tergelak mendengar candaan Bella.
“Paling nggak, dia berjiwa muda. Itu yang paling penting kan? Liat aja PH ini terus berkembang dan bisa bersaing di antara PH baru yang bermunculan.” Kali ini Bella berujar serius. Perubahan mimik mukanya sangat cepat, membuat anak-anak mengangguk sambil melongo membulatkan mulutnya.
Dibawanya anak-anak magang mendekat ke ruangan tersebut.
Dari luar terlihat seorang laki-laki yang sedang duduk di kursinya sambil memeriksa beberapa berkas.
“Misi pak eko,” lagi bella mengetuk pintu.
“Bell, masuk!” laki-laki muda pada zamannya itu melambaikan tangannya pada Bella.
Meski jabatannya sebagai pucuk pimpinan di rumah produksi ini, namun Eko seorang yang santai dan bisa membaur dengan karyawannya termasuk Bella. Hal ini yang membuat Bella merasa kalau orang-orang di PH ini bukan sekedar rekan profesional melainkan juga keluarga.
“Makasih pak. Ini aku mau ngenalin anak magang. Mereka magang di departemenku.” Terang Bella.
“Wah akhirnyaaa... Nambah juga tim kamu. Selamat bergabung yaaa... Berapa lama magangnya?” dengan ramah Eko menyalami Adit dan teman-temannya lantas mempersilakan mereka duduk di kursi tamu.
“3 bulan pak. Iya alhamdulillah, ada temen kreatif buat di ajak pusing di program baru kita.” Sahut Bella ringan.
“Iya gitu dong. Jangan kamu dan inka terus yang pulang malem. Siapa tau mereka bisa bantu proyek kita jadi lebih cepat berjalan. Anak-anak muda sekarang kan terkenal kreatif.” Eko menepuk bahu Reno.
“Tuh kalian udah di kasih kepercayaan sama bos besar, jadi jangan sungkan keluarin ide-ide briliant kalian.” Bella ikut menyemangati. Ia memang seseorang yang supportif terhadap rekan kerjanya meski anak magang sekalipun.
“Siap pak! Terima kasih atas kesempatannya. Saya siap untuk belajar banyak dari kak bella dan tim di sini.” Timpal Adit dengan semangat.
“Iya, gitu dong. Senior dan junior jangan sungkan bertukar ilmu. Bella bukan orang yang pelit soal pengalaman.” Eko menambahkan.
Obrolan santai mereka terjeda saat ponsel Bella berdering. Bella melihat layar ponselnya dan ternyata nama Inka yang muncul, rekan satu departemennya.
“Jawab dulu aja. Mereka biar saya kasih wejangan. Kelilingnya udah selesai kan?” Eko seperti mengerti benar saat melihat ekspresi Bella ketika melihat layar ponselnya.
“Yaps! Thanks bos!” mengacungkan ponselnya pada Eko dan diacungi jempol sebagai bentuk persetujuan.
“Kalian ngobrol sama pak eko ya.. Ambil ilmu sebanyak mungkin dari beliau.” menepuk salah satu pundak anak magang seraya tersenyum sebelum terangguk pamit pergi untuk menjawab telepon.
“Siap kak!” sahut anak magang tersebut yang diacung jempol oleh Bella.
Eko masih tersenyum memandangi arah berlalunya Bella yang berjalan dengan energik.
“Kalian juga harus belajar banyak dari wanita muda satu itu. Selain pekerjaannya yang bagus, dedikasinya yang tinggi dan sangat membantu perkembangan PH ini.” ungkapnya dengan penuh rasa bangga.
“Baik pak.” Mereka kompak mengangguk lantas mengikuti arah berlalunya Bella yang kemudian menghilang saat berbelok keluar dari koridor ruangan.
“Iya, ini gue lagi jalan mau ke ruangan.” Sahut Bella saat suara Inka terdengar tergesa-gesa menanyakan keberadaannya.
“Cowok gue?” langkahnya terhenti, lantas melihat jam yang melingkar di tangannya. Sampai tidak terasa kalau sudah waktunya pulang kerja.
“Iya, tadi security nyariin lo, katanya ada cowok lo nunggu di pos security. Dia gak bisa ngehubungin lo karena gak bawa hp.” suara Inka terdengar jelas.
“Oh okey. Thanks, infonya.” Sahut Bella sebelum akhirnya mengakhiri panggilannya dan bergegas menuju pos security.
“Haish nih anak, kalau udah ada cowoknya, pasti lupa sama semuanya.” Gerutu Inka saat panggilannya di putus oleh Bella. Padahal ia masih ingin bertanya apa Bella jadi pulang bareng dengannya atau tidak.
Tapi melihat pacarnya yang datang untuk menjemput, sudah pasti Bella akan pulang dengan pacarnya.
Akhirnya Inka memilih membereskan meja kerjanya sebelum pulang.
“Rangga,?” seru Bella dengan mata membulat saat melihat kekasihnya sedang terduduk menunggunya di pos security. Ini kejutan yang menyenangkan baginya.
“Hay,” balas Rangga yang tersenyum tampan seperti biasanya.
“Wah neng bella mukanya sumeringah banget di jemput aa ganteng.” Goda bapak security yang menemani Rangga berbincang selama menunggu Bella.
“Hehehehe… Iya dong. Pak Sanusi kayak gak pernah muda aja.” Timpal ringan Bella.
“Hhahahhaa… Iya sih saya pernah muda, tapi dulu saya sama ibunya anak-anak nggak pacaran dulu, di jodohin sama orang tua kami. Jadi nggak ngalamin deg deg seer ketemu pacar kayak neng bella sama aa rangga.”
"Wah pake jalur express bebas ongkir ya pak." timpal Bella.
Sanusi terkekeh mendengar ucapan Bella. “Saya gak pernah ngalamin, gimana rasanya dipamerin ayang depan temen-temennya. Tapi, neng bella tau gak, di halalin dulu baru di ajak pacaran itu lebih gimana gitu.” Cerocos laki-laki paruh baya dengan logat sundanya yang kental.
“Hehehehhe… Iya pak. Do’ain segera di halalalin ya pak, supaya bisa ngerasain gimanaaaaa gituuuu kayak pak sanusi sama istri.” Balas Bella seraya melirik Rangga yang berdiri di sampingnya.
“Iya atuh. Jangan lama-lama pacarannya, makin lama pacarannya, makin jago setan yang nemenin dan ngegoda. Eh astagfirullaah.. kok saya jadi ngelantur gini sih.” Langsung menutup mulutnya saat melihat ekspresi Rangga yang seperti mulai tidak nyaman dengan pembicaraan mereka.
“Hehehehe… Iya pak, makasih udah ngingetin. Do’ain aja supaya kami bisa secepatnya yaa…” sepertinya lebih baik kalau Bella segera mengakhiri perbincangan mereka.
Beberapa tahun bekerja di PH ini, orang-orang sudah tahu kalau Bella sudah memiliki pacar yaitu Rangga. Laki-laki yang selalu membuat matanya berbinar dan hidupnya berwarna. Tidak sedikit orang yang tahu kalau mereka sudah berpacaran hampir 8 tahun lamanya.
Kisah cinta monyet yang diharapakan bisa berakhir di pelaminan ternyata menjadi topik yang menarik bagi teman-teman Bella di tempat kerjanya.
“Kalau nyicil rumah, udah mau lunas tuh.” Biasanya orang-orang akan meledek Bella dengan kalimat itu.
Ya, memang sudah sangat lama walau rasanya baru kemaren.
“Kami tinggal dulu ya pak, mau siap-siap pulang. Yuk ga,” Bella memberi kode pada Rangga.
“Oh ya. Kami permisi pak, selamat berjaga.” Rangga mengangguk takjim sebelum berlalu pergi.
“Iya terima kasih. Hati-hati juga di jalan.”
“Makasih pak.” Timpal Bella.
Ruang kerja Bella yang saat ini mereka tuju untuk mengambil barang-barang pribadi Bella sebelum pulang.
Dalam langkah mereka, Rangga mencoba menggenggam tangan Bella seperti biasanya. Namun dengan cepat Bella mengangkat tangannya, pura-pura membetulkan ikatan rambutnya. Ia pun celingukan, khawatir security di pos masih memperhatikannya. Bagaimanapun selama di tempat kerja ia harus menjaga sikapnya.
Rangga paham benar dengan apa yang dilakukan Bella. Ia hanya bisa menghembuskan nafasnya kasar, seraya memandangi tangannya yang gagal menggenggam tangan Bella. Saat ini tangannya hanya bisa mengepal kosong sendirian, mungkin akan ada kesempatan lain untuk ia menggenggam tangan hangat yang selalu membuat dadanya berdebar.
*****
Sebuah café menjadi tempat yang di tuju Bella dan Rangga saat ini. Selama perjalanan menuju café, tidak ada perbincangan berarti. Mereka asyik dengan pikiran masing-masing yang pointnya adalah memikirkan kalimat security tadi.
Berpacaran hampir 8 tahun sudah memberi sangat banyak hal yang mereka lewati bersama. Melewati masa-masa yang membuat mereka semakin mengenal satu sama lain melalui pertengkaran karena masalah kecil, perbedaan persepsi dan kebiasaan hingga mimpi yang ingin mereka capai di masa depan.
Namun hingga hampir 8 tahun ini pula, belum terlihat jelas seperti apa arah hubungan mereka kelak. Bella yang akhirnya membiarkan semuanya mengalir begitu saja, memilih mengalihkan fokusnya pada pekerjaan dan begitu pun Rangga, segala usaha ia lakukan untuk mencapai cita-cita yang ia impikan sejak dulu yaitu menjadi band terkenal.
Bella tidak terlahir dari keluarga sultan dengan kekayaan yang melimpah sehingga tidak memiliki standar calon pasangan yang tinggi. Baginya, karena ia mencintai laki-laki itu maka ia akan bertahan sampai kapanpun dengan lelaki pilihannya.
Sementara bagi Rangga, saat ini yang terpenting adalah mewujudkan mimpinya terlebih dahulu agar kelak ia bisa di pandang pantas untuk menjadi calon pasangan yang ideal bagi wanita yang akan menjadi istrinya.
Hingga sampai di café, keheningan mereka baru pecah saat seorang waitress memberikan buku menu dan bertanya makanan apa yang akan mereka pesan.
“Saya mau Spaghetti aglio e olio aja mba sama jus strawberry. Kamu pesen apa yang?” perhatiannya beralih pada Rangga yang masih membolak-balik halaman buku menu tanpa menunjukkan ketertarikan lebih.
“Iga bakar sama jus jeruk.” Timpal Rangga, sekali lalu menutup buku menu.
“Baik, di tunggu ya kak.” Waitress itu pun pergi setelah mencatat menu pesanan Bella dan Rangga.
“Kamu belum makan yang?” Bella memandangi wajah Rangga yang terlihat lesu. Pesanan yang ia minta pun bukan lagi menu ringan. Padahal di jam seperti ini, Rangga jarang makan nasi karena harus menjaga bentuk tubuhnya agar tidak merusak barisan roti sobek yang susah payah ia bentuk di bagian perut dan dadanya.
“Belum. Tadi seharian aku jagain toko. Kebetulan mamah sama papah harus ngunjungin saudara yang sakit di Bekasi. Mau latihan band juga malah keburu kesorean.” Terang Rangga dengan malas.
Rangga berusaha meraih tangan Bella di hadapannya.
“Adek kemana yang? Tumben kamu yang jaga toko.” Berusaha menghindar saat ujung jemari Rangga berusaha menyentuh jemarinya.
“Apalagi selain mabar sama temennya.” Sahutnya semakin malas. Terdengar hembusan nafas kasar dari mulut Rangga yang menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi café. Ia menatap Bella dengan laman.
“Kamu kepikiran omongan security tadi bell?” tatapannya semakin tajam.
“Em, sedikit.” Bella tersenyum hambar. Tentu saja ia memikirkannya, karena ucapan yang serupa tidak hanya sekali ia dengar dari security tadi tapi sudah sangat sering dan dari banyak orang.
Rangga mengangguk paham. Ia pun memikirkan hal yang sama tapi tidak menyangka kalau yang Bella lakukan tidak hanya memikirkannya melainkan merubah sikap.
“Okey. Sekarang aku mau nanya,” Rangga mencondongkan tubuhnya mendekat pada Bella lantas menopang dagunya dengan kedua tangan.
“Selama kita pacaran, apa aku pernah terlihat berniat merusak kamu? Atau kamu merasa terancam karena ada di dekat aku?” pertanyaan itu yang kemudian di lontarkan Rangga tanpa mengalihkan tatapannya. Seperti mengunci Bella.
“Em, enggak. Nggak gitu yang.” Bella mulai salah tingkah.
“Aku ngerasa nyaman sama kamu. Aku juga seneng kamu selalu ada di samping dan di dekat aku. Kamu seperti obat pengar sekaligus minuman yang bisa membuat aku mabuk. Kadang aku yang takut sama diri aku sendiri.”
“Mungkin memang ada baiknya kalau kita mengurangi kontak fisik yang. Kamu inget kan kata pak sanusi tadi, semakin lama kita pacaran, setannya semakin hebat ngegoda kita.” Suara Bella terdengar pelan. Ia memperhatikan lingkungan sekitar dan tentu saja perubahan ekspresi wajah Rangga yang tersenyum tipis.
Rangga kembali menegakkan tubuhnya lalu bersandar.
“Okey, kalau itu mau kamu.” Suaranya terdengar kecewa.
“Yang, bukan gitu maksud aku.” Berganti Bella yang mencondongkan tubuhnya, ia tahu, mungkin Rangga tidak sepaham dengannya saat ini.
“Ya lalu?” sela Rangga, dengan tatapan dingin.
“Aku cinta banget sama kamu. Sering kali aku gak bisa mengontrol perasaan aku. Dan aku juga takut kalau aku gak bisa mengontrol apa yang aku lakukan. Itu maksud aku.” Bella tertunduk lesu dengan suara yang parau di ujung kalimatnya.
Terlalu cinta, membuat Bella mungkin akan memberikan apa saja pada Rangga tapi kesadarannya masih penuh, ia tidak bisa mendorong dirinya dalam hubungan yang lebih dari sekedar pacaran. Sedekat apapun hubungan mereka saat ini, prinsipnya masih terlalu kuat kalau ia hanya akan memberikan dirinya seutuhnya pada suaminya kelak.
“Kamu masih sama Bell, kamu masih belum bisa percaya sama aku.” Rangga menarik tubuhnya menjauh dari Bella lalu menyilangkan tangannya di depan dada.
“No, bukan gitu.” Bella menggeleng lesu.
Rangga hanya mengendikan bahunya acuh. Beruntung pelayan datang membawakan makanan pesanan mereka sehingga perhatian mereka sedikit teralih.
Pasta dan iga bakar sudah tersaji di depan mata. Tampilannya yang cantik dan mengundang selera harusnya membuat keduanya menyantap makanan itu dengan segera. Tapi sepertinya, selera makan keduanya mulai memudar.
“Makan dulu yang,“ Bella memberikan sendok dan garpu pada Rangga.
Tanpa sepatah katapun Rangga mengambil besi couple itu dan mulai menyantap makanannya. Mereka makan dalam suasana hening. Rangga yang makan dengan tergesa-gesa entah karena lapar atau marah, dan Bella yang makan dengan perlahan sambil memandangi wajah kekasihnya yang tampak kecewa.
“Maafin aku yang,..” lirih Bella seraya memainkan pasta yang ia gulung dengan garpunya. Harusnya makan malam ini menjadi moment yang menyenangkan untuknya. Tapi sepertinya kali ini tidak.
*****
“Apa kamu pernah kepikiran kalau kita nanti nikah yang?” pertanyaan itu tiba-tiba di lontarkan Bella.
Beberapa saat lalu, mereka tiba di depan rumah Bella. Namun keduanya masih enggan beranjak. Antara tidak ingin berpisah dan saling membutuhkan, atau ada sesuatu yang belum selesai dan harus mereka bicarakan.
Bella menoleh Rangga yang duduk di balik kemudi dan tengah menatap ke depan sana. Lampu mobil ia matikan dan terlihat tangannya mencengkram stir kuat-kuat. Dahinya yang sedikit berkerut, seolah menegaskan kalau ia sedang memikirkan pertanyaan Bella.
Hampir 8 tahun pacaran, baru kali ini kalimat itu keluar dari mulut Bella. Pembicaraan tentang pernikahan selama ini baru di jadikan candaan dan bumbu romantisme. Tapi kali ini, sepertinya Bella benar-benar memutuskan untuk menanyakan hal ini pada Rangga.
“Iya tentu.” Sahut Rangga yang membuat senyum Bella langsung terbit. Laki-laki itu menoleh Bella lantas menatapnya laman.
Di raihnya tangan Bella untuk ia genggam lalu ia cium. “Tapi jangan sekarang-sekarang ya Bell.” Lirihnya penuh sesal.
“Kenapa?” wajah Bella berubah bingung.
“Aku cinta sama kamu, kamu juga cinta sama aku. Bukannya ujung dari setiap perasaan cinta itu adalah dikukuhkan dalam sebuah pernikahan?” Bella menatap lekat laki-laki di hadapannya yang masih asyik mengecupi tangannya tanpa menjawab pertanyaannya.
“Yang,,, Jawab dong! Kamu serius kan cinta sama aku?” Bella mulai merengek.
“Ya tentu aku cinta sama kamu. Hanya saja,” Rangga menjeda kalimatnya dengan hembusan nafas gusar. Suaranya terdengar melemah. Ia melepaskan genggaman tangan Bella dan beralih mengusap wajahnya kasar.
“Aku belum siap Bell. Aku belum siap.” Tegasnya dengan wajah frustasi.
Bella ikut menghembuskan nafasnya kasar. Ia menjatuhkan tubuhnya bersandar pada jok mobil. Matanya yang sendu menatap jauh ke depan sana, gelap dan tidak ada bayangan seperti halnya hubungan mereka.
“Belum siap karena apa? Apa waktu 8 tahun belum cukup buat kita mengenal satu sama lain?” lirih Bella dengan putus asa.
“Bell,..” Rangga kembali meraih tangan Bella, membuat gadis itu menoleh dengan wajah sedihnya.
“8 tahun memang cukup untuk kita mengenal satu sama lain. Tapi kamu tau kan, 8 tahun kebersamaan kita belum bisa membuktikan apa-apa?”
“Aku ngerasa, masih banyak hal yang harus aku raih dulu sebelum memikirkan pernikahan. Sampai sekarang aja aku gak tau aku harus menghidupi kamu darimana kalau nanti kita menikah. Dengan kondisi kayak gini, mana bisa aku nemuin keluarga kamu buat meminta kamu nikah sama aku. Aku bisa di anggap gila Bell,” ujar Rangga dengan frustasi.
“Kenapa sih patokan kamu itu selalu tentang material?” berganti Bella yang bertanya dengan kesal.
“Kamu anggap keluarga aku seperti apa sih? Mereka matre? Nggak Rangga!” imbuh Bella.
“Iya aku tau mereka gak matre tapi, mereka gak mungkin kan mempercayakan anak mereka sama pengangguran kayak aku?! Lagian pernikahan itu sulit Bell. Gak seindah di cerita-cerita dongeng. Inget, kita ngeliat mereka bahagia itu saat di resepsi, kita gak pernah tau setelah itu apa kesulitan mereka. Dan mungkin kita ngalamin hal yang lebih sulit dari mereka.” Rangga balas meninggikan suaranya.
Dengan mata berkaca-kaca Bella mengatupkan mulutnya. Hal tersulit dalam hubungan mereka adalah karena Rangga merasa tidak berada pada level yang cukup pantas untuk menjadi pasangannya.
“Kamu kok pesimis gitu sih? Ga, kamu percaya kan rejeki setelah menikah?” Bella mulai memelankan suaranya. “Ayo kita jemput itu sama-sama. Aku tau kamu udah berusaha keras untuk meraih mimpi kamu dan aku akan selalu ada di samping kamu. Bukankah saling menguatkan setelah menikah akan lebih melegakan?” bujuk Bella.
Melihat mata Bella yang berkaca-kaca membuat hati Rangga terrenyuh. Di usapnya wajah Bella dengan perlahan dan lembut.
“Bisakah kamu nunggu aku sebentar lagi? Paling tidak sampai aku mendapatkan hasil dari band aku. Aku butuh bekal buat terlihat layak di mata keluarga kamu. Aku tau, kamu sangat berharga buat keluarga kamu, maka aku pun ingin menunjukkan hal yang sama. Bisa kan Bell? Please….” Lirih Rangga seraya menggenggam kedua tangan Bella.
Melihat netra pekat milik Rangga yang di penuhi banyak kesungguhan, membuat Bella akhirnya luluh. Sebuah anggukan kecil dari Bella di sambut dengan sebuah pelukan dari Rangga.
“Makasih Bell, makasih untuk selalu ngertiin aku. Aku janji, aku akan berusaha lebih keras lagi. Aku mohon, tunggu aku sebentar lagi. Hem?” bisikan surga itu diucapkan Rangga tepat di telinga Bella. Seperti sebuah harapan baru bagi hubungan mereka kalau cinta keduanya kelak akan berlabuh dengan indah.
“Iyaa, aku akan nunggu kamu. Aku juga akan berusaha memperbaiki banyak hal yang kurang dari aku. Supaya gak cuma kamu yang merasa layak buat aku tapi akupun layak untuk kamu. Hem?” Bella mengecup bahu Rangga yang menopang dagunya.
“Tentu. I Love you Bell… With all I have.”
“I love you too, more and more.” Balas Bella. Untuk beberapa saat mereka saling berpelukan, melepaskan rasa rindu yang setiap saat selalu ada.
Merasa suasana sudah lebih baik, Rangga iseng menggoda Bella. Di kecupnya telinga Bella yang membuat gadis itu terkekeh geli.
“Yang, iseng ah kamu!” Bella memukul pelan lengan Rangga.
“Sorry kalau aku suka nyosor, habis kamu gemesin. Lagian kamu juga tau, bahasa cintaku adalah physical touch, sulit untuk menahan diri tidak memeluk atau memegang tangan kamu.” Terang Rangga tanpa melepaskan pelukannya.
“I know. But, walaupun bahasa cinta aku Acts of Service, tapi maaf buat saat ini aku tidak bisa memberikan apa yang belum seharusnya aku berikan.” Tegas Bella.
“Hem, yaaa okeeyy.. aku menghormati itu.” Rangga mengeratkan pelukannya sekali lalu mengusap punggung Bella dengan lembut.
“I really love you Bell,” lagi Rangga berucap dengan penuh kesungguhannya.
Bella melepaskan pelukannya. Ia lebih suka mendengar kalimat itu seraya menatap mata Rangga.
“Say it again,..” pintanya dengan segaris senyum malu-malu.
Rangga terlihat berusaha lebih tegas. Di tatapnya Bella dengan laman, membuat jantung Bella kembali berdesir.
“If I say it, can I get a kiss?” godanya seraya mencolek hidung bangir Bella.
Bella hanya tersenyum dan terangguk pelan.
“I love you.” Tegas Rangga seraya menatap mata Bella dengan hangat. Kalimat yang sangat cukup untuk Bella dengar.
Tanpa menimpali, Bella lebih memilih mengambil tasnya. “I’ll call you later. See you,.. Muach!” di kecupnya pipi Rangga sebelum ia menarik tuas pintu mobil. Wajahnya sudah memerah seperti tomat matang. Ia harus segera turun dan masuk ke kamarnya sebelum Rangga melihat kebodohan-kebodohan Bella karena salah tingkah.
“See you in my dream, Bell.” Timpal Rangga.
Bella tersenyum senang. Ia turun dari mobil. Berjalan di depan mobil dan Rangga langsung nyalakan lampunya untuk menerangi langkah Bella. Ia membalas lambaian tangan Bella dengan senyum terkembang. Matanya tidak berhenti memandangi Bella, hingga gadis itu berlalu pergi dan menghilang di balik pintu gerbang rumahnya.
*******
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!