Suara alarm pukul 9 pagi. Sang empunya kamar masih berselimut dan terlelap tidur. Acara reuni tadi malam membuatnya harus tertidur lama.
Neyza, anak perempuan satu-satunya. Terlahir dari keluarga kaya raya. Pengusaha furniture ternama di beberapa kota. Seperti biasanya, ia terbangun hingga matahari hampir tergelincir di siang hari.
"Neeeey... hei. Sudah mau siang. Ayok sarapan. Mama capek ya tiap hari bangunin kamu. Bentar lagi Mama mau ke bandara.", Mama Neyza membangunkan anaknya dengan semangat.
Neyza berusaha membuka mata. Mau tak mau ia terpaksa bangun karena ajakan mamanya.
Neyza : "Hmm.. Mau kemana sih, ma?"
Mama : "Ke Belitung. Mama sama Ibu-ibu arisan sudah pesan hotel seminggu. Sekalian pameran toko Papa. Kamu bisa nyusul kalo mau."
Neyza menggeleng sambil berjalan keluar kamar. Sementar seorang asisten rumah tangga masuk untuk merapikan kamarnya.
Kini, Mama dan Neyza duduk berdua di meja makan.
Mama : "Ney. Minggu depan kamu bisa ya nemenin Tante Reina ke KL?"
Neyza : "Ngapain?", Neyza mengunyah sandwich tuna kesukaannya."
Mama : "Dia mau beli tas model terbaru merk ZiCto. Dia kan penggemar berat."
Neyza : "Ngapain ke sana, sih? Di Indonesia kan juga banyak tas branded. Buang-buang duit aja. Gak, ma. Tugas kuliahku masih banyak. Sama Kak Debi aja. Dia kan nganggur." Neyza menyebut salah satu anak Tante Reina.
Mama tersenyum dan segera melanjutkan sarapannya. Seorang asisten rumah tangga, Bi Sum, menghampiri Neyza.
Neyza : "Neng. Ini tadi hape neng centang centung. Mungkin penting." Neyza mengambil ponsel yang diberikan Bi Sum.
[+*62-876566932***] : Angkat telponnya. Gak usah sembunyi. Lihat kan, anak-anak kampus pada gak suka sama kamu.
[+62-81234789***] : Hi, Ney. Kamu bisa kok hubungi aku kapan aja. Bahkan nemani kamu semalaman sampai akhir semester aku gak rugi. Pasrah aja :). Bobi.
[+62-8342167***] : Gak usah sok cantik. Disapa aja gak jawab. Sok kaya lu*.
Beberapa pesan random yang ia dapat tidak saja hari ini. Tapi hari-hari lain juga ia rasakan serupa dan menurutnya itu sangat membosankan. Tak ada satu pesanpun yang dibalas oleh Neyza. Ia sesekali membaca. Sisanya ia biarkan saja. Ia tak sungkan menghapus seluruh pesan di kotak masuk ponselnya.
"Aku tuh juga gak mau terlalu cantik, wahai netizen.", batinnya suatu hari saat awal-awal mendapatkan pesan kebencian. Entah dari mana asalnya. Masuk ke kampus bergengsi karena murni dari usahanya tidaklah semulus yang dibayangkan. Kaya, cantik, menawan adalah sebuah keberuntungan Neyza.
Ia pun segera beranjak bersamaan dengan pamitnya sang mama.
Mama : "Ney. Be a good girl. Mama sudah transfer 20 juta ke rekening Ney. Cukup ya buat seminggu?"
Neyza hanya mengangguk seadanya. Inilah mungkin yang membuat para haters membencinya. Dunia sudah ada dalam genggamannya dengan sangat mudah.
**********
Di situasi yang lain. Seorang pria yang baru bangun dengan setelan jas lengkap. Ia nampak kebingungan dengan pakainan yang dikenakan. Nampaknya ia tengah mabuk tadi malam. Perpisahan seorang teman yang akan pergi ke luar negeri membuatnya harus berada pada sebuah pesta hingga dini hari. Ia dibopong oleh dua sahabatnya pulang ke rumah.
Rion, begitu ia dipanggilnya. Adalah anak satu-satunya dari keluarga kaya raya. Hampir semua orang di kota tahu nama besar keluarganya. Ayah dan Ibunya pengusaha dua Plaza dan Mall ternama. Mereka juga mempunyai dua tempat wisata terbesar. Ramai pengunjung hingga pundi-pundi rupiah mengalir begitu saja tanpa bisa ditahan.
Rion dengan sahabat-sahabatnya, menjadi anak muda gaul dengan kehidupan modernnya.
Kriiing.....
Rion mengangkat telepon genggamnya.
"Do. Udah nyampe?", Rion berbicara sambil keluar kamar. Ia turun dari lantai atas ke arah ruang tamu dan membuka pintu utama. Wajahnya sumringah tatkala melihat seorang tamu yang ia tunggu.
"Faldo !!", Rion berteriak dan memeluk sahabatnya itu. Faldo baru saja datang dari luar kota setelah selesai menempuh perkuliahan. Faldo adalah anak yang pintar. Mendapatkan gelar sarjana hanya ia tempuh 3 tahun saja. Karena Ayah Faldo adalah sahabat Ayah Rion, maka ia diminta Ayah Rion untuk bekerja di salah satu perusahaannya.
Rion dan Faldo duduk di ruang makan untuk sarapan pagi.
Faldo : "Rion. Gimana kuliah mu?"
Rion : "Ya kayak gini aja sih. Capek juga gak lulus-lulus."
Faldo : "Bukannya lu capek dikejar cewek-cewek kampus?"
Rion tersenyum tipis. Ia tak mengelak dengan apa yang ada dalam dirinya dan kehidupannya.
Faldo : "Ini beda kalo lu uda kerja atau nikah."
Rion : "Masih jauh. Gak kepikiran gue mah."
Faldo : "Atau lu hidup sederhana."
Rion : "Ada aja lu. Masa iya kayak gitu ceritanya."
Faldo : "Lu kan belum pernah. Makanya gak mungkin untuk saat ini."
Rion diam.
Rion : "Kali aja kalo gak kaya gak ada cewek yang deketin guenya."
Faldo hanya tersenyum geli melihat reaksi Rion dan menghabiskan nasi goreng di piringnya.
Hari itu, Rion ke kampus untuk mengikuti ujian semester. Ia tengah turun dari mobil. Beberapa perempuan mendekatinya.
"Rion. Uda siap? Tadi aku lihat peta kelas kursi kita gak jauhan. Kamu bisa lihat jawabanku nanti.", ujar seorang perempuan dengan genitnya.
"Ini ada vitamin langsung minum biar kamu fit. Jangan sakit.", ungkap seorang lagi dengan senyum paling lebar.
Rion tak begitu memperhatikan. Hanya membalas dengan anggukan lalu berlalu tanpa membawa apa yang ditawarkan. Setenar itu Rion di kampusnya. Ia sedikit risih dengan kehidupannya. Ia mendadak menjadi seperti seleb kampus yang dipuja banyak perempuan. Ia tak berniat sedikit pun untuk mendapatkan seorang kekasih. Apalagi reaksi para perempuan yang dekat dengannya. Menurutnya semua hanya keinginan yang tidak tulus. Mereka hanya terbuai dengan imagenya semata. Andai ia tidak kaya, tidak tampan. Mungkin ia tak dilirik oleh seorang Perempuan pun.
Rion ke kantin untuk bertemu teman-temannya. Ia duduk bersama 5 orang temannya. Rion mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribu dari sakunya.
Rion : "Beli makanan gih. Laper gue. Kagak pada lapar?"
"Wah. Kebetulan. Kita juga pada lapar. Pada pingin apa?", ujar seorang bernama Harfi. Semua teman-temannya sibuk memesan makanan yang ada di kantin.
***********
Neyza yang sedari tadi duduk di taman dengan kucing peliharaannya nampak sedang menikmati suasana belakang rumah. Kadang ia menghela napas panjang.
Neyza : "Ling. Lama-lama gak enak tahu jadi anak orang kaya. Dari kecil ditinggal mulu. Dekatnya sama baby sitter. Dijauhin teman. Banyak haters. Terus besok kehidupanku kayak apa, ya?"
Ling, si kucing hanya terdiam dan tertidur.
"Heh.. kamu tuh punya sahabat. Enak aja main bilang gak punya teman.", tepukan Weni dari belakang mengagetkan Neyza. Weni adalah salah satu sahabat Neyza sejak duduk di sekolah menengah pertama. Weni seperti saudara kembar Neyza karena apapun kemauan mereka selalu sama. Hobi dan apa yang mereka tak suka hampir banyak kesamaan.
Neyza : "Eh, Wen. Aku pingin pindah."
Wendi : "Pindah kemana?"
Neyza : "Pindah kehidupan, Wen."
"APA?!"
Weni : "Pindah kehidupan gimana sih?"
Neyza : "Capek aku jadi kayak raya gini. Ini bukan hasil kerja kerasku. Tapi imbas negatif selalu aja datang. Bete aku ah."
Weni : "Mau kamu apa sih, Ney?"
Neyza : "Hmm.. Gak tahu juga sih. Nanti lah. Kalo ada hidayah ide. Aku pasti cerita.", Neyza menyerahkan Ling kepada Weni.
Weni : "Kamu gak kepikiran bikin sesuatu yang hila lagi kan, Ney?"
Neyza menggeleng sambil tersenyum. Ia tahu sahabatnya itu sedang mencoba membaca pikirannya.
Sebuah pesan masuk ke telepon genggam Neyza. Ia membacanya lalu berlalu meninggalkan Weni dengan Ling.
Neyza mengendarai mobil mewahnya ke sebuah restoran. Ia duduk di sebuah meja di sudut restoran.
Ia melihat jam tangannya. Pesan tadi datang dari dosennya. Yang pernah menawarkan beberapa pekerjaan sampingan seperti menjadi asisten dosen. Proyek magang juga akan dibantu oleh Bu Mei untuk semester depan. Ia beruntung. Banyak dosen yang membantunya karena Neyza adalah mahasiswa yang rajin dan pintar.
Seorang pelayan datang membawa dua piring cemilan dan secangkir kopi Americano.
"Mbak Neyza? Bu Mei memesan meja ini untuk pertemuannya dengan Mbak Neyza ini pesanan dari Bu Mei sambil menunggu. Mungkin sebentar lagi Bu Mei datang." Neyza yang mendengar informasi itu langsung meneguk beberapa tegukan kopi dan memakan beberapa kue dari piring saji.
Sepuluh menit berlalu, Bu Mei tak kunjung datang. Neyza mencoba menghubungi tapi tak diangkat. Ia kembali menjelajah media sosial sebagai pengganti rasa bosan untuk menunggu. Namun kali ini tak lama. Kepalanya berat. Matanya mulai kabur. Ia seperti ingin pergi ke kamar dan tidur. Rasa kantuk ini berat. Samar-samar, ia melihat sesi bayangan mendekatinya. Warnanya masih jelas. Bukan baju pelayan. Ia sepertinya seorang lelaki. Matanya perlahan mulai tertutup. Ia sempat mendengar orang tersebut berbicara. "Tidurlah, Neyza ".
Neyza pun tertidur pulas. Ia tak tahu apa yang terjadi. Apakah ia mungkin ditemukan oleh pelayan tadi atau Bu Mei yang terkejut melihat Neyza terkulai lemas di kursi tersebut.
************
Rion masuk ke dalam mobilnya. Ia hendak pulang. Tiba-tiba seseorang mengetuk jendela mobilnya.
Rion membuka jendelanya.
Rion : "Lha, ini dicariin daritadi. Kemana aja lu?"
"Maaf ye. Tadi ujian gak kelar-kelar. Mana yang jaga satpam kampus lagi." Bili, sahabat Rion yang lain.
Rion : "Hahahahha... Lha ngapain satpam jagain orang ujian?"
Bili : "Itu dia. Mana dia bawa tongkat segede terong di kampung emak gua. Ah.. udah. Bete. Cabut ayuk."
Bili masuk ke dalam mobil Rion.
[Di dalam mobil]
Bili : "Jadi, bung Rion. Berapa ciwi-ciwi yang deketein lu hari ini?"
Rion : "Gak hitung. Sepuluh ada kayaknya. Uda kayak artis aja gue. Duh. Ketenaran yang gak bisa gue pungkiri."
Bili : "Gue nanya ya kenapa lu jadi malah ngelunjak sumbungnya, bre?"
Rion tertawa.
Rion : "Abis lu lucu ah. Eh, Bil. Lu kan tinggal di Kampung nih. Ceritain gue kehidupan lu?"
Bili : "Kenapa tiba-tiba lu tanya gitu sih? Kayak gak ada tema lain aja?"
Rion : "Lha gue anak Ekonomi. Skripsi gue gak jauh-jauh dari kehidupan manusia. Gue kan gak pernah hidup di kampung. Penting ini. Puyeng juga lama-lama di kampus."
Bili : "Halah paling jawaban lu. Pusing karena ciwi-ciwi pada kejar gue. Iiiih... tabiat lu gue faham bin hapal."
Rion kembali tertawa. Sahabatku ini bukan seorang yang kaya raya. Namun ketulusan hatinya membuat Rion ingin dekat dengannya.
Bili : "Kalo lu pingin tahu, lu bisa coba hidup kayak gue, bre. Jadi lu benar-benar tahu aslinnya kehidupan di kampung kayak gimana."
Rion : "Hmmm.."
Bili : "Lu gak bisa !!." Bili langsung memberikan keputusan kepada Rion.
Rion : "Bukannya gue gak bisa. Tapi gue belum mampu kalo hidup sendiri. Apa-apa semua sendiri. Semua dikerjain sendiri."
Bili : "Heloooo... Bre lu cowok. Bukan ciwi. Gak usah centil dan manjah. Yang boleh manjah cuma Princess Syahrainih."
Rion kembali dibuat geli dengan jawaban Bili.
Rion : "Oke. Gue stay di kampung buat skripsi gue nanti."
Bili : "Emang lu uda tahu judulnya apa?"
Rion : "Biar gini-gini gue tuh pemikir, Bil. Dari semester kemarin gue uda konsul malah sama Pak Ardi. Dia oke kok sama bakal judul skripsi gue. Dia juga nyaranin kalo mampu ya gue tinggal lah di kampung 5-6 bulan gitu."
Bili : "Ck... Maha dahsyat Paman lu itu. Pantesan."
Rion : "Ya kan belum tentu dia jadi pembimbing gue. Tapi dia oke kok dukung pemikiran gue tadi. Nha... Udah ya konfirmasinya. Sekarang lu ajak gue ke kampung lu kita cari kontrakan. Rumah agak gedean dengan 2 kamar. Satu kamar ada kamar mandi dalam. Tamannya gak usah lebar-lebar. "
Bili : "Ish anak orang kaya ini. Oi, rumah gue kampung ya bukan perumahan. Lagian kagak ada kamar mandi jadi satu sama kamar. Emang hotel?"
Rion : "Gak ada ya? Yaudah gampang. Yuk cabut cari kontrakan dulu."
Rion dan Bili akhirnya pergi ke kampung Bili untuk melihat situasi yang ada.
**************
Neyza membuka mata. Pelan-pelan ia menatap langit-langit kamar berwarna putih. Lampu kamar dan sebagian perabotan lainnya. Ini bukan kamarnya. Ia terbangun. Ia merasakan badannya pegal. Tidurnya sangat pulas. Ia terkejut bukan main. Ia bangun dengan baju yang terbuka. Kasurnya berantakan. Sepatunya tercecer di lantai.
"Astaga. Kenapa aku?"
Ia berusaha nampak tenang. Ia merapikan bajunya. Mencoba berpikir dari awal hingga yang terjadi saat ini. Ia menghela napas.
"Dasar jahat." Ia tahu sebuah kejahatan yang datang dari orang-orang yang tak suka padanya akhirnya datang juga.
"Pasti aku dapatin kamu." Ucapnya geram.
Ia mengambil ponselnya. Sengaja dimatikan. Ia menghubungi seseorang.
Sore harinya. Ia tengah duduk dengan seorang lelaki di ruang tamunya.
"Mbak Neyza mungkin harus menenangkan diri. Saya harap kasus ini bisa segera diusut.", Pak Daniel. Pengacara keluarga yang menangani banyak kasus. Pengacara yang sedang naik daun.
Weni memegang tangan Neyza.
Neyza : "Aku gak apa-apa, Wen. Yakin deh mereka memang uda sengaja merancang ini semua."
Pak Daniel segera pamit untuk menyelesaikan semuanya.
Weni : "Harusnya tadi kamu ajak aku, Ney. Kan gak jadi kayak gini." Weni menangis di sebelah Neyza.
Neyza : "Aku juga shock. Siapapun dia. Ah yang pasti ini bukan satu orang. Pasti ketangkap juga."
Weni : "Terus tadi kenapa gak konfirmasi ke dosen yang lain?"
Neyza : "Setelah bangun tadi sempat telepon Bu Tari. Ternyata tadi itu bukan nomor Bu Mei. Orang ini tahu kehidupan dan jadwal kampusku kayak gimana. Truely haters."
Weni tak bisa berkata-kata. Ia yakin sebuah pencerahan akan datang.
[+62874679***] : Tadi itu menyenangkan, ya?
Pesan itu membuat mata Neyza semakin membesar. Segera ia screenshot pesan itu dan mengirimnya kepada Pak Daniel.
"Tunggu aja, penjahat." Ucap Neyza geram.
Weni sedari tadi melihat jam. Neyza masih belum pulang sejak jam 1 siang tadi. Pesan terakhir yang Neyza terima ternyata menjadi sebuah petunjuk besar menemukan siapa pelakunya. Ia pergi bersama Pak Daniel ke kantor polisi. Nampaknya seseorang sudah ditetapkan menjadi tersangka. Weni hanya mendapatkan pesan singkat dari Neyza bahwa ia baik-baik. Tapi tidak dengan keadaan Weni yang tidak baik-baik saja.
Suara mobil masuk dari arah pagar rumah besar Neyza. Weni berlari ke depan untuk menemui Neyza. Pak Daniel keluar disusul Neyza dengan wajah berbinar.
Weni : "Ih... Orang lagi khawatir kamu malah senyum-senyum. Gimana?"
Pak Daniel memberikan kode OK pada Weni dan berlalu masuk ke dalam rumah. Sedangkan Neyza hanya tersenyum tanpa ada komentar.
Weni mengikuti sahabatnya dan Pak Daniel ke ruang tengah. Seorang asisten rumah meletakkan tiga cangkir teh dan potongan kue coklat.
Weni : "Akhirnya gimana?"
Pak Daniel : "Sudah diduga. Orang iri sama mbak Neyza."
Weni : "Mahasiswa kampus? Terus kejadian di.."
Pak Daniel : "Semua itu cuma settingan. Mereka sudah tahu keperluan Mbak Neyza dengan Bu Mei. Mereka kirim pesan agar mbak Neyza menemui Bu Mei di restoran yang juga di setting agar pengunjung tidak datang lebih dahulu. Para pelayan juga turut andil. Setelah minum kopi yang diberi obat tidur dengan dosis tinggi, mereka membopong mbak Neyza ke sebuah apartemen kosong. Yang membuka bajunya pun perempuan. Tidak ada campur tangan laki-laki. Dan mereka mengaku itu hanya sebuah gertakan."
Weni : "Ih.. Jahat banget."
Neyza : "Dan orang itu pun juga sama sekali aku gak kenal. Aneh kan? Dia baru ketemu aku tuh ya kemarin itu. Katanya sih temannya lagi. Halah muter-muter situ aja."
Weni : "Pindah kampus aja kenapa sih, Ney?"
Neyza : "Nanggung ah. Dikit lagi semester akhir. Lagian kalo gak kuat udah lama aku pindah. Gampang aja aku pindah."
Pak Daniel : "Saya juga menyarankan gitu. Mungkin mbak Neyza punya pertimbangan lain."
Neyza : "Pak Daniel. Di jalan tadi sempat kepikiran keinginan sebulanan ini."
Pak Daniel : "Apa itu, mbak?"
Neyza : "Mau tinggal di kontrakan aja."
Pak Daniel : "Kontrakan apa mbak? Maksudnya?"
Neyza : "Iya. Mau tinggal di lingkungan sederhana. Yang gak kayak gini. Semua-mua diatur, disediain, tinggal ambil. Pingin bisa atur hidup sendiri."
Weni : "Ih. Ada-ada aja kamu ini ah. Rumah ini kurang besar apa buat kamu?"
Neyza : "Bukan besarnya, Wen. Pingin ngerasain hidup yang beda dari hidup sekarang."
Pak Daniel : "Nanti kalo Bapak Ibu tahu saya dimarahi lho, mbak."
Neyza : "Nggak, Pak. Tenang aja. Saya kan pake alasan yang logis. Semoga mereka bisa menerima."
Weni : "Emang apaan?"
Pak Daniel : "Jadi saya mesti cari sekarang, mbak?"
Neyza mengangguk disusul Pak Daniel yang segera berdiri dan keluar untuk mengerjakan tugas dari Neyza.
Neyza tersenyum melihat Weni.
Neyza : "Percaya deh. Semoga berjalan lebih baik. Weni di sini dulu ya? Aku sendirian."
Weni : "Lha ada banyak gini lho yang bantu urus rumah, nona."
Neyza : "Gak ada yang bisa dikibulin. Hahaha..", Neyza berlari ke lantai 2. Weni pun mengejarnya.
**********
Siang itu, Rion dan Bili mengunjungi beberapa rumah kontrakan yang berada di sekitar kampung Bili. Satu jam lamanya Rion dan Bili mengelilingi kampung dengan bertanya kepada para tetangga. Mereka berhenti di sebuah kawasan kontrakan. Nampak seperti rumah kontrakan kecil namun sepertinya sangat cocok untuk keluarga.
Kontrakan kecil dengan 1 kamar, 1 kamar mandi dan dapur kecil sangatlah pas untuk dihuni sendirian. Harga per tahun yang menurut Bili sangat terjangkau.
Rion : "Gak ada yang lebih mahalan dikit?"
Bili : "Eh, anak sultan. Kita bukan mau liburan, ya. Lagian kan elu cuma mau cek ricek doang kan buat tugas kampus."
Rion terkekeh.
Rion : "Iya iya. Ini aja dah gue ambil."
Bili menemui seseorang yang nampaknya pemilik kontrakan. Seminggu lagi Rion bisa menempati kamar yang sedang kosong.
***********
Pagi itu Weni dan Neyza sedang berenang. Weni yang penasaran dengan tugas Pak Daniel nampaknya mendesak Neyza dengan banyak pertanyaan.
Weni : "Dari kemarin aku capek lho nanyain mulu. Jawab kek. Pak Daniel disuruh ngapain sih?"
Neyza yang sedari berenang dengan gaya bebas berhenti di pinggir kolam. Weni memberikannya segelas infuse water melon dingin kesukaan Neyza.
Neyza keluar dari kolam. Memakai baju handuk dan duduk di kursi panjang.
Neyza : "Aku mau tinggal di lingkungan sederhana, Wen."
"Apaaaa?", Weni terkejut bukan main dengan perkataannya sahabatnya itu.
Neyza : "Dengan apa yang terjadi beberapa tahun belakangan. Kayaknya aku pingin jadi orang yang biasa aja."
Weni : "Kamu tuh uda emang orang biasa. Yang gak biasa orang pake sayap. Gimana sih?"
Neyza tertawa lepas.
Neyza : "Gak gitu, Weni Putri Dama. Aku pingin tinggal di kosan atau rumah kontrakan gitu."
Weni : "Bentar-bentar. Aku gak bakal pernah ngerti apa yang kamu omongin. Ini antara otakku yang gak begitu yahud atau memang kamu orangnya aneh. Detail, please."
Neyza : "Intinya aku pingin hidup di lingkungan kayak kampung gitu. Pingin rasain gimana rasanya kehidupan yang gak pernah aku tahu. Ngerjain semua sendiri. Masak, cuci baju, belanja, ke kampus naik ojek. Ah kayak gitu deh kalo lihat temen-temen kampus yang hidup sederhana kayak mereka hidup santai aja. Seloow. Gak ada haters."
Weni : "Terus semua orang malah pingin jadi kayak kamu. Pintar, kaya, cantik, tapi aneh."
Neyza : "Hahahaa.... Ya mereka bisa kok tukar kehidupan. Masalahnya kan mereka lihat yang enaknya doang. Padahal imbang sama gak enaknya, kan?"
Pak Daniel masuk ke taman belakang. Ia menemui Neyza dengan selembar kertas.
Pak Daniel : "Mbak Neyza, sejauh ini. Rumah kontrakan ini yang paling baik. Lingkungan, jumlah orang, fasilitas terdekat."
Neyza melihat kertas yang dibawa Pak Daniel. Ia mengangguk dan tersenyum.
Neyza : "Yasudah ini aja. Kapan bisa ditempati, pak?"
Pak Daniel : "Besok bisa, mbak."
Neyza : "Oke, saya siapkan apa-apanya dulu deh. Minta tolong saya diantar ya, pak."
Pak Daniel mengganggu dan berlalu.
Weni melihat kertas yang terdapat foto lingkungan kontrakan keluarga tersebut.
Weni : "Kamu cari kontrakan biar bisa urus sendiri?"
Neyza mengangguk.
Weni : "Mandiri kan gak harus keluar rumah, Ney."
Neyza : "Tapi ini beda. Udah ah. Bantuin ngepak baju. Ah. Gak. Beli baju biasa dimana ya?"
Weni : "Toserba nhoo. Banyak."
Weni menemani Neyza untuk menyiapkan baju yang akan dibawa.
Keesokan harinya Neyza diantar Pak Daniel untuk menempati rumah kontrakannya.
Neyza masuk dengan melihat-lihat rumah barunya. Satu kamar yang cukup ia tempati. Ada kamar mandi, dan dapur untuk memasak.
Pak Daniel : "Kita butuh Ac, mesin cuci dan kulkas, kompor, mbak."
Neyza : "Hmm.. kayaknya kompor sama kulkas aja, pak. Masa orang baru tiba-tiba pasang ac bawain tv dan sebagainya? Kan nanti tetangga pada ngomongin."
Pak Daniel : "Kan pindahan, mbak. Gpp."
Neyza : "Kipas angin aja, Pak. Nyesuaiin sama tetangga sekitar. Gak enak. Sama tivi flas yang kecil. Nanti kalo ada yang pasang ac baru deh pasang ac."
Weni menggeleng.
Weni : "Aku ikutan tinggal sini, Ney?"
Neyza : "Gak gak. Ribet makanmu banyak. Gak sanggup akuuu. Hahahaha..."
Weni : "Dasar bocah."
Setelah membuat list keperluan rumah dan menaruh koper, Neyza, Weni dan Pak Daniel menuju toserba terdekat.
Malam ini, adalah malam pertama Neyza tinggal sendirian di lingkungan yang baru. Suara berisik dari kanan dan kiri dinding membuatnya tak bisa tidur. Belum lagi perut yang tak kunjung berhenti berteriak.
Segal keperluan sudah lengkap. Kasur, kompor, kipas angin, ember, dan hal kerumahtanggaan lainnya pun sudah ada. Masalah yang saat ini terjadi adalah...
Neyza tidak tahu harus memulai dari mana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!