[Xylia, bagaimana keadaan mu hari ini?] tanya Giselle–teman baik Xylia.
“Aku ... baik-baik saja.” Wajah Xylia berubah sendu.
Tiba-tiba suara petir menggelegar. Xylia yang sudah menyiapkan payung dari rumah langsung menggunakan payung itu.
“Sepertinya hujan akan turun.” Xylia sedikit memberi jarak ponsel dari telinganya. Takutnya nanti ponselnya meledak saat ada petir.
[Kau bawa payung 'kan?]
“Iya, aku membawanya.” Setitik air turun dari langit. Hujan deras tiba-tiba mengguyur payung Xylia. Malam yang gelap membuatnya sedikit takut.
[Hati-hati, jangan sampai sakit lagi] ujar Giselle memperingatkan. Sebenarnya Xylia tidak masuk kerja dua hari ini bukan karena sakit. Melainkan karena orang tuanya yang meminta untuk menetap di rumah.
“Besok aku mulai masuk. Jadi tunggu saja,” ucap Xylia.
[Eh, kemarin bos kita ganti, lho!] ucap Giselle heboh.
“Benarkah?” Xylia sedikit tersenyum. Tapi senyum itu tiba-tiba pudar saat dia melihat seseorang yang duduk bersandar di bawah tiang lampu.
“Elle, sudah dulu ya! Kita lanjutkan besok!”
[Eh, tung ... ]
Telfon dimatikan sepihak oleh Xylia. Ia langsung berlari menuju orang yang hujan-hujanan itu.
“Maaf, anda tidak apa-apa?” tanya Xylia sembari memayungi lelaki itu.
Sementara lelaki yang tersandar lemah dengan baju lusuh nan robek-robek itu hanya diam.
“Rumah anda di mana? Mari saya antarkan,” tawar Xylia.
“Tidak punya rumah,” ucap lelaki itu dengan suara lirih.
‘Apa dia gelandangan?’ pikir Xylia.
Xylia berjongkok agar wajah mereka sejajar. Xylia melihat wajah sendu itu. Ia menyibak poni yang sampai menutupi mata itu.
Xylia merasa iba dengan lelaki ini. Dia tidak punya rumah, bajunya juga lusuh. Ingin Xylia membawanya ke rumah. Tapi apakah orang tuanya mengizinkannya?
“Ikutlah denganku.” Xylia mengulurkan tangannya. Lelaki itu terlihat sedikit terkejut, tapi dia langsung menutup ekspresi itu dengan tertunduk.
“Ayo, kalau nanti kau tidak suka dengan rumah ku, kau bisa pergi. Tapi tolong ikutlah dengan ku sebentar.” Xylia bertekad untuk membawa lelaki yang malang ini.
Perlahan tangannya bergerak, menyambut tangan Xylia yang lembut. Xylia langsung tersenyum ramah setelah mendapat balasan dari lelaki malang ini.
Ia pun membantu lelaki itu berdiri dan memapah nya berjalan ke rumah. Walaupun payung nya kecil, tapi dia sedikit memiringkan payung nya agar lelaki ini sepenuhnya tidak terkena hujan.
Sesampainya di rumah, lelaki itu sedikit mendongak. Dia sedikit takjub dengan rumah Xylia, besar dan megah.
Tapi dia lebih heran saat Xylia membawanya ke samping rumah mewah itu. Ia di bawa masuk ke rumah kecil nan sederhana tepat di samping rumah megah itu.
“Selamat datang di rumah ku. Rumah besar di sana itu, milik orang tuaku dan kakak ku. Aku sudah terbiasa tinggal di sini. Kadangkala aku juga pernah ke sana. Tapi ...” Xylia tiba-tiba tersadar jika dia terlalu banyak bicara. Hampir saja dia menceritakan masalah nya sendiri pada orang tak di kenal.
“Eh, maaf. Aku malah jadi cerita,” ucap Xylia sambil nyengir kuda.
Lelaki itu dari tadi hanya diam. Mungkin dia memang tidak terlalu akrab dengan orang baru. Jadi dia hanya diam dan menyimak.
“Tunggu di sini sebentar.” Xylia berjalan menuju lemari bajunya. Ia mengambil kaos berwarna hitam dan celana jeans panjang.
“Mandilah! Pakai baju ini dan bersihkan tubuhmu,” ucap Xylia sembari menunjukkan senyum ramahnya.
Tanpa berkata-kata, lelaki itu langsung masuk kedalam kamar mandi. Sementara Xylia mencoba mengeringkan rambutnya dengan handuk.
Beberapa menit kemudian, lelaki tadi keluar dengan baju yang di berikan Xylia. Xylia sampai terpesona melihat ketampanan lelaki itu.
Rambutnya yang basah membuat aura cool terpancar dari wajah tampannya. Dibalik baju yang kusut ternyata tersembunyi kulit yang putih dan terlihat berkilau. Tinggi badan yang mirip seperti pemain basket baru ia sadari.
“Tampan.” Tanpa sadar kata itu keluar dari mulutnya.
Seketika dia langsung sadar dan mengusap wajahnya dengan kasar.
‘Xylia! Kenapa kau bod*h sekali!’ Xylia berulangkali memukul dahinya.
Lelaki tadi yang melihat Xylia menaikkan satu sudut bibirnya. Dia merasa gemas pada Xylia.
“Emm ... kau-kau sudah makan belum?” Xylia malu sampai gelagapan. Itulah kebiasaannya jika sedang malu.
Lelaki itu menggeleng tanpa berucap.
“Kalau begitu aku masak dulu!” Xylia langsung berlari ke dapur untuk menyembunyikan wajahnya yang sudah memerah.
Setelah Xylia selesai memasak, Xylia menaruh hidangannya di meja kecil tepat di dapur.
“Ayo kita makan!” Xylia makan terlebih dahulu. Lelaki itu terus saja melihat Xylia yang sedang melahap makanannya.
“Em? Apa kau tidak suka makanan nya?” tanya Xylia dengan mulut yang penuh dengan nasi.
Lelaki itu menggeleng. Kini dia mulai memakan nasinya. Lelaki itu makan dengan lahap. Xylia yang melihatnya lagi-lagi berpikir.
‘Apa dia tidak makan berhari-hari?’ batin Xylia.
****
“Jadi, siapa namamu?” tanya Xylia yang tengah duduk di kasur, menginterogasi lelaki yang sedang duduk di hadapannya.
Lelaki itu terdiam, dia terlihat berpikir.
“Apa ... kau tidak tau nama mu?” Xylia terkejut sendiri.
Lelaki itu mengangguk.
‘Jangan-jangan dia lupa ingatan?’ batin Xylia.
Xylia langsung berdiri dan mondar-mandir.
‘Kalau dia lupa ingatan, lalu bagaimana aku bisa memulangkannya? Bagaimana kalau ayah dan ibu tau?’ Xylia berpikir keras sembari sesekali menatap lelaki itu.
“Kapan terakhir kali kau ganti baju?” tanya Xylia antusias. Walaupun dia sedikit malu, tapi ini satu-satunya petunjuk.
Lelaki itu memegang baju yang dipakainya.
“Apa berarti, kau pertama kali ini ganti baju?” tebak Xylia.
Lelaki itu mengangguk.
Kesempatan!
Xylia langsung masuk ke kamar mandi dan memeriksa baju lusuh yang dikenakan lelaki tadi.
“Dilihat dari bentuknya, ini seperti kemeja. Apakah dia orang penting atau pekerja?” pikir Xylia.
Xylia melirik lelaki tadi yang saat ini mengintip dari balik pintu kamar mandi.
‘Kira-kira, orang lupa ingatan karena apa?’
Xylia berpikir, dilihat dari yang pernah dibacanya dari novel, kira-kira orang lupa ingatan disebabkan kepala terbentur atau tercebur kelaut.
Jika tercebur ke laut, perkiraan baju itu tidak mungkin sehitam seperti terkena benda yang terbakar.
Apa sebelumnya dia ada di lokasi kebakaran? Atau mungkin, dia kecelakaan?
Malam mulai larut. Xylia malah merasa tidak bisa tidur karena ada seorang lelaki di kamar nya.
Xylia menyuruh lelaki itu untuk tidur di kasurnya. Sedangkan Xylia lebih memilih tidur dengan kasur tipis di bawah.
Hanya ada satu kamar di rumahnya, karena memang rumah nya ini tidak terlalu besar dan sederhana.
Agar Xylia bisa tidur, ia sedikit mengintip lelaki itu. Ternyata lelaki itu sudah tidur. Wajahnya yang damai dalam mimpi membuatnya senyam-senyum sendiri.
Karena tak waras? Tentu bukan! Xylia merasa dia sedikit terpesona dengan wajah tampan itu.
Lama menatap wajah tampan itu, Xylia memutuskan untuk kembali berbaring di kasur nya.
****
Kriingg...
Suara jam weker Xylia berbunyi. Xylia yang terbangun cepat-cepat mematikan jam nya agar tidak menggangu lelaki yang di tolong nya kemarin. Xylia menaruh jam weker nya di samping bantal.
Tetapi Xylia merasa aneh, Xylia merasa bukan sedang meraba jam wekernya. Tapi yang dirabanya saat ini seperti terasa mulus dan juga ada sehelai rambut yang di belainya.
Xylia langsung membuka matanya dan tentu saja di kaget melihat apa yang dirabanya tadi. Ternyata wajah lelaki itu yang dirabanya.
Sontak Xylia menjauh sampai dia terjatuh dari atas kasur. Xylia benar-benar bingung saat ini.
‘Bagaimana aku bisa di atas? Apa semalam aku tidur di kasur yang sama dengannya?’ Xylia berpikir jika dia tidur sambil berjalan dan tak sengaja malah tidur kembali di samping lelaki itu.
Karena suara yang terlalu berisik, lelaki itu terbangun dari tidurnya. Xylia yang melihat lelaki itu, langsung berdiri dan menatap tajam lelaki itu.
“Maafkan aku, maafkan aku!” Xylia mengulangi perkataan nya sembari membungkuk berulang kali.
Terlihat lelaki itu bingung, sampai kepalanya dimiringkan kesamping.
“Sepertinya tadi malam aku tak sengaja tertidur di samping mu! Jadi tolong maafkan aku!” ucap Xylia sedikit keras sambil menutup matanya.
“Pfftt...” Lelaki itu malah sedikit tertawa. Xylia membuka sebelah matanya untuk melihat apa yang dilakukan lelaki itu.
“Kenapa?” tanya Xylia.
”Aku yang membawa mu,” ucap lelaki itu.
“Kau ... yang membawaku? Jadi aku tidak tidur sambil berjalan?” Xylia bingung dengan pemikirannya sendiri.
“Siapa yang bilang? Aku menggendong mu ke atas karena kau terlihat kedinginan tadi malam.” Baru pertama kali ini Xylia mendengar ucapan lelaki itu yang sedikit panjang.
Tapi tunggu dulu! Menggendong?!
Xylia sampai malu mendengar ucapan lelaki itu. Ia langsung ke kamar mandi untuk menutupi wajahnya yang sudah memerah. “Aku permisi dulu!”
“Wanita yang manis,” gumam lelaki itu.
****
“Kau, apa kau tidak ingat sama sekali nama mu?” Xylia hanya bisa memanggil lelaki itu dengan sebutan 'kau', karena memang dia tidak tau harus memanggil nya apa.
Lelaki itu menggeleng sembari melahap makanannya. Saat ini ia dan Xylia memang sedang sarapan.
“Lalu, bukankah kau harus punya nama? Bagaimana mungkin aku bisa memanggil kapan saja dengan sebutan 'kau' seperti tadi. Benarkan?” pikir Xylia.
Lelaki itu mengangguk setuju.
“Lalu apa nama yang cocok untuk mu?” Xylia berpikir sambil melihat lelaki itu dari atas sampai bawah.
‘Dia terlihat terlihat seperti orang yang cuek dan wajah nya terlihat seperti orang galak. Emm ... Ini benar-benar susah!’ batin Xylia.
“Atau ... bagaimana kalau Lion saja?” saran Xylia.
“Lion? Bukankah Lion itu singa?” tanya lelaki itu.
“Nama itu sudah paling bagus yang ku pikirkan saat ini. Itu cocok untuk mu yang sedikit pendiam.” Jujur saja Xylia memilih nama Lion karena wajah lelaki itu yang terlihat sedikit menyeramkan daripada singa manapun.
“Benarkah?” Lelaki itu merasa ada yang sedikit aneh dari gerak-gerik Xylia.
”Haha ... i-iya benar,” ucap Xylia dengan tawa yang dibuat-buat.
“Terserah.” Lelaki yang sudah setuju dengan nama barunya itu berjalan mengambil sisa kuah yang ada di panci.
“Kau kelaparan, ya?” tanya Xylia heran.
“Tidak.”
“Lalu, kenapa nambah lagi?” tanya Xylia semakin heran.
“Tidak tau, mulut ku serasa ingin terbuka terus saat ini. Tangan ku juga, entah kenapa bergerak sendiri sambil menyuapkan makanan ke mulut ku,” ucap Lion yang masih melanjutkan makannya.
“Bilang saja kau lapar!” kesal Xylia. Entah kenapa jika lelaki ini bicara terlalu panjang, dia mulai menyebalkan.
“Aku akan berkerja hari ini. Kau bisa masak 'kan?” tanya Xylia serius.
‘Bagaimana kalau dia tidak bisa masak? Haruskah aku memberinya jatah uang? Eh, kenapa aku seperti kepala keluarga saja, ya?’ batin Xylia.
“Apa kau khawatir dengan ku?” tanya Lion.
“Aku hanya takut kau kelaparan saja!” Wajah Xylia tiba-tiba kembali memanas.
Lion berdiri dan menunduk ke arah Xylia, hingga wajah mereka sejajar. Lion semakin mendekat dan membisikkan sesuatu di telinga Xylia. “Jika tangan ku mau, pasti aku bisa masak. Jika tidak, ya tidak,” ucapnya tanpa beban.
‘Aku salah melihat mu dari luar saja. Ternyata kau tak seindah yang kubayangkan!’ batin Xylia mencoba bersabar. Xylia yang sudah berpikir aneh-aneh harus di buyarkan oleh ucapan Lion. Tapi bagus juga!
“Kalau begitu, aku berangkat.” Dengan langkah gontai, Xylia berjalan menuju pintu. Tiba-tiba Lion menarik tangan Xylia hingga Xylia jatuh dalam pelukannya.
“Ke-kenapa?” tanya Xylia bingung.
“Terimakasih sudah peduli padaku.” Lion semakin mempererat pelukannya.
“Iya! Tapi lepas dulu! Aku tidak bisa bernafas!” ucap Xylia.
“Maaf.” Lion langsung sedikit menjauh dari Xylia.
“Ehem ... aku memang wanita yang baik hati. Jadi jangan sungkan.” Xylia langsung berbalik dan keluar dari rumah nya dengan cepat. Lagi-lagi wajahnya memerah karena kelakuan Lion.
Xylia berjalan menuju gerbang. Saat ia melewati rumah utama, ia jadi teringat akan keluarganya. Ia sangat ingin masuk kembali ke rumah itu seperti dulu. Tapi mungkin tidak akan lagi.
“Xylia.” Suara wanita paruh baya memanggilnya dengan lembut.
“I-ibu?” Xylia langsung berlari dan memeluk ibunya yang ada di depan pintu rumah.
“Kamu sudah sarapan, sayang?” tanya Carolina–ibu Xylia.
“Sudah, bu.”
“Hari ini kembali masuk kerja?” tanya Carolina.
“Iya, bu. Xylia sudah tidak masuk dua hari. Seharusnya Xylia cepat-cepat masuk,” jawab Xylia.
“Maafkan ayah mu, ya? Karena ayah, Xylia harus libur. Seharusnya Xylia tidak perlu bekerja. Ibu bisa diam-diam memberimu jatah bulanan nanti.” Xylia tidak masuk dua hari terakhir karena di suruh tinggal di rumah utama dua hari karena ada teman bisnis ayahnya yang berkunjung ke rumah.
Memang seperti itu lah ayahnya. Lebih mementingkan martabat dan reputasi keluarga di mata publik dibandingkan Xylia. Itupun jika ayahnya marah pada Xylia, Carolina juga tidak bisa berbuat apa-apa.
“Ibu, aku tau. Tapi, saat Xylia bekerja, Xylia merasa jika Xylia bisa mandiri tanpa orang lain.” Saat Xylia mengucapkan hal itu, ia jadi teringat akan kakak pertama nya. Ia adalah anak laki-laki kesayangan ayahnya. Ia saat ini berada di luar negeri, mendirikan perusahaan nya sendiri.
Tapi yang disayangkan, dia itu dingin dan terlalu elegan untuk seorang lelaki. Mungkin itu yang di sukai oleh ayahnya. Sedangkan Xylia, makannya saja seperti sedang makan di angkringan. Sama sekali tidak pernah menunjukkan sikap elegan.
“Xylia, kau sudah sampai?” tanya Giselle pada Xylia yang baru saja sampai di kantor.
“Iya. Aku tidak terlambat 'kan?”
Giselle melihat jam nya. “Belum. Masih ada satu menit.”
“Hah.. syukurlah.” Xylia mulai duduk di kursinya dengan santai.
“Xylia!” Tiba-tiba seseorang memanggil namanya.
“Mina? Ada apa?” tanya Xylia pada wanita bernama Mina itu.
“Maukah kau membantuku?” Terlihat dia sedikit tidak enak pada Xylia.
“Apapun pasti ku bantu,” jawab Xylia dengan tersenyum.
“Begini, Presdir menyuruh ku untuk mengantarkan data-data untuk proyek selanjutnya ke ruangannya. Tapi tiba-tiba aku ada urusan mendadak. Bisakah kau mengantarkannya untuk ku?” jelas Mina.
“Nanti ku antarkan, tenang saja,” ucap Xylia santai.
“Benarkah? Kalau begitu terimakasih! Aku pergi dulu, ya?” Mina langsung berlari meninggalkan Xylia dan Giselle.
“Tumben Presdir menyuruh orang untuk masuk keruangan nya. Bukankah dia tidak suka orang lain memasuki ruangannya kecuali sekertaris nya?” pikir Xylia bingung.
“Hah.. bukankah aku sudah bilang? Bos kita itu ganti. Namanya tuan Dylan. Dia itu adiknya Presdir Lu,” Giselle menghela nafas kasar.
“Presdir Lu kita yang terkenal kejam dan tidak pernah menemui para pegawainya itu akhirnya digantikan?” Xylia meloncat kegirangan.
“Kenapa kau sangat senang? Menurut rumor yang beredar, Presdir Lu itu tampan, lho!” pikir Giselle.
“Mau tampan atau pun jelek, aku tidak peduli! Yang penting kita sudah bebas dari masa Presdir Lu! Semoga hidup kita makmur setelah ini! Aku pergi dulu!” Xylia pergi sambil melambaikan tangannya.
“Iya, hati-hati.”
****
“Permisi, apakah saya boleh masuk?” Xylia mengetuk pintu dengan pelan.
“Masuklah.” Setelah mendapat izin masuk dari dalam, Xylia perlahan membuka pintu.
Di depannya, seorang lelaki berbadan tegap tengah menulis sesuatu di kertas. Tampan dan berwibawa, itulah yang Xylia lihat saat ini. Kacamata yang bertengger di hidungnya, membuat aura ketampanannya menyebar luas ke hati Xylia.
‘Apakah dia tuan Dylan?’ batin Xylia.
“Ada apa?” lelaki itu menatap Xylia.
“Eh, anu tuan! Saya membawa data-data untuk proyek selanjutnya.” Xylia menaruh berkas itu di meja Dylan.
Dylan melihat berkas itu lalu beralih menatap Xylia. “Kau bukan Mina?”
“S-saya memang bukan Mina, tuan. Mina tadi ada urusan mendadak. Jadi dia menyuruh saya untuk memberikan berkas ini pada tuan,” jelas Xylia sejujur-jujurnya.
Dylan menopang dagu. ”Kenapa mau?”
“Bu-bukankah menolong orang itu perbuatan baik?” jawab Xylia sebisanya sembari menggaruk dagu yang tak gatal.
“Kau anak baru?”
“Saya sudah lama, tuan.”
Dylan tersenyum sekilas. “Keluarlah.”
“I-iya, saya permisi.” Xylia yang melihat senyum Dylan itu mendadak jadi salah tingkah. Wajahnya yang tampan membuat Xylia sedikit gemas. Karena malu, Xylia pun berlari.
Tapi ia melupakan sesuatu. Rok yang dipakainya saat ini terlalu sempit. Dengan tak sengaja ia terjatuh mencium lantai karena ulah rok nya.
“Aduh!” Xylia memegangi kakinya yang kesakitan.
“Kau kenapa?” Dylan langsung menghampiri Xylia.
“Saya sepertinya keseleo, tuan.” Xylia merintih kesakitan.
Dylan mengambil ponsel di sakunya dan menelfon seseorang.
“Cepat ke ruangan ku!” Telfon dimatikan sepihak oleh Dylan.
Beberapa detik setelah Dylan mematikan telfonnya, datang segerombolan pria berbaju hitam memenuhi ruangan Dylan yang cukup luas itu.
“Dimana bahayanya, tuan?” tanya salah satunya.
“Bawa dia kerumah sakit.”
Setelah mendengar ucapan Dylan, sebuah tandu datang di samping Xylia. Mereka pun langsung mengangkat Xylia. “Eh, apa ini?”
“Nona, kami akan membawa anda,” ucap orang itu dengan senyum nya yang paling ramah. Namun menurut Xylia, itu bukanlah senyum ramah, melainkan senyum jahat.
Mereka langsung pergi membawa Xylia keluar. “Tuan! Tolong saya!” teriak Xylia.
“Tenang saja! Mereka akan membawa mu ke rumah sakit!” balas Dylan.
Satu jam kemudian,
“Terimakasih atas bantuan kalian. Maaf saya jadi merepotkan kalian. Padahal hanya keseleo,” Xylia berusaha menunjukkan senyumnya.
“Semua pegawai tuan Dylan harus mendapatkan kenyamanan bekerja. Jadi nona tidak perlu khawatir lagi.”
“Kalau begitu, saya permisi dulu.” Setelah membungkuk hormat, Xylia pun menutup gerbang dan berjalan sedikit cepat melewati halaman rumah orang tuanya. Ia takut jika ibunya melihatnya, dan jadi khawatir.
“Huh.. selamat!” Xylia menghela nafas lega saat ia sudah sampai di rumahnya.
“Kau sudah pulang?” tanya Lion yang sedang nonton tv di sofa.
“Iya, aku jatuh tadi di kantor.” Xylia membaringkan dirinya di samping Lion.
“Kau bukan jatuh, tapi keseleo. Kau sudah ke dokter 'kan?” tanya Lion.
‘Kenapa dia bisa tau kalau aku keseleo? Apakah sebenarnya dia adalah dokter sebelum dia amnesia?’ Xylia mulai curiga dengan Lion.
“Bukankah jatuh dan keseleo itu sama saja?” pikir Xylia.
“Terserah kau saja.” Lion berjalan ke dapur. Terlihat ia seperti mempersiapkan bahan masakan.
“Kau mau berbuat apa di sana?” tanya Xylia.
“Masak.”
‘Masak?! Hmm.. ini patut di curigai!’ batin Xylia.
Xylia berjalan pelan menuju meja makan. Ia sedikit melirik apa yang dilakukan Lion.
Caranya memotong bahan, itu sangat lah cepat, juga saat ia menabur bumbu ke dalam masakan itu terlihat seperti sudah biasa. Apakah sebenarnya Lion itu adalah Chef?
“Makanlah.” Lion memberikan sepiring nasi goreng untuk Xylia.
“Apakah masakan mu ini sudah tentu enak?” Xylia memancing Lion agar ia bisa mendapatkan petunjuk lebih detail. Bisa saja Lion akan teringat dengan masa lalunya jika ia terus memancingnya.
“Jika tidak suka, aku saja yang makan. Aku hanya memasakkan mu karena aku kasihan pada mu. Jika kau sudah sembuh, masak saja sendiri,” ucap Lion sembari mengunyah makanan di mulutnya.
“Ck, iya aku makan!” Xylia mulai melahap nasinya. Ia mengamati masakan Lion yang ada di mulutnya saat ini.
“Bagaimana? Enak?”
Xylia menatap tajam Lion. Bukan karena masakannya tak enak. Tapi masakan yang dibuat Lion ini bahkan lebih enak dari masakan nya sendiri.
Lama kelamaan Xylia tambah curiga. Benarkah Lion ini dulunya adalah Chef yang handal dalam memasak?
“Lumayan,” jawab Xylia yang masih mengunyah makanan.
“Eh, nanti malam kita pergi beli baju untukmu,” ucap Xylia.
“Kenapa tidak pakai punya mu saja?” goda Lion.
“Kalau kau ingin jadi wanita, silahkan saja pakai sepuasnya. Masalahnya, bajuku yang besar itu sedikit. Kalau kau yang pakai terus, tidak akan cukup,” jelas Xylia.
“Kalau aku jadi wanita, akankah kau akan memeluk ku dan menggenggam tanganku seperti orang lain dengan sahabat nya sendiri?”
Ucapan Lion lagi-lagi membuat Xylia berpikir. ‘Apa maksudnya ini? Dia ini mau dipeluk atau bagaimana?”
Pikiran Xylia harus bertambah karena adanya Lion di sisinya. Sikap Lion yang berubah-ubah membuatnya semakin bingung. Apakah Lion itu seorang Chef, atau anak tunggal yang terbuang tanpa kasih sayang seperti yang di buku-buku?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!