Tepat hari ini seorang gadis yang baru saja selesai melakukan sumpah dokter setelah lulus kedokteran akan mulai melakukan koas di rumah sakit terbesar di Kota Jakarta. Ia juga sudah siap dengan pakaian dokternya.
Dan gadis itu bernama Intan. Intan menarik nafasnya, mencoba menenangkan perasaan nya yang gugup. Ini merupakan pengalaman pertamanya, jadi dia tidak boleh gugup. Atau semuanya akan menjadi kacau.
Intan sudah menyiapkan dirinya selama satu minggu penuh. Mencari referensi di internet, mengulang pelajaran dia dapat, Hingga berlatih berbicara didepan cermin.
Semua itu dia lakukan tidak lain dan tidak bukan untuk menyiapkan mentalnya nanti.
"Jangan gugup Intan, kamu pasti bisa. Pikirkan semua yang telah kamu lalui hingga sampai ketahap ini. Sering kok kamu lalui hal yang kayak gini, Ayo semangat." ucap Intan menyemangati dirinya. Ya ampun, jantungnya berdetak kencang.
"Sayang cepat turun, sarapan udah jadi ni." teriak Valen, ibunya dari lantai satu.
Rumah mereka terdiri dari dua lantai, Dan kamar Intan terletak dilantai dua rumah nya. Intan merupakan anak satu-satunya Valen juga Yandra, ayah Intan. Bisa dibilang dia tidak ada saingan. Dan juga dia merupakan putri manja. Maklum, menjadi satu-satunya membuat Intan mendapat keuntungan.
"Iya ma, Intan lagi siap-siap. Bentar lagi turun." Balas Intan berteriak. Namun jangan salah sangka, dia tidak membentak ibunya. Dia berteriak hanya agar ibunya mendengar perkataan nya. Karena jarak antara dapur juga kamarnya yang jauh.
Intan memandang kembali dirinya di cermin, Ia sudah siap. Intan terlihat cantik juga cocok saat mengenakan pakaian itu. Intan pun melangkah keluar dari kamar nya, menuruni tangga menuju ruang makan.
Disana dia melihat ibu dan ayahnya yang sudah menunggunya untuk sarapan bersama. Setiap pagi keluarga mereka memang selalu berusaha untuk sarapan bersama. Namun tak jarang juga Intan sarapan sendirian karena sering kali orangtuanya melakukan perjalanan bisnis.
"Pagi pa pagi ma." sapa Intan mencium pipi ayah dan ibunya. Ia lalu mengambil tempat duduk di depan ibunya.
"Pagi sayang, Hari ini kamu udah mulai koas nya ya?" tanya sang ayah menatap putrinya. Walaupun dia sudah diberitahu oleh istrinya, Valen. Tapi dia ingin putrinya yang memberitahu nya kembali.
Ada rasa yang tidak dapat dijelaskan saat putri yang kita cintai memberitahu kan hal yang dia lakukan dengan semangat. Dan itu tandanya, dia sudah berhasil membesarkan putrinya.
"Iya pa. Intan gugup takut banget kalau banyak salah, takut teledor juga. Nanti senior-senior nya malah gak mau ngajarin Intan. Gimana kalau nilai yang Intan dapet jelek, bisa-bisa Intan gak bakalan jadi dokter deh.." ucap Intan sambil memakan sarapannya.
"Gak usah gugup sayang. Anak mama kan anak yang pintar, pasti Intan bakalan bisa kok. Yang penting nurut dan mau belajar, dokter senior nya juga pasti maklum kok kalo Intan masih salah, namanya juga masih belajar." ucap Valen menyemangati putrinya.
Valen tau, putrinya itu pasti tengah amat teramat gugup sekarang. Dulu ketika putrinya mendaftar kedokteran, mereka sangat bangga karena putrinya berani mengambil sesuatu hal yang besar. Putrinya itu bahkan tidak tidur semalaman hanya untuk menunggu pengumuman hasil tes nya.
Menunggu, apakah dia lulus atau tidak. Dan ternyata putrinya itu dinyatakan lulus. Valen sangat bahagia ketika melihat putrinya yang sangat bersemangat memberitahu kelulusan nya kepada dirinya dan suaminya. Dan sebagai hadiahnya, Valen dan suaminya membawa putrinya itu liburan ke luar negeri dan membelikan putrinya sebuah mobil.
"Iya ma." jawab Intan kembali melanjutkan sarapannya. Intan berdoa, semoga nanti dia tidak membuat kesalahan atau semuanya bisa runyam.
Kegiatan sarapan mereka telah selesai, Intan berpamitan kepada ayah dan ibunya.
"Intan berangkat dulu ya pa ma. Bye. Love you." ucap Intan melambai, mengambil kunci mobil lalu berlari menuju mobil kesayangannya dengan body berwarna merah dan interior nya berwarna merah muda. Warna kesayangannya.
Mobil itu adalah hadiah yang diberikan oleh papanya ketika dia dinyatakan lulus saat dia mengambil kedokteran. Dan sampai sekarang, mobil itu tetap dia gunakan dan selalu dia bawa kemana pun dia pergi selama dia membawa mobil. Maklum, mobil kesayangan.
Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi, tapi Intan belum juga sampai. Intan menambah kecepatannya. Ia takut terlambat, Tidak mungkin kan hari pertamanya melakukan koas dia malah terlambat. Apa kata senior-seniornya nanti. Bisa-bisa dia dicecar. Oh tidak, Intan tidak mau!!
Intan menghentikan mobilnya ketika ia sudah sampai diparkiran rumah sakit. Rumah sakit dengan nama Kusuma Hospital itu terlihat sangat besar dan juga megah, Tidak heran jika rumah sakit ini termasuk salah satu rumah sakit ternama dan terbesar di Jakarta. Intan memang tidak salah pilih tempat.
Intan berjalan cepat melangkah menuju lobi. Saat hendak menuju lift dari sisi kirinya tiba-tiba lewat seorang laki-laki berjalan dengan cepat dan menabrak bahu kirinya. Intan yang kaget pun langsung mencoba menahan keseimbangan tubuhnya agar tidak terjatuh.
Intan hendak berteriak kesal, namun dia urungkan saat melihat laki-laki itu berjalan dengan tergesa-gesa.
Mungkin dia sedang buru-buru, pikir Intan.
Intan kira laki-laki itu mungkin saja keluarga pasien yang hendak melihat keluarganya yang sakit, namun ternyata laki-laki itu mengenakan pakaian dokter.
Intan mengerutkan keningnya bertanya-tanya.
Apa ia juga salah satu mahasiswa yang ikut koas di rumah sakit ini. batin Intan.
Saat laki-laki itu masuk kedalam lift dan berbalik memencet tombol lift, Intan akhirnya dapat melihat wajah laki-laki itu. Intan membulatkan mata terkejut, wajah laki-laki itu sangat tampan, Intan baru melihat ada mahasiswa kedokteran yang setampan pemuda itu.
Apa aku yang kudet ya jadi gak tau kalau ada mahasiswa yang berwajah sangat tampan seperti itu. batin Intan.
Pintu lift itu pun tertutup. Intan berdecak sebal. Ia belum puas memandangi wajah tampan itu.
"Siapa ya namanya, dia tampan banget mana tinggi lagi."
"Tunggu-tunggu. Kenapa jantung aku berdetak kencang banget? Ini kenapa? Apa aku baru aja jatuh cinta? cinta pandangan pertama?" Gumam Intan berbicara sendiri.
"Ini gak bisa di biarin. Dia itu tipe ideal aku banget. Aku harus tau namanya segera. Tunggu aku tampan. Calon kekasih mu ini datang."
Senyum bodoh Intan langsung terbit, hatinya berbunga-bunga saat ini. Intan pun melangkahkan kakinya masuk kedalam lift satunya. Ia memencet tombol yang ada di sana. Lift itu pun membawanya kelantai 8, lantai dimana senior nya berada.
Intan keluar dari lift dan langsung pergi mencari ruangan dokter Gina, Dokter Gina adalah senior yang akan membimbing dia selama ia koas di rumah sakit itu.
Intan berjalan dan bertanya pada salah seorang perawat yang kebetulan lewat didekatnya.
"Maaf mengganggu sebentar, Apa senior tau dimana ruangan dokter Gina? Saya adalah mahasiswi yang akan dokter Gina bimbing." ucap Intan menatap perawat didepannya. Sepertinya usia mereka tidak berbeda jauh.
"Kau tinggal lurus saja, Lalu belok kiri. Nanti kau akan bertemu pintu yang bertuliskan dokter Gina." ucap perawat itu tersenyum sambil menunjukkan jalan.
"Baiklah. Terima kasih banyak senior." ucap Intan membalas senyuman perawat itu.
Intan lalu pergi mencari ruangan seperti yang diucapkan perawat tadi. Setelah mencari ia pun menemukan sebuah pintu yang bertuliskan dokter Gina.
Intan mengetuk pintu di depannya. Menunggu suara seseorang dari dalam ruangan itu. Tak lama seseorang yang berada didalam itu pun menyuruhnya masuk.
"Masuklah." ucap dokter Gina.
Intan membuka pintu dan berdiri di depan meja dokter Gina. "Selamat pagi dokter Gina. Saya Intan, Mahasiswa koas yang akan dokter Gina bimbing." ucap Intan memperkenalkan diri.
"Duduk lah Intan, tidak usah canggung begitu dan jangan terlalu formal saya kurang suka hal itu." pinta Gina.
Intan mengangguk, kemudian mendaratkan bokong nya di kursi yang berada didepan meja dokter Gina.
"Baiklah, Karena kau baru pertama kali jadi hari ini kau hanya perlu menemaniku untuk memeriksa beberapa pasien. Agar kau juga bisa belajar dari sana." ucap dokter Gina dengan senyuman diwajahnya. Senyumnya sangat teduh menurut Intan.
"Baik dokter Gina." ucap Intan membalas senyuman itu.
Dokter Gina juga Intan bercerita panjang lebar. Saling mengakrabkan diri. Intan bersyukur dokter Gina yang menjadi seniornya karena menurut Intan, dokter Gina merupakan dokter yang baik. Terlihat dari pembawaannya yang tenang.
Dan sepertinya Intan tidak akan terkenal mental selama koas jika dokter seniornya adalah dokter Gina.
Terima kasih Tuhan, setelah mengirimkan dokter Gina sebagai senior ku. batin Intan.
*****
Intan dan dokter Gina pun berjalan menuju ruangan dimana pasien-pasien yang akan mereka periksa dirawat. Namun saat hendak berbelok ke lorong kiri Intan tak sengaja menabrak sesuatu yang keras. Intan mengusap keningnya yang sedikit sakit.
Namun sebelum Intan dapat melihat apa yang dia tabrak, orang didepannya malah berteriak.
"Apa kau buta? Kau tidak bisa menggunakan matamu dengan benar. Kau bahkan tidak bisa melihat jalan dengan benar hah!! Bagaimana jika kau menabrak pasien bukan aku." ucap lelaki itu marah.
Intan menundukkan kepalanya mendengar bentakan itu. Intan yang tidak pernah dibentak pun jadi sedih.
"Maafkan saya dokter. Saya benar-benar tidak sengaja. Sekali lagi maafkan saya." ucap Intan bersungguh-sungguh.
"Sudahlah Dirganta, Intan juga tidak sengaja. Dan juga kan yang dia tabrak bukan pasien. Kenalkan ini Intan, Mahasiswi koas yang akan menjadi asisten ku selama dia koas disini." ucap Gina memperkenalkan Intan.
"Aku tidak peduli siapa dia. Yang jelas dokter Gina harus mengajarinya agar bisa melihat jalan dengan benar. Bahkan jika perlu bawa dia untuk memeriksakan mata nya. Dia juga bahkan tidak bisa fokus, lalu bagaimana jika dia menjadi dokter nanti. Aku tidak bisa membayangkan hal itu." ucap dokter laki-laki itu pedas tanpa memikirkan perasaan Intan.
"Sekali lagi saya lihat kamu seperti ini, saya bakalan ajukan perpindahan kamu Atau bahkan nilai kamu akan saya buat jelek. Permisi." ucap Dirganta berjalan cepat pergi sana.
Melihat dokter itu yang sudah pergi Intan akhirnya kembali menaikkan pandangannya. Ia lalu melihat siapa dokter yang ia tabrak tadi. Mata serta mulut nya membulat. Ternyata yang dia tabrak barusan adalah dokter tampan yang menabrak bahunya tadi pagi.
Astaga, lelaki itu ternyata bukan mahasiswa yang sedang koas, tapi seorang dokter. Bahkan merupakan senior disini. pikir Intan berteriak dalam hati.
"Mm.. dokter Gina, siapa dokter tadi? Kalo dilihat-lihat tempramen nya sangat buruk. Apa pasiennya gak serangan jantung kalo dia seperti itu?" tanya Intan kepada dokter Gina.
"Itu dokter Dirganta, sifatnya memang seperti itu. Ia sangat dingin dan irit bicara, banyak dokter wanita dan perawat yang menyukai nya tapi dia tidak pernah tertarik dengan siapapun. Dan jangan cari gara-gara dengannya atau kau akan mendengar perkataan pedasnya lagi." ucap Gina menjelaskan siapa Dirganta juga memperingati Intan agar menjauh dari Dirganta.
"Bahkan ada rumor yang mengatakan jika dia tidak tertarik pada wanita. Karena kabar kehidupan asmaranya memang tidak ada yang tau. Jadi kalo kamu ketemu dia mending kamu menghindar aja. Dia bakalan cecar siapapun yang berbuat salah di rumah sakit ini."
"Baik dok, saya bakalan ingat." balas Intan.
Tidak menyukai perempuan? Intan bergidik ngeri membayangkan wajah tampan itu sia-sia. Kenapa sekarang banyak sekali laki-laki yang tidak normal.
Tapi jika Intan pikirkan, itu hanya gosip yang tersebar diantara para dokter juga perawat kan. Dan gosip itu belum tentu benar. Intan yakin, Pasti ada sesuatu yang membuat Dirganta menutup dirinya.
Intan menjadi tambah semangat untuk mendapatkan Dirganta, bayangkan bagaimana terkejut nya para perempuan yang berusaha mendekati Dirganta akhirnya tau jika Intan yang mendapatkan Dirganta.
Oh Intan pasti akan sangat sombong. Dia akan memamerkan Dirganta pada semua orang karena dapat berhasil mendapatkan lelaki dingin itu.
Lamunan Intan saat dokter Gina bersuara.
"Sekarang ayo kita pergi."
Intan hanya mengangguk. Sekarang ia tau siapa nama dokter tampan itu. Dirganta. Intan akan mengingat nama itu. Intan memegang dada kirinya, jantungnya berdetak kencang lagi. Ah, ternyata begini rasanya saat jatuh cinta..
Intan dulu pernah menyukai seseorang, namun hanya sebatas menyukai karena orang itu sangat baik menurut Intan. Dan itupun ketika dia masih sekolah atas atau SMA.
Intan mengaguminya dari jauh. Tidak berani mengungkapkan perasaannya karena Intan tidak berharap untuk memiliki kekasih. Dan puncaknya ketika orang yang dia sukai itu mulai mendekatinya, dan akhirnya menyatakan perasaan padanya.
Dan jawaban Intan adalah dia tidak mau menjadi kekasih lelaki itu. Perlu Intan ingatkan jika dia "Hanya Menyukai" tidak mencintai. Dan setelah penolakan itu, lelaki itu mulai menjauh dari Intan.
Namun walaupun begitu, Intan masih menyukai lelaki itu. Dan Intan semakin yakin saat dia sudah kuliah, Intan tidak lagi menyukai laki-laki itu. Walaupun Intan sering melihatnya karena mereka satu universitas.
Banyak yang mendekati Intan mulai dari dia smp, sma hingga kuliah. Tapi tidak ada satupun yang bisa menarik perhatian Intan karena Intan hanya fokus pada kuliahnya. Dia tidak berpikir untuk menjalin hubungan dengan siapapun.
Dan untuk pertama kalinya Intan akhirnya merasakan jatuh cinta. Pada dokter senior yang baru pertama kali dia lihat. Dan dokter senior itu Dirganta, dokter yang amat sangat dingin. Membuat Intan menjadi tambah ingin memiliki nya.
______________________________________________
Hallo selamat datang di cerita ku. Semoga kalian suka ya..
Terima kasih..
Jangan lupa follow author!!
Vote, komen, dan like juga ya:)
Intan sampai dirumahnya ketika hari sudah gelap. Intan berjalan gontai menuju kamarnya, masuk lalu membaringkan tubuh lelahnya di atas kasur.
"Hah, capek banget, dari pagi sampe malam badan kurus ini gak pernah istirahat. Dokter Gina kalau kerja ternyata gak main-main. Hah. Rasanya udah gak kuat. Tapi semangat Intan, jangan menyerah, ini belum seberapa. Jika udah jadi dokter nanti pasti bakalan lakukan hal yang sama." Ucap Intan pelan memejamkan matanya.
Terdengar suara pintu kamar yang terbuka menampilkan sosok ibunya yang sudah berdiri disamping tubuhnya.
"Sayang, jangan langsung tidur ya, ayok mandi dulu baru makan. Papa udah nunggu dibawah tu buat makan malam." ucap Valen mencoba membujuk putri nya itu.
Valen sangat paham, putrinya itu pasti melewati hari yang melelahkan karena baru pertama kali melakukan nya. Tapi walaupun begitu putrinya itu juga harus ingat kesehatan jangan pernah lupa makan. Karena bagaimana mau jadi dokter kalau mengurus diri sendiri tidak bisa.
Dan sebagai orang tua, Valen hanya bisa selalu mengawasi dan menyemangati putrinya agar terus semangat, tidak gampang menyerah dan juga selalu memperhatikan kesehatan.
"Iya ma, bentar lagi Intan turun. Intan mandi dulu. Mama duluan aja ke bawah." ucap Intan bangkit lalu melangkahkan kakinya menuju kamar mandi.
Badannya lengket karena seharian dia terus berjalan kesana-kemari mengikuti dokter Gina. Dia pikir pekerjaan nya akan mudah saja karena hanya menemani dokter Gina. Tapi ternyata dia salah besar.
Menemani sih, tapi gak nyangka kalau sebanyak itu pasien yang harus di periksa. batin Intan.
Intan memilih berendam untuk memulihkan tenaga juga pikirannya. Aroma sampo yang Intan gunakan membuat tubuhnya menjadi rileks. Setelah puas berendam, Intan pun membilas tubuhnya, mengambil handuk dan keluar dari sana.
Intan kini sudah siap dengan pakaian tidur bermotif hello Kitty miliknya. Intan turun kebawah menemui ayah dan ibunya.
"Intan udah dateng sayang. Sekarang ayo kita mulai makannya, perut papa dari tadi udah bunyi." ucap ayahnya terlihat sangat semangat saat melihat putrinya sudah bergabung bersama mereka.
Perutnya benar-benar sudah berbunyi dari tadi. Namun dia menahannya karena ingin makan malam bersama. Dan jadilah dia bersemangat sekali melihat makanan yang tersaji di depannya.
Intan dan ibunya tertawa. Papanya terkadang memang suka bercanda. Sangat humoris.
Berbagai candaan juga cerita mereka lakukan. Intan menceritakan apa yang dia lalui hari ini, dan kedua orangtuanya mendengarkan ceritanya dengan baik.
Intan bersyukur, dia memiliki orang tua yang selalu mau mendengarkan cerita anaknya. Karena banyak diluar sana orang tua yang tidak mau mendengarkan anak mereka. Intan juga senang karena orang tuanya tidak pernah menyela pembicaraan saat dia berbicara.
Makan malam sudah selesai. Ayah dan ibunya juga sudah kembali ke kamar mereka. Intan membuat kopi untuknya dan juga memilih kembali ke kamarnya.
Intan mendudukkan bokongnya di kursi belajarnya. Lalu melihat laporan yang dikirim dokter Gina padanya. Ia harus memeriksa semua laporan itu malam ini. Astaga, dia masih sangat lelah.
Ternyata begini rasanya jika menjadi seorang dokter. Walaupun berada di rumah, dokter harus selalu bersiap siaga jika ada pasien yang tiba-tiba memerlukan bantuan.
Intan memutar lagi kesukaannya untuk menemani malam panjangnya dan juga ditemani secangkir kopi agar dia tidak mengantuk. Tenang saja, kopi yang dia buat itu merupakan kopi dengan kadar kafein rendah sehingga dia tidak begadang semalaman.
Jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari dan Intan masih memeriksa laporan itu. Matanya sudah berat karena mengantuk. Kopi itu tidak bekerja sama sekali. Sering kali ia menguap. Ia benar-benar mengantuk. Tapi jika ia tidak mengerjakannya sekarang, bisa-bisa dokter Gina akan memarahinya.
Intan tidak mau tugas pertamanya malah membuat dokter Gina kecewa padanya. Intan akhirnya mencuci wajahnya di wastafel dan kembali untuk melanjutkan tugasnya.
Dan akhirnya laporan itu selesai jam 3 pagi. Intan lalu meregangkan otot nya, berjalan kearah kasur yang terlihat sangat empuk itu. Ia merebahkan tubuhnya dan mulai menyelimuti dirinya. Tak sampai 1 menit, Intan telah tertidur dengan lelapnya.
*****
Cahaya matahari memasuki kamar bernuansa ala-ala princess itu. Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi tapi sang pemilik kamar belum juga membuka matanya. Ia masih bergulung nyaman didalam selimut tebalnya.
Hingga ibunya mengetok pintu kamar Intan, tapi tidak ada sahutan dari dalam kamar itu.
"Sayang, kau sudah bangun?" panggil Valen. Tapi tetap tidak ada sautan dari putrinya.
Valen pun memutuskan untuk memasuki kamar putrinya dan menemukan jika putrinya masih tertidur lelap, padahal sudah lewat jam 7 pagi.
"Sayang ayo bangun. Nanti kamu terlambat koas nya. Ayo bangun." ujar Valen lembut sambil menggoyang pelan tubuh putrinya.
Intan yang merasa terganggu pun membuka matanya sedikit. Matanya masih berat karena mengantuk. Ia melihat ibunya yang duduk di sampingnya dan menatapnya dengan seksama.
"Mama ngapain disini? Intan masih ngantuk ma. Bentar lagi ya banguninnya. 5 menit lagi deh." ucap Intan kemudian membalikkan tubuhnya membelakangi Valen.
"Ayo bangun, Lihat tuh ke jendela matahari udah nongol. Kalo mau terlambat ya tidur lagi. Mama sih gak masalah, cuman koas kamu gimana nanti, kamu mau terlambat lagi?" Kata Valen lalu pergi dari kamar putrinya.
Intan seketika membuka matanya dengan lebar. Ia melihat ke arah jendela dan membulatkan mata, matahari sudah naik. Intan lalu melihat jam yang ada di atas nakas nya dan membuka mulutnya terkejut. Ternyata sudah jam 7 lewat 30 menit. Astaga ia sudah terlambat.
Intan langsung berdiri dan berlari kearah kamar mandi. Hanya perlu waktu 15 menit untuk ia bersiap. Intan tidak peduli bagaimana penampilan nya, yang terpenting sekarang adalah dia tidak terlambat. Intan menuruni tangga dengan tergesa-gesa dan tidak melihat papanya dimeja makan.
"Papa udah berangkat ma?" tanya Intan.
"Papa udah dari tadi berangkatnya. Kamu sih lama banget nya. Sekarang ayo sarapan dulu." ucap Valen hendak mengambil sarapan untuk putrinya.
"Ma, Intan sarapan di rumah sakit aja ya. Intan udah terlambat soal nya." Ucap Intan mengecup pipi ibunya dan berlari kearah mobilnya.
Valen menggeleng-gelengkan kepalanya tidak habis pikir. Semalam dia terbangun karena haus, Jadi dia pergi ke dapur untuk mengambil minum. Dan saat itu dia melihat kamar Intan yang masih terang.
Valen pun memasuki kamar putrinya dan benar saja jika putrinya itu belum tidur. Valen sudah menyuruh Intan untuk tidur saja, tapi Intan menolak sebelum dia menyelesaikan pekerjaannya. Dan jadinya Valen hanya membiarkan saja.
Intan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sering kali dia bergumam jangan sampai ia terlambat. Ia tidak ingin nilainya buruk nanti. Hari pertama dimarahi dokter Dirganta, dan hari kedua tidak mau dimarahi dokter Gina.
Jalanan sedikit macet membuat Intan hendak mengumpat. Astaga, kenapa banyak sekali kesialan nya hari ini. Saat jalanan sudah sepi, Intan kembali menambah kecepatan nya.
Terdengar bunyi ban berdecit dari mobil merah yang dikendarai Intan. Intan mengambil tasnya, keluar dan langsung berlari kedalam rumah sakit itu. Intan yang melihat pintu lift sebentar lagi akan tertutup pun mempercepat larinya dan menahan pintu lift itu dengan kakinya.
Pintu lift itu terbuka kembali, Ia lalu masuk kedalam dan memencet tombol lift menuju lantai 8.
Intan memundurkan tubuhnya dan bersandar di dinding lift dingin itu. Intan mengatur nafasnya yang terengah-engah. Intan bersyukur pintunya belum tertutup, Jika dia terlambat sedikit saja tadi, entahlah berapa lama lagi dia harus menunggu lift selanjutnya.
Intan yang asyik menetralkan nafasnya tidak menyadari jika sedari awal dia masuk lift ada yang memperhatikan nya dari sudut pada orang itu.
"Masih koas aja udah dateng kesiangan. Gimana kalo udah jadi dokter beneran. Kalo saya jadi dokter Gina, saya pasti udah kirim surat pemberhentian kamu." Ucap lelaki itu dengan sinis tanpa melihat kearah orang yang dia ajak bicara.
Intan yang mendengar itu pun mengangkat pandangannya. Matanya membulat. Ternyata laki-laki di sampingnya adalah si dokter tampan. Jantung Intan berdegup kencang. Astaga masih pagi udah cuci mata aja, Pikirnya dalam hati.
Dirganta melambaikan tangannya ke wajah Intan saat melihat Intan yang hanya diam memperhatikan dirinya.
"Kenapa kamu melamun hah? Ini udah lantai 8, cepat keluar. Saya mau naik ke lantai 10. Jangan membuang-buang waktu saya." decak kesal Dirganta membuyarkan lamunan Intan.
Intan yang menyadari tingkah lakunya pun segera tersadar kembali. Ia benar-benar terlihat bodoh sekarang.
"Maaf dokter Dirganta, saya sedikit melamun tadi. Kalo begitu saya permisi dokter." ucap Intan membungkukkan badannya dan berlari keluar lift menuju ruangan dokter Gina.
Intan berdoa dalam hati semoga dokter Gina tidak marah padanya. Intan mengetuk pintu kemudian masuk kedalam ruangan dokter Gina. Ia mengedarkan pandangannya tapi tidak melihat dokter Gina di ruangan itu. Ruangan itu tampak sunyi, terlihat seperti belum ada yang memasuki nya.
Tak lama seorang perawat masuk ke dalam dan berkata.
"Intan, Tadi dokter Gina berpesan jika beliau mengambil cuti. Mertuanya sakit, jadi beliau tidak dapat hadir. Beliau juga mengatakan jika kamu akan dibimbing dokter senior lain selama ia cuti."
Intan bernafas lega. Syukur saja dokter Gina tidak hadir. "Ngomong-ngomong siapa ya dokter senior pengganti sementara dokter Gina?" tanya Intan kepo.
"Aku gak tau. Tapi yang jelas saat ini kamu diminta pergi keruangan nya yang terletak dilantai 10. Ayo aku antar keruangan nya."
Intan dan perawat itu pergi menuju lantai 10. Tempat dimana senior lain yang akan menggantikan dokter Gina.
"Nah ini ruangannya. Aku cuma bisa antar sampai sini. Soalnya masih banyak pekerjaan yang harus aku kerjain." ucap perawat itu merasa tidak enak pada Intan.
"Gak papa kok. Makasih ya udah di anterin." ucap Intan berterima kasih.
Perawat itu pun pergi meninggalkan Intan sendiri didepan ruangan dokter senior itu. Intan jadi gugup. Kira-kira dokter senior yang mana yang akan jadi pengganti sementara dokter Gina.
"Semoga aja bukan dokter killer. Bisa-bisa aku cepat tua nanti karena stres."
Intan pun menarik nafasnya dalam-dalam, memberanikan dirinya untuk masuk kedalam ruangan didepan nya.
Intan mengetuk pintu dengan hati-hati, namun tidak ada tanggapan dari dalam ruangan itu.
Intan kemudian mengetuk lagi tapi hasilnya sama.
"Belum ketemu aja udah buat emosi. Ini ada orangnya apa enggak sih " Intan mengetuk pintu itu lagi. Tak lama terdengar sautan dari dalam yang menyuruhnya masuk.
Intan akhirnya membulatkan tekad nya untuk masuk kedalam. Intan membuka pintu berjalan dengan wajah tertunduk.
"Selamat siang dokter. Saya Intan, mahasiswi koas dokter Gina yang akan dokter bimbing." ucap Intan memperkenalkan dirinya sopan.
Dokter itu hanya diam. Intan jadi dibuat gugup. Kenapa dokter didepannya tidak juga berbicara. Intan masih menunggu tapi setelah 5 menit berdiri Intan tidak kunjung mendapat apa yang ingin dia dengar. Dokter ini bener-bener menguji kesabarannya.
"Oh jadi kamu mahasiswi yang akan jadi asisten saya selama seminggu. Saya sih gak berharap itu kamu karena saya sudah tau bagaimana sifat kamu. Jadi saya bakalan ajarin kamu gimana menjadi dokter yang taat pada peraturan." akhirnya dokter itu berbicara.
Intan lalu mengangkat kepalanya dan melihat siapa dokter yang berbicara barusan. Matanya sontak membulat dan mulutnya terbuka lebar.
Kenapa dokter senior penggantinya malah Dirganta. Jika begini ia tidak akan pernah fokus. Tapi tunggu, kalo dokter seniornya Dirganta, Intan bakalan terus ada di dekatnya dong.
"Tuhan benar-benar sayang ama aku. Kalo gini caranya, Aku malah punya kesempatan besar buat deket sama dokter tampan ku ini." ucap Intan bersorak dalam hati.
Biarlah dia dimarahi terus, Intan tidak peduli yang penting dia akan memanfaatkan sebaik mungkin waktunya untuk bisa mendekati Dirganta sebelum dokter Gina kembali.
"Mulai sekarang, kamu akan saya bimbing. Kamu juga harus menuruti peraturan saya. Apa kamu mengerti." ucap Dirganta tetap tidak menatap lawan bicaranya. Dia hanya menatap dengan fokus kertas-kertas yang berada di depannya.
"Baik dokter, saya mengerti." balas Intan.
Persetan dengan peraturan, yang lebih penting sekarang dia bisa terus berada di dekat Dirganta. Ternyata koas tidak se menakutkan itu. Sekarang Intan hanya perlu berusaha.
Bagaimana membuat Dirganta membalas perasaannya. batin Intan.
Perjuangan Intan dalam mendapatkan perhatian Dirganta dimulai dari hari ini. Sekarang mungkin Dirganta masih menganggap nya pengganggu tapi Intan tidak peduli apa pun yang Dirganta pikirkan.
Semua rencana telah tersusun didalam kepala kecil Intan. Intan tidak bisa berhenti menampilkan senyum bodohnya. Bahkan dia tidak sadar jika Dirganta belum menyuruhnya duduk dan kakinya yang mulai pegal.
Perasaan nya saat itu lebih mendominasi ketimbang hanya pegal pada kaki. Jatuh cinta memang se berpengaruh itu jika datang menghampiri.
Dirganta melirik Intan sejenak. Terlihat wajah Intan yang memerah serta senyum bodoh yang menurut Dirganta sangat jelek. Ada apa dengan gadis didepannya ini, apa dia demam atau memang riasan wajahnya yang disengaja berwarna merah.
Dirganta pun kembali fokus pada kertas-kertas yang terletak di atas mejanya. Dirganta tidak peduli apa yang terjadi pada gadis itu. Yang jelas saat ini Dirganta akan menunjukkan bagaimana harusnya dokter berperilaku.
Dan Dirganta tidak sabar untuk memberi gadis didepannya ini pelajaran kedisiplinan.
Intan berdiri di samping Dirganta. Dirganta menyuruh nya agar memperhatikan apa ia yang lakukan dan sampaikan dengan fokus. Namun sedari awal fokus Intan bukan pada apa yang disampaikan Dirganta, melainkan fokus pada wajah tampan dokter itu.
Wajah Dirganta ketika fokus ternyata beribu-ribu kali lipat lebih tampan. Intan bukannya lebay, tapi yang dia lihat memang apa adanya.
"Duh, dari jarak segini aja udah ganteng banget. Bisa-bisa aku bakalan kena serangan jantung ni kalo gini terus. jantung please kerja samanya. Jangan buat malu, gimana kalo dokter Dirganta denger nanti." ucap Intan dalam hati.
"Apa kamu sudah paham dengan apa yang saya lakukan?" tanya Dirganta kepada gadis di sampingnya ini, Tapi tidak ada respon balik yang ia dapat. Rasanya sunyi..
Dirganta melihat gadis didepannya yang hanya termenung terlihat sama sekali tidak memperhatikan apa yang dia lakukan. Hah, Dirganta menarik nafasnya kasar.
"Kamu bener-bener menguji kesabaran saya ya. Dari tadi kamu cuman bengong aja. Apa kamu sudah paham dengan apa yang saya lakukan tadi?" ucap Dirganta mengulangi pertanyaannya membuat lamunan Intan buyar seketika.
"Maaf dok. Sa_saya tadi banyak pikiran dok. Bisa tolong ulangi lagi dokter. Kali ini saya bakalan fokus." pinta Intan mencoba membujuk Dirganta.
Jangan salahkan dirinya. Salahkan wajah tampan dokter ini saja.
Dirganta mendengar itu menjadi semakin kesal. Jika gadis didepannya ini tidak mendengarkan juga memperhatikan apa yang dia lakukan untuk apa dia sampai menjelaskan semuanya, hanya buang-buang waktu.
Dirganta lagi-lagi menghela nafasnya. Sudah berapa kali dia menghela nafasnya hari ini? Rasanya sudah tidak terhitung. Stok kesabaran nya juga sudah mulai menipis. Dirganta tidak bisa membayangkan bagaimana hari-hari nya untuk satu minggu ke depan.
Pulang bekerja nanti Dirganta harus pergi untuk menenangkan pikirannya. Agar besok kesabaran juga kewarasannya kembali pulih. Belum satu hari Dirganta rasanya sudah mau menyerah.
"Saya gak punya waktu buat orang seperti kamu. Jika besok kamu kembali berbuat hal seperti ini, kamu akan saya adukan kepada universitas kamu. Sekarang catat semua laporan ini dan jangan keluar jika belum menyelesaikan semuanya, hukuman kamu akan saya tambah jika kamu melanggar." ucap Dirganta keluar dari ruangannya meninggalkan Intan sendiri.
Intan yang melihat Dirganta keluar pun mengerjabkan matanya, lalu pandangan nya berpindah pada apa yang Dirganta suruh.
"Astaga banyak banget, kalo gini kapan selesai nya. Atau temenin kek disini. Ini enggak malah ditinggal, untung tampan plus udah cinta kalau enggak, gak tau deh."
Intan pun mendudukkan dirinya di kursi kerja Dirganta, Kemudian memeriksa dan mencatat semua laporan itu. Jika dia tau akan dihukum seperti ini dia pasti tidak akan memperhatikan wajah tampan itu tadi. Dia pasti akan fokus, dan dipastikan saat ini dia pasti sedang berada di kantin, memakan makan siangnya.
"Tahan dulu deh perut atau Dirganta bakalan ngamuk lagi. Dia kalau ngamuk serem soalnya." ucap Intan menyemangati dirinya.
Padahal ketika memeriksa pasien tadi hubungan keduanya sudah mulai membaik. Intan bahkan ragu jika dokter yang kemarin memarahinya adalah Dirganta. Tapi sekarang Intan tidak ragu lagi, ya benar. Dokter yang memarahinya kemarin benar Dirganta.
Intan tidak pernah membayangkan jika cinta datang dengan cara seperti ini. Walaupun pertemuan pertama mereka dibilang tidak mengenakan tapi Intan pikir itu tidak masalah.
Seperti kata pepatah Benci bisa menjadi Cinta.
Dan Intan sangat percaya dengan pepatah itu. Lagi pula selama dia koas disini masih banyak waktu untuknya bisa mendekati Dirganta. Selama Dirganta masih diketahui belum memiliki kekasih maka Intan masih memiliki kesempatan.
Memikirkan Dirganta membuat Intan jadi merindukan pemuda itu. Padahal baru 30 Dirganta keluar dari ruangan ini. Intan menghirup udara didalam ruangan itu. Bahkan aroma parfum Dirganta masih tercium di ruangan ini.
Intan berjalan, menyusuri ruangan Dirganta. Tapi siang dia belum sempat melihat-lihat ruangan ini karena Dirganta yang langsung membawanya pergi. Dan sekarang Intan dengan puas dapat menyusuri setiap inci ruangan Dirganta ini.
Untuk ruangan dokter senior Intan rasa ruangan Dirganta sudah cukup luas. Bahkan sangat luas, astaga. Ruangan ini juga jauh lebih besar dari pada ruangan dokter Gina.
Memangnya apa kedudukan Dirganta di rumah sakit ini hingga Dirganta mendapatkan ruangan sebesar ini. Intan rasa karena dokter Dirganta merupakan dokter yang kompeten. Ya mungkin karena itu.
Di ruangan itu bahkan terdapat perpustakaan kecil disudut dekat jendela. Juga sebuah pintu yang Intan yakini pasti kamar mandi. Tapi tidak sopan kan jika Intan masuk kesana.
Intan mengakhiri penyusuran nya dan kembali mengerjakan hukumannya. Intan harus cepat menyelesaikan nya jika tidak mau tinggal hingga larut malam.
Hari sudah sore ketika Intan melihat kearah jendela ruangan itu. Ternyata senja sudah menampakkan dirinya. Intan bahkan tidak sadar sudah beberapa jam yang dia lalui.
"Udah sore tapi belum selesai. Gimana ni. Capek banget tangan aku juga udah sakit, ayang Dirganta bener-bener keterlaluan sih ngasi hukumannya kalo gini. Setidaknya temenin kek atau bawa makan siang gitu, laper juga. Gak peka banget jadi cowok."
Intan menarik nafasnya lelah lalu. Jika menunggu kapan Dirganta peka mungkin akan menghabiskan waktu hingga dia selesai melakukan koas.
Intan pun kembali melanjutkan tugasnya. Dia harus tetap semangat. Demi masa depannya. Jika dia menyerah ditengah jalan maka sia-sia saja semua yang dia lakukan selama ini.
Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam ketika Intan akhirnya menyelesaikan tugas yang diberikan Dirganta. Oh lebih tepatnya hukuman.
Intan meregangkan otot pinggangnya yang kaku karena terlalu lama duduk.
"Udah malem lagi mending pulang sekarang. Pasti udah sepi banget ni rumah sakit. Dirganta juga gak keliatan dari tadi, bener-bener ditinggal seharian aku mah."
Intan pun membereskan semuanya kemudian mengambil tasnya dan pergi dari ruangan Dirganta menuju lift.
Didalam lift itu hanya ada dia sendiri.
"Jangan takut. Gak usah takut. Gini doang mah kecil." ucap Intan mencoba menenangkan dirinya. Jantungnya lumayan berdegup kencang karena suasana yang sangat sunyi. Kenapa tiba-tiba sunyi begini. Dia merinding.
Dan degup jantung Intan bertambah kencang saat lift yang membawanya tiba-tiba berhenti dilantai 6 menambah rasa takutnya.
"Lah kok berhenti, apa ada orang yang mau masuk ya? Tapi kok pintunya gak kebuka-buka sih malah tetep nutup." Intan mencoba menormalkan detak jantungnya yang bertambah kencang. Bulu-bulu halus ditangannya berdiri, meremang. Ia merinding.
Tak lama lift kembali turun. Intan bernafas lega walaupun degup jantung tetap menggila. Lift itu pun telah sampai di basement yang digunakan sebagai parkiran.
Intan lalu mempercepat langkahnya menuju mobil merahnya. Namun saat mencari kunci mobilnya didalam tas ia dikejutkan dengan suara seseorang yang memanggil namanya.
Intan melihat ke sekeliling tapi tidak ada orang. Apa dia salah dengar? atau dia berhalusinasi? Intan mengorek telinga nya mungkin hanya perasaan nya saja. Namun suara itu kembali terdengar dengan samar.
"Siapa? Apa ada orang?" tanya Intan berteriak menunggu jawaban tapi tidak ada orang. Suasananya benar-benar sunyi.p
"Gak usah iseng deh, Jangan nakut-nakutin. Ini udah malem, gak tau apa orang capek seharian kerja." tambah Intan mencoba berani. Diparkiran itu ia memang tidak melihat seorang pun, mobil yang terparkir bahkan sangat sedikit, mungkin karena parkiran disini jika malam hari cukup menyeramkan jadi orang-orang lebih memilih parkiran yang berada diluar.
Intan mengedarkan matanya ke sekeliling. Matanya kemudian melihat kearah sudut parkiran. Di sana terparkir sebuah mobil berwarna hitam. Tapi karena jarak juga cahaya yang minim, membuat Intan tidak tau mobil siapa itu.
Tapi tak lama matanya membulat. Ia berteriak kencang. Intan segera berlari masuk kedalam mobil dan menancap gas nya pergi meninggalkan rumah sakit itu. Tidak memperdulikan siapa yang memanggil nya tadi.
Intan sudah memasuki jalan raya. Intan menormalkan detak jantungnya dan menarik nafasnya. "Itu siapa sih. Gak mungkin juga hantu, Tapi pakaian nya putih, kakinya gak ada. Bikin takut aja. Mana dia cuman berdiri diem doang. Ah bodo amat la, sekarang yang penting harus sampai rumah dulu."
Ketakutan Intan berkurang saat perutnya berbunyi. Ah dia lupa jika dirinya belum makan siang gara-gara Dirganta.
Sementara diparkiran rumah sakit Dirganta menatap mobil merah yang sudah pergi dengan kecepatan penuh itu dengan heran. Alisnya berkerut tak habis pikir.
"Dia kenapa sih, kok kayak ketakutan gitu. Padahal aku cuma mau nanya apa tugas yang aku kasih udah selesai atau belum." ucap Dirganta mengingat teriakan Intan tadi. Bersyukur hanya ada mereka berdua, Jika ada orang lain bisa-bisa Intan dikira sedang dijahati.
Saat hendak pulang dia baru teringat jika gadis itu pasti belum makan siang karena memang tugas yang dia kerjakan sangat banyak dan juga dia yang melarang Intan keluar sebelum tugas yang dia berikan selesai.
Sebut saja dia kecam, Dirganta tau itu. Tapi dia sudah rela-rela membeli makanan untuk gadis bebal itu, namun saat melihat gadis itu yang sudah mau pulang membuat dia memanggil nama nya untuk memberikan makanan yang dia bawa. Namun yang dia dapat malah teriakan takut.
Dirganta menatap bungkusan makanan ditangannya. Jika dia tau akan seperti ini maka dia tidak akan membelikan gadis itu makanan. Dan juga mungkin dia sudah beristirahat di apartemennya.
Mungkin makanannya akan Dirganta berikan kepada satpam penjaga di kawasan apartemen nya saja.
"Emang gadis aneh."
Dirganta lalu memasuki mobilnya, melaju membelah jalanan padat kota Jakarta dimalam hari menuju apartemennya.
*****
Intan kini sedang bersantai di atas kasur empuk miliknya. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, terlalu dini jika ingin tidur. Intan memang selalu tidur di atas jam 10 malam karena semenjak kuliah, Intan harus selalu belajar dengan tugas yang tidak ada habisnya. Jadi dia sudah terbiasa.
Tapi disamping karena itu sering kali Intan juga maraton Netflix. Ya, Intan sangat suka menonton film, drama-drama baik genre romantis, komedi bahkan horor.
Intan tidak pernah pilih-pilih jika akan menonton. Yang jelas ketika film atau drama itu ditayangkan maka Intan pasti akan menontonnya pada malam harinya.
"Dirganta tadi pergi kemana ya? kok gak balik-balik lagi? Apa dia udah pulang kali ya." Intan menatap langit-langit kamarnya. Memikirkan Dirganta membuatnya pusing.
"Nomor telepon nya juga gak ada. Kan gak mungkin aku hubungin dokter Gina cuman buat mintak nomor Dirganta. Coba cari di Instagram deh, siapa tau nemu akunnya."
Pun Intan mengetikkan nama lengkap Dirganta di sana, dan keluar. Intan bersorak kecil. Syukurlah jika Dirganta memiliki akun media sosial. Intan membuka akun Dirganta tapi keningnya malah berkerut heran menatap akun itu.
"Ini bener akunnya? kok gak ada foto sama sekali sih. Tapi pengikutnya banyak banget." Ucap Intan heran.
"Coba dm deh, siapa tau emang bener akun Dirganta kan." Intan lalu mengirim pesan pada Dirganta. Intan gugup bukan main menunggu balasan. Tapi sudah lama menunggu Intan tak kunjung mendapat balasan.
"Apa mungkin cuma akun fans dia doang ya. Tapi kalau akun fans masa gak ada foto nya satu pun. Atau bener akunnya tapi dia lagi sibuk."
Saat tengah asyik melamun Intan merasakan jika ponsel yang dia pegang bergetar. Intan lalu melihat layar ponselnya, matanya membulat sempurna. Intan langsung mendudukkan dirinya saking kagetnya.
"Apa ini, ini bener gak sih?? Ini gak mimpi kan? Dirganta bales dm aku?? Oh may God harus bales apa ni."
Intan merasa sebentar lagi jantungnya akan meledak, Ia bahkan senyum-senyum sendiri sudah seperti orang gila. Senyum bodohnya tidak dapat dia sembunyikan. Jika ada yang melihat senyuman maka orang itu akan jijik.
"Hmm tenang, tenang jangan panik. Harus tetap santai. Tapi kalo gini gak bisa santai. Aaaa." Intan menyembunyikan kepalanya dengan bantal lalu berteriak tak ingin kedua orangtuanya mendengar teriakannya. Intan benar-benar terlihat seperti ABG yang baru mengenal cinta.
Intan pun memutuskan untuk tidak membalas dm itu lagi, Intan hanya memfollow akun Dirganta. Jika dia teruskan dipastikan malam ini dia tidak akan bisa tertidur. Kalau dia begadang maka bisa-bisa dia kembali terlambat seperti tadi. Dan jangan lupakan jika dokter seniornya sekarang adalah Dirganta bukan dokter Gina.
Intan memilih untuk tidur.
"Sekarang mending tidur dulu deh, tapi kalo gini gak bisa tidur. Malam ini pasti mimpinya indah banget."
Intan meletakkan ponselnya di atas nakas, pun dia menutup matanya, mencoba tidur walaupun sulit.
Sementara disebuah apartment terlihat seorang laki-laki yang sedang duduk di atas ranjang king size tanpa mengenakan atasan sambil melihat ponselnya dengan kesal.
"Kok bisa ke pencet emoticon lambai sih. Pasti nanti gadis bebal itu bakal salah paham lagi."
Saat hendak menghapus pesannya, Dirganta terlambat. Intan ternyata sudah membaca apa yang dia kirim. Dirganta menarik nafasnya pasrah. Dia akhirnya hanya membiarkan pesan itu. Lagian sudah terlanjur kan.
Dirganta meletakkan ponselnya di atas nakas. Membaringkan tubuhnya dan mulai memejamkan mata menuju alam mimpi. Dirganta harus menyiapkan dirinya besok untuk menghadapi kelakuan Intan yang selalu berhasil memancing emosinya.
Malam itu keduanya memulai kesalahpahaman yang berujung pada takdir yang membuat mereka selalu terikat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!