Aku tidak pernah percaya hari seperti itu akan muncul dalam kehidupanku. Antara setia dan bodoh yang berkepanjangan, aku tertipu selama tujuh tahun lamanya. Bayangkan saja tujuh tahun, itu bukan waktu yang sebentar.
Aku masih tidak percaya bagaimana bisa aku tidak sadar ada yang berubah pada sikapnya. Dan yang menjadi pertanyaan, siapa perempuan itu? Bagaimana awal mulanya?
***
Zaskia menatap pantulan dirinya dalam cermin, usai menyisir surai rambut panjangnya, kemudian dia memasang accessories pada telinga dan pergelangan tangannya. Tak lupa lipstik berwarna nude teroles rapi pada bibir tipis itu sebagai penutup tahap riasan pagi ini.
"Zayn, ayo turun kita sarapan pagi dulu sebelum berangkat sekolah." teriak mbak Asih dari ruang makan.
"Sebentar mbak. Zayn ambil tas dulu." sahut Zayn sembari mengambil tas ranselnya lalu turun dari lantai dua menuju ruang makan yang terletak di lantai dasar.
"Ayo cepat, nanti terlambat berangkat sekolah." Mbak Asih pun mengoleskan selai coklat pada dua helai roti dan segera memberikannya kepada Zayn.
Zaskia baru saja turun menuju ruang makan dengan tangan yang sibuk bersama ponsel genggamnya sambil memiringkan kepalanya ke kiri dan ke kanan hingga terdengar suara patahan. Terlihat sekali tubuhnya yang kelelahan karena bekerja keras.
"Selamat pagi, sayang." sapa Zaskia kepada anak laki-lakinya yang baru saja mengunyah roti di tangannya.
"Pagi, Mama." balas Zayn lalu mengecup pipi Zaskia.
"Pagi, Bu Zaskia." Mbak Asih juga ikut menyapa.
"Pagi, mbak Asih." sudah jadi tradisi mereka saling menyapa di pagi hari dengan tak kenal kasta.
"Cepatlah sarapan. Setelah ini segera pergi ke sekolah." Zaskia pun mengusap lembut rambut Zayn. Ada rasa haru melihat anaknya tumbuh begitu cepat.
"Mama, nanti bantu Zayn sisir rambut ya." Zayn menatap Zaskia dan memberikan sebuah sisir kecil dari genggamannya dengan tatapan yang menggemaskan.
"Eh, tumben anak mama yang ganteng ini minta di sisirin rambutnya." goda Zaskia kemudian mulai menyisir rambut Zayn ke samping.
"Zayn nggak mau model yang begitu mama." Zayn merengek dengan menahan tangan Zaskia agar tak melanjutkan.
"Loh, kenapa Zayn? Biasanya kan modelnya seperti ini." Zaskia menangkup wajah Zayn. Gemas sekali rasanya melihat perubahan Zayn secara tiba-tiba.
"Di kelas Zayn, ada seorang perempuan yang suka dengan model Oppa-Oppa korea, katanya kalau Zayn menata rambut seperti mereka, Zayn akan terlihat tampan." ucap Zayn dengan polosnya sembari menirukan gaya rambut yang di maksud. Zaskia tertawa renyah, anak laki-lakinya ternyata sudah pintar berinteraksi dengan lawan jenis.
"Baiklah, sini mama buatkan sama persis dengan gaya rambut Oppa korea." Zaskia pun mulai menyisir poni Zayn ke depan hingga menutup keningnya.
"Lihat ke cermin, bagaimana menurut Zayn?" Zaskia memperlihatkan rambut Zayn menggunakan cermin pada tempat bedak miliknya.
"Terima kasih mama. Perempuan itu pasti akan menyukai tampilan Zayn." senyum manis terhias dengan indah di wajah Zayn.
"Sama-sama sayang. Emm tapi kalau kamu punya seseorang yang di suka, bagaimana dengan mama?" Zaskia pura-pura cemberut.
"Mama tetap ada di hati Zayn sampai kapanpun." tangan mungil Zayn menangkup wajah Zaskia sambil tersenyum.
"Aduh pagi-pagi mama sudah di ajak terbang sampai langit ke tujuh nih." Zayn hanya nyengir menampakkan deretan gigi susu yang tersusun rapi.
"Oke, Hurry up baby, we'll be late later." ucap Zaskia setelah menyelesaikan sarapannya.
"Yes, Mom. We'll be late." balas Zayn.
"I'm late now." Zayn menggoda Mbak Asih.
"Maaf, mbak nggak bisa bahasa inggris." balas Mbak Asih dan mengundang gelak tawa dari kedua orang di hadapannya.
"Ini bekalnya prince." Mbak Asih memasukkan kotak bekal tersebut ke dalam tas ransel Zayn.
"Thank you, Mbak." Zaskia dan Zayn bersamaan.
"Mama, bisakah kamu mengantarku pagi ini?" tanya Zayn sambil mencium tangan Zaskia.
"Maaf sayang, hari ini mama nggak bisa. Karena mama ada janji pagi ini." Zaskia mengelus kepala Zayn dengan sayang dan merasa tak enak hati.
"Tapi apa mama nggak bisa mengantarku lebih dulu?" Zayn memanyunkan bibirnya.
"Mama minta maaf, bagaimana kalau nanti mama yang jemput kamu pulang sekolah?" bujuk Zaskia dengan mengatupkan dua telapak tangannya ke depan dada.
"Baiklah. Setelah itu kita mampir makan es krim, boleh kan mama?" senyum terbit dari bibir Zayn sambil menanti jawaban yang di inginkannya.
"Aiss, es krim pula. Bagaimana kalau gigimu nanti berlubang karena makan yang manis-manis?" tolak Zaskia dengan halus.
"Ayo lah mama. Aku mohon kali ini aja. Yaa mama." gantian kini Zayn yang mengatupkan kedua telapak tangannya.
"Baik. Setelah pulang sekolah, kita makan es krim berdua." sahut Zaskia setelahnya.
"Janji?" tanya Zayn sambil mengangkat jari kelingkingnya.
"Iya, mama janji sama Zayn." Zaskia menautkan jari kelingking Zayn dengan jari kelingkingnya.
"Oh iya, kenapa Papa nggak di ajak?" tanya Zayn sambil memandang wajah Zaskia.
"Papa belum pulang dari dinas, sayang." tak lama suara pintu terbuka dari luar. Ternyata Ismail baru saja pulang.
"Selamat pagi, sayang." sapa Ismail yang baru saja tiba di ruang makan.
"Papa. Selamat pagi juga." Zayn turun dari tempat duduk dan langsung berlari menghampiri Ismail.
"Papa ingin gendong, tapi papa masih bau, belum mandi." Ismail menggoda Zayn sambil menutup hidungnya sendiri.
"Nggak masalah papa." Zayn pun langsung memeluk manja dan Ismail segera mengangkat tubuh mungil tersebut melambung ke atas hingga mereka berdua tertawa.
"Papa, hari ini mama mengajak Zayn makan es krim loh. Papa mau ikut nggak?" bisik Zayn tepat di telinga Ismail. Namun karena suara Zayn sedikit besar, Zaskia bisa mendengarnya.
"Anakmu bertanya, beri jawaban yang jelas." titah Zaskia setelah beberapa detik tidak ada jawaban dari Ismail.
"Iya nanti, karena papa harus pergi kerja lebih dulu." Ismail pun menurunkan Zayn.
"Horee.. Terima kasih papa." Zayn berdecak hore.
"Di mana kamu tidur semalam?" tanya Zaskia ketika Ismail menaiki anak tangga hendak pergi ke kamar. Ismail pun menghentikan langkahnya dan berbalik ke arah Zaskia.
"Di kantor. Aku banyak kerjaan, menyelesaikan beberapa proposal. Apa kamu sudah lupa?" jawab Ismail santai.
"Enggak. Aku cuma bertanya." balas Zaskia dengan memainkan ponsel genggamnya karena ada beberapa notifikasi masuk.
Tak lama kemudian suara mobil Devita terdengar sudah memasuki halaman teras rumah. Itu artinya Zayn harus segera bergegas berangkat ke sekolah.
"Assalamualaikum, Zayn." teriak Devita dari balik pintu.
"Waalaikumsalam, Vit. Tolong antar Zayn ke sekolah ya." Zaskia membawakan tas ransel Zayn dan menyerahkan pada Devita.
"Maaf kia, aku terlambat datang karena jalanan macet banget tadi." terlihat jelas mimik Devita merasa tidak enak.
"Nggak masalah Vita. Berangkat lah. Takut Zayn terlambat." Zaskia membawa Zayn masuk ke dalam mobil.
"Baik, kami pergi dulu. Ayo Zayn, beri salam dulu sama mama." titah Devita sembari memasangkan sabuk pengaman.
"Assalamualaikum mama. Jangan lupa janji mama nanti ya." Zayn melambaikan tangan.
"Waalaikumsalam sayang. Sampai jumpa nanti." Zaskia ikut melambai.Mobil mulai melaju hingga tak terlihat dari pandangan.
"Wah, ada janji apa nih yang aunty nggak tau?" tanya Devita sambil melirik ke arah Zayn yang masih tersenyum.
"Mama tadi janji akan menjemput Zayn pulang sekolah. Kita akan makan es krim bersama." sahut Zayn dengan sumringah.
"Kalau mama sibuk, nggak apa nanti biar aunty yang traktir Zayn es krim." Devita memberi saran. Bagaimanapun juga dia tahu bahwa Zaskia adalah orang yang sibuk.
"Tapi kan mama sudah janji sama Zayn." Zayn memanyunkan bibirnya, seketika mood nya rusak ketika Devita mengatakan Zaskia sibuk.
"Iyaa iyaa. Maafkan aunty yang mematahkan semangat Zayn pagi ini." Devita mengelus kepala Zayn. Tak lama mereka pun tiba di sekolah dasar negeri tempat Zayn menimba ilmu.
*Belajar lah bersyukur atas apa yang telah kamu miliki. Sebelum dunia mengajarkanmu ikhlas atas apa yang telah pergi* .
***
Zaskia masuk ke dalam rumah setelah mengantar kepergian Zayn ke sekolah seperti biasa. Setelah itu kembali duduk untuk menyantap sarapan paginya.
Tangan kiri yang sibuk memegang ponsel juga tangan kanan dengan tugasnya memegang roti yang sudah di olesi selai coklat.
Tak lama, Kia menelepon seseorang, "Saya minta pertemuannya di majukan sore nanti, ya. Karena saya akan datang terlambat." Ucap Kia. Setelah mendapat jawaban yang di inginkan, Kia pun memutuskan panggilan tersebut.
Terlihat Ismail yang hendak turun tergesa-gesa dari lantai atas ke bawah dengan wajah malas. Tapi di urungkan untuk menghampiri Kia karena kegiatannya yang masih sibuk dengan ponsel genggamnya.
"Kia, di mana kamu taruh kemeja hitamku?" tanya Ismail dari atas dengan sedikit berteriak agar suaranya terdengar hingga ke ruang makan.
"Kemeja hitam?" Zaskia balik bertanya sambil berfikir. Lalu meletakkan ponselnya dan menatap Ismail dari kejauhan.
"Iyaa, bukannya kemarin aku minta siapkan kemeja hitam ya. Di mana, di atas nggak ada." Ismail bertanya dengan ketus menuruni tangga menghampiri Zaskia yang masih duduk di meja makan.
"Mbak Asih." panggil Kia dengan malas.
"Iya ibu Kia, ada apa?" Mbak Asih bertanya dari arah dapur itu pun segera menghampiri Kia.
"Tolong carikan kemeja hitam untuk Papa Zayn ya. Sebenarnya ada di lemari, cuma dia nggak liat dan nggak mau nyari." sarkas Kia melirik Ismail dengan malas.
"Baik ibu Kia, tunggu sebentar saya carikan." Mbak Asih mulai menaiki tangga hendak pergi ke kamar mereka.
"Oh, iya mba. Setelah itu, setrika sekalian kemeja nya. Pastikan tidak ada lipatan sedikitpun. Aku nggak mau nanti seseorang akan membuat ulah lagi. Aku lagi malas berdebat hari ini!" tambah Kia sebelum mbak Asih benar-benar jauh. Moodnya mulai luntur tiba-tiba.
"Lihat dirimu ini. Seenaknya ngasih perintah, aku juga yang harus carikan saat kamu malas mencari. Aku ini bukan pembantumu, paham?" kata Kia dengan memasang wajah jengah saat mbak Asih sudah tak terlihat lagi.
"Tapi kamu itu 'istriku', kan?" sanggah Ismail dengan menekankan kata istri.
"Terus?" tanya Kia memutar bola mata malas menanggapi.
Tak mau menambah beban otak karena pertengkaran, Kia mengambil tas, ponsel dan kunci mobilnya lalu bergegas pergi meninggalkan Ismail yang mengepalkan tangan menahan amarah.
Ismail memandang foto keluarga yang tercetak besar di ruang keluarga. Foto dirinya bersama Zaskia dan Zayn yang sedang tersenyum.
Gambaran sebuah Keluarga yang damai tentram, penuh cinta dan kasih sayang. Kini semua tenggelam dalam angan. Tak terlihat lagi cahaya cinta seperti dulu.
Ismail merogoh kantung sakunya mengambil sebuah benda pintar pipih berbentuk persegi panjang dari dalam sana. Ismail melihat sebuah pesan masuk dari aplikasi hijau dalam benda pintar tersebut. Sebuah pesan dari kontak yang bernama Hakim.
"Semua dokumen sudah siap. Kecuali dokumen yang perlu di tanda tangani." sudut bibir Ismail pun terangkat. Senyum yang tidak bisa di artikan dengan kata 'baik'.
"Tuan, Kemeja hitam yang mana? Ini atau ini?" tanya mbak Asih saat turun membawa dua gantungan baju kemeja hitam dengan model berbeda.
"Terserah mbak, yang mana aja tetap akan aku pakai." Ismail acuh langsung naik kembali ingin ke kamarnya.
"Hem.. Kalau kalau tau begitu tadi aku nggak usah capek-capek nyari." gerutu mbak Asih dalam hati. Lalu melanjutkan aktivitasnya.
***
"Selamat pagi, Pak Ismail." sapa salah satu anggota divisi yang bernama James saat melihat Ismail sudah tiba di kantor.
"Apa kamu sudah menyelesaikan berkas yang saya minta kemarin?" tanya Ismail tanpa membalas sapaan James.
"Sudah, pak. Saya juga akan membuat salinannya sebanyak tujuh lembar." James melihatkan printer yang sedang bekerja keras mencetak tulisan-tulisan itu.
"Bagus, pastikan tidak salah dalam detail angkanya ya!" titah Ismail dan di angguki oleh James.
"Semoga tidak ada kesalahan pak." James berkata lirih saat melihat Ismail mulai memandang Zaskia yang sedang sibuk dalam ruangannya, tangan kiri memegang gagang telepon sementara tangan kanan membuka beberapa berkas di hadapan dan mulut yang sibuk menjawab lawan bicara di telepon.
Ismail pun segera masuk ke dalam ruangannya, lalu bersandar pada kursi kebesarannya. Menatap layar komputer mati yang memantulkan seringai wajahnya.
Tok tok..
"Pak Ismail. Ini dokumen yang anda minta. Sudah aku siapkan kemarin." Riska datang membawa sebuah map.
"Oh, terima kasih." Ismail memandang map tersebut.
"Tunggu." ujar Ismail saat Riska sudah memegang gagang pintu hendak keluar.
"Iya pak, ada yang perlu saya kerjakan lagi?" Riska berbalik kemudian menghampiri atasannya lagi.
Ismail membuka laci meja nya dan mengambil sebuah map biru dari sana. Kemudian memberikannya kepada Riska.
"Tolong berikan dokumen ini kepada Ibu Kia. Minta dia untuk tanda tangan di bagian yang sudah aku tandai dengan pulpen itu ya. Kalau dia bertanya, bilang saja itu untuk presentasi siang ini." titah Ismail. Riska pun menyetujui tanpa bertanya apalagi membuka map tersebut.
Tok.. tok..
Riska masuk ke dalam ruangan CEO perusahaannya tersebut. Zaskia yang masih sibuk dengan panggilan yang terus berdering. Entah dari mana saja, Riska tak tahu.
"Baik. Jadi kamu ingin aku menelepon pihak Perusahaan mereka?" tanya Zaskia ke penelepon tersebut.
"Oh tidak, itu permasalahannya. Aku tau percetakannya di mulai minggu depan. Bagaimana jika aku.." Zaskia tak melanjutkan, saat Riska menyodorkan sebuah dokumen di hadapannya.
"Maaf ibu Kia, pak Ismail meminta Ibu Kia menandatangani dokumen ini. Di sini bu." ujar Riska menunjukkan tempat yang harus di tanda tangani. Karena sedang sibuk, akhirnya Kia menandatangani asal begitu saja tanpa bertanya.
Selesai mengerjakan tugasnya, Riska menyerahkan map tersebut lalu kembali ruangannya untuk mengerjakan kembali tugas yang seharusnya di kerjakan.
Zaskia tergesa-gesa keluar dari ruangannya, sepertinya ada hal penting yang harus di selesaikan. Melihat hal itu, Ismail mengejar dan berkata.
"Jangan lupa, sore ini kita ada rapat penting." Zaskia hanya mengangguk dan berlalu. Begitulah Zaskia, yang kalau di kantor dirinya sangat profesional hingga melupakan statusnya sebagai istri dan hanya menegaskan dirinya adalah seorang CEO di sini.
Ismail terdiam dan menggeleng menatap istrinya sudah melenggang jauh hingga tak terlihat lagi. Bayangan masa lalu saat melamar Kia pun terlintas.
"Aku akan menjadi istri terbaik untukmu. Aku akan selalu mencintaimu. Dan tetap setia kepadamu sampai kapanpun." ucapan itu terngiang jelas di telinga Ismail.
"Ah, yang benar saja. Dia bahkan lupa kalau aku ini suaminya." decak Ismail sambil menyandarkan tubuhnya pada kursi. Miris sekali rasanya.
*Kelak kamu akan merasa bahwa bermodalkan cinta saja tidak cukup untuk hidup bersama*.
***
Di ruang rapat yang terdiri dari beberapa klien dan beberapa pemegang saham. Rapat sore ini di pimpin oleh Ismail.
"Dari hasil yang bisa saya katakan, bahwa proyek kerja sama dengan perusahaan yang berada di Sulawesi merupakan satu-satunya proyek terbesar di Indonesia, jadi saya memutuskan untuk memperluas wilayah di sana." jelas Ismail dalam sesi rapatnya sore ini.
"Benarkah kalau di sana termasuk daerah proyek terbesar, Pak Ismail? Kau ingin memperluas wilayah?" tanya Faisal yang merupakan salah satu pemegang saham sekaligus paman Zaskia.
"Ya. Selain itu, kita bisa membangun cabang perusahaan baru di sana. Dengan adanya banyak sumber daya, kita bahkan bisa menambah kuantitas produksi." tukas Ismail dengan mantap.
"Tunggu. Lalu bagaimana dengan penduduk setempat yang sudah pasti memerlukan sumber daya yang ada?" balas Faisal merasa kurang setuju.
"Pertanyaan bagus, Pak Faisal. Anda jngan khawatir soal ini. Kita membuat rencana ini juga dengan mempertimbangkan banyak hal, jadi saya juga sudah punya solusi." sahut Ismail dengan berani. Menjeda dengan menghela nafas terlebih dahulu.
"Untuk mengisi pekerja di perusahaan cabang baru, kita memerlukan banyak orang. Jadi solusinya adalah membuka lapangan pekerjaan khusus untuk penduduk sekitar. Otomatis, kita saling memerlukan, kita memerlukan mereka dan begitu pula sebaliknya." tambahnya.
"Tunggu. Ini masalahnya, Pak Ismail. Bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki riwayat pendidikan? Apa anda mengira bisa semua orang dengan mudahnya masuk. Jika masyarakat setempat kebanyakan orang yang tidak mendapat pendidikan, tidakkah menurutmu mereka terima begitu saja menjadi buruh, apalagi orang yang sudah tua renta." sanggah Faisal.
"Ya, kita perlu membahasnya juga. Emm ... " kilah Ismail mendadak bingung.
"Jadi, apa menurutmu ini sebuah proyek jangka panjang yang baik? Kita orang Indonesia, Pak Ismail. Yang berada di budaya yang berbeda dan pola pikir yang berbeda. Jika perusahaan asing membuka perusahaan tanpa memikirkan warga negara kita. Harusnya kita sebagai penduduk tanah air lebih memikirkan saudara setanah air pula." tolak Faisal secara halus.
"Begini, Pak Faisal. Jika bukan kita yang memulai, apakah anda ingin melihat perusahaan asing yang membangun di sana?" emosi Ismail mulai tersulut.
"Baik. Apa Zaskia tahu soal rancangan proyek ini?" tanya Faisal.
"Tidak! Aku nggak tahu apa-apa soal proyek yang dia ajukan!" sanggah Zaskia saat dirinya saja tiba di ruangan khusus rapat tersebut.
Seketika hawa ruang rapat terasa mencekam. Menyadari itu, Faisal pun membubarkan rapat. Pihak lain merasa kurang puas karena pulang tanpa kejelasan.
"Paman, aku benar-benar minta maaf karena aku memang nggak tau akan ada presentasi tentang proyek baru hari ini dari pihak kita. Yang aku tau soal memperpanjang kontrak kerja sama. Kalau aku tau seperti ini jadinya, aku akan membatalkan semua janjiku dengan yang lain dan fokus dengan rapat ini." jelas Kia kepada Faisal.
"Tidak apa-apa, Kia. Dari sudut pandangku proyek yang di kemukakan oleh Ismail sudah bagus, hanya saja dia terlalu ambisius dan kurang pemahaman lebih untuk menangani suatu masalah." keluh Faisal kepada Kia.
"Ya. Benar sekali, Paman. Itu sebabnya, bolehkah Paman memberiki waktu untuk memperbaiki proposalnya lalu aku akan meminta pendapatmu lagi?" Kia meyakinkan. Bagaimanapun juga perusahaan ini adalah tanggung jawabnya.
"Kia, oh Kia. Jika bukan karena menghargai kebaikan mendiang ayahmu, aku tidak akan mentoleransi. Namun karena banyak bantuan yang beliau berikan padaku, aku akan membayarnya dengan membantumu." Faisal menyambut permintaan Kia.
Kia mengangguk, "Terima kasih, Paman. Aku berjanji akan membuat proyek yang benar dan segera mewujudkannya."
"Sudahlah, dia terlihat sangat marah sekarang. Bujuk dia agar masalah tidak semakin bertambah panjang." saran Faisal saat melihat Ismail yang terus memijat pelipis sementara tangan lainnya mengepal kuat.
"Tidak apa-apa. Dia akan baik-baik saja." Kia menampik.
"Baiklah kalau begitu. Aku ada janji lain yang mengharuskan untuk pergi. Setelah memperbaiki proposalnya, ingat hubungi aku. Aku pergi dulu." Faisal pun pamit.
"Baik, Paman. Be careful." Kia memandang pamannya pergi setelah itu segera masuk ke dalam ruangan Ismail dengan rasa emosi.
"Ismail!" teriak Kia tanpa memandang sekeliling yang menatapnya dengan takut.
"Ada apa denganmu hah? Kenapa kamu melakukan presentasi tanpaku? Apa kamu tau, proyek ini penting untukku! Kamu pikir aku hanya pajangan di perusahaan ini?" hardiknya. Emosi Kia yang sudah pada puncaknya.
"Kenapa aku yang salah? Aku sudah mengingatkanmu 'kan, kamu yang nggak dengar." sela Ismail tak terima di salahkan.
"Kapan? Aku pasti ingat kalau kamu bilang ada rapat. Kalau aku tau, aku mungkin akan membatalkan janji dengan yang lain. Sekarang, sampai aku yang harus memperbaiki semuanya. Ide yang nggak masuk akal pun kamu presentasikan!" dalih Kia merasa tak mendengar, padahal sebelumnya Ismail memang sudah mengingatkannya.
"Oh, begitu rupanya. Tidak masuk akal, ya?" Ismail bangkit dari tempat duduknya lalu menghentakkan kaki dan membanting pintu menjauhi Zaskia.
"Ismail!" teriak Kia tapi tak di hiraukan, terus saja Ismail melangkahkan kakinya ingin pergi menenangkah hatinya yang tidak baik-baik saja.
"Ismail! Aku ini lagi bicara denganmu!" pekik Kia sambil mengejar.
"Apa!" Ismail berbalik dan balas membentak Kia.
"Dasar orang sok pintar, tidak tahu malu. Lain kali, tanyakan pendapat orang lain terlebih dahulu. Mengerti? Ini bukan perusahaanmu. Ini perusahaan ayahku, aku CEO-nya di sini, jadi jangan bersikap semaunya!" sindir Kia, yang lupa diri bahwa dirinya juga bersalah.
Perdebatan itu pun mengundang partisipasi pemilik mata dan telinga dalam ruangan tersebut hingga menjadi tontonan gratis seluruh penghuni seisi kantor.
"Hahaha. Jadi begini caramu memperlakukanku di depan banyak orang? Kamu lupa, aku ini suamimu!" tantang Ismail sambil menggelengkan kepala tak mengerti sikap istrinya itu. Dia pun meninggalkan Kia yang masih mengendalikan amarah.
"Setelah ini. Jangan lakukan apapun sendirian!" teriak Kia walau Ismail sudak tidak terlihat lagi.
Devita yang baru saja tiba di kantor pun melihat dua orang yang sedang bertengkar hebat itu. Bingung antara membujuk Ismail atau Kia karena dua-duanya sama-sama orang penting dalam hidupnya. Mereka yang bersahabat semenjak masuk kuliah hingga sekarang.
"Dan kalian, jangan ikut-ikutan memberi ide apapun untuk perusahaan, kecuali aku yang memberi dan menyetujui." cetus Kia dan di angguki oleh mereka yang mendengar.
"Hari ini kalian semua harus lembur untuk memperbaiki proposal tadi. Mengerti semua?" titah Kia tanpa memikirkan karyawannya yang juga punya urusan pribadi di luar sana.
"Mengerti, Ibu Kia." sahut mereka patuh, takut mendapat amukkan dari atasannya itu.
Kia masuk ke dalam ruangannya dengan dada yang masih naik turun karen emosinya belum mereda. Hingga Devita masuk pun, Kia tak begitu menghiraukannya. Sungguh, kegiatan yang menguras tenaga.
Kia adalah seorang pemimpin yang tidak suka jika bawahan melakukan sesuatu tanpa persetujuan darinya. Namun dia juga tidak sadar akan sifatnya yang suka lalai dalam banyak hal.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!