NovelToon NovelToon

Istri Pengganti Tuan Presdir

Awal kisah

POV Arumi 9 tahun...

Aku disini, berdiri di antara para pelayat yang menangisi jazad Ayahku. Semalam, mendadak Beliau mengalami serangan jantung. Tepat dimana kami sedang merayakan hari ulangtahun-ku.

Hanya hitungan jam, sebelum dokter menyatakan bahwa Ayah sudah tidak lagi bernyawa. Aku berada di dekatnya dengan tatapan tak percaya, tubuhku kaku tanpa ekspresi. Melihat ibu tiri serta dua saudara tiriku menangis tersedu-sedu di sisinya.

Aku tidak heran ketika tangis dan kesedihan mereka hanya bertahan beberapa jam dari usainya proses pemakaman Ayah. Kakak tiri laki-laki, adik tiri perempuan yang usianya sama denganku juga ibu tiri yang cantik sudah melakukan aktivitas mereka masing-masing. Wajah berkabungnya pun berubah menjadi tawa riang ketika beberapa rencana untuk bersenang-senang sudah mereka susun malam itu juga.

"Tetaplah di rumah, dan jangan sekali-kali kau keluar dari rumah ini. Kau tahu kan, apa yang akan Mama lakukan untukmu jika kau tidak menurut?" Ancam wanita cantik di hadapanku. Polosnya aku hanya mengangguk dengan rasa takut. Wanita itu kembali tersenyum sebelum menerima panggilan telepon dan keluar untuk bertemu teman-temannya.

Braaak...! Pintu rumah tertutup.

Kini hanya tinggal aku sendirian berdiri di balik pintu. Tubuhku sedikit terhuyung melangkah dengan pandangan hampa menuju sofa. Tak ada yang bisa ku lakukan selain meraih salah satu foto Ayah yang menggantung di dinding.

Rasanya kaki ini sudah tidak lagi berdaya untuk melangkah. Sebelum tiba di sofa, tubuh mungilku sudah terhempas ke lantai lebih dulu.

Memeluk lutut kemudian, gamang memandangi foto Ayah yang berada di hadapanku. Tangis ku kembali pecah, jiwaku kembali teriris. Aku belum siap, dan aku belum menerimanya.

Memikirkan bagaimana nasib ku setelah ini? Hari-hariku pasti tidaklah mudah, seolah segala kepedihan juga kenestapaan sudah menungguku untuk hari-hari penuh dengan ketidakadilan.

Kenapa Ayah? Kenapa harus Ayah?

Hatiku terus meronta-ronta, merasa tidak terima. Ketika raga yang menjadi satu-satunya tumpuan kasih sayang ku harus pergi lebih dulu.

Tapi, mau beberapa kali aku memanggil namanya. Ayah tetap tidak akan kembali. Semuanya membuatku tersadar bahwa aku semakin jauh dari sebuah kebahagiaan.

Sebab, kepalsuan sikap baik Ibu tiriku pun sepertinya sudah tidak akan nampak lagi. Dan akan berganti dengan kesewenang-wenangan yang semakin menjadi. Sekarang, hanya tinggal menunggu sampai kapan takdir menyedihkan ini berakhir.

.

.

.

tiga belas tahun kemudian...

Pagi datang, Arumi menyapa dengan rasa syukur. Walaupun di luar langit masih nampak gelap, ia harus bergegas terjaga untuk beraktivitas.

Hari ini Kak Sonny berangkat pagi untuk hari pertama bekerja, sementara Maura ada kelas tambahan pagi. Jadilah saat ini menjadi pagi yang lebih sibuk dari biasanya.

Arumi memasak sayur bening bayam, orek tempe, sambal, juga ayam goreng. Sesuai request Nyonya cantik di rumah ini. Emmm... tidak, mungkin maksudnya adalah ibu tirinya.

Ya, semakin kesini kehidupannya semakin jauh dari kata layak. Menjadi pembantu gratisan di rumah ini sudah menjadi hal biasa. Bahkan tendangan juga pukulan ia dapatkan tidak hanya dari ibu tirinya, melainkan dua saudara tirinya juga.

Tapi, ya... Ia hanya perlu bertahan sedikit saja, sampai uang yang ia tabung terkumpul. Barulah ia bisa pergi dari rumah ini dengan tujuan, bahkan kalau bisa melanjutkan sekolahnya.

Arumi memang sangat ingin kuliah, sama seperti saudara tirinya. Namun, untuk saat ini sangat lah sulit. Mama Linda tidak akan pernah memberikannya izin. Dia bilang, kuliah itu biayanya mahal dan ia tidak akan sudi untuk mengeluarkan sepersen pun untuknya.

Pagi yang semakin hangat ketika matahari mulai muncul memberikan penerangan bagi bumi. Seharusnya penuh dengan ketenangan, namun justru menjadi gaduh ketika dua Kakak beradik itu saling berebut sesuatu yang entah apa. Suaranya terdengar sangat keras bahkan sampai ke area dapur.

Bertambah dengan suara pekikan wanita paruh baya yang mulai kesal ketika kedua anaknya tidak bisa tenang di atas meja makan.

Berbeda dengan anak-anak kesayangan Mama Linda yang sudah mengisi perut mereka. Arum justru tengah sibuk mencuci pakaian para penghuni rumah dengan tangan. Sebab, mesin cuci yang ada sedang rusak.

Bruuukkk...

"Aaaa...!" Arum meringis. memegangi kepala bagian belakangnya yang sakit, akibat terhantam sepasang sepatu yang di lemparkan begitu saja secara tiba-tiba.

"Cuci sekalian, tuh! Aku tidak mau tahu, lusa harus sudah siap untuk ku pakai." Tanpa basa-basi lagi, gadis berusia dua puluh dua tahun itu kembali keluar dari tempat Arum mencuci.

Wanita berparas cantik itu menghela nafas, menoleh kearah cucian yang setiap hari menggunung. Belum lagi sepatu-sepatu kakak-kakak tirinya yang lebih dari kesan wajar di gunakan oleh anak kuliahan atau kantoran. Sebab, tanah yang menebal di setiap sisi bawah sepatu mereka. Seperti di sengaja.

"Okay! semangat Arumi. Kita selesaikan ini, sebelum bekerja di toserba." Arumi melamun, memandangi wajahnya yang polos di permukaan air bersih dalam bak. Rasanya sakit, ketika ia harus bekerja dengan upah yang jauh dari kata normal di toserba milik ayahnya sendiri.

Ya, dulunya. Ayah Arumi memiliki lima cabang toserba. Namun sekarang hanya tersisa dua, lainnya sudah di jual oleh Mama Linda tanpa sepengetahuan apalagi izin darinya.

Arumi menyeka keringat di kening, kembali tersenyum walau hatinya tercekak setiap harinya. Kembali dia melanjutkan tugasnya mencuci pakaian dan juga sepatu hingga bersih.

––

Gadis itu telah selesai, ia langsung menjemur pakaiannya. Di bawah sinar matahari yang mulai terik, Arum masih nampak bersemangat. Hingga seember air tiba-tiba menyiram kearahnya dari belakang.

"Kyaaaa!" Arum menjerit kecil, reflek karena terkejut. "Kenapa Mama menyiram Arum?"

Mama Linda melempar ember itu keras hampir mengenai kaki Arum yang reflek menghindari.

"Gadis bodoh! Apakah kau mencuci pakaian yang ku gantung di balik pintu kamar?"

Arum menggeleng, "Aku hanya mencuci pakaian yang ada di ember."

Plaaaak! Sebuah tamparan mendarat bersamaan dengan jeritan kecil Arum.

"Kau pikir aku ini sudah pikun? jelas-jelas aku belum meletakkan baju itu di ember cucian kotor!"

Arum masih memegangi pipinya, menggigit sedikit ujung bibir menahan tangis sebab pedih di pipi dan juga hatinya.

"Mama selalu seperti ini... menudingku melakukan sebuah kesalahan yang sejatinya tidak pernah ku perbuat."

Mendesah kasar, "Apa maksudmu aku sengaja mencari-cari kesalahanmu, padahal sejatinya kau benar-benar gadis bodoh yang tidak berguna dan terus melakukan kesalahan!"

"Kalau aku tidak berguna, kenapa Anda masih membiarkan aku tinggal di rumah ini?"

"Kau semakin pintar berbicara, ya? Siapa yang mengajarkan keberanian ini padamu, HAH!!" Sergahnya dengan tatapan tajam seperti biasa. Sama halnya dengan Mama Linda, pun Arum membalas tatapan itu tak kalah tajam, sementara bibirnya mengatup rapat.

"Apakah seekor semut akan selalu diam saja ketika tubuhnya terus diinjak?"

Mama Linda tersenyum sinis, "pintarnya kau menjawab ucapanku. Aku jadi menyesal, kenapa dulu aku merawat-mu bahkan menyekolahkan-mu hingga SMA. Jika nyatanya, kau akan menjadi gadis yang tidak tahu diri. Sekarang, melihatmu yang bisa bertingkah seperti ini... membuatku teringat, haruskah aku menghentikan pembayaran kontrak makam kedua orang tua mu?"

Deg! Arum mematung. Kedua sudut matanya mendadak menganak sungai. Mama selalu mengancamnya dengan itu. Sebab, jika kontrak makam tak di perpanjang kedua makan orangtuanya akan di bongkar lalu di pakai lagi untuk mengubur jenazah baru.

Sebuah cengkraman kuat di rambutnya membuat Arum terkesiap sebelum meringis sakit.

"Kau sudah ku beri peringatan untuk tidak bertingkah dihadapanku. Bersyukurlah selagi aku masih bersedia memberikanmu makan..."

"Aku bersumpah! akan bekerja keras, dan menjadi orang kaya untuk membayar kebebasanku darimu!"

"Oh, ya...?" Mama menertawakan ucapan Arum tadi, dengan nada meremehkan. "Lakukan saja. Akan ku pastikan, sampai rambut cantik mu ini beruban pun, kau tidak akan bisa membayarnya. Karena kau sudah ditakdirkan menjadi pembantu di rumahmu sendiri seumur hidupmu!"

Arum menitikkan air matanya. Sesaat setelah sang ibu tiri melepaskan cengkeramannya lalu melenggang pergi. Tangannya mengepal kuat, sementara tangan satunya menyeka air matanya kasar. Kepalanya mendongak keatas, menghadap matahari yang menyilaukan.

Aku yakin! Keadilan itu pasti ada... aku pasti akan bahagia... Batinnya memohon dengan sangat, berharap Tuhan mempertemukannya pada takdir yang lebih baik.

Adakah takdir baik itu?

Di kehidupan yang lain, ada gadis yang sangat beruntung. Ia memiliki segalanya, yang berkaitan dengan cinta, juga kedudukan.

Gadis cantik yang anggun, bernama Alicia. Yang hidup dalam lingkungan konglomerat dari keluarga Narendra. Tentunya ia tidak pernah merasakan getirnya kehidupan.

....

Di pukul sepuluh pagi ini Ia sudah bersiap dengan sepeda yang ia tunggangi. Ini adalah momentum membahagiakan, ketika akan beraktivitas seharian bersama sang calon suami.

Seorang pewaris Group Andara, yang memegang kendali Perusahaan beserta cabang-cabangnya. Seorang laki-laki berparas tampan, dengan garis wajah sedikit arogan namun sejatinya ia amat lemah lembut memperlakukan pasangannya atau orang yang ia cintai. Ya, itulah salah satu keberuntung terbesar yang ia miliki. Di cintai oleh pria hebat bernama Arga Sanjaya.

"Panas sekali, apa seperti ini yang di namakan bersenang-senang?" Protesnya. Padahal di sisi kanan sudah ada asisten yang memegangi payung untuknya. Alicia terkekeh.

"Kau bilang, kau akan menuruti apapun keinginanku."

"Ya, tapi tidak untuk bermain sepeda. Bagaimana jika kulitmu gosong, sementara pernikahan akan di langsungkan seminggu lagi."

"Sayang, apakah kau khawatir jika aku gosong? Kau takut aku akan membuatmu malu ketika memakai gaun tanpa lengan?"

Pria bernama Arga itu mendesah. "Lupakan saja, ayo kita mulai."

Alicia tersenyum, ia mengambil start lebih dulu. Mengayuh sepeda dengan cepat meninggalkan Arga di belakang. Pria itu tentunya tak tinggal diam, kakinya sudah mulai mengayuh pedalnya.

Keduanya mulai menikmati, hilir angin menyibak rambut mereka. Memberikan kesejukan di tengah-tengah arena khusus bersepeda milik keluarga Narendra.

"Sayang, jangan terlalu cepat! jalannya menurun!" Seru Arga yang merasa khawatir dengan kekasihnya di depan.

"Kau berlebihan, ini tidak terlalu menurun Arga!"

"Hei... menepi dulu. Di depan ada perempatan!"

"Taman ini sepi, tidak perlu khawatir..." Sayup-sayup masih terdengar suara di depan, bersamaan dengan tawa riang gadisnya yang tak menghiraukan himbaunya.

"Iiissshhh! Dasar keras kepala." Arga mencoba menyusulnya. Mengayuh lebih cepat lagi. Sementara di sisi lain, sebuah truk makanan yang di pesan Arga melintas. Tentunya itu membuat Alicia terkejut bahkan tak sempat menarik remnya.

"ALICIAAAAAAAAA!!!" Pekik Arga sembari menghentikan laju sepedanya.

BRAAAAAAAAAAAKKKK!

Tubuh sekaligus sepeda yang di tunggangi gadis itu tertabrak cukup keras bahkan sampai terpental. Namun, di bandingkan sepedanya, tubuh mungil Alicia justru lebih jauh lagi dan bahkan sampai tercebur kedanau luas yang berada di sekitar jalan tersebut.

Byuuuurrr....!

"Ti– tidak. Alieee..." tubuh Arga mendadak kaku. Di sisi lain, para penjaga bergegas berlari menuju danau demi menolong gadis itu.

"Tuan, Anda tidak apa-apa?" tanya sang sekretaris pribadi.

Arga tak menjawab selain menjatuhkan sepedanya begitu saja, lalu berlari kencang menuju danau. Seketika tubuhnya di tahan oleh beberapa orang di sana ketika Arga berniat untuk menceburkan diri, menolong kekasihnya.

"Aliee...!! Alieee...!!" Arga meronta-ronta meminta agar mereka tidak menahannya.

"Tuan, kami mohon jangan! Anda harus tetap di sini."

"Lepaskan aku, Sialan! Kekasihku di sana... calon istriku di sana!!"

"Kami sedang berusaha untuk menolong Nona mudah, Tuan. Jadi tunggulah..."

Arga mencengkeram kerah baju pria berseragam hitam di hadapannya. "Kau suruh aku menunggu? Sedangkan nasib calon istriku belum jelas??"

"Tuan Muda. Mengertilah, danau ini sangat luas dan dalam. Akan sangat membahayakan untuk Tuan sendiri. Maka biarkanlah kami saja yang melakukan pencarian untuk Nona muda," jawab pria itu lagi.

"Tuan, yang dikatakannya benar. Tolong tabahkan hati Tuan dan bersabarlah sampai tubuh Nona muda di temukan."

Arga melemas, memandang sayu danau di hadapannya. Air matanya bercucuran, menyapu pandangan kesana kemari. Menanti dengan was-was kabar dari mereka yang sedang melakukan pencarian.

Beberapa menit kemudian... tubuh Alicia di temukan. Darah segar pun masih keluar dari bagian-bagian tubuhnya. Segera Arga mendekatinya demi memastikan jika sang kekasih masih hidup. Namun, rupanya takdir berkata lain. Nyawa sang gadis jelita sudah tak terselamatkan. Tentunya hal itu membuat Arga tak percaya, ia memeluk tubuh kekasihnya sembari menangis sesenggukan. Memanggil terus nama Alieee tanpa henti. Dan, dari setiap rintihannya mengalir penyesalan amat besar.

🥀

🥀

🥀

Satu tahun berselang...

Seorang pria tengah berdiri di tepi danau. Memandangi permukaan air yang tenang. Di temani hilir angin yang menggoyangkan pucuk rambutnya, sementara langit sudah mulai gelap.

Sudah setahun berlalu, semenjak kejadian itu ia alami bersama sang kekasih. Seolah mengguratkan luka terdalam di hati.

Arga merasa, semua yang terjadi karena dirinya. Ketidakberdayaannya yang tidak mampu melindungi sang Kekasih membuat nyawa Alicia terenggut.

Seharusnya, saat ini status mereka sudah berubah. Ia bisa memeluk tubuh gadisnya sepanjang malam bahkan berbulan madu keliling Eropa sesuai keinginan Alicia. Namun nyatanya, kini sang kekasih hanya laksana bayangan. Yang jangankan untuk ia sentuh, melihat wajahnya saja pun tidak bisa.

Arga mengepalkan telapak tangannya kuat, lantas menghantam keningnya sendiri berkali-kali.

"Bodoh! Tidak berguna!! Bedebah!!" Umpatnya tanpa henti. Tubuhnya kembali berguncang akibat Isak tangis. Dalam hati ia berharap dapat melihat wajah Alicia lagi, walau dalam raga yang berbeda.

––

Di tempat lain...

Seorang gadis tengah duduk di lantai bawah meja kasir. Di luar hujan turun amat lebat. Toserba tempatnya bekerja juga sudah tutup satu jam yang lalu. Namun Arum memilih untuk tidak pulang, berdiam diri sembari meminum satu kaleng soda.

Ia sengaja menunda kepulangannya. Karena setibanya di rumah pun, pekerjaan lain sudah menantinya.

"Aku ingin tidur di sini saja. Tubuhku sangat lelah." Arum memijat tengkuknya, sembari mengangkat kaleng soda di tangan meminumnya hingga habis. "Haaaaaaahhh... lebih baik menerima pukulan besok pagi, yang penting malam ini aku bisa tidur dengan nyenyak."

Arum beranjak, ia masuk ke dalam gudang untuk mengambil karton sebagai alasnya untuk tidur nanti. Menata sedikit, lantas tersenyum kecut setelah selesai.

"Ya... ini lebih nyaman dari pada kasur di rumah." Arum meraih jaketnya dan juga tasnya yang sudah usang lalu menjadikan itu sebagai bantal dan selimut.

Gadis itu memiringkan tubuhnya, menambahkan lengan untuk di jadikan bantalan. Memandang kosong setelahnya kedepan. Sesaat ia melamun.

Mau sampai kapan aku hidup seperti ini? Ayah, ibu... bolehkah Arum menyusul kalian saja?? Dunia ini amatlah kejam untuku.

"Rindu..."

Inginnya menangis, namun air mata itu sudah tidak mau lagi keluar. Sudah saking terbiasanya hidup seperti ini, sudah tak membuatnya merasa perlu untuk menangisi. Arumi pun memejamkan matanya mencoba untuk tertidur. Setidaknya, penderitaannya akan hilang dan berganti dengan mimpi indah.

sebuah ancaman

Dalam dunia mimpi, ia berdiri menatap seorang gadis cantik dengan pakaian yang sangat modis, dress hitam sebatas lutut berlengan panjang, juga rambut model cepol tinggi, sangatlah anggun. Berdiri memunggunginya di depan danau.

"Kau siapa?" tanya Arum dalam mimpi. Gadis di depannya tak menjawab, ia hanya memutar tubuhnya. Berjalan dua langkah lebih dekat sembari memegangi pot berisi tanaman kaktus. Setelahnya menyerahkan itu pada Arum yang terus mengamatinya dengan tatapan tidak mengerti. Gadis bermata jelita itu tersenyum manis.

"Ini adalah kesayanganku. Dia masih bisa mengeluarkan bunga lagi kalau kau mampu merawatnya dengan baik. Bentuknya memang berduri namun aslinya dia rapuh."

Perlahan Arum menerima pot tersebut. "Untuk apa Kau?"

Ucapannya menggantung ketika tiba-tiba saja gadis cantik itu sudah tak lagi terlihat. Arum menoleh ke kiri dan kanan mencarinya yang tiba-tiba menghilang. "Nona?"

Masih mencoba mencari sosoknya, namun kemudian teralihkan ketika ia melihat sosok lain yakni seorang pria dari kejauhan tengah berdiri di tepi danau tersebut. Membuat keningnya berkerut. Laki-laki itu siapa?

"Aruuuuummm!!" Sayup-sayup suara yang memekikkan telinga itu terdengar. Gadis itu terkesiap menoleh ke segala arah ketika tiba-tiba ia mendengar suara Ibu tirinya?

Byuuuurrr!!!

"Kyaaaa!!!" Arum gelagapan, ia bergegas bangun dari posisi tidurnya. Tubuhnya sedikit menggigil kedinginan akibat siraman air tadi.

"Akhirnya bangun juga, dasar anak bodoh!!"

"A–apa yang kalian lakukan di sini?" Masih sedikit terkejut, Arum mengibas-ibas pakaiannya yang sedikit basah.

"Kau tanya apa yang kami lakukan disini? Tentunya menjemputmu! Ckckck kami sempat berpikir kau kenapa-kenapa di jalan rupanya malah? Astaga... kau pasti senang ketika bisa tidur dengan nyaman ya. Padahal kami kelaparan menunggumu sedari tadi!" Maura mencibir sinis.

"Aku hanya lelah, apa salahnya? Lagipula kapan lagi aku bisa tidur dengan nyaman! Aaaa..." jari telunjuk kurus milik Mama Linda mendorong kepalanya dengan kencang.

"Siapa yang menyuruhmu tidur di sini, dasar tidak tahu di untung!!"

Arum menghela nafas, memilih untuk tidak menjawab. Rupanya pikiran dia untuk bisa tidur nyaman di sini sampai pagi itu salah. Sekarang mereka malah sudah ada dihadapannya.

"Sonny, seret dia ke mobil," Mama Linda memberi perintah pada anak laki-lakinya yang tengah menyandar malas di depan pintu.

"Hah!! Merepotkan sekali, aku di panggil hanya untuk melakukan ini." Pria itu mencengkeram kerah pakaian di bagian belakang milik Arum sebelum menariknya naik agar gadis itu mau berdiri.

"Sakiiit, Kak! Apa kau tidak bisa pelan-pelan? Lagi pula aku bisa sendiri."

"Iiiisssh... diam kau bocah sialan! Semua ini gara-gara Kau berulah, aku jadi melewatkan pesta dengan teman-temanku! Cih, aku bahkan tidak bisa berkenalan dengan para gadis cantik. Sungguh menjengkelkan, aku sangat ingin menyeretmu lebih kasar lagi dari pada ini."

"Aaaaa.... ku bilang sakit!!! lepaskan! Jangan seperti ini...!"

"Makanya cepat jalanya dasar lamban!" Sonny masih terus menyeretnya keluar sementara Mama Linda menyusul setelah memerintahkan Maura untuk mengunci lagi pintu tokonya.

–––

Di rumah...

Tubuh Arum di dorong hingga tersungkur ke lantai. "Kau lihat kekacauan di sini...!"

Gadis itu menatap rumah yang berantakan tak karuan. Ia pun menghela nafas, sudah pemandangan biasa melihat rumah yang saat ia tinggal dalam kondisi rapi dan tertata namun saat pulang kondisinya lebih parah dari puing-puing bangunan yang terkena dampak gempa.

"Bagaimana Aku mau istirahat dengan tenang, sementara rumah seperti kapal pecah!!"

"Jika ingin rumah tetap rapi, kenapa tidak Mama suruh dua anak terkasih Mama untuk berbenah?"

Klaaaang!!!

"aaawhhh...."

Sebuah asbak yang terbuat dari bahan stainless steel melayang dan mengenai kepala gadis itu. Arum menunduk menahan sakit, matanya pula mengembun manakala abu puntung rokok itu mengotori rambutnya.

"Gadis sialan. Apa kau sedang berpikir bahwa kami harus membersihkan rumah ini juga?" Sonny memekik.

"Kalau begitu, setidaknya kalian bertingkah selayaknya manusia normal untuk menjaga kerapiannya! Atau bila perlu menyewa pembantu saja?!"

"Apa katamu, pembantu? Lalu fungsimu apa di sini? Lagipula, kau pikir menyewa pembantu itu murah harganya?" Maura menjawab.

"Memangnya semua uang Ayahku kemana? Bukankah, aset Ayah masih banyak? Kalian bahkan sengaja mempekerjakan ku di rumah juga di toserba agar tidak membayar upah orang lain. Seharusnya dari hasil toserba belum lagi tiga diantaranya yang sudah di jual itu lebih dari cukup jika kalian tidak foya-foya sendiri." Arum masih terus mengumpulkan keberaniannya, membalikkan setiap ucapan mereka bertiga. Walaupun kedua tangannya gemetar dan dingin.

"Wah... lihat itu, Ma? berani sekali Dia berbicara seperti itu pada kita." Sonny mengompori.

"Mama kenapa diam saja, seharusnya lidahnya itu sudah kita penggal agar tidak bisa lagi asal bicara," imbuh Maura setelahnya.

"Maura, Sonny. Sudah cukup berdebat dengan anak sialan ini. Mama sudah tidak tahan lagi mendengarnya terus berbicara omong kosong!"

Arum menelan saliva-nya, walaupun ibu tirinya berbicara dengan nada lirih. Namun justru membuatnya was-was. Lebih-lebih saat wanita itu berjongkok di hadapannya.

Sembari memegangi salah satu sepatu hak tinggi tersebut. Lalu menempelkan ujungnya pada dagu Arum, mengangkatnya pelan.

"Coba, katakan lagi. Namun sembari melihat wajahku," ucapannya dingin. Arum diam saja, biji matanya bergerak-gerak khawatir. "Kenapa hanya diam? Kau tadi membahas aset ayahmu kan?"

Arum semakin tegang saat Mama semakin mendorong ujung sepatunya itu di bagian lehernya hingga dia bisa merasakan tenggorokannya sedikit tercekak.

"Kau tahu, ada satu aset Ayahmu yang masih ku jaga kemurniannya sampai saat ini. Yaitu Kau!"

Kembali Arum menelan saliva-nya. Tubuhnya semakin gemetar. Lebih-lebih saat Mama Linda menarik paksa pakaian Arum di bagian depan, mengintip area dada gadis di hadapannya.

"Hargamu pasti akan mahal. Hahahaha..." Ia tertawa mengerikan, membuat Arum bergidik ngeri. Seketika Arum menggeleng pelan, air matanya mengalir ke pipi.

"Ko mohon, Ma... jangan apa-apakan aku."

Salah satu alisnya terangkat cantik. "Kau ini kenapa? Bukankah Kau mau aku menggunakan pembantu di rumah ini? Tentunya akan ku turuti, menyewa pembantu agar kau tidak perlu berlelah-lelah lagi asal kau bisa membayar semuanya."

"Tidak, Ma. Arum tidak butuh pembantu. Ku mohon, ampuni aku. Tolong jangan jual Arum."

Sonny dan Maura tertawa. Mereka paham maksud Ibunya itu. Mama Linda beranjak sembari membenahi pakaiannya.

"Maura, bisa kau bantu Mama untuk mendandani Dia. Karena malam ini juga, Mama akan membuatnya mendapatkan ganjaran atas apa yang sudah ia katakan tadi pada kita."

Arum bergegas memeluk kaki ibu tirinya. Memohon sembari menangis. Agar ibu tirinya tidak melakukan hal itu padanya.

"Lepaskan kaki ku."

"Tidak Ma, Arum mohon. Arum akan melakukan apapun, asal jangan Mama jual Arum. Ku mohon, Ma... aku mohon."

"Benarkah kau akan melakukan apapun?" tanyanya, Arum buru-buru mengangguk walaupun ia menyesali. Karena setelahnya wanita paruh baya itu berserta kedua anaknya pasti akan semakin sewenang-wenang padanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!