NovelToon NovelToon

Bukan Jodoh Pilihan

Tumpukan Kertas

Pagi yang tadi sejuk mulai cerah dengan mentari yang naik hendak menyinari bumi dari balik awan. Mesin waktu menunjuki pukul 07:53 waktu yang tidak lain adalah aktivitas maupun rutinitas akan dilakukan terlebih lagi beranjak pergi mengais nafkah.

"Brukkk.. " Terdengar suara sesuatu berjatuhan dibawah lantai.

Terlihat Arna tengah berjongkok memungut kembali kertas-kertas dan portofolio yang berhamburan dilantai dengan raut wajah seperti seseorang mengkhawatirkan sesuatu. Setelah semua terpungut ia lalu berdiri dan berlari kecil menghampiri wanita paruh baya yang sedang berjemur pakaian.

"Bu aku berangkat dulu ya" Ucap Arna sambil memegang tangan ibunya dan menciumnya.

"Oh iya hati-hati ya" Senyum bu Asma dengan nada lembut.

Setelah menjawab dan mengucap salam, Arna berjalan dengan langkah gontai sambil merapikan kertas dan portofolio yang teraca-acak.

"Arna"

Panggilan setengah teriak itu membuat Arna menghentikan langkah kakinya dan membalikkan badannya.

"Tasnya mana? Apa gak berat bopong tumpukan sebanyak itu?" Tanya bu Asma heran

"Pengennya pakai tas, udah aku masukin ini ke dalamnya eh malah putus" Jelas Arna dengan nada memelas manja

"Haha yaudah nanti ibu permak"

"Makasih ya bu, i love you"

Sambil menengok jam tangannya Pkl. 08:10 Arna berkata "bu aku sebenarnya mau ke rumah mas udin dulu, ambil tas aku yang dia pinjam bulan lalu"

"Oh iya yang penting hati-hati" Sahut bu Asma

Perjalanan dari rumah dari sudut kota sudah lumayan jauh, Arna mulai tampakkan kelelahan namun tetap melangkah karena rumah mas udin hampir dekat.

Puluhan kendaraan umum menawarkan jasanya, sebenarnya Arna bisa sana menumpangi salah satunya agar lebih cepat sampai di kantor. Tapi tujuan utamanya ke rumah mas udin terlebih dahulu tepatnya di ruko samping toko kelontong milik pria paruh baya keturunan Chinese. Namanya pak chow, tetangga baik mas udin mereka saling berbagi sesuatu dan akrab layaknya keluarga karena mereka hidup sendiri dalam satu ruko yang terpisah.

Pagi yang tadi cerah dengan udara sejuk mulai menebar suhu panas oleh terik matahari. Arna berjalan dan berlari kecil di trotoar. Dari jarak 8 meter dilihatnya mas udin tengah membersihkan vespa birunya dengan kain lap dan memakai helm coklat gelap kesayangannya. Sepertinya bersiap-siap beranjak pergi kemana.

"Eh mas udin" Sapa Arna dan berhenti tepat di hadapan mas udin.

"Dik, gak ke kantor?" Tanya mas udin sambil memegang jok dan stang vespanya.

"Ini buru-buru ke kantor, tapi aku kesini dulu mau ambil kembali tas aku yang mas pinjam bulan lalu. Ada ya?" Kata Arna seraya meletakkan tumpukan di atas jok vespa.

"Oh ada ini, kebetulan mas mau kembalikan" Sahut mas udin sambil melepas tas yang ia kenakan dan menyerahkannya pada Arna.

Arna memasukkan ke dalam tas semua tumpukan tersebut dan mengenakannya diatas pundak.

"Gimana kalau mas saja yang anterin ke kantor? Kalau mencari kendaraan umum yang pas kemungkinan lama nunggunya." Tawar mas udin.

"Oke, yuk berangkat! " Seru Arna bergegas naik.

Jalanan mulai padat kendaraan, pejalan kaki dan para PKL. Tentulah kepadatan itu menebar polusi dimana-mana. Jika ditambah dengan terik matahari yang semakin membakar pastinya tubuh mulai gerah dan mengeluarkan bau keringat. Arna selalu mengolesi ketiaknya dengan deodorant anti keringat dan memercikkan bajunya dengan parfume sehingga ia tampak masih fresh.

Tentang Arna, nama lengkapnya adalah Dwi Arna Handoko. Tipikal wanita periang, humble, netralitas dan tidak cengeng. Karena suka menebar energi positif Arna disenangi orang-orang sekitarnya. Berkulit bersih, tubuh ideal tidak kurus tidak gemuk, tidak pendek dan tidak terlalu tinggi. Karena ideal tubuhnya membuatnya cocok mengenakan pakaian apa saja sehingga tampil stylish. Bahkan Arna tak menyukai wajah dengan riasan tebal oleh make up seperti dipakai kebanyakan wanita. Ia memakai skincare yang cocok dengan kulitnya sehingga wajahnya tampil cerah alami.

Busana yang ia kenakan sekarang adalah jas kantor berwarna abu-abu dan celana jeans hitam pekat yang sedikit ketat. Kepalanya ditutupi oleh hijab pasmina berwarna dusty pink dan tampil keren dengan sepatu sneaker hitam putih.

Vespa berjalan dengan kecepatan sedang membelah jalanan kota yang tidak terlalu padat kendaraan.

"Oh iya dik, rabu ini mas mau merintis kafe baru. Jangan lupa nanti sore datang ya" Mas udin memulai percakapan singkat.

Mendengar sebutan 'Rabu' yang dikatakan mas udin membuat Arna tersadar bahwa hari rabu adalah hari bos kantornya mengadakan rapat strategi. Dengan cepat Arna mengecek jam tangannya, jarum jam hampir menunjuki pkl. 09:19, ia menduga rapat telah dilaksanakan sejak dua jam lalu.

"Mampus aku" Gumam Arna sambil menepuk dahinya.

"Kenapa dik?" Tanya mas udin penasaran sambil melambatkan vespanya.

"Cepat dikit, mas. Hari ini hari aku rapat. Kalau kedapatan telat mampus aku kena damprat sama bos, buruan mas" Dengan raut wajah panik sambil menepuk-nepuk bahu mas udin.

"Kenapa gak bilang dari tadi"

"Udah buruan masss" Arna memelas

"Iya-iya" Mas udin mulai mempercepat standar vespanya.

Setelah menempuh perjalanan sejauh -30 kilometer sampailah mereka disebuah gedung perkantoran.

Arna turun dari vespanya seraya berlari menaiki tangga. Langkahnya berlari buru-buru menuju lift, Arna tidak mendengar security memanggilnya. Ia menekan tombol lift nomor 6 pastinya naik ke ruang khusus rapat. Keluar dari lift Arna berjalan cepat menyusuri ruang-ruang perkantoran para karyawan menuju ruang rapat. Disetiap perjalanan para karyawan dari balik jendela dan pintu kaca menatap Arna, ada yang bingung melongo dan ada yang menahan tawa. Arna heran dengan mereka dan ingin bertanya ada apa gerangan. Namun bukan waktu yang tepat, Arna terus mempercepat langkahnya.

Arna mengetuk dan membuka pelan pintu. Semua yang ada diruangan sama halnya dengan ekspresi karyawan diluar tadi, terlebih lagi dengan bos menatap sinis dengan menaikkan alis kirinya.

"Maaf permisi" Arna menyapa mereka dan sekilas membalikkan badannya untuk menutup kembali pintu lalu berjalan menghampiri kursi kosong yang disediakan untuknya.

"Kamu, kesini sebentar" Pinta bos sambil menunjuk lantai tepat disampingnya. Arna pun berjalan mendekati posisi yang ditunjuki.

"Bisa nunduk sedikit?"

Arna pun menundukkan kepalanya sehingga kepalanya sejajar dengan kepala bos. Bos mengetuk agak keras benda yang ada di kepala Arna. Terdengar suara helm yang diketuk membuat Arna melongo kaget ternyata ia lupa melepas helm.

"Oh iya maaf Pak" Arna nyengir, ia segera mengangkat helm dan melepasnya.

Para karyawan sedari tadi memperhatikannya menunduk menahan tawa.

Sementara mas udin yang duduk di vespanya terpaku bingung namun Arna tidak memperhatikannya.

"Buru-buru banget sampai helm dibawa buru-buru masuk. Semoga gak di damprat sama bos ya, dik" Gumamnya sambil menggeleng-geleng kepala.

Seusai rapat, Arna duduk sambil melipat dan merapatkan kedua telapak tangannya di atas pahanya yang juga rapat dan menundukkan kepala. Rupanya ia sedang di interogasi bos diruang kantor khusus milik bos. Bos berdiri menyandarkan kedua tangannya di atas meja kaca hitam lantas membalikkan badannya menghadap Arna.

"Kamu hampir setiap hari kurang disiplin. Ngapain aja di rumah?"

"Datang sering telat, rapat hampir selesai kamu baru akan tiba. Kamu tau kan ini kantor bukan kantor biasa seperti kantor-kantor para PNS kebanyakan. Ini kantor milik perusahaan khusus, dan apapun jenis rapat dalam usaha ini sangat penting untuk menunjang perkembangan saham perusahaan. Jika satu staff seperti kamu lalai, kami akan mengalami kerugian. Kalian digaji pakai apa, ha?" Bentak bos dengan tatapan tajam.

Spontan Arna mengangkat kepalanya karena terkejut mendengar meja yang dipukul keras oleh bos sehingga matanya menatap wajah bos tampak seperti preman pasar.

Sambil mengambil nafas bos mengeruti keningnya seraya berkata,

"Saya minta cukup kali ini kamu telat. Untuk kedepannya kamu harus disiplin dan datang lebih awal. Dan ter-tib dengan tidak membawa masuk helm, paham" Tegas bos dengan tatapan menusuk

"Pa-paham bos, saya janji" Sahut Arna dengan suara tertekan.

Bos menyusun kertas-kertas sehingga menumpuk di atas mejanya lalu menyodorkan ke arah tepat di dekat Arna.

"Itu kertas laporan dan Administrasi baru yang sudah saya koreksi. Kamu harus mencatat ulang, kalau sudah selesai kamu akan print. Kertas print yang dibutuhkan masing-masing sebanyak 370 lembar, ya" Pungkas bos dengan nada tenang.

Arna pun berdiri dalam keadaan mata melebar dan mulut ternganga.

" Se-sebanyak itu pak" Arna lalu mengedip-kedipkan matanya "apa karyawan lain gak.."

"Hemp" Bos memotong pertanyaan Arna.

"Yang telat siapa? Yang salah siapa?" Sambung bos balik bertanya.

"Oh hmm saya pak" Jawab Arna

"Nah kamu" Ketua bos mengacungkan telunjuk ke arah Arna.

"Untuk tugas rumah yang saya serahkan kemarin apa sudah selesai?" Tanya bos sambil memasukkan telapaknya di saku celana.

"Oh sudah pak, sebentar" Arna mengambil tas sportnya yang tergeletak di bawa kursi dan mengeluarkan isinya berupa kertas-kertas dan portofolio lalu meletakkannya di meja bos.

"Bagus. Untuk itu kamu harus selesaikan tanpa menunggu besok. Kalau tidak, gaji kamu saya potong. Tapi saya rasa potongan gaji tidak masalah bagi kamu, bagaimana kalau kamu saya pecat?" Ancam bos

"Ah jangan bos. Baik.. Saya akan selesaikan hari ini juga" Arna tampak lebih semangat.

Arna mengambil tumpukan kertas dan memasukkan ke dalam tasnya yang sudah kosong. Setelah berpamitan Arna bergegas keluar, seketika langkahnya berhenti oleh panggilan bos.

"Hey tunggu"

"Iya Pak" Arna menoleh menjawab panggilan.

"Bawa ini" Bos mengacungkan botol air mineral dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya dimasukkan ke dalam saku celana.

"Ini?" Arna memegang botol yang masih dipegang oleh bos sehingga mereka saling berpegangan satu botol yang sama. Tak lama kemudian bos melepas pegangannya.

"Iya. Itu untuk kamu minum, biar gak salah fokus" Ujar bos santai.

Hati Arna yang tadi kacau menjadi lega. Perasaannya seperti terbang di angkasa karena walau sebandel-bandelnya ia, bos masih menunjukkan perhatiannya.

"Duh pak bos, Terima kasih banyak" Arna tersenyum riang.

Bos Muda

Siang hari telah tiba, udara panas terik matahari memasuki ruangan kantor sehingga AC dialihkan dari suhu hangat menjadi sejuk. Waktu telah menunjuki pkl. 11:36, Arna sibuk menatap fokus layar komputernya dan jari jemarinya lincah mengetik-ketik keyboard. Ia sedang bekerja dengan tumpukan tugas-tugas yang diperintahkan oleh bos muda itu, berarti ia telah melewati lebih 2 jam di meja kerjanya.

Arna bekerja sebagai staff HRD, ia pernah menempuh pendidikan dibangku kuliah dengan jurusan manajemen perkantoran selama kurang 5 tahun. Pascasarjana di usia 23 tahun, Arna melamar kerja dengan berbekal ijazah. Tanpa menunggu lama akhirnya ia diterima karena dalam ijazah itu nilainya cukup bagus.

Tentang yang sering disebut 'Bos' itu tidak lain bernama Ahdan Abdullah Bawazier, nama yang religius karena ia dari keluarga besar bawazier adalah kakek buyutnya seorang bangsawan Timur Tengah. Tapi lain halnya dengan orang seperti Ahdan, namanya memang terdengar religius namun ia tipikal orang yang tegas, judes, dan jarang tersenyum kecuali pada orang tertentu. Meski tipikal agresif, Ahdan tidak pernah kikir harta, tidak sombong dan dermawan.

Ahdan adalah manager perusahaan properti milik pamannya. Ia dipanggil dengan sebutan 'Bos' oleh karyawan karena ia yang sering memerhatikan karyawan, mengelola keuangan, dan pemegang peran penting di perusahaan sehingga Ahdan disebut sebagai atasan para karyawannya.

Ahdan pernah menempuh pendidikan tinggi di Stanford university, Amerika Serikat. Hanya berlangsung kurun waktu 3 tahun jadilah ia sarjana muda dengan predikat cumlaude dibidang bisnis dan investasi. Karena kecerdasan dan kejujurannya membuat pamannya tertarik untuk menjadikan Ahdan managernya, di usia ke 23 hingga sekarang usianya 27 tahun.

Ahdan pria tampan berwajah blasteran Timur Tengah dan memiliki tubuh karismatik. Keluarga besarnya adalah para usahawan sukses dan ada pula memiliki profesi berbeda. Ayah Ahdan adalah saudagar kaya raya, ibunya seorang dokter spesialis anak. Saudara laki-lakinya juga merupakan usahawan sedangkan saudara perempuannya sama halnya dengan ibu berprofesi sebagai dokter. Semua saudaranya telah berkeluarga dan memiliki tempat tinggal sendiri masing-masing di kota lain, kecuali adik bungsunya masih duduk dibangku sekolah SMAN.

Walau mereka keluarga berada dengan gelimang harta tidak pernah kikir, tidak sombong dan dermawan.

Arnaz sibuk mengetik-ketik keyboard mulai merasa pegal pada bagian lengannya. Ia berhenti sejenak dan memijat-mijat kedua lengannya secara bergantian lalu menggerakkan kepalanya dari kanan ke kiri untuk mengkondisikan lehernya yang terasa kaku. Ia mengambil botol air mineral pemberian bos Ahdan, setelah membukanya ia lantas meminumnya.

Tenggorokan yang gersang bagai gurun yang tandus akan panasnya terik matahari menjadi teras segar oleh tetesan embun. Tapi rasanya belum cukup puas hanya dengan air murni, Arna ingin meminum jus melon dengan es batu. Baru membayanginya saja rasanya bertambah segar melebihi air mineral. Ia pun berdiri dari kursinya beranjak menuju kafe khusus kantor

Ketika keluar dari lift tak sengaja pandangan Arna tertuju kepada bos Ahdan yang tengah berjalan sambil mengobrol dengan seorang wanita berpakaian baju setengah pundak dan rok mini ketat. Bos Ahdan tampak lebih tersenyum lebar pada wanita itu. Sepertinya mereka hendak memasuki lift, dengan segera Arna menyingkirkan diri ke arah kanan agar tidak berdekatan dengan posisi lift. Sama sekali bos Ahdan tidak memperhatikannya padahal jarak antara mereka dan Arna lebih 10 meter.

Setibanya di kafe, Arna duduk di kursi bar hendak memesan jus. Karena baristanya belum ada di dalam bar Arna pun membelakangi bar.

"Halo" Iwan menyapa sopan

Spontan Arna membalikkan kembali badannya terkejut melihat iwan yang tiba-tiba muncul padahal tadi tidak kelihatan.

"Iwan dari mana sih kamu kok tiba-tiba muncul cepat sekali" Kata Arna jengkel

"Gak kemana-mana kok, dibawah aja lagi ngerapihin gelas-gelas."

"Mau pesan apa kak? Atau numpang duduk aja?" Sambung iwan sembari menyandarkan kedua tangannya di atas meja bar bernuansa keramik.

"Jus melon segar dengan toping whipped cream, ya" Seru Arna senyum.

"Oke"

Tak lama kemudian iwan muncul kembali membawa nampan berisi jus dan roti tawar lalu meletakkannya di atas meja dan menyodorkannya didekat Arna.

"Silakan diminum kak. Oh iya ini roti tawar selain coklat kacang, selamat menikmati" Ucap iwan kalem.

"Wah.. Makasih ya, tapi aku cuma pesan jus melon aja" Sahut Arna sambil mengaduk-aduk jus dengan sedotan.

"Tidak apa-apa kak.. Dimakan ya, gratis. Pasti perutnya udah keroncongan."

"Hehe tahu aja kamu, iwan" Arna tersenyum sinis.

"Iya dong karena jam segini perut udah keroncongan artinya butuh nutrisi tambahan dengan makanan. Oh iya kak, kenapa tidak pesan lewat telepon aja biar saya antar ke ruangannya supaya gak perlu capek-capek kesini." Ujar iwan sambil duduk di bar.

"Soalnya pinggang pegal-pegal, maka untuk mengkondisikannya menjadi kembali normal aku butuh jalan-jalan dulu." Arna menjelaskan tanpa melirik iwan.

"Oh kelamaan duduk ya"

"Iya"

Sambil mengunyah rotinya, Arna kembali membelakangi bar dan tanpa sengaja pandangannya berhenti tepat pada dua sejoli yang ia lihat sebelumnya, tidak asing itu adalah bos Ahdan dan wanita tadi bersamanya.

"Iwan.. Iwan." Arna memanggil iwan dan meletakkan rotinya di atas piring kecil.

"Iya ada apa" Tanya iwan sambil menyingkirkan kain lap.

Arna mengacungkan telunjuk ke arah mereka yang asyik mengobrol di meja kafe

"lihat itu"

"Oh itu bos Ahdan ya" Iwan menatap serius yang ditunjuki oleh Arna.

"Iya. Aku heran selama dua tahun aku bekerja disini jarang melihat bos tersenyum pada wanita termasuk aku, menyapa pun tidak. Tapi kenapa pada wanita itu bos tampak tersenyum dan girang. Apakah itu karyawan baru atau saudaranya" Arna mengungkapkan rasa penasarannya.

Iwan keluar dari bar dan duduk disamping Arna sehingga mereka sama-sama membelakangi bar.

"Bos Ahdan memang tipikal orang yang cuek pada semua wanita termasuk kalian. Tapi kalau pada kami yang laki-laki bos masih menyempatkan senyum dan menyapa, pokoknya ramah" Iwan menjelaskan.

"Aneh.. Lalu wanita itu siapa" Tanya Arna mengerut

"Itu pacarnya"

"Huh baru punya pacar" Arna santai sambil memasukkan telapak kanannya kedalam saku jas.

"Haha.. Bukan baru, mereka berpacaran sudah lebih 4 tahun. 2 tahun lalu wanita itu pergi terbang ke luar negeri untuk melanjutkan kariernya agar lebih gemilang dibanding dia berkarier disini. Padahal wanita itu sering berkunjung kesini menemui bos Ahdan" Jelas iwan sembari menatap sekilas wajah Arna.

"Oh berarti aku yang baru tau"

"Oh ya, ada cerita yang pernah bos Ahdan beritahukan saat dia nongkrong disini. Awalnya saya juga penasaran siapa wanita itu yang seringkali berkunjung menemui bos"

"Terus" Timpakan Arna.

"Akhirnya bos pun memberitahu bahwa wanita itu adalah pacarnya. Mereka membuat sebuah komitmen agar saling terikat, dengan komitmen itu bos Ahdan bersikap dingin pada semua wanita asing walau karyawannya sendiri agar tak satupun yang terpikat dan menggodanya karena bos setiap dan satu wanita asing yang dia cintai itu. Sebelum memiliki pacar bos dulu ramah dan murah senyum pada wanita-wanita dan tidak sedikit wanita jatuh hati." Lanjut iwan menjelaskan panjang lebar

Arna menatap iwan benar-benar serius mendengarkan.

"Ada lagi.. Bos Ahdan tidak pernah memberitahu atau memperkenalkan pacarnya ke orang tuanya, karena kalau bos tercyduk berpacaran nanti mereka dipaksa menikahi. Lagipula pacarnya itu belum siap untuk dinikahi. Karena rasa sayangnya Ahdan pada wanita itu, dia sepakat menunda pernikahan sampai batas yang belum ditentukan. Pokoknya sampai mereka benar-benar sukses dengan kariernya" Iwan menyambung penjelasannya.

"Tapi kenapa mereka dipaksa menikah kalau ketahuan pacaran?" Arna bertanya masih belum puas dengan yang disampaikan iwan.

"Terus terang saya juga gak tau, kak." Pungkas iwan.

Tiba-tiba,

"Permisi"

Suara yang tidak asing ditelinga membuat Arna dan iwan menoleh bersamaan, rupanya bos Ahdan berdiri dibelakang mereka dalam keadaan telapak tangan diumpetin dalam saku celana. Sudah menjadi ciri khas bos muda. Arna pun berdiri.

"Lagi ngobrol apa?" Tanya bos santai.

"Kamu Arna, sudah berapa lama disini" Bos sekilas mengacungkan telunjuknya.

Arna lalu mengecek jam tangannya "sekitar 30 menitan, pak" Jawab Arna dengan sopan.

"Tugas yang saya serahkan apa sudah selesai?" Lagi-lagi bos bertanya.

Seketika Arna hanya mengelus-elus lengannya berharap bos memahami. Hmm namanya mengkodekan.

"Itu tangan kamu kenapa?"

"Pegel pak" Jawab Arna nyengir.

Iwan berdiri dari kursinya berjalan kembali ke bar ia hanya diam menyaksikan Arna dan bos Ahdan saling berhadapan.

"Ya sudah saya permisi dulu ya, pak" Arna seraya berjalan sedikit membungkuk ketika lewat di depan bos lalu kembali tegak seperti biasa.

Arna kembali duduk di partisi kantornya dan fokus menatap layar komputer sementara jari jemarinya menari-nari di atas keyboard. Arna menatap layar sembari tangannya menopang ubun-ubun dan mengedipkan matanya. Sepertinya Arna cukup lelah dan kepalanya terasa pening.

Bos Ahdan memandangnya diambang pintu kaca, terlihat Arna seorang diri di partisinya. Sebenarnya dalam satu ruang diisi 3 kubikel artinya 3 orang didalamnya, 2 orang sudah pulang sejak 1 ½ jam lalu.

Tanpa basa-basi bos Ahdan menhampirinya dan meletakkan lembaran sesuatu di atas meja Arna.

"Jangan lupa datang" Ucap bos seraya pergi beranjak keluar.

Arna menengok lembaran itu lalu melayangkan pandangannya melihat bos Ahdan berlalu cepat begitu saja.

"Bachelorette Party" Arna membaca lembaran tersebut ternyata undangan.

Cahaya langit jingga kekuningan mulai menerobos ruangan kantor dari balik kaca jendela. Hari sudah petang. Arna merapikan kertas-kertas yang selesai ia print dan sebagiannya dimasukkan kedalam portofolio. Ia mengenakan tasnya, tiba-tiba ponselnya yang tergeletak di atas meja berdering tanda panggilan masuk, segera ia meraih ponselnya rupanya mas udin.

"Halo mas"

"Dik, masih di kantor apa sudah dirumah?"

"Di kantor mas, ini sudah mau pulang" Jawab Arna bergegas keluar.

"Oke.. Mampir di kafe ya. Mumpung lagi rame. Kalau ada kamu wah ramenya double" Kelakar mas udin.

Arna tersenyum "hehe siap bos, tidak apa-apa kalau aku datang telat dikit?"

"" Ya tidak apa-apa dik, omong-omong pulangnya Naik apa?"

"Aku lihat dulu, kalau gak naik taksi yah ojek"

Panggilan berakhir.

Romansa Dikafe Mas Udin

Ketika Arna berjalan dihalaman kantor iwan muncul dari arah belakang dengan motor vespa hitamnya dan berhenti di depan Arna.

"Kak, pulang bareng yuk" Ajak iwan kalem.

"Boleh ya?"

"Iya dong boleh" Iwan mengibas-ibas vespanya dengan tangan kosong.

Arna tersenyum dan segera menaikinya.

Saat diperjalanan vespa membelah jalanan yang mulai longgar karena maghrib hampir tiba. Suasana hening ditemani hembusan angin Arnaz teringat di kafe tadi ia lupa membayar pesanannya.

"Iwan aku lupa membayar jus yang ku pesan"

"Iya saya tau, kak. Tapi bos sudah membayarnya." Jawab iwan tanpa melirik Arna karena fokus mengemudi.

"Hah kok bisa bos yang bayar? Darimana bos tau kalau aku lupa membayar? Apa kamu yang beritahu?" Cerocos Arna.

"Tadi saya mau memanggil kakak, tapi kakak sudah berlalu begitu saja. Bos Ahdan bertanya kenapa, lalu saya menjawab Arna lupa membayar pesanan"

"Terus?" Timpal Arna.

"Bos bilang Arna pegawai paling bandel yang pernah dia temui" Sambung iwan tersenyum.

Arna pun melongo "Mampus Aku, kalau bisa bocor kemana-mana mau dikemanain ini muka"

"Bocor apanya kak?" Tanya iwan sekilas menoleh.

"Aku bandel"

"Haha" Iwan tertawa geli, sementara Arna gondok.

Sampailah mereka di kafe milik mas udin. Kafe baru dengan nuansa klasik dikelilingi lampu-lampu tumbler dan spanduk menu sajian. Sedangkan kaca-kaca ditempeli stiker vespa, gitar, mic, helm, gelas minuman, makanan dan karakter lainnya. Mas udin keluar dari kafe menyambut Arna.

"Welcome.. Ayo masuk" Mas udin menyapa ramah.

"Halo mas" Arna bergegas masuk.

"Eh kamu mau kemana?" Tanya mas udin setengah teriak melihat iwan yang membalikkan vespanya.

"Mau pulang mas" Sahut iwan.

"Lho malah pulang, mampir nongkrong disini dulu ayo" Ajak mas iwan.

"Oke mas" Iwan tidak jadi membalikkan vespanya tapi memarkirkan di halaman kafe.

"Kalian duduk disini ya" Mas udin mempersilahkan mereka duduk di kursi meja bagian tengah paling depan berjarak 5 meter dengan panggung band.

Terlihat didalam kafe ramai pengunjung pria dan wanita. Wajah-wajah baru para barista dan pramusaji bermunculan dengan seragam yang sama; kemeja coklat muda, celana hitam serta topi yang senada bertuliskan *Kafe Klasik*

Mas udin tiba-tiba muncul diatas panggung dengan mic yang dipegangnya.

"Selamat datang di kafe klasik, saya banyak berterima kasih pada kalian turut hadir mempromosikan kafe beserta sajian didalamnya. Sebagai promosi, untuk kali ini saya menyajikan makanan dan minuman apa saja yang kalian inginkan free, gratis. Semoga kedepannya semakin maju dengan omzet yang besar. Dan kami mengundang grup band tetap disini sebagai kerja sama agar makan, minum dan bersantai menjadi lebih terhibur. Mari kita sambut mereka." Mas udin memulai tepuk tangan.

Terdengar sorak suara tepuk tangan dari para pengunjung. Mereka mulai disajikan makanan dan minuman termasuk kepada Arna dan iwan yang duduk dalam satu meja secara berhadapan, suara dengungan musik mulai terdengar. Lagu romantis yang dibawakan oleh vokalis sangat merasuki hati dan sukses membuat para pendengarnya jatuh cinta. Iwan menatap wajah Arna yang tersenyum mendengar alunan musik dengan suara merdu oleh vokalis. Sepertinya Arna hanyut dalam lirik-lirik indah itu. Seketika Arna menolehkan pandangannya ke depan sambil memegang sedotan, seketika pula matanya berhenti pada iwan sehingga pandangan mereka bertemu saling bertatapan. Iwan tersenyum dari belah bibirnya sementara Arna membuka kecil lubang bibirnya, spontan Arna menundukkan pandangannya karena tersipu malu.

Lagu pertama yang dimainkan grup band telah usai, vokalis menawarkan mic siapa yang ingin bernyanyi.

Sontak iwan mengacungkan telapak tangannya "Saya" Ia pun bergegas menaiki panggung.

Iwan meraih gitar klasik dan mulailah ia bernyanyi sambil memainkan gitar. Rupanya iwan selain bakat menyajikan berbagai minuman, ia juga punya bakat di dunia musik. Arna menatap senyum terpanah pada suara lembut manis merdu khas iwan, maka bertemulah pandangan mereka. Dalam hati iwan ada rasa nyaman terselubung pada sosok wanita jelita seperti Arna. Sejak dulu iwan jatuh hati padanya tetapi iwan memilih merahasiakan, karena belum percaya diri sebab Arna bekerja sebagai staff penting di kantor dan lulusan sarjana. Sedangkan iwan hanya berprofesi sebagai barista dan lulusan SMA. Ia sering membandingkan dirinya dengan Arna, maka rasa ketidakpercayaan diri semakin membuat iwan mengurungkan niat untuk mengutarakan cintanya. Bagi iwan, erbedaan mereka bagai langit dan bumi namun iwan berharap dengan lagu romantis yang ia nyanyikan dapat menciptakan pelangi indah dalam hati Arna. Meski bagai langit dan bumi, semoga ia dan Arna sedekat awan dan pelangi.

Sementara Arna ia termenung membayangi andai kafe kantor diadakan panggung band pastinya suasana menjadi lebih terhibur apalagi suara merdu vokalis dapat mengusir rasa penat.

Selesai iwan bernyanyi ia melepas gitar dari genggamannya dan meletakkan diatas kursi yang ia duduki tadi. Para penonton bertepuk tangan, iwan beranjak turun dari panggung dan kembali duduk di kursi dengan Arna.

"Bagus banget suara kamu, aku tidak mengira kamu punya bakat musisi juga toh" Arna menyambutnya dengan pujian, iwan hanya mengangguk pelan tersipu.

Iwan menghela nafas dan tampak gugup dan kaku.

"Habis nyanyi tingkah kamu jadi begini ya? Apa kebiasaan setelah nyanyi?" Ledek Arna niat bertanya karena heran dengan tingkah iwan tak biasa.

"Bu-bukan begitu" Iwan tergagap.

"Lalu kenapa" Arna bertanya lagi lalu menyedot minumannya.

"Hemm.. Begini.."

Arna menatap serius menunggu iwan yang ingin mengungkapkan sesuatu.

"Begini.. Kalau kiranya kakak masih sendiri, apa mau menjadi p... " Iwan mengungkapkan dengan suara tertahan dan terputus karena Arna memalingkan pandangannya merogoh saku sebab ponselnya berdering tanda panggilan masuk. Arna segera mengangkat panggilan dari ibunya.

"Assalamu'alaikum bu"

"Wa'alaikum salam, nak kamu dimana? Ini udah malam" Suara ibu bernada cemas

"Maaf Bu, aku ada di kafe mas udin yang baru resmi dibuka."

"Ayo pulang, ibu sudah hampir selesai memasak makanan kesukaan kamu. Pulang nak."

"Baik bu, aku pulang ya"

Panggilan pun berakhir.

"Iwan, aku pulang dulu ya. Kasihan ibu aku sudah lama menunggu dirumah. Kalau kamu mau pulang, pulang ya" Ucap Arna sembari berdiri

"Saya antar ya" Iwan ikut berdiri

"Gak usah, kalau kamu antar aku pulang nanti kamu pulangnya kemalaman banget, gak usah ya. Oh iya kalau mas udin tanya aku kemana bilang saja aku pamit pulang duluan" Pungkas Arna bergegas keluar.

Ketika membuka pagar rumahnya, Arna melihat ibu duduk diteras rumah sedang membaca Al-Qur'an.

"Assalamu'alaikum bu" Arna menyapa sopan sambil menyalami tangan ibu.

"Wa'alaikum salam.. Kamu dianterin sama siapa"

"Kang ojek bu"

"Oalah. Yaudah ayo masuk, makan dulu" Ajak ibu sambil mengenggam lengan Arna.

"Tapi aku mau mandi dulu ya terus ganti baju. Duh gerah bau lagi"

"Yaudah, buruan.. Nanti makanan keburu dingin"

Usai mandi Arna memakai baju kaos lengan panjang dan celana tipis longgar panjang. Sedangkan kepalanya ditutupi handuk yang digulung karena basah setelah berkeramas. Arna dan ibu duduk di kursi makan hendak menyantap sajian. Arna tergoda dengan aroma sayur asem bayam-jagung-tahu-tempe kesukaannya buatan ibu, Arna pun menyantap sepuasnya dengan nasi putih hangat.

"Arna kamu kan sudah dewasa, umur sudah 25 tahun" Ibu membuka percakapan.

"Iya bu, memangnya kenapa" Tanya Arna santai dalam keadaan mulut mengunyah makanan.

"Akhir-akhir ini ibu lihat kamu jomblo terus. Pergi pulang dianter jemput selalu kang ojek dan bang taksi."

"Haha.. Emangnya kenapa" Arna tertawa

"Apa kamu sudah punya pacar yang serius ngajak ke jenjang pernikahan?"

Pertanyaan ibu sontak membuat Arna tersedak dan segera menuangkan air ke gelas dan meminumnya. Arna hanya diam.

"Gimana apa udah punya?"

Arna mengambil nafas dalam-dalam

"Hemm.. Pastinya belum ada bu.. Belum tertarik kepada siapapun. Kalau soal menikah aku juga mau tapi bukan untuk sekarang. Aku fokus kerja dulu untuk bantu-bantu ekonomi kita dan untuk masa depan supaya kalau sudah menikah tidak memberatkan suami dengan tidak terus bergantung pada suami." Terang Arna sambil mengambil telur dadar dengan sendoknya.

Ibu mengangguk-angguk kepalanya tanda memahami keterangan Arna.

"Tapi ibu mau punya mantu dan cucu dari kamu"

Arna melongo menatap ibu dalam keadaan sendok makanan berhenti di celah-celah mulut.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!