Hujan deras mengguyur perumahan kumuh Dukuh Sawit yang terletak di pinggiran kota X.
Saat itu jarum jam persis menunjukkan pukul tengah malam. Suasana perkampungan kecil Dukuh Sawit yang biasanya ramai oleh wanita malam dan para pemujanya pun malam itu nampak sepi. Hanya tampak satu dua mobil yang melintas dan terus melaju cepat tuk menjauh pergi.
Agaknya hujan deras ini membuat orang-orang lebih memilih tuk segera pulang ke rumah. Mereka enggan tuk berlama-lama berada di perkampungan kecil di kota X itu karena perkampungan Dukuh Sawit ini umumnya tergenang banjir bila hujan deras mengguyurnya semalaman.
Siapa pula yang ingin terjebak banjir dan mendapat risiko kendaraan rusak setelahnya? Akan terlalu mahal dan melelahkan tentunya.
Waktu terus berlalu. Perlahan hujan mereda dan hanya menyisakan gerimis kecil-kecil.
Sedikit lewat jam 2 pagi, nampak seorang wanita berusia awal dua puluhan menggendong balita turun dari motor beat di depan gang masuk kampung Dukuh Sawit. Wajahnya putih, cantik dengan tubuh tinggi semampai.
Dengan tergesa-gesa wanita itu melangkah hingga berhenti di sebuah rumah lama berukuran 75 meter persegi. Lalu diketuknya pintu rumah itu dengan cukup keras.
Tak sampai dua menit, perlahan pintu itu terbuka. Seorang pria muda dengan wajah yang tampak jengkel karena tidurnya terganggu menyambutnya. Namun setelah pemuda itu melihat siapa sang tamu, ia terkejut dan terpaku.
"Nan, tolong aku! Tolong putri kita! Selamatkan ia! kumohon.." cecar tamu wanita itu dengan paniknya.
"Apa...apa yang terjadi Yu? Dan kau kemana saja selama ini?" Tanya Nanda.
"Aku.." Rahayu nampak enggan tuk bercerita. "Boleh aku masuk ke dalam?" Pintanya kemudian.
Belum lagi Nanda menjawab, terdengar suara wanita lain dari dalam rumah.
"Siapa yang datang, Yah?.."
Kedua orang yang masih berdiri di muka pintu pun terkejut dan menoleh ke asal suara. Nampak seorang wanita hamil besar mengenakan daster bunga-bunga di sana. Seketika saja ketika tiga pasang mata itu saling bertatapan, suasana tiba-tiba saja hening.
"Rahayu!... Apa maumu?" Tanya Nida dingin.
"Nid, aku.."
"Masuk dulu."
Dan kemudian Rahayu, Nida dan Nanda pun berbincang.
"Aku pergi ke kota Y. Aku memilih tuk pergi setelah kejadian malam itu. Aku tahu aku tak mungkin berada di antara kalian berdua. Bagaimanapun juga kejadian malam itu adalah salahku. Maafkan aku.."
Sejenak suasana kembali hening. Ketiganya mengingat kembali kejadian tak sengaja yang terjadi sekitar dua tahun lalu. Kejadian yang membuat persahabatan di antara mereka jadi retak seketika. Walaupun sebenarnya..
Pandangan Nida beralih ke balita perempuan yang digendong Rahayu. Balita itu tengah tertidur pulas.
"Anak ini.. hasil dari malam itu kah?" tanya Nida perlahan.
Nanda merasa tegang. Sementara Rahayu menunduk menatap wajah putrinya.
"Ya.. ia lahir November tahun lalu.."
"Setelah sebulan di kota Y, aku baru menyadari kalau aku hamil. Aku bingung. Sempat terpikir untuk kembali ke sini. Tapi aku terlalu malu. Terutama padamu, Nid. Aku merasa bersalah sekali.. sempat juga terpikir olehku untuk menggugurkan janin saat itu. Tapi... Aku tak bisa. Bagaimanapun juga ada bagian Nanda dalam dirinya. Aku... Maaf, Nid.."
Rahayu terisak. Nanda sedari tadi hanya diam melihat sosok balita di pangkuan Rahayu. Hatinya kusut berkecamuk. Baru saja ia hendak mengatakan sesuatu, ketika tangan Nida menekan lengannya. Nida menggeleng perlahan. Nanda pun kembali diam. Dan Rahayu kembali bercerita.
"Lalu aku bertemu Aditya. Dia baik dan perhatian padaku. Dia menerima kondisi kehamilanku yang di luar pernikahan. Atau begitu pada mulanya.. aku menerima lamarannya. Kami baru saja menikah dua bulan lalu. Dan kupikir ia benar-benar menerimaku dan Ranum. Sampai kemudian aku tak sengaja mendengar ia berkata kalau ia akan...kalau ia akan melenyapkan Ranum segera setelah kami menikah!"
Nanda dan Nida terkejut. Sekilas mereka saling bertatapan sebelum kembali terdengar suara Rahayu bercerita.
"... Aku mendengarnya semalam tadi! Aku tak akan membiarkannya terjadi. Aku harus menyelamatkan Ranum... Karenanya aku memilih tuk pergi. Tapi aku takut, Nid.. aku takut ia akan menemukan kami dan mencelakakan Ranum. Ia memiliki hubungan dengan mafia. Aku takut ia dapat melacak kemana pun aku pergi.. Karenanya kumohon padamu, Nid.. Nan.. kumohon jaga Ranum untukku. Kumohon...!!"
Tangisan Rahayu kembali pecah. Nida menatap tubuh Rahayu yang tertelungkup memeluk balita Ranum. Isaknya terdengar pelan dan menyedihkan. Setelah beberapa lama, akhirnya Nida berkata.
"Baiklah.. kami akan menjaga dia untukmu, Yu. Tapi bagaimana denganmu? Apa kau akan terus lari?"
"Ya.. ini harus kulakukan, Nid. Demi Ranum.." lalu Rahayu menoleh ke Nanda yang sedari tadi hanya diam saja. "Nan..?"
Nanda pun tersadar kalau ia kini ditatap oleh dua orang wanita yang paling dekat dalam hidupnya. Ia menatap balita yang masih juga pulas tidur, sebelum akhirnya menatap Rahayu lekat-lekat.
"Ya. Aku akan merawatnya seperti putriku sendiri."
'Seperti..?' batin Rahayu tercekat. Hatinya serasa patah lagi seperti yang pernah dialaminya di malam ketika ia meminta keputusan Nanda untuk memilih antara ia atau Nida.
'Apa ia masih juga menyanggah bahwa kami telah bermalam bersama saat itu?! Dan sekarang ia juga tak mau benar-benar mengakui Ranum sebagai putri kandungnya?!'
Sekilas amarah berkobar di dada Rahayu. Sebelum akhirnya padam secepat kemunculannya.
'Biarlah.. yang penting ia mau menjaga Ranum sekarang..'
"Terima kasih.." ucap Rahayu lirih.
Tiba-tiba terdengar dering telpon berbunyi. Semua pandangan langsung tertuju ke tas merah milik Rahayu.
Balita Ranum yg mendengar suara telpon jadi terbangun. Namun ia hanya sejenak membuka mata sebelum akhirnya tertidur lagi.
Rahayu bergegas meraih handphone nya. Namun ia terkejut ketika nama 'Aditya' terpampang di layarnya.
"Aditya!" jerit tertahan Rahayu.
Segera diletakkannya hp kembali ke dalam tas. Tak dihiraukannya suara hp yg terus berdering.
"Nanda, ku titipkan Ranum padamu. Kumohon benar-benar untuk menjaganya. Aku akan kembali jika situasinya sudah aman. Tolong.." dengan lembut ia memindahkan Ranum ke pelukan Nanda.
Sebenarnya hatinya merasa berat sekali tuk berpisah. Tapi bagaimana lah.. ia takut jika ia tak bergegas pergi Aditya akan dapat melacak keberadaannya.
Melihat Ranum dalam pelukan Nanda, hati Rahayu sedikit merasakan bahagia.
'Ini pelukan pertama Ayah untukmu, Nak..bahkan Mama tak pernah merasakannya..' batin Rahayu bicara.
Rahayu lalu menoleh ke Nida yang masih juga duduk bergeming.
"Nida.. terima kasih.. jika malam itu tak pernah terjadi, kita mungkin masih akan jadi sahabat kan? Dan anak dalam perutmu tentu akan memanggilku ante Yu kan? .. maafkan aku, Nid. Aku meminta terlalu banyak padamu. Tapi kumohon.. tolong jaga dan sayangi Ranum seperti bayi dalam perutmu ya, Nid.. kumohon sangat.. tolong.. jaga Ranum.."
Kepala Rahayu tertunduk dalam setelah ia ucapkan permohonannya sebagai seorang ibu. Sejenak suara dering berhenti. Hanya terdengar isak pelan Rahayu dalam ruangan itu.
"Baiklah. Aku akan menjaga Ranum, "ucap Nida.
Kepala Rahayu segera terangkat untuk menatap Nida dengan tatapan haru.
"Terima kasih, Nid.."
Dan tetiba dering hp milik Rahayu kembali berbunyi. Membuatnya tersadar bahwa ia sedang berkejaran dengan waktu.
"Aku harus pergi!" Rahayu lalu bangkit dan mendekati putri kecilnya.
"Ranum sayang.. maafin Mama ya Nak.. kamu sama Ayah.. dan Bunda dulu ya. Mama akan kembali nanti."
Dikecupnya kening dan pipi Ranum dengan penuh cinta. Sebelum akhirnya Ia beranjak ke arah pintu keluar. Namun ketika Rahayu sudah sampai di muka pintu, suara Nanda terdengar menghentikannya.
"Ayu!.."
"..." Rahayu hanya menoleh. Sedikit harapan Kalau Nanda akan memintanya tuk bersamanya muncul. Tapi harapannya mesti pupus, tatkala didengarnya kembali ucapan Nanda berikutnya.
"Hati-hati.."
Rahayu mengangguk sambil memaksakan diri tuk tersenyum. Pikirnya, seiya nya ia harus bersikap tegar di hadapan Nanda dan Nida. Mempertahankan sisa-sisa harga dirinya yang masih ada.
"Selamat tinggal.."
Dan pintu pun tertutup. Menutup pandangan mata Nanda dan Nida dari sosok Rahayu. Keduanya kini terdiam sambil melihat balita yang masih juga pulas di pangkuan Nanda.
"Aku akan menepati janjiku, Yah..aku pun akan menjaganya seperti putriku sendiri. Se iya nya itu akan menebus hutang kita pada Rahayu. Walau aku masih menyimpan marah padanya. Tapi anak ini tak menanggung kesalahan yang dibuat oleh orang tuanya."
Nanda tertegun menatap Nida. Inilah yang membuatnya jatuh cinta pada wanita bertubuh mungil dengan paras biasa ini. Nida memiliki hati yang besar. Ia selalu mampu melihat sisi terbaik dari setiap orang. Hal yang jarang ditemukannya ada pada orang lain.
Nanda yakin, mereka akan benar-benar menepati janji mereka pada Rahayu tuk menjaga Ranum. Bagaimanapun juga, ada rahasia lain yang tak diketahui oleh Rahayu terkait kejadian malam dua tahun lalu itu. Dan sedikit banyaknya ia jadi merasa bersalah padanya.
Entah kapan Nanda bisa mengungkap rahasia ini pada Rahayu. Entah kapan pula ia akan dapat bertemu dengannya.
'semoga saja ia tak apa-apa,' batin Nanda bermonolog.
Dan suara hujan kembali terdengar mengguyur perkampungan Dukuh Sawit. Kali ini hujan kian menderas hingga pagi datang kembali.
***
"Num, emang ga bisa ya kalo Anum ngelanjutin SMA-nya ke Pinang bareng Rie? Gak jauh-jauh banget kok. Cuma naik angkot dua kali doang?"
Rengekan Tari berdengung di telinga Ranum sedari Tari sampai di rumahnya satu jam lalu. Sahabat terdekatnya itu masih mencoba membujuknya tuk lanjut sekolah ke SMA di Pinang.
"Maaf Rie.. Anum ga bisa. Usaha jahit Ayah lagi sepi. Jadi Anum milih tuk sekolah yg deket-deket aja biar hemat. Ga perlu mikirin ongkos. Kasihan Bunda dan Ayah. Apalagi Kania juga masuk SMA tahun ini. Pasti Ayah Bunda lebih repot."
"Hhh.. iya juga ya."
Kania adalah adik perempuan Ranum. Usia mereka sebenarnya terpaut beda setahun. Tapi karena dulu Ranum sering sakit sewaktu masih kecil, jadi ia menunda sekolah setahun.
Jadi November nanti Ranum akan berumur 16 tahun. Sementara Kania baru berumur 15 tahun akhir Desember nya.
"Yaahh.. Rie nanti sendirian dong ke Pinang. Kayaknya angkatan kita ga ada yang ngelanjutin ke sana deh!" Keluh Tari.
"Ada kok. Itu Bobi kan ngikut Rie ke sana."
"Iih. Ampun. Iya ya. Tuh anak ngapain coba ngikutin Rie sekolah ke Pinang. Nyebelin banget kan!"
"Mungkin.." ucap Ranum ragu-ragu.
"Mungkin kenapa Num?"
"Mungkin selepas lulus di Pinang sana, dia mau meminang Rie? Hahaha!"
"Asem kecut! Ogah amit-amit Tari ama dia. Iih..benci sih iya."
"Hush.. gak usah benci-bencian segala deh Rie. Nanti kalo akhirnya kebalikan, kan Rie sendiri yang bakal malu nanti. Lagian Bobi anaknya baik kok. Cuma... agak kutu buku dikiit..," goda Ranum.
"Gak. Tetep gak. Tari mana bisa cocok sama kutu buku Num. Baca pe-er aja Rie udah kepuyengan."
"Itu sih beda neng geuliis.. ehh, tapi ko Rie cocok ya temenan sama Anum? Anum kan lumayan suka baca."
"Kamu mah udah ditakdirin jadi best friend nya Rie, Nuum.. jangan disamain ama si Bobi Sugara itu laahh.. Tari ama dia mah jauuuhh banget takdirnya."
"Duh. Istighfar Riee.. gak boleh ngedahuluin Allah lho.. lagian kan ada pepatah bilang, 'benci dan sukailah sesuatu sekedarnya saja. Karena bisa jadi yang kamu benci itu baik bagimu, juga sebaliknya. Bisa jadi yang kamu sukai itu justru tidak baik bagimu'. Gitu Rie.."
"Hhh.. susah ah ngomong ama Anum mah. Seringnya kalo gak main ceramah ya usulin pepatah.. Oh iya. Mana Kania? Emangnya belum pulang? Sekolah dia bukannya libur juga ya?"
Kania dan Ranum memang seangkatan. Tapi mereka sekolah di tempat yang berbeda. Ranum sekolah di SMP Negeri 23, jaraknya sekitar 15 menit jalan kaki dari rumahnya. Sementara Kania sekolah di SMP Baiturrahman yang bisa ditempuh setelah naik angkot sekali selama 15 menit.
"Libur sih. Tapi katanya ada acara kumpul ekskul PMR gitu deh."
"Ooh.. dia masih jealous-an ke kamu gak, Num?" tanya Tari hati-hati.
Ranum tertegun sejenak.
"Gak tau juga deh Rie. Mungkin..? Soalnya dia masih dingin gitu. Aku bingung."
"Udah gak usah dipikirin. Namanya juga masih bocah. Kalo emang dia sayang sama Anum, seharusnya dia lebih percaya sama omongan Anum dibanding pacarnya yang gak jelas itu. Udah jelas-jelas pacarnya playboy. Dia masih ama pacarnya itu gak, Num?"
"Yah.. iya. Kania masih jadian ama Tegar. Aku khawatir, Rie. Takut Tegar bikin jahat ke Kania. Waktu itu aja dia berani nyerang Anum. Padahal waktu itu Kania cuma pergi sebentar ke warung. Untungnya Anum bisa beladiri dikit-dikit. Jadi bisa lepas dari Tegar. Tapi sayangnya Kania.."
"Udah.. ga usah dipusingin Num. Kania aja belum tentu perhatian ama kamu kan?" Sergah Tari.
"Gak bisa gitu juga, Rie. Gimanapun juga Kania tuh adikku. Anum sayang Nia.."
Lirih Ranum perlahan.
Saat mengucapkan kalimat terakhir, Ranum tak menyadari kalau Kania baru saja pulang memasuki pekarangan rumah. Agaknya ia mendengar ucapan Ranum tadi karena ia sempat tertegun sebentar. Hanya sebentar saja.
Karena kemudian Kania kembali melangkahkan kaki dan masuk ke dalam rumah. Tari dan Ranum diacuhkannya begitu saja.
"Ih. Ampun! Tuh bocah ga ada sopan-sopan nya amat yak. Ucap salam kek atau salim kek. Kan gimana-gimana juga kita lebih tua darinya. Kudu diajarin etika lagi deh tuh anak," Gerutu Tari.
Ranum tersenyum kecut. Ia menyadari, sejak kejadian salah paham dengan Tegar sebulan yang lalu itu Kania jadi bersikap dingin padanya. Tapi hanya saat Ayah dan Bunda tak ada.
Jika ada Ayah dan atau Bunda, Kania bersikap seperti dulu layaknya kakak adik yang dekat. Entah bagaimana caranya agar ia bisa kembali dekat dengan Kania, adik satu-satunya itu.
Ranum ingin sekali seperti orang lain yang bisa akrab dengan saudara kandungnya. Sementara Kania seringnya mengacuhkannya. Padahal mereka berdua berbagi kamar yang sama.
Seingat Ranum, sewaktu SD kania masih bersikap manja padanya. Dalam keluarga, Ranum selalu bertindak sebagai kakak yang pengalah. Sementara jika Kania berbuat kesalahan dan ditegur Bunda, Ranum selalu siap sedia tuk membelanya.
"Assalamu'alaikum.." terdengar suara wanita menyapa.
"Wa'alaikumussalam warohmatulloh.. Bunda pulang? Sini Bun. Ranum bantu."
Nida datang membawa dua bungkusan di tangan kanan dan kiri.
"Hallo Tari.. apa kabar? Udah lama gak main? Kemana aja?" tanya Nida.
"Hehehee.. maaf Bunda baru main. Kemarin-kemarin kan lagi musim ujian jadi Tari disekap Mama di rumah. Belajar private gitu Bun.. ini aja baru boleh main ke luar."
"Oo.. ya gapapa. Maksud Mama Tari baik kok itu. Ujian nya oke kan?"
"Yahh.. lumayan lah Bun," Jawab Tari cengengesan.
"Eh, Num. Ini Bunda bawa gorengan. Makan bareng-bareng sana ama Tari. Kania udah pulang?"
"Barusan pulang, Bunda. Sekarang Nia lagi istirahat. Kayaknya kecapean.." jawab Ranum.
"Oo.. yaudah kamu makan aja ama Tari. Sisain aja yang adekmu suka ya."
"Iya. Bunda.."
"Makasih Bunda," ucap Ranum dan Tari bersamaan.
Obrolan dua mudi itu pun kembali lanjut.
"Bunda masih kerja di butik Almeer, Num?" Tanya Tari tiba-tiba.
"Iya. Kata Bunda gajinya lumayan. Walaupun Bunda jadi sering bawa buntelan baju pesanan pelanggan, sih.. kayak barusan.."
"Hmm..."
Menyadari ada yang aneh dari ekspresi sahabatnya, Ranum pun bertanya.
"Emangnya kenapa, Rie?"
"Mm.. aku pingin main ke butik Almeer. Nengokin Bunda gitu. Ngerepotin gak ya?" Tanya Tari ragu-ragu.
"Main ke butik?.. hmm.. ada angin apa nih yang bikin Rie pingin ke Almeer? Hayoo.. jujur sekarang juga. Apa yang kamu sembunyiin?"
"Mm..cuma pingin lihat-lihat doang koook.."
Mata Ranum memicing. Ada yang mencurigakan dari sikap salah tingkahnya Tari. Ia berpikir sejenak. Sampai akhirnya terlintas suatu dugaan.
"Tari mau lihat-lihat baju atau lihat-lihat anaknya Bu Darin ya? Ngaku!"
Bu Darin adalah Bos nya Bunda. Sekaligus juga pemilik butik Almeer.
Tertangkap basah, Tari pun mengaku kalah.
"Emangnya kenapa kalo aku pingin sekalian lihat Kak Bayyi? Orangnya enak dilihat juga kan."
Ups.
Kak Bayyi adalah Putra Bu Darin.
"Hihihi.. oo.. jadi namanya Kak Bayyi ya. Aku aja baru tahu namanya. Rie udah selidikin duluan yaa.."
"Iih.. Ranum nyebelin deh."
Dan dua pemudi itu terus asyik bercengkrama hingga langit berwarna mega kemerahan. Suasana sore di teras depan rumah itu pun jadi hangat karena keduanya.
Sampai jarum jam menunjuk pukul 6 kurang seperempat, barulah Tari pamit pulang dengan Honda Revo-nya..
***
"Ayah pulang!" Terdengar suara Nanda dari luar rumah.
Ranum bergegas membukakan pintu dan salim pada ayahnya.
"Kania mana, Num?" Tanya Nanda.
"Di kamar, yah. Tumben ayah pulangnya lewat magrib. Biasanya bareng sama Bunda? Lagi banyak jahitan kah, Yah?"
Nanda juga bekerja sebagai penjahit di konveksi rumahan yang letaknya tak jauh dari butik Almeer.
"Alhamdulillah.. lagi ada pesenan jahitan seragam sekolah lagi. Biasalah. Awal tahun ajaran baru memang banjir orderan seragam sekolah."
"Oo..iya ya. Alhamdulillah..makan yuk Yah bareng-bareng!" Ajak Ranum.
"Ayah mandi dulu ya."
"Ya, Ayah.."
*****
"Tadi Bu Darin ngasih bahan kain, Yah. Alhamdulillah.. katanya udah ga kepake. Jadi Bunda bawa pulang. Rencananya mau Bunda jahit jadi masker," Cerita Nida di meja makan.
"Wah. Kreatif itu, Bun. Bunda memang cerdas," Puji Nanda.
Nida tersenyum sejenak sebelum akhirnya mengaku.
"Sebenarnya ini idenya Ranum, yah.."
"Iya, Num?" Nanda menoleh ke Ranum.
"Mm.. sebenarnya lebih ke idenya Tari sih, Yah. Dia kan tangannya kreatif banget ya. Dia ngasih ide, kalo bahan kain yang ga kepake tuh bisa dibuat jadi kain lap, masker dan lain-lain. Terus Ranum sampein deh ke Bunda."
"Oo..gitu. salam makasih ya buat Tari. Idenya oke."
"Ya Ayah.."
Beberapa menit berikutnya, hanya terdengar suara denting sendok dan piring di ruangan itu. Sampai kemudian...
"Ayah, tadi Kania ketemu Kak Rina waktu acara kumpul anak-anak PMR lho!" cerita Kania.
"Mm.. Rina mana ya?"
"Itu lhoo.. Kakaknya Yudha. Temen SD Kania waktu kita masih tinggal di kota X.."
Klang..
Sendok yang tadinya dipegang Nida tiba-tiba saja terjatuh. Sementara Kania terus bercerita tanpa menyadari suasana yang tiba-tiba mendingin.
"Kania pangling banget pas ngelihat Kak Rina tadi. Soalnya dia cantiiikk banget. Tapi pas Nia iseng sapa, eh ternyata beneran Kak Rina. Kak Rina cerita kalo sekarang dia jadi model. Keren deh.. Nia pingin--"
"Kania. Selesaikan makannya dulu. Habis itu bantu Ranum cuci piring," Ayah Nanda memotong.
Sementara Kania cemberut karena ceritanya tak ditanggapi dengan baik.
Nanda melirik Nida. Dilihatnya Nida agak melamun.
Ketika Kania menyebut nama Kota X tadi, Nanda sudah khawatir bila istrinya itu mengingat kembali trauma yang dialaminya 4 tahun silam. Kejadian yang membuat mereka sekeluarga pindah ke kota Y kini.
****
Flash back.
Hari itu musim hujan. Ranum berumur 11 tahun. Sementara Kania 10 tahun.
Saat itu Ranum dan Kania bersamaan sakit DBD. Memang kala itu sedang musim penyakit itu. Membuat Nanda dan Nida sibuk bolak-balik pergi ke rumah sakit.
Biasanya, Nida menemani anak-anak dan Nanda yang pulang ke rumah untuk mengambil baju salinan. Namun suatu hari, Nanda yang kelelahan karena menjahit akhirnya dipaksa Nida untuk menjaga anak-anak. Sementara Nida yang akan pulang ke rumah.
Nida pulang ke rumah mereka di Perumahan kumuh Dukuh Sawit sekitar jam 5 sore. Saat itu jalanan masih sangat ramai.
Memang, jika cuaca bagus, selalu ada saja lalu-lalang orang yang datang dan pergi di sana. Karena banyak dari warganya yang menyambi jadi wanita malam.
Menyedihkan memang. Kota X sebagai ibukota negara nyatanya tak mampu memberikan lapangan pekerjaan yang layak hingga harus membuat sebagian kecil penduduknya mencari nafkah melalui bisnis esek-esek.
Nanda dan Nida sebenarnya sempat terpikirkan untuk pindah tempat tinggal. Mereka khawatir dengan kondisi lingkungan yang kurang baik bagi perkembangan jiwa anak-anak mereka.
Bukankah dari lingkungan pula manusia membentuk kepribadiannya. Apalagi memberikan lingkungan hidup yang baik juga menjadi salah satu kewajiban mereka sebagai orangtua.
Yang membuat Nida merasa berat hati untuk pindah adalah karena rumah yang mereka tempati saat ini adalah peninggalan orangtua angkat Nida.
Terdapat penyesalan dalam hati Nida karena ketika orangtuanya meninggal, ia tak ada di samping mereka.
Saat itu Nida sedang mengabdi di pesantren. Usianya belum genap 17 tahun ketika staf TU mengabarkan padanya kalau orangtuanya kecelakaan. Ia bergegas pulang ke Dukuh Sawit.
Tapi apalah daya, maut lebih cepat menjemput keduanya. Tak ada kata perpisahan. Tak ada wasiat hati yang sempat tersampaikan. Mereka berpisah begitu saja dalam kebisuan. Itulah sebabnya Nida amat menyayangi rumah itu.
Kembali ke hari itu.
Nida tak lama membereskan baju salin untuk dibawa menginap ke rumah sakit. Tapi sebelum pergi, ia menyempatkan diri untuk mandi.
Usai mandi, Nida bergegas memakai baju. Namun kemudian ia mendengar suara pintu depan terbuka. Ia yang masih sibuk memakai baju pun berteriak dari dalam kamar.
"Ayah? Kok nyusul ke sini? Kasihan kan anak-anak di rumah sakit sendirian.."
Selama beberapa detik Nida menunggu namun tak ada jawaban sahutan nya.
Baru ketika ia hendak membuka pintu kamar, tiba-tiba saja pintu kamar terbuka. Dan tampak seorang pria di muka pintu. Pria itu bukan Nanda, suaminya.
"Siapa--mm..!!!mm!!"
Teriakan Nida terpotong oleh sekapan tangan pria asing itu di mulutnya. Ia berusaha berontak, tapi tenaganya tak mampu melawan lelaki bertubuh gempal itu.
Nida berusaha memukul, menendang, menggigit, tapi usahanya bernilai percuma. Batinnya menjerit tatkala tubuhnya dihempas ke atas kasur. Ia kian merasa takut saat kilat nafsu birahi berkobar di mata pria asing itu.
'Allah! Tolong aku!!' jerit batin Nida. Kegentaran pun menggoncang batin Nida tatkala melihat pria asing di depannya yang kian mendekat.
Flashback selesai.
***
"Nida!" Panggilan Nanda yang agak keras membangunkan Nida dari lamunan buruknya akan kejadian empat tahun silam.
Nida mengerjapkan matanya berkali-kali sebelum akhirnya tersadar kalau ia sedang menjahit saat itu. Dilihatnya jahitan maskernya sedikit kacau. Karena benang jahitan terkumpul di titik yang sama.
"Nida, sayang. Kamu tak apa-apa?" Panggilan berikutnya dari Nanda semakin menyadarkan Nida kalau ia benar-benar melamun terlalu lama tadi.
Ditatapnya Nanda, dan Nida melihat kekhawatiran di matanya. Ia sedikit merasa bersalah.
'Seharusnya aku tak terlalu terpengaruh saat mendengar cerita Kania tadi. Ia hanya menyebut nama Kota X saja padahal,' Sesal Nida.
"Nid, kamu gapapa kan, sayang?"
Nida tersadar kalau ia belum menjawab pertanyaan Nanda sedari tadi.
"Iya, Yah.. maaf.. aku hanya melamun tadi. Jadi gak ngedenger panggilan Ayah."
Sejenak Nanda terdiam menatap lekat-lekat istrinya.
"Kamu keingetan kejadian 4 tahun lalu itu ya?"
Nida tertegun. Ia merasa terharu karena Nanda selalu tahu apa yang ia rasa tanpa perlu baginya bercerita. Ia merasa kesal pada dirinya sendiri.
'Seharusnya aku bisa berdamai dengan masa laluku. Lagipula..'
"Aku gak apa-apa, Yah. Maaf ya udah buat khawatir. Tadi memang aku sempet keingetan aja. Tapi gak apa-apa. aku oke kok," Jawab Nida.
"Tapi..."
"Beneran, Yah. Aku oke."
Nanda segera memeluk Nida. Diciumnya kepala Nida dengan penuh cinta. Direngkuhnya tubuh ringkih istrinya itu dengan penuh kasih. Sebelum akhirnya kembali berkata.
"Maafkan aku yang membiarkan malam itu terjadi. Jika saja aku yang pulang ke rumah saat itu, mungkin kamu tak akan memiliki mimpi buruk seperti ini. Maafkan--"
"Nanda Wiraguna," potong Nida.
"It's okay.. aku beneran gak apa-apa. Aku cuma selintas keingetan aja. Jadi kamu jangan nyalahin diri. Gak ada gunanya menyalahkan takdir. Kita cuma bisa merencanakan segala sesuatunya. Sementara Allah yang jadi penentu segalanya,"
"Selalu ada hikmah atas setiap segala sesuatu. Sayangnya seringkali mata batin kita tertutup untuk melihat hikmah-hikmah itu. Aku beneran gak apa-apa, Yang.. lagian, gak ada hal buruk yang benar-benar terjadi juga padaku kan di malam itu?"
"Beruntung ada Pak Kiman yang kebetulan lewat dan ngedenger suara jeritan tolongku. Jadi aku selamet. Iya kan?"
"Ya.. benar. Aku berhutang banyak pada Pak Kiman," Nanda menghembuskan nafas lega.
Sejenak suasana hening. Tampaknya Ranum dan Kania sudah selesai mencuci piring. Karena mereka tak lagi mendengar suara denting piring dan sendok yang dicuci.
Saat itu hanya detak jarum jam di dalam kamar yang terdengar di telinga. Dan kedua pasangan itu menikmati momen kebersamaan mereka dalam hening dan rasa syukur.
Bersyukur atas segala kebaikan yang mereka terima. Bersyukur atas setiap pertolongan di kala mereka dalam kesukaran. Juga bersyukur atas kesadaran dalam hati untuk senantiasa melingkupi diri dalam kebaikan.
"Alhamdulillah.. 'alaa kulli haal," lirih Nida perlahan.
***
*Alhamdulillah 'alaa kulli haal \= puji syukur kepada Allah atas setiap hal.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!