NovelToon NovelToon

Tuhan, Ku Tak Mau Jadi Perawan Tua

Malam yang tak terduga

Hari ini seharusnya menjadi hari yang paling membahagiakan bagi Brenda Edelweis. Namun, tidak demikian faktanya. Jam menunjukkan pukul 08.00, dan Brenda, CEO muda berusia 23 tahun yang telah sukses merintis usaha sejak usia 19 tahun, merasa gelisah. Dia telah merencanakan pembukaan gerai makanan yang ke-93, tetapi ada satu masalah besar yang harus dia hadapi.

Semalam, Brenda menerima pesan dari salah satu supplier utama yang memberitahukan bahwa pengiriman bahan makanan untuk pembukaan gerai hari ini akan terlambat. “Bagaimana bisa?! Ini hari penting, dan mereka justru mengecewakan saya,” gerutunya sambil mengacak rambut pirangnya. Dia telah berinvestasi banyak waktu dan tenaga untuk memastikan semuanya berjalan lancar.

Setelah mandi dan sarapan, dia bergegas mengendarai mobil Ferrari hitamnya menuju lokasi gerai. “Aku harus mencari solusi,” pikirnya dalam perjalanan. Tentu saja, Brenda adalah sosok yang tidak mudah menyerah. Dia telah membangun 180 toko pakaian, 165 toko mainan anak, dan 193 gerai makanan di bawah naungan Perusahaan Hoki Grup. Kegagalan bukanlah pilihan baginya.

Sesampainya di gerai, yang sudah dipenuhi karangan bunga dan ucapan selamat, Brenda disambut oleh pegawainya yang tampak ceria. Namun, senyum mereka tidak bisa mengalihkan perhatian Brenda dari kekhawatiran yang menyelimutinya. “Selamat pagi, Nona Brenda! Bagaimana kabar Anda hari ini?” sapa mereka dengan antusias.

“Selamat pagi. Ada sedikit masalah dengan pengiriman bahan makanan kita,” jawabnya, berusaha terdengar tenang.

Asisten lamanya, yang ditugaskan di gerai ini, langsung mencemaskan situasi. “Apakah kita sudah menghubungi supplier lain? Kita butuh bahan makanan untuk pembukaan ini.”

“Sudah, tapi mereka tidak bisa mengirimkan dalam waktu singkat,” kata Brenda, frustasi. “Kita tidak bisa mengecewakan pelanggan yang sudah menunggu.”

Saat melihat jam, Brenda tahu waktu terus berjalan. Tepat pukul 09.00, tamu undangan dan kolega serta keluarganya pun datang. Dengan tegas, dia berusaha menutupi kekhawatirannya. “Bismillahirohmanirohiim, dengan menyebut nama Tuhan yang Maha Esa, toko gerai makanan yang ke-93 ini resmi saya buka,” ucapnya sambil memotong pita.

Gemuruh tepuk tangan menggema, namun di dalam hatinya, Brenda tetap cemas. Pembukaan diwarnai dengan pembagian 1000 tester kepada para calon pembeli. Brenda berharap ini bisa menarik pelanggan, meskipun bahan makanan yang tersedia sangat terbatas.

Setelah pembagian tester, pembeli mulai berdatangan. Namun, kesedihan Brenda semakin mendalam saat mengetahui bahwa persediaan cepat habis. “Apa yang terjadi?! Kenapa kita bisa kehabisan stok?” ucapnya dengan nada putus asa saat melihat antrian panjang.

“Tenang, Nona. Kami akan segera mencari solusi. Mungkin bisa kita cari di pasar terdekat?” tawar asisten yang terlihat cemas.

Brenda mengangguk. “Baiklah, cepatlah! Kita tidak bisa mengecewakan mereka,” ucapnya tegas. Dia tahu bahwa keberhasilan hari ini sangat penting untuk reputasinya.

Waktu pun berlalu, dan akhirnya jam menunjukkan pukul 17.00. Brenda merasa lelah, tetapi ada rasa bangga di dalam hatinya meski harus menghadapi tantangan. “Hahh, hari berat namun menyenangkan ini telah berakhir,” desahnya. Dia kembali mengendarai Ferrari hitamnya, tetapi sebelum pulang, dia mampir ke restoran langganannya untuk merayakan keberhasilannya meskipun dengan banyak rintangan.

Di restoran, sambutan hangat dari Beno, pelayan yang sudah hafal dengan dirinya, membuatnya merasa lebih baik. “Selamat datang, Ms. Brenda! Apa kabarmu?” sapa Beno.

“Kabar ku hari ini sangat baik, meski banyak rintangan. Hari ini adalah hari pembukaan gerai ku yang ke-93!” jawab Brenda dengan senyuman, berusaha menampilkan sikap positif.

Beno tersenyum. “Wah, selamat ya! Mesti rayakan ini dengan makanan enak,” ucapnya. Brenda pun merasa sedikit lega.

Setelah selesai makan malam di restoran langganannya, Brenda merasa lelah namun puas. Acara pembukaan gerai makanan yang ke-93 telah berjalan dengan baik, meskipun ada beberapa rintangan. Untuk merayakan keberhasilannya, dia meminta Beno untuk membawakan segelas anggur.

“Beno, tolong ambilkan aku segelas anggur yang terbaik. Rasanya aku butuh sedikit relaksasi setelah seharian bekerja keras,” pintanya.

Beno tersenyum dan segera mengantar segelas anggur merah yang terlihat menggoda. Brenda mengangkat gelasnya. “Untuk usaha yang telah kulakuan dan untuk semua pencapaian yang telah diraih!” ujarnya sambil meneguk anggur tersebut.

Tanpa disadari, segelas anggur menjadi dua, lalu tiga. Rasa lelah mulai menguap, digantikan oleh keceriaan. Brenda tertawa dan bercanda dengan Beno, merayakan momen kecil itu. Namun, seiring berjalannya waktu, efek alkohol mulai terasa. Dia merasakan dunia berputar di sekelilingnya, dan senyum di wajahnya semakin lebar.

“Brenda, mungkin sudah saatnya kamu pulang. Jangan terlalu banyak minum,” nasihat Beno sambil menatapnya khawatir.

“Ah, tidak apa-apa! Aku hanya merayakan hari ini. Besok aku bisa tidur seharian,” jawab Brenda, sedikit terbata.

Setelah beberapa saat, Brenda akhirnya memutuskan untuk pulang. Dia merasa sedikit sempoyongan saat berjalan ke arah parkiran. “Mudah-mudahan Ferrari-ku masih di sini,” gumamnya.

Ketika sampai di parkiran, dia melihat mobil hitam yang serupa dengan Ferrari-nya. Tanpa berpikir panjang, Brenda membuka pintu dan masuk ke dalam mobil tersebut. “Akhirnya aku di sini,” ucapnya lega, meskipun dalam pikirannya, ada sesuatu yang terasa aneh.

Saat Brenda bersandar di jok mobil, dia baru menyadari bahwa ada seseorang yang sedang menatapnya dengan bingung. Dia langsung menoleh dan melihat seorang pria dengan tatapan terkejut. “Ini bukan mobilku!” teriaknya.

Brenda cepat-cepat melompat keluar dari mobil itu, merasa panik. “Astaga, maaf!” serunya, sebelum dia bergegas pergi. Pria itu hanya menggelengkan kepala dan tersenyum, tampak terpesona dengan keanehan situasi itu.

Brenda berlari menuju mobilnya yang sebenarnya, di mana Beno sudah menunggunya. “Brenda, kamu baik-baik saja?” tanyanya khawatir.

“Aku baru saja masuk ke mobil orang lain,” jawab Brenda sambil tertawa, meski sedikit malu. “Aku rasa aku mabuk.”

Beno menatapnya dengan perhatian. “Ayo, aku antar kamu pulang. Ini sudah larut malam.”

Brenda mengangguk dan masuk ke dalam mobil Beno. Sepanjang perjalanan, dia merasa bersyukur memiliki teman seperti Beno yang selalu ada untuknya.

“Jadi, bagaimana perasaanmu tentang pembukaan hari ini?” tanya Beno sambil mengemudikan mobil.

“Rasanya luar biasa! Banyak orang datang, dan aku tidak menyangka akan seberhasil ini. Tapi, mungkin aku harus lebih hati-hati soal alkohol,” jawab Brenda sambil tertawa.

Beno hanya tersenyum. “Ya, lebih baik tidak mengulangi kesalahan yang sama.”

Setelah beberapa menit berkendara, mereka sampai di rumah Brenda. Dia merasa lega bisa pulang dengan selamat. “Terima kasih, Beno. Kamu selalu jadi penyelamatku,” ucapnya sambil tersenyum.

“Tidak masalah. Hati-hati di lain waktu,” balas Beno, sebelum Brenda melangkah keluar dari mobilnya.

Brenda melambaikan tangan dan memasuki rumahnya. Meski malam itu penuh kejutan, dia merasa bahagia. Hari berikutnya, dia akan bangkit lagi dan melanjutkan mimpinya.

Bersambung...

Perkenalan Yang Menggoda

Keesokan harinya, Brenda terbangun dengan kepala yang pusing. Dia mencoba mengingat apa yang terjadi semalam, tetapi semua terasa kabur. Dalam usaha mengumpulkan ingatan, matanya tertuju pada secarik kertas yang tergeletak di atas meja riasnya. Dengan penuh rasa ingin tahu, dia mengambil kertas itu dan membaca tulisan di atasnya: "Semoga tidurmu lelap, Brenda. Dan ini nomor pria semalam: +44xxxx."

“Gila, aku benar-benar kehilangan akal semalam,” keluhnya sambil memijat pelipisnya. Rasa malu menyelimuti dirinya saat dia membayangkan kekonyolan yang mungkin telah dilakukan. Brenda segera bergegas ke kamar mandi, mencuci muka, dan berusaha mengusir rasa pusing yang masih menghantuinya.

Setelah merasa sedikit lebih segar, dia memutuskan untuk menghubungi nomor yang tertera di kertas tersebut. Dengan tangan bergetar, dia menekan nomor itu.

“Tuuttttt... tuuttttt... tuuttttt...”

“Halo, dengan siapa ini?” suara serak yang sangat sexy langsung menyambut telponnya.

“Ah, iya, itu, anu…” Brenda merasa terjebak dalam kata-kata, sambil menepuk jidatnya untuk mengusir kebodohan.

Suara di ujung sana terbahak, “Hahaha, ini pasti wanita cantik di restoran semalam ya.”

“Ah, iya, ini aku, tuan Richard,” jawabnya, berusaha terdengar percaya diri meskipun wajahnya memerah.

“Bisakah kita bertemu hari ini? Aku ingin meminta maaf dan mengganti kerugianmu semalam,” lanjutnya.

Kembali terdengar gelak tawa dari Richard, “Kau ini tak hanya cantik, Nona Brenda. Kau juga senang terburu-buru ya.”

“Maaf, mungkin aku sedikit gugup, mengingat hal konyol semalam,” jelasnya, merasa sedikit canggung.

“Baiklah, kita akan bertemu hari ini saat makan siang,” ucapnya.

“Baiklah, sampai bertemu nanti saat makan siang di Restaurant Big,” jawab Brenda, merasa sedikit lebih tenang sebelum menutup telepon.

“Ah, mungkin aku bisa sedikit mencari tahu dulu tentang siapa Richard itu, sebelum makan siang,” gerutunya dalam hati.

Brenda segera menghubungi Debora, sekretarisnya di Hoki Grup. “Debora, tolong kau cari tahu tentang Tuan Richard.”

“Baik, Nona Brenda, siap. Aku akan segera mendapatkan informasi mengenai dia untukmu,” sambut Debora.

Setelah menutup telepon, Brenda melanjutkan harinya dengan berkeliling gerai dan memeriksa apakah ada kesulitan di antara pegawainya. Bagi Brenda, sebagai CEO, melakukan ini adalah hal yang menyenangkan, dan dia tidak ingin melewatkannya.

Suara handphone berdering kembali. “Ya, Debora…” jawabnya.

“Nona Brenda, aku sudah mendapatkan informasi mengenai Tuan Richard. Aku akan mengirimnya lewat emailmu,” sahut Debora.

“Bagus, terima kasih,” balas Brenda, lalu segera memeriksa emailnya.

“Richard Elwinson, pengusaha muda usia 25 tahun. Memiliki beberapa perusahaan di Malaysia dan Australia. Perusahaan bergerak di bidang farmasi dan bioteknologi, lahir di Amsterdam, tanggal sekian dan bla..bla..bla...” Brenda membaca sekilas tentang Richard dengan antusias.

“Benar saja, perusahaan kami tak pernah bertemu, ternyata bidang kami berbeda,” gerutunya sambil menyirikan alis.

Tak lama kemudian, alarm makan siang berbunyi. “Ah, sudah waktunya ternyata. Emh, dia cukup membuatku ingin mengenalnya lebih dekat, agar perusahaanku juga dapat berkembang hingga luar negeri.” Pikirannya menerawang jauh untuk kemajuan perusahaannya.

Dengan semangat, dia berangkat menuju Restaurant Big. Restaurant ini adalah salah satu tempat favoritnya yang dipenuhi oleh gerai emas kebanggaannya. Sesampainya di sana, dia mengirim pesan kepada Richard bahwa dia sudah berada di restaurant dan duduk di meja nomor 22.

Tak lama kemudian, dari belakangnya, dia merasakan kehadiran seseorang. Setangkai bunga mawar muncul, diikuti dengan suara yang hangat.

“Selamat siang, Nona Brenda.” Dengan lembut, Richard menarik tangan Brenda dan menciumnya.

“Ahh, dia manis sekali…” pekiknya sambil tersenyum, merasakan getaran yang menyenangkan di dalam hatinya.

“Senang bisa bertemu denganmu di saat tenang seperti ini,” ucap Richard, matanya berbinar penuh ketertarikan.

“Apakah dia sedang menyindirku?” ucap Brenda dalam hati, mencoba menahan senyumnya.

“Ya, aku juga senang bertemu denganmu, Tuan Richard,” kataku, berusaha terdengar formal meskipun hatinya berdebar-debar.

“Ah, jangan terlalu formal kepadaku. Panggil saja Richard. Bagaimana, apakah kau sudah memesan makanan, cantik?” senyumnya menyeringai menggoda.

“Tentu saja belum, Tuan. Anda baru sampai, mana mungkin aku sudah memesan? Aku kan tidak tahu selera Anda,” sahutnya, berusaha santai.

“Seleraku? Tentu saja kamu, cantik,” jawabnya sambil menatapnya dengan tatapan nakal. Mukanya memerah mendengar pujian itu, dan dia tidak mengerti bagaimana harus merespons.

“Ahh baiklah, cantik, mari kita pesan sesuatu. Ntah mengapa, perasaanku berkata, untuk bertemu denganku siang ini, kau bahkan belum sarapan tadi pagi,” Richard meramal dengan senyuman penuh arti.

Brenda tertawa kecil, merasa terhanyut dalam suasana. “Ya, aku sedikit terburu-buru,” jawabnya sambil meraih menu.

Saat mereka memilih makanan, Brenda merasakan kenyamanan yang aneh dengan Richard. Satu hal yang pasti, setiap kali Richard tertawa, rasanya seperti ada magnet yang menariknya lebih dekat. Ada sesuatu dalam cara dia berbicara, membuat Brenda merasa istimewa dan dipahami.

“Makananmu sudah datang, cantik. Apa yang kau pilih?” tanya Richard sambil memandang hidangan yang diantar pelayan.

“Spaghetti carbonara. Cukup sederhana, tapi enak,” jawab Brenda dengan senyum manis.

“Sepertinya pilihan yang bagus. Tapi ingat, yang terpenting adalah menikmati makanan dan bukan hanya sekadar makan,” ucap Richard dengan penuh semangat.

Mereka pun mulai mengobrol tentang banyak hal, dari hobi hingga mimpi masa depan. Brenda merasa setiap detik berharga saat bersamanya. Richard memiliki pesona yang sulit ditolak, dan dia sangat menarik. Brenda mulai merasakan ketertarikan yang lebih dalam terhadapnya.

“Brenda, aku ingin tahu lebih banyak tentangmu. Apa yang membuatmu begitu bersemangat dalam menjalankan bisnis?” tanya Richard dengan serius, tetapi tetap dengan senyum yang menggoda.

“Bisnisku adalah hidupku. Aku ingin menciptakan sesuatu yang bisa memberikan dampak positif bagi banyak orang,” jawab Brenda, merasa terhubung dengan Richard.

“Bagus sekali. Aku suka semangatmu. Semangat seperti inilah yang diperlukan dalam bisnis,” puji Richard, membuat Brenda merasa bangga.

Setiap tawa dan senyuman Richard semakin membuat hatinya bergetar. Brenda tidak bisa menahan diri untuk tidak memikirkan masa depan. Seperti apa jika mereka bisa menjalin hubungan yang lebih dari sekadar teman?

Ketika makan siang berakhir, Richard membayar tagihan. Brenda merasa ada sesuatu yang spesial saat Richard mengeluarkan dompetnya. Dia tidak hanya memperhatikan kemewahan, tetapi juga bagaimana dia menghargai momen tersebut.

“Brenda, aku ingin kita bertemu lagi. Bagaimana jika kita merencanakan makan malam?” tawar Richard sambil menatapnya dengan intens.

Mendengar tawaran itu, Brenda merasa jantungnya berdebar. “Tentu, aku akan senang sekali. Kapan?” tanyanya dengan antusias.

“Bagaimana jika besok malam? Aku akan menjemputmu,” jawab Richard dengan senyum menawannya.

“Baiklah, aku akan siap menunggumu,” balas Brenda, merasa bahagia. Makan siang ini telah membawa harapan baru dalam hidupnya.

Setelah perpisahan yang manis, Brenda pulang dengan senyum tak tertahankan di wajahnya. Hari ini, dia telah menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar bisnis; dia menemukan kemungkinan baru yang membuat hidupnya lebih berwarna.

“Siapa tahu, mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang luar biasa,” gumamnya sambil memandang bunga mawar yang masih berada di tangannya.

Bersambung...

Patah hati Pertamaku

Keesokan harinya, Brenda terbangun pukul 07.00 dengan kepala yang masih sedikit pusing setelah semalam. Setelah mandi dan sarapan, suasana rumahnya terasa lebih tenang.

"Selamat pagi, Nona Brenda," sapa Bik Sora sambil tersenyum, matanya berbinar-binar penuh kehangatan.

"Selamat pagi," jawab Brenda sambil menikmati sarapannya tanpa menengok ke arah Bik Sora. Pikirannya melayang-layang, teringat pada kejadian kemarin malam dengan Richard. Tiba-tiba, Bik Sora mendekat membawakan sebuah buket bunga.

"Nona, tadi pagi tukang bunga datang kemari dan mengantar bunga ini," jelasnya.

Brenda melihat siapa pengirimnya. "Ahh, ini dari Richard! Bagaimana dia bisa tahu rumahku..." pikirnya dalam hati, jantungnya berdebar-debar.

Tak lama kemudian, handphone-nya berbunyi. Pesan masuk dari Richard: "Selamat pagi, bunga cantik ku."

"Ya, selamat pagi juga, Richard," balasnya, mencoba terlihat santai.

"Kau suka bunganya?" tanyanya lagi.

"Yaa, tapi kuharap ini adalah bunga bank, hahaha," jawabnya sambil tertawa.

"Jangankan hanya bunga bank, segala asetku adalah milikmu. Bahkan diriku pun siap ku berikan asalkan kau mau menjadi pendampingku," balas Richard dengan nada serius.

"Astaga, lelaki ini... Dia membuat otakku membeku," gerutunya dalam hati. Tanpa sadar, ia tidak membalas lagi dan langsung bersiap pergi ke Perusahaan Hoki untuk menyelesaikan beberapa berkas yang menanti.

"Selamat pagi, Nona Brenda!" sapa para pegawai berjejer menyambutnya, dengan kepala tertunduk.

"Ya, selamat pagi. Kembalilah pada pekerjaan kalian. Jika ada keluhan, silakan ke ruanganku," titahnya dengan dingin.

Para pegawai mengerti bahwa Brenda memang terlihat cantik, anggun, dan mempesona, namun juga dingin. Tapi di dalam hatinya, ia sangat baik dan pengertian terhadap pegawai.

"Debora, segera ke ruanganku dan bawa berkas yang perlu aku tanda tangani," ucapnya singkat.

"Baik, Nona Brenda. Ini sembilan berkas yang perlu Anda tanda tangan, dan ini satu pengajuan kerjasama dari perusahaan EL," jelas Debora dengan hati-hati.

"Perusahaan EL? Mengapa aku baru mendengarnya?" ucap Brenda terkejut.

"Itu adalah perusahaan yang dipimpin oleh CEO Tuan Richard El. Yang bekerja di bidang farmasi dan bioteknologi," terangnya.

"Richard? Ahh, biarkan saja itu dulu. Aku akan menghubungi Richard secara langsung," jelasnya.

"Apa saya perlu melakukan reservasi pada perusahaan EL terlebih dahulu, Nona Brenda?" tanya Debora penuh perhatian.

"Ah, tidak perlu. Biar aku yang mengurusnya sendiri," jawabnya tegas.

"Baik, Nona Brenda. Mungkin ada hal lain yang bisa saya lakukan untuk Anda?" Debora menawarinya.

"Cukup kau bawa berkas-berkas ini dan kembalilah pada pekerjaanmu," terangnya.

"Ahh, mungkin ini cara Richard mendekati aku. Hahaha. Tapi... bagaimana jika dia bicara mengacau seperti di pesan tadi pagi?" Brenda mulai kebingungan lagi.

Tiba-tiba, handphone-nya berbunyi. Sebuah panggilan masuk. "Halo, Richard?"

"Bagaimana? Apakah hari ini kita bisa bertemu dan membicarakan bisnis?" tanyanya.

"Boleh, kita bertemu di gerai makanan saat pertama kali kita bertemu," jawabnya, berusaha tenang.

"Baik, aku akan segera kesana." Tiba-tiba, telepon langsung mati. "Astaga, sangat tidak sopan tuan El ini," gerutunya.

Brenda langsung pergi keluar kantor menuju Restaurant Big, tempat mereka bertemu kemarin. Tak disangka, Richard sudah berada di meja nomor 22, tempat mereka kemarin.

"Maaf, sepertinya aku terlambat," ucap Brenda saat melihatnya.

"Oh, tidak cantik. Aku memang sudah ada di sini sebelum menelfonmu," jawab Richard sambil tersenyum lebar.

"Hahaha, niat sekali kamu."

"Yaa, aku tidak ingin wanitaku menunggu," katanya sambil melipat tangannya di atas meja, tatapannya serius namun hangat.

Brenda terdiam, tidak mengerti apa yang dia ucapkan. "Katamu, kau akan membicarakan tentang bisnis? Bagaimana soal itu?" tanyanya, berusaha mengalihkan perhatian.

"Sesungguhnya, aku ingin mengatakan hal yang lebih penting dari sebuah bisnis. Brenda, sebenarnya, sejak pertama aku bertemu denganmu, aku sudah menyukaimu, dan aku ingin mengenalmu lebih dekat. Atau... aku langsung saja melamar mu?" katanya sambil menatapnya dalam-dalam.

Brenda tersipu, merasa seolah hatinya berdegup kencang. "Eh... Richard, ini terlalu cepat. Mungkin kita bisa berpacaran terlebih dahulu sebagai perantara hubungan kita di awal ini?"

"Bagaimana dengan syaratmu?" tanya Richard, tertawa kecil.

Brenda berpikir sejenak. "Aku ingin kau bisa membawa produk perusahaanku hingga ke luar negeri. Jika itu bisa kau lakukan, barulah aku mau memikirkannya."

Richard terdiam sejenak, tampak terkejut dengan permintaan mendalam itu. "Tentu, itu bisa kita bicarakan lebih lanjut. Tapi kau harus tahu, aku akan berusaha keras untuk mencapai itu."

Brenda mengangguk, merasa lebih percaya diri dengan syarat yang diajukan. "Deal! Kita harus bekerja sama untuk mewujudkannya."

Setelah membahas rencana bisnis mereka, Richard tampak sangat serius. Dia berjanji akan membantu mengembangkan perusahaan Hoki dan membawanya ke pasar internasional. Mereka pun menjalin hubungan pacaran yang mesra dan manis. Richard adalah sosok yang sangat menghargai wanita, dan dia membuat Brenda nyaman dengan perhatian-perhatian kecil yang tak terduga.

Hari-hari berlalu, Richard dan Brenda semakin akrab. Namun, suatu hari, saat Brenda tiba di kantor, ia melihat pintu ruangan Richard terbuka sedikit. Dengan rasa ingin tahunya, ia berusaha melihat perlahan ke dalam. Namun, ia malah menemukan Richard dan seorang sekretarisnya bergumul di lantai, berguling-guling dengan napas terengah-engah.

"Ah, Emh... "

Brenda terkejut dan langsung membuka pintu itu lebar-lebar. "Richard!" teriaknya.

Richard, yang terkejut setengah mati, segera menghentikan aksinya dan merapikan pakaiannya. Namun, Brenda sudah tidak bisa menahan perasaannya. Ia langsung menangis dan berlari keluar ruangan, hatinya dipenuhi rasa sakit dan bingung.

"Brenda, tunggu!" teriak Richard, segera mengejar keluar ruangan. Ia berlari mengejar Brenda yang sudah melesat ke luar gedung, merasa cemas dan tidak tahu bagaimana menjelaskan situasi itu.

"Brenda, berhenti! Ini bukan seperti yang kau kira!" Richard berusaha menjelaskan sambil terus berlari. Namun, Brenda terus berlari tanpa mendengarnya, air mata mengalir di pipinya.

"Brenda!" seru Richard, kini berhasil mengejarnya dan memegang tangannya. "Dengarkan aku!"

Brenda menatap Richard dengan penuh kemarahan dan kesedihan. "Aku tidak ingin mendengarkan penjelasanmu! Semua ini terlalu menyakitkan!"

Richard menggenggam tangan Brenda lebih erat, berusaha menenangkannya. "Kau harus percaya padaku. Itu hanya salah paham. Aku bisa menjelaskan semuanya."

"Penjelasan apa yang bisa memperbaiki ini? Aku tidak ingin ada di dalam hubungan yang penuh kebohongan!" Brenda berusaha melepaskan pegangan Richard, tetapi ia tidak mau melepaskannya.

"Brenda, tolong! Aku berjanji, tidak ada yang terjadi di antara aku dan sekretaris itu. Kami sedang membahas pekerjaan, dan semuanya menjadi salah paham!" Richard berusaha menjelaskan dengan nada mendesak.

Brenda menarik napas dalam-dalam, berjuang melawan emosinya. "Aku butuh waktu. Mungkin kita perlu berpisah dulu," katanya, air mata masih mengalir di pipinya.

Richard merasakan hatinya hancur mendengar ucapan itu. "Tidak, Brenda. Tolong jangan lakukan ini. Aku mencintaimu dan ingin bersamamu!"

"Jika kau benar-benar mencintaiku, kau harus membuktikannya. Aku butuh waktu untuk merenungkan semuanya," jawab Brenda pelan sebelum berbalik pergi, meninggalkan Richard yang merasa sangat kecewa dan kehilangan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!