Riyan Pov
~ Aku tidak ingin terperangkap dalam kebohongan. Sebaik apapun niat ku, kebohongan tetap saja akan menyakitinya. Untuk itu, aku memilih untuk jujur padanya. Dia, Minara Zahra Maulida, gadis cantik yang aku lukai tepat di malam pengantin kami.~
***
"Ada hal yang ingin ku sampaikan pada mu."
Aku menahan lengan Zahra dengan perasaan campur aduk. Gadis cantik yang masih mengenakan gaun indah berwarna putih itu menghentikan langkahnya. Menatap ku malu-malu. Kami sudah berada di dalam kamar pengantin kami. Kamar yang sejak kecil aku tempati, kini di sulap dengan begitu indahnya.
"Aku mau membersihkan diri terlebih dahulu, Mas."
Jawabnya dengan wajah bersemu. Wajahnya tertunduk dalam, tapi aku masih bisa melihat jelas raut wajah malu-malu dan begitu menggemaskan. Terbesit di benak ku, untuk tidak melanjutkan rencana ku ini, tapi aku tidak ingin, akan semakin melukainya jika nanti kenyataan yang dia dapati tidak seindah yang ada di angan nya.
Aku segera menggeleng. Zahra gadis yang di didik dengan baik dalam lingkungan keagamaan, memilih untuk mengurungkan niatnya yang hendak menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan patuh atas perintah ku. Ia lalu duduk di sisi ranjang tepat di sampingku. Perlahan aku melepaskan genggaman tangan ku di lengannya, lalu beranjak dari atas ranjang itu menuju meja rias yang di sediakan untuk Zahra. Menarik sehelai kertas yang sudah aku siapkan di laci meja rias tersebut, lalu membawanya menuju ranjang di mana Zahra berada.
"Baca dulu, lalu kita akan menandatangani nya bersama." Ujar ku setelah kembali duduk di sisi ranjang yang ada di sampingnya.
"Ini apa, Mas ?"
Tanya nya seraya menatap kertas dan wajah ku bergantian.
"Kamu baca dulu, Zahra." Ucap ku lagi dengan nada lirih.
Aku melihat ia mengambil sehelai kertas yang sudah di bubuhi materai itu dengan hati-hati, lalu membacanya dengan seksama.
"Ini maksudnya apa, Mas? Mas tak menginginkan pernikahan ini? Mas tak menginginkan aku?"
Tanya nya dengan mata berkaca, lalu beberapa detik kemudian butiran bening yang menggenang di pelupuk matanya, tumpah membasahi wajah cantiknya yang masih beralaskan make up khas pengantin.
"Bukan begitu, Zahra." Suaraku tercekat. Melihat wajah yang sejak lamaran selalu bersemu saat di dekat ku, berubah seperti ini, membuat hatiku ikut berdenyut.
"Lalu apa, Mas?" Tanya nya sesegukan.
Aku meraih tangan nya, namun, dengan cepat ia menarik tangan nya kembali agar tidak tersentuh tangan ku. Aku memaklumi nya, dan menautkan jemariku dibatas paha dan mulai menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di antara kami.
Gaun putih dengan harga fantastis, yang memang di siapkan Ibu khusus untuk nya, telah basah dengan air mata. Entah sudah berapa banyak air mata yang tumpah di kamar itu, selama aku menceritakan apa yang terjadi sebenarnya dan tujuan ku membuat surat perjanjian itu.
"Tidak hanya kamu, Ra. Aku juga akan menandatangani surat perjanjian itu, agar kelak kamu tidak akan di rugikan oleh ku." Ucap ku setelah menceritakan permasalahan yang kini aku hadapi.
Zahra masih belum mengatakan apapun, hanya air mata nya yang terus bercucuran membasahi pipi hingga hijab panjang dan gaun putih yang melekat di tubuhnya.
"Apa Mas Riyan tidak mencintai ku?" Tanya nya.
Wajah nya terlihat mengenaskan. Hidung nya memerah juga mata nya yang terlihat sembab karena terlalu banyak menangis. Aku terdiam, tak tahu harus menjawab apa dengan pertanyaannya. Cinta itu seperti apa? Apa perasaan ingin memiliki? Ataukah merasa ikut terluka saat melihat orang itu terluka?
"Jawab pertanyaan aku, Mas." Lirih nya lagi.
"Aku tidak tahu, Zahra. Aku belum benar-benar mengenal mu, kamu tahu akan hal itu. Bagiku mengobral kata cinta pada seseorang yang belum kita tahu seperti apa perasaan kita, adalah sebuah kebohongan. Dan aku paling tidak suka dengan kebohongan, untuk itu aku melakukan semua ini." Jelas ku.
Senyum miris terlihat di bibirnya. Aku terenyuh melihat wajah menyedihkan Zahra. Gadis yang baru saja aku nikahi beberapa jam yang lalu, akhirnya berpamitan dan masuk ke dalam kamar mandi.
Karena aku masih diam membisu, tanpa menunggu jawaban dari ku, Zahra beranjak dari sisi ranjang, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Tidak lupa ia meraih pakaian ganti yang sudah ia siapkan di atas sofa yang ada di dalam kamar pengantin kami itu, dan membawanya ikut masuk ke dalam kamar mandi.
Sepeninggal Zahra menuju kamar mandi, aku mengusap wajah ku dengan kasar. Melepaskan jas mahal yang masih melekat di tubuh ku, lalu berulang kali mengumam kan kata maaf karena sudah menyakiti hatinya. Tidak hanya pada Zahra, tapi kepada Rayan, adik ku yang kini sudah kembali kepangkuan Nya.
Aku melangkah menuju balkon. Berulang kali merutuki diriku sendiri, karena lagi-lagi tidak bisa menjadi seorang kakak yang baik untuk adik ku. Yah, lagi-lagi mengecewakan nya karena tidak bisa menjaga amanah itu, dan justru melukai Zahra di malam pernikahan kami.
"Selamat atas pernikahannya. Kamu terlihat bahagia dengan wanita lain, sementara aku menjerit karena terluka dengan cinta ku."
Sebuah pesan masuk ke dalam aplikasi berwarna hijau yang ada di ponselku. Lalu di susul dengan panggilan suara yang membuat ku terdiam beberapa saat. Sejak pagi ponsel ku memang sengaja aku nonaktifkan, agar Meisya, istri pertama ku tidak akan menghubungi ku.
Panggilan yang kedua kalinya masuk di ponselku.
"Gimana malam pengantin nya?"
Suara menyedihkan di ujung ponsel ku kembali menbuat ku merasa menjadi laki-laki yang tidak berguna.
"Kita sudah membahas ini, Mei. Aku sudah janji pada mu untuk tidak menyentuh nya, sama seperti diri mu!" Jawab ku tegas.
"Bohong! Dia gadis yang cantik dan jauh lebih baik agama nya dari aku. Mustahil jika kamu tidak akan jatuh hati padanya."
Aku mengusap wajah ku dengan kasar karena mendengar pernyataan dari bibir Meisya. Aku mengakuinya, sejak pertama kali aku melihat Zahra ketika Rayan mengirimkan foto lamaran mereka, gadis itu sungguh memukau. Wajah cantik nya yang terlihat kekanakan, membuat siapa saja gemas akan nya.
"Diam kan, kamu? Aku benar-benar mau mati aja, Yan. Aku akan mati kalau kamu sampai ninggalin aku dan memilih dirinya."
"Aku tidak akan meninggalkan mu, Mei! Jangan bersikap seperti anak kecil seperti ini. Sebelum aku menikahi mu, aku sudah membicarakan ini pada mu, kan." Sela ku kesal.
Setelah aku melamar Zahra, Meisya memang selalu bersikap seperti ini.
"Beri aku waktu untuk menyelesaikan semua masalah ini perlahan-lahan." Ucap ku lagi dengan suara yang lembut.
Setelah Meisya sedikit lebih tenang, aku berpamitan dan mengakhiri panggilan itu, lalu masuk ke dalam kamar.
Pov Zahra
~Hancur sudah seluruh angan ku untuk memulai kisah yang baru bersamanya. Dia, laki-laki yang di pilihkan seseorang untuk ku, hanya meninggalkan noda di malam pengantin kami. Entah siapa yang salah, tapi hatiku perih saat tahu aku bukanlah satu-satu nya wanita dalam hidupnya.~
****
Aku terdiam tak mengerti sambil menggenggam erat sehelai kertas yang sudah di bubuhi selembar materai. Berulang kali aku membaca poin-poin yang tertulis di atas kertas itu, sambil meyakinkan hatiku jika ini bukanlah kebenaran. Namun, saat aku mengangkat wajahku, dan berusaha menatap mata milik laki-laki yang baru beberapa jam lalu resmi menjadi suami ku, air mata ku luruh. Ini bukanlah sebuah kesalahan, tetapi keadaan ini begitu menyakitkan.
Sekali lagi aku ingin meyakinkan hati ku, berharap pernikahan ini akan menjadi pernikahan yang tak berujung. Namun, saat aku menanyakan perihal perasaannya padaku, jawaban yang ku dapati justru semakin membuat harapan ku hancur tak bersisa.
Gegas aku beranjak dari ranjang tempat kami duduk, lalu melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Mengambil pakaian ganti dari dalam koper lalu ikut membawanya masuk ke dalam kamar mandi.
Tak ada yang tersisa dari pernikahan ini, namun, hati ku masih enggan untuk memberikan keputusan. Entah mengapa, rasa yang belum terbentuk untuknya, enggan untuk di ajak pergi.
Cukup lama aku menghabiskan waktu di dalam kamar mandi mewah yang ada di dalam kamar itu. Menatap wajah ku di depan cermin yang tersedia di sana. Menghirup sebanyak mungkin oksigen yang tetap saja membuat dadaku sesak.
Gaun putih indah, masih membalut sempurna di tubuhku. Hanya hijab panjang penutup mahkotaku, yang sudah terlepas dari tempatnya.
Senyum miris kembali terlihat di sudut bibirku. Bagaimana bisa ini terjadi. Dia, laki-laki yang ingin ku persembahkan seluruh yang ku punya, bahkan belum sempat melihat rambut panjang ini. Tapi, dengan begitu jahatnya, takdir membawaku pada keadaan ini.
Setelah puas melamun kan kisah ku yang begitu menyedihkan, aku bergegas membersihkan diri. Sejak awal, aku ingin menyempurnakan ibadah ku dengan menerima pinangan nya. Jika mereka merencanakan menodai pernikahan dengan surat perjanjian itu, maka itu bukanlah tanggung jawab ku.
Setelah membersihkan diri dan mengenakan piyama serta hijab yang ku bawa masuk ke dalam kamar mandi, aku kembali melangkah keluar dari dalam bilik itu.
Saat tubuhku sudah berada di dalam kamar, aku tak lagi mendapati laki-laki itu. Sejenak aku terdiam, lalu mendengar suara samar dari balkon kamar tidur kami. Dan yah, itu dia. Jangan di tanya lagi dengan siapa ia sedang berbicara memalui telepon, tentu saja dengan wanita yang mungkin saat ini sedang terluka sama seperti diri ku.
Tidak ingin mengganggu mereka, aku segera berbalik dan keluar dari dalam kamar pengantin kami. Aku butuh air dingin, untuk mendinginkan kepala ku agar tidak sampai mengambil keputusan yang akan aku sesali nanti.
"Pengantin baru kok berkeliaran di jam segini." Suara lembut menenangkan yang sudah tidak asing lagi, membuat langkah kaki ku berhenti. "Mau ke mana, Nak?" Suara lembut itu kembali terdengar.
"Ara mau ambil minum, Bu." Jawab ku.
Wanita cantik itu tersenyum, lalu meraih tangan ku dan membawanya menuju dapur.
"Kamu takut ya?" Tanya Ibu mertuaku lagi. "Jangan terburu-buru. Kalian akan punya waktu seumur hidup kalian untuk menyesuaikan diri. Tidak usah terlalu di pikirkan. Malam pertama tidak selamanya harus di lakukan di malam pengantin."
Tawa wanita cantik yang tidak lagi muda, membuatku ikut tersenyum.
Yah, mungkin aku punya waktu seumur hidupku, namun, bagaimana jika putra mu tidak ingin melakukan malam pertama itu, Ibu. Begitulah batin ku berteriak. Bukan aku yang tidak ingin di sentuh oleh nya, tapi dialah yang lebih dulu melemparkan surat perjanjian padaku, dan berjanji tidak akan memetik ranum tubuhku.
"Ada apa? Apa di sudah lebih dulu terlelap? Biar Ibu bangunkan!" Kata Ibu mertuaku lagi dengan berapi-api, dan aku segera menggelengkan kepala.
"Mas Riyan sedang membersihkan diri, Bu." Jawab ku.
Wanita cantik di hadapan ku tersenyum.
"Jika Riyan melakukan sesuatu yang membuat mu terluka, bilang Ibu ya. Ibu punya tanggung jawab besar untuk memastikan dia memperlakukan mu dengan baik."
Aku kembali tersenyum, di sertai anggukan. Berusaha untuk terlihat biasa saja di hadapan mertua ku. Untuk masalah ini, biarlah Mas Riyan yang akan menyelesaikan nya. Karena dirinya lah yang memulai ini semua.
Jelang beberapa saat, laki-laki yang sedang menjadi topik pembahasan kami, terlihat sedang melangkah cepat menuju ke ruangan di mana kami berada. Ia menatap ku dengan sendu. Mungkin saja dia berpikir aku sudah menceritakan permasalahan kami kepada Ibu mertua ku.
"Bu....
"Mas, aku kan sudah bilang ga usah di susul. Aku bisa sendiri kok ambil air nya." Sela ku cepat sebelum masalah di antara kami semakin runyam.
Mas Riyan menatap ku bingung, namun, aku tetap tersenyum manis memamerkan deretan gigiku yang putih.
"Ya sudah, Ibu tinggal. Lain kali jangan biarkan Ara melakukan semuanya sendiri. Wanita, jika sudah terbiasa tanpa suami, maka suami tidak akan ada artinya lagi." Ucap Ibu mertuaku lagi sebelum berlalu dari ruangan tempat kami berada.
Setelah kepergian wanita baik itu, aku kembali melanjutkan niatku untuk mengambil segelas air putih. Duduk sebentar di kursi makan, lalu meneguk setengah gelas air itu, dengan perlahan.
Mas Riyan pun ikut melangkah, dan duduk di hadapan ku.
"Ra...
"Kita bicara di kamar, Mas." Sela ku sebelum laki-laki di hadapan ku ini membeberkan masalah kami di ruang makan.
Mas Riyan pun menurut. Ia tidak lagi melanjutkan kalimatnya, dan ikut beranjak dari kursi yang ia duduki lalu melangkah keluar dari ruang makan itu menuju kamar tidur kami.
Saat tiba di dalam kamar pengantin kami, aku langsung menuju ranjang untuk membersihkan kelopak bunga yang berhamburan di atas ranjang mewah itu.
Sedangkan Mas Riyan, memilih duduk di sofa yang tersedia di sana. Menatap ku yang terlihat sibuk membersihkan hiasan-hiasan di dalam kamar itu.
"Ra, maafkan aku." Ucapnya, aku masih diam sambil membersihkan kelopak mawar yang sudah berhamburan di atas lantai dan membawanya menuju tempat sampah.
Setelah selesai, aku duduk di atas ranjang yang sudah terlihat biasa saja dan menatap wajah suamiku dengan lekat.
"Aku tidak akan menandatangani perjanjian itu, Mas. Aku ingin menjalani pernikahan sebagai penyempurna ibadah dan memetik pahala di sana. Maaf, aku tidak mau mengikuti kalian berdua, dan mengecewakan Ibu. Selesaikan urusan Mas, aku akan tetap di sini menunggu." Ucapku yakin, membuat Mas Riyan menatap ku tidak percaya.
Pov Meisya
~ Aku merasa tidak pernah melakukan kesalahan, karena aku hanya ingin memperjuangkan cinta ku. Jika mereka menganggap ku menodai pernikahan, maka itu biarlah menjadi urusan ku dengan sang pencipta. Yang terpenting adalah, saat ini aku tetap bisa bersamanya dalam keadaan apapun.~
****
Aku kembali meringkuk di ranjang besar ku. Ponsel yang baru saja aku gunakan untuk berbicara dengan laki-laki yang aku cintai, masih berada dalam genggaman. Entah bagaimana nasib pernikahan dan kisah cinta ku ini. Pernikahan yang bahkan tidak di ketahui oleh kedua orang tua ku, maupun kedua orang tua Riyan. Mungkin dengan ini, Allah sengaja memberiku teguran, jika apa yang aku lakukan selama ini sudah salah di mata-Nya.
Lalu bagaimana? Apa yang harus aku lakukan kini? Cinta ku untuk Riyan begitu besar, dan aku tidak ingin laki-laki itu meninggalkan ku sendirian di sini.
"Honey.." Suara laki-laki yang selalu mencintai ku, terdengar di balik pintu kamar.
"Iya, Dad." Sahut ku tanpa berniat bangun dari tempat tidur. "Besok aja ya, Dad. Aku ngantuk banget, hari ini banyak pasien." Ucapku lagi agar laki-laki yang aku yakin masih berdiri di depan kamar tidur ku segera berlalu dari sana.
"Baiklah, kita bicara besok ya, Nak." Suara Daddy Erland kembali terdengar.
"Baik, Dad." Jawab ku lagi. Hembusan nafas lega keluar dari mulutku saat mendengar langkah kaki Daddy mulai menjauh dari depan kamar tidurku. Sumpah demi apapun, aku tidak ingin mereka tahu bagaimana mengenaskan nya aku hari ini karena pernikahan Riyan. Pernikahan yang di saksikan oleh keluarga besar, dan seluruh teman-teman kami. Mungkin saja, hanya aku sendiri yang tidak menghadiri acara mewah itu.
Dengan tubuh yang tertutup selimut tebal, aku kembali mengusap-usap layar ponsel ku. Berharap satu pesan untuk mengobati kegundahan ku malam ini, kembali masuk. Namun, sayang harapan ku itu hanyalah tinggal harapan.
Ah, aku begitu bodoh. Mana ada sih laki-laki yang mau melewatkan gadis manis dan cantik seperti Zahra. Banyak dokter di rumah sakit yang ingin mempersunting gadis manis itu, tapi putra ke dua dari pemilik rumah sakit sudah lebih dulu meminangnya. Ah, jika saja Allah memberikan umur yang panjang pada Rayan, mungkin kisah cinta ku dengan Riyan tidak akan serumit ini.
Aku ingin mati. Aku benar-benar ga kuat membayangkan jika di sana Riyan sedang memeluk gadis itu, sedangkan aku hanya memeluk bayangan nya disini.
Jika benar kata Riyan gadis itu terluka, maka aku pun sama terlukanya dengan dia. Hatiku sama perih nya, karena harus merelakan laki-laki yang aku cintai menikahi gadis lain hanya karena amanah dari orang yang telah tiada.
Malam semakin larut. Ini adalah malam terpanjang yang pernah aku lewati. Selama ini, aku tak pernah merasakan segalau ini, hingga mata ku tak ingin di ajak untuk berisitirahat. Padahal, aku membutuhkan energi yang banyak agar bisa kembali melewati esok dengan baik. Hatiku sudah terlalu lelah, untuk itu aku membutuhkan tubuhku agar masih mampu melewati setiap jalan terjal yang aku ciptakan sendiri dalam hidupku.
Jika saja, hari itu aku tidak memaksa Riyan menikah, mungkin saja aku tidak akan merasakan bagaimana sakitnya menjadi istri yang di madu dengan wanita lain. Tapi di satu sisi, aku pun tidak bisa merelakan laki-laki yang aku cintai menikah dan hidup bersama gadis lain. Sungguh, aku tidak akan sanggup bahkan hanya untuk membayangkannya saja.
Malam mulai beranjak pergi. Tapi, mata ku belum juga bisa di ajak untuk terlelap. Mungkin malam ini, aku benar-benar tidak akan bisa terlelap, karena wajah Riyan terus saja menari-nari di otak ku.
Dengan perlahan aku menyibak selimut putih yang membungkus tubuhku, lalu beranjak dari atas ranjang dan melangkah menuju balkon kamar tidurku dengan ponsel yang masih berada dalam genggaman.
Masih menunggu pesan dari Riyan atau hal apapun itu masuk ke dalam ponsel ku. Namun, sepertinya aku terlalu berharap, hingga lupa jika kini bukan hanya diriku yang ada dalam hidup Riyan.
Angin malam yang dingin menerpa wajahku. Menerbangkan helaian rambut yang tidak lagi beraturan. Gaun tidur selutut yang ku gunakan, ikut terbang tertiup angin.
"Shalat, ya."
Satu pesan masuk ke dalam ponsel. Yah, ini dia imam ku yang tak pernah lupa mengingatkan ku akan pencipta kami. Tidak menunggu lama, aku langsung menghubungi nomor ponselnya, dan beruntung laki-laki yang sejak semalam membuat mata ku tak bisa terpejam, segera menjawab panggilan ku.
"Aku mau shalat subuh, Mei." Ucapnya, dan aku masih diam. Hanya mendengar suaranya seperti ini, sudah membuat hatiku bergemuruh.
"Kalau Mas masih mau bicara di telepon, aku shalat duluan aja, ga apa-apa." Suara wanita lain kembali terdengar di rungu ku, membuat dadaku kembali sesak.
"Nggak, kita shalat berjamaah. Mei, udah ya." Ucap Rian lagi. Aku menjatuhkan tangan ku, menjauhkan benda pipih itu dari telinga agar tidak mendengar sesuatu yang akan membuat hatiku semakin sakit.
Sepertinya Riyan berbohong padaku. Gadis itu terdengar baik-baik saja. Dia sama sekali tidak terluka dengan keadaan kami.
Aku berbalik dan masuk ke dalam kamar dengan air mata yang kembali menetes membasahi pipi. Kehidupan seperti apa yang ku pilih ini, Tuhan? Cinta seperti apa yang aku perjuangkan ini? Mengapa cinta ini begitu menyakitkan?.
Jika di malam-malam sebelumnya aku akan bersemangat menunaikan apa yang di perintahkan, tidak dengan malam ini. Karena setelah pagi menyapa, aku pasti akan kembali terluka, kala mendapati mereka bersama.
Aku kembali merebahkan tubuhku di atas ranjang, hingga terlelap. Yah, aku benar-benar lelah. Tidak hanya tubuhku yang lelah, tetapi juga hatiku. Baru saja mata ini ingin terpejam, ketukan di pintu kamar tidur ku, terdengar bersama suara yang tidak asing lagi.
"Anak Mama kok masih tidur sih? dasar Dokter malas."
Selimut yang menutupi tubuh ku, di tarik oleh nya. Mama tidak tahu, bahwa mataku baru saja terpejam.
"Bangun, Sayang. Banyak ibu hamil yang sedang menunggumu." Ucap Mommy lagi.
Aku menggeliat pelan, dan memaksa tubuh ku bangun dari atas ranjang.
"Ada apa dengan matamu?" Tanya Mommy Friska padaku.
"Riyan menikah, Mam." Lirihku. Mom dan Dad ku tahu hubungan aku dan Riyan, begitu juga dengan orang tua Riyan.
"Loh, Mommy pikir kamu memang sudah merelakan dia."
Aku menggeleng. Aku mengizinkan, tapi tidak bisa merelakannya. Begitulah batinku berteriak. Pernikahan ku dan Riyan, tidak di ketahui oleh keluarga kami. Pernikahan sirih yang aku paksakan, hanya sebagai pengingat, agar Riyan tidak lupa tentang aku dan cinta kami.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!