Suasana masih terlihat berkabut di salah satu desa terindah di negara Swiss. Pagi masih terlihat gelap, matahari pagi pun masih malu-malu untuk menyapa mahluk bumi dengan semburat cahaya indahnya.
Membuat para warga desa tersebut masih betah di atas pembaringan mereka yang nyaman dan hangat.
Namun tidak dengan sosok gadis berusia 19 tahun yang — sedang mengayuh sepeda tuanya di jalanan sempit dan menurun di desanya.
Catherine Zeta Jones, gadis cantik dengan tubuh mungil berisi, kulit putih khas keturunan imigran atau keturunan campuran antara Swiss dan Jerman. membuat wajah Catherine begitu cantik. Berkelopak mata lebar dan bermanik hijau.
Catherine terus mengayuh sepeda peninggalan ayahnya itu, hingga sampai ke jalan beraspal yang disekitarnya terdapat tebing tinggi.
Dengan semangat penuh, gadis berambut coklat itu terus mengayuh sepedanya untuk lebih cepat, tiba di tempat kerjanya. Pagi ini, ia mendapatkan tugas untuk mencatat pengeluaran buah anggur.
Senyuman manis gadis itu ia berikan setiap berpapasan dengan pengendara sepeda lainnya.
Hingga tiba di suatu jalanan beraspal yang menurut, Catherine disuguhkan oleh sebuah hal yang ganjal. Samar-samar, manik hijaunya menangkap sebuah mobil yang hampir masuk ke dalam jurang.
Semakin mendekat, Catherine, segera memberhentikan sepeda tuanya dan sedikit menghempaskan kasar sehingga, menimbulkan suara lumayan nyaring.
Gadis berambut blonde itu, menyeberangi jalan. Sebelumnya dia mencoba merotasi pandangannya untuk melihat kondisi sekitar jalanan yang masih sangat sunyi. Belum terlihat, ada tanda-tanda para warga lain akan melewati jalanan ini.
Catherine, setengah berlari, mendekati mobil yang nyaris masuk jurang. Beruntung mobil tersebut terhalang oleh batu besar di kedua ban mobil mewah tersebut.
Catherine semakin mendekat, dengan raut wajah ketakutan dan was-was. Sekali lagi, ia mencoba melihat sekitarnya, namun masih tampak sunyi.
Gadis berusia 19 tahun itu, mencoba mengintip melalui kaca mobil yang tampak gelap. Ia menempelkan kedua tangannya di kaca mobil, mendekatkan wajah dan mencoba melihat di dalam mobil mewah itu.
Seketika kelopak mata Catherine membesar dengan mulut menganga. Catherine menjauhkan kedua tangannya di kaca mobil, lantas membekap mulutnya sendiri, akibat terkejut melihat sosok wanita setengah baya sedang dalam keadaan kepala di penuhi cairan merah.
"Oh Tuhan!" Ucapnya tanpa suara yang masih menampilkan wajah syok, saat mencoba mengintip di bagian depan kemudi. Dan ia bisa melihat sosok pria paruh baya yang kondisinya lebih tragis.
"B-bagaimana ini," cicitnya dengan gelisah yang menggigit kuku jarinya sendiri, karena terlalu gugup.
"OH Tuhan! Tidak, mungkin aku membiarkan mereka begitu saja," monolog gadis itu pelan. Saat pikiran tidak acuhnya melintas.
"Tidak! Aku harus menolong, mereka," selorohnya yakin. Dan — mencoba kembali ke tepi jalan. Berharap warga lain melintasi jalan tersebut. Tapi … lagi-lagi harapannya nihil.
Terpaksa gadis bertubuh mungil itu, kembali mendekati mobil mewah tersebut dan mencoba menggedor-gedor kaca mobil itu dengan tangannya yang halus.
"Nyonya!" Catherine, mencoba memanggil wanita yang tak bergerak sedikitpun di dalam sana.
"Nyonya! Bangunlah." Kembali ia mencoba memanggil wanita yang berpakaian seperti wanita terhormat, sambil memukuli kaca mobil.
Kini Catherine berpindah ke kaca mobil depan, berusaha menyadarkan pria di balik kemudi. "Tuan, tuan, tuan," panggilnya berulang kali sambil memukul kuat kaca mobil mewah itu. Telapak tangan kecilnya pun tampak merah, akibat memukul kaca mobil tersebut.
"Tuhan! Aku harus apa?" Gumamnya dengan wajah semakin panik dengan terus menggigiti jari-jarinya tangan kanannya.
Gadis dengan tampilan layaknya seorang pekerja tani itu, mondar-mandir dengan wajah bingung pun panik.
Catherine bingung harus melakukan apa dan ia tidak bisa membiarkan dia orang di dalam mobil mewah itu begitu saja.
Saat Catherine sibuk memikirkan sesuatu untuk mengeluarkan korban kecelakaan itu dari, dalam mobil, tiba-tiba manik hijaunya melihat sebuah batu lumayan besar tak jauh darinya.
"Aku, harus melakukannya," gumam Catherine ragu ketika akan memukulkan batu itu ke kaca mobil.
"Tapi, tidak ada pilihan lain. Aku, bisa menjelaskannya, nanti," gumam gadis cantik itu.
Catherine pun segera memukulkan batu tersebut ke kaca mobil, sekuat tenaga. Sehingga membuat gerakan dan kaca mobil itu pun retak, tidak lama kemudian, kaca mobil itu akhirnya pecah.
Namun, satu yang tidak Catherine sadari. Getaran yang dihasilkan dari benturan batu ke kaca itu, membuat mobil mewah itu bergerak secara perlahan. Catherine tidak menyadarinya.
Catherine mencoba menyingkirkan sisa serpihan kaca mobil, lalu mengulurkan tangannya untuk membuka pintu mobil itu dari dalam.
Segera saja Catherine menyelamatkan wanita setengah baya tersebut, meraih lengan wanita itu dan menariknya ke luar.
"Nyonya! Sadarlah," ucap Catherine sambil menepuk-nepuk pipi wanita berwajah cantik dan anggun.
"Nyonya!" Sekali lagi Catherine mencoba menyadarkan wanita itu yang terdapat luka serius di kepala.
Catherine terhenyak, saat telinganya mendengar suara pergerakan yang berasal dari mobil mewah tersebut.
Kelopak mata indah Catherine membesar dengan wajah terkejut, ia segera menurunkan kepala wanita itu dari pahanya, lantas menaruhnya di tanah yang ditumbuhi rumput.
"Tidak!" Pekik Catherine, saat mobil mewah itu mulai bergerak.
"Tuan!" Bangunlah," teriak Catherine dengan wajah ketakutan dengan derai air mata.
"Tuan, aku mohon sadarlah," racau Catherine, yang berusaha memecahkan kaca mobil.
Namun terlambat, saat Catherine berhasil menarik keluar tangan pria paruh baya itu, tiba-tiba, mobil mewah tersebut bergerak cepat dan akhirnya terjatuh ke dalam jurang.
"TIDAK!" teriak Catherine histeris.
Tidak berselang lama, mobil itu pun mengeluarkan bunyi ledakan nyaring di dasar jurang.
"TIDAK!" kali ini Catherine berteriak sekuat-kuatnya dengan wajah penuh bersalah.
Bertepatan juga beberapa warga melintas di jalan tersebut.
"Maaf!" Catherine menjatuhkan tubuhnya dengan lemah di atas tanah dengan ucapan lirih — penuh penyesalan.
Warga segera mendekati Catherine, bertanya dan menuntun gadis itu untuk berdiri.
Tanpa banyak bertanya, para warga membawa nyonya korban kecelakaan tersebut dengan Catherine yang wajahnya begitu syok.
_____________" _" ____________
Kini gadis cantik itu masih terlihat syok atas kejadian yang ia saksikan pagi ini. Gadis berwajah sedih, kini sedang menunggu di luar ruangan UGD. Ditemani oleh beberapa warga dan juga tetangga dekatnya.
"Tenanglah, sayang," ucap seorang wanita paruh baya yang merupakan tetangga Catherine, yang begitu menyayangi gadis sebatang kara itu. Wanita itu, mencoba menghibur gadis yang sudah ia anggap cucunya sendiri.
"Aku, tidak bisa menyelamatkan pria itu, nek," sesalnya lirih.
Ia meletakkan kepalanya di pundak tua wanita itu yang sedang merangkul penuh kasih sayang.
"Sudah kehendak Tuhan, sayang. Kau, sudah berusaha menolongnya, tapi kehendak Tuhan berkata lain," imbuh wanita tersebut.
Catherine menjauhkan kepalanya di pundak wanita itu dan menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Berhentilah menangis dan menyalahkan dirimu," pinta wanita bertubuh gempal itu.
Catherine mengangguk dan menghapus air matanya. Bertepatan, pintu ruangan UGD di klinik di desanya terbuka. Terlihat seorang pria muda tampan, keluar dari ruangan tersebut sambil, membuka maskernya.
Catherine bangkit dengan wajah penuh penasaran. " Bagaimana dengannya, dokter?" Tanya Catherine antusias.
Dokter muda itu menatap wajah sembab Catherine dan tersenyum tipis. "Dia mengalami benturan keras dikepala bagian depan, sehingga membuat nyonya tersebut mengalami gegar otak ringan. Mungkin, dia akan mengalami koma dengan waktu yang — entah, kapan ia akan sadar." Terang dokter tersebut dengan nada serius dan tatapan memuja ia berikan kepada Catherine.
"Apa dia kerabat, kamu?" Tanya dokter muda tersebut.
Catherine membalas tatapan lembut dokter di depannya dan menggelengkan kepalanya.
Dokter tampan itu, mengernyit alis bingung. "Maksud, kamu?" Tanyanya lagi penasaran.
Catherine pun menjawab pertanyaan dokter tersebut dengan suara serak."saya, menemukannya di dalam mobil yang nyaris jatuh ke jurang," terang Catherine sedikit rasa bersalah.
"Benarkah?! Sebaiknya, kita menghubungi, polisi," sela dokter di depan Catherine.
"Jangan!" Potong gadis itu dengan wajah panik.
Wanita bertubuh gempal itu dan sang dokter heran melihat wajahnya panik Catherine.
"Kenapa?" Tanya dokter muda itu lagi dengan alis mengerut.
Catherine mencoba tenang dan menceritakan semua awal ia menemukan mobil nyonya yang terbaring di dalam sana dan mobil mewah itu terjatuh dengan seorang pria masih berada di dalam mobil mewah tersebut.
Kembali Catherine terisak dengan wajah penuh sesal, karena tidak mampu menyelamatkan korban lainnya.
Dokter dengan wajah tampan itu, mendekat ke arah Catherine dan mencoba menenangkannya. "Tenanglah, kemungkinan besar pria itu sudah meninggal. Apalagi dia mendapatkan luka serius," imbuh dokter tersebut mencoba menghibur Catherine.
"Tapi … aku tetap merasa bersalah," gumam Catherine pelan.
Dokter muda itu menampilkan senyum menawannya dan mengusap lembut rambut Catherine. "Tenanglah, semuanya sudah terjadi. Jangan, salahkan dirimu, kamu, sudah berusaha menolongnya," imbuhnya dengan lembut.
"Hm! Terima kasih, tuan dokter," ucap Catherine tulus.
Dokter pun akhirnya pamit kepada Catherine dan wanita paruh baya yang bernama nenek Kori.
Keduanya kini masih setia menunggu, nyonya terbaring lemah di dalam sana. Catherine, akan merawat wanita itu hingga sembuh. Ia akan meminta tolong dengan nenek Kori untuk menjaganya, saat dirinya bekerja.
__________
Hingga, satu Minggu kemudian. Wanita yang sudah Catherine rawat sepenuh hati itu, akhirnya terbangun dari tidur panjangnya.
Catherine begitu bahagia melihat mata yang seminggu ini tertutup, akhirnya terbuka lebar.
Dengan antusiasnya, Catherine menyambut nyonya itu keluar dari masa koma nya dengan wajah bahagia pun lega.
"Nyonya!" Seru Catherine sambil membantu wanita cantik itu bangun dan membantunya duduk di atas ranjang pasien.
"Syukurlah. anda, sudah sadar nyonya," tutur Catherine dengan perasaan bahagia.
Wanita yang masih terlihat pucat, menatap gadis di sampingnya bergantian menatap sekitar kamar. "Aku, dimana?" Tanyanya dengan nada lemah.
"Anda, di klinik, nyonya," pungkas Catherine sambil menyerahkan segelas air putih.
"Di klinik?! Tanya dengan wajah terkejut.
"Iya. Anda mengalami kecelakaan seminggu yang lalu," tutur Catherine yang mencoba membantu wanita lemah itu, untuk duduk.
"Kecelakaan? Satu Minggu yang lalu?" Tanyanya dengan terbata.
Catherine membantu wanita berwajah cantik, meskipun dalam kondisi wajah pucat, untuk minum.
Wanita itu, masih menatap wajah cantik nan lembut gadis di depannya. Ia, begitu tersentuh akan perlakuan lembut gadis ini. "Apakah, kamu yang menolongku?" Tanya dengan wajah penasaran.
"Iya, nyonya," jawab Catherine
Ia meraih telapak tangan lembut Catherine dan menggenggamnya dan mengucapkan kata terima kasih dengan tulus. "Terimakasih, nak," ucapnya dengan nada tulus.
Catherine hanya mengangguk dan tersenyum lembut. Membalas genggaman hangat wanita anggun di hadapannya.
Terima Kasih lah' kepada Tuhan, atas persetujuannya anda selamat dengan bantuan, saya," tutur gadis itu bijaksana.
Lagi-lagi, wanita berwajah anggun itu, tersentuh dengan ucapan bijaksana gadis cantik ini.
"Siapa, nama kamu, nak?" Tanya wanita cantik itu tiba-tiba.
Catherine yang merenungi sosok ibunya yang berhati lembut itu, terhenyak dan menjawab pertanyaan wanita di depannya. "Catherine. Catherine Zeta Jones," sebut Catherine dengan wajah ceria.
Wanita anggun, tiba-tiba menampilkan wajah terkejut. Mendengar nama terakhir Catherine. Wajahnya terlihat menyembunyikan sesuatu. Namun dengan segera ia merubah raut wajahnya.
"Kamu, gadis yang sangat cantik, nak," pujinya tulus. "Sama dengan ibumu," ucapnya dalam hati. Dengan jari-jari lembutnya mengusap pipi kenyal Catherine sambil memberikan tatapan sulit diartikan.
Catherine sendiri hanya bisa menyembunyikan raut wajah merona nya saat mendapatkan pujian tulus dari wanita berwajah anggun.
_______________
"Apa, yang nyonya katakan?" Pertanyaan tercekat keluar dari mulut Catherine. Saat mendengar permintaan dan keinginan nyonya Margaretha.
Selamat beberapa Minggu ini, Catherine merawat nyonya yang ia tolong dan bernama Margaretha Abraham. Sosok wanita terhormat yang merupakan keturunan konglomerat terpandang. Dan — pemilik perkebunan anggur di mana Catherine bekerja.
Catherine bagaikan tertampar, saat, mengetahui kebenaran tentang status nyonya yang ia selamatkan. Catherine hanya bisa memperlihatkan wajah syok nya dan kebingungan.
Dirinya, tidak pernah menduga, kalau ia menolong seorang wanita terkaya di kotanya.
Yang membuat Catherine lebih tercengang, adalah… permintaan wanita itu, yang menginginkan dirinya menjadi menantu, untuk putra semata wayangnya.
Tentu saja Catherine menolak dengan lembut dan penuh hati-hati. Agar wanita berkelas di hadapannya tidak tersinggung.
"Maafkan, saya nyonya. Saya, tidak bisa menerima permintaan, anda," ujar Catherine penuh hati-hati.
"Kenapa, nak? Apa, kamu sudah memiliki seorang kekasih?" Tanya nyonya Margaretha, yang kini duduk di samping Catherine yang sedang menundukkan kepalanya.
Gadis itu terlihat menggelengkan kepalanya yang sedang menunduk. "Saya, belum siap untuk menikah," sahutnya lirih.
"Kenapa?" Tanya, nyonya Margaretha sambil mengangkat dagu gadis itu.
"Saya, ingin melanjutkan pendidikan saya dan cita-cita saya, sebagai seorang dokter," jelasnya dengan tatapan teduh.
"Tidak, masalah. Kamu, bisa melanjutkan pendidikan setelah menikah dengan putra ku. Aku, akan membiayai semua keperluan pendidikan, kamu," imbuh, nyonya Margaretha.
Catherine menatap tidak percaya ke arah nyonya Margaretha dengan wajah tidak percaya. "Anda, serius?! Tanya gadis itu meyakinkan.
"Hm!" Gumam nyonya Margaretha dengan wajah serius.
"Jadi … bagaimana? Apa, kamu mau menikah dengan putraku?" Tanya nyonya Margaretha sekali lagi.
Catherine, terlihat masih ragu dan kebingungan. Ia ragu, apakah, putra nyonya Margaretha mau menikah dengannya? Bingung karena, ia harus menyakinkan dirinya sendiri.
"Bagaimana?" Sentak nyonya Margaretha.
"Hm! B-bagaimana dengan putra anda?" Tanya Catherine balik.
Nyonya Margaretha pun tersenyum lembut sambil menggenggam kedua telapak tangan dingin Catherine lembut. "Jangan, khawatir. Dia pasti akan setuju," ujar nyonya Margaretha penuh keyakinan.
"Bagaimana? Apa, kamu setuju dengan pernikahan ini?" Tanya nyonya Margaretha sekali lagi.
Tanpa, berpikir panjang lagi. Catherine akhirnya menyetujui perjodohan ini.
Ia hanya berharap, semoga ini lah' jalannya menuju kebahagiaan dan kesuksesan untuk meraih cita-citanya.
Satu Minggu kemudian.
Sebuah mobil mewah mengkilap menyusuri jalanan beraspal dan sempit. Untuk menuju ke sebuah perkebunan anggur.
Di balik mobil mewah itu, lebih tepatnya di bagian kursi penumpang belakang, sosok pria tampan berwajah tegas dengan penuh karismatik duduk dengan elegannya.
Garis wajah tegas, di lengkapi hidung mancung, mata tajam beriris biru terang, rahang wajah tegas yang ditumbuhi rambut-rambut halus di sekitarnya dan juga di atas bibir sempurnanya yang masih berwarna alami.
Garis wajahnya kini tampak terlihat datar dan dingin. Kelopak matanya tidak hentinya menatap tajam ke depan. Di mana dia dapat melihat dari jarak jauh, sebuah villa sederhana.
Seorang pekerja pria paruh baya, berlari membuka pintu gerbang villa tersebut, yang letaknya di tengah-tengah, perkebunan anggur.
Mobil itu pun berjalan pelan, hingga tiba di depan teras villa yang seluruhnya terbuat dari kayu hitam.
Seorang pria berusia 35 tahun, mendekati mobil hitam mewah itu dan segera membuka pintu pria yang masih duduk di kursi belakang dengan aura tegas.
"Selamat datang tuan, muda," sapa pria itu setelah melihat tuan mudanya turun dari mobil. Sambil membungkuk setengah badannya.
Pria dengan tinggi tubuh normal dan pahatan tubuh yang sangat diidamkan oleh banyak kaum wanita itu — terus merajuk langkah elegannya, tanpa memperdulikan sapaan hormat anak buahnya.
Pintu di depan pria bermata tajam bang elak itu terbuka dari dalam. Dan — terlihat seorang wanita paruh baya menyambutnya dengan seutas senyum lembut.
"Selamat, datang kembali, nak." Wanita bertubuh setengah berisi itu menyambut pria yang memiliki iris mata biru, dengan begitu hangat.
"Terimakasih, bibi." Pria dengan setelan rapi itu, mengeluarkan suara beratnya, setelah selama perjalanan hanya terdiam.
Wanita yang di panggil bibi itu, segera melepaskan baju tebal yang dikenakan pria rupawan tersebut dan menggantungnya di gantungan pakaian yang terletak di dekat pintu rumah. Wanita tersebut pun, mengambil sebuah sandal rumah buat tuan mudanya.
"Dimana, mommy?" Tanya pria yang berusia 37 tahun itu dengan pandangan merotasi seisi villa.
"Nyonya, sedang berada di halaman belakang, tuan," jawab wanita itu, dengan terus memperlihatkan senyum hangat.
"Nyonya, bersama …." Wanita setengah baya itu pun tidak melanjutkan ucapannya, setelah, melihat tuan muda itu meneruskan langkahnya ke arah halaman belakang villa.
__________
"Mom!" Seruan suara berat dan penuh aura kharismatik itu, membuat dua wanita beda usia yang sedang bercengkrama terkejut.
Nyonya Margaretha, segera memalingkan wajahnya ke belakang. Setelah itu, ia langsung berdiri. Menyambut putra semata wayangnya.
Sedangkan Catherine, masih menetralisir degupan jantungnya, saat Indar pendengarannya menangkap suara yang langsung membuat jantungnya berdegup kencang.
Catherine, masih berkeming di tempat asalnya, dengan rona wajah gugup, karena akan bertemu dengan calon suaminya.
Gadis pemilik mata hijau itu, masih belum siap melihat wajah calon suaminya. Mendengar suaranya saja, sudah membuatnya gugup, apalagi melihat wajah pria itu.
Catherine terus membeku dan gugup di tempatnya yang, memunggungi nyonya Margaretha dan putranya.
Sehingga suara nyonya Margaretha, tiba-tiba… memanggil dan menginginkan dirinya mendekati ibu dan anak itu.
"Cathy! Kemarilah, nak," panggil nyonya Margaretha, sambil memutar sedikit tubuhnya ke belakang.
Pria yang baru saja bertemu dengan mommy nya itu dan begitu khawatir saat, mendapatkan kabar dari bawahannya, kalau,sang mommy mengalami kecelakaan di desa.
Kebetulan pria dengan wajah tegas dan memiliki tubuh putih kemerahan itu, sedang melakukan perjalanan bisnis di negara lain. Hingga, kemarin baru lah, dirinya. Memiliki kesempatan untuk bisa melihat kondisi sang mommy.
Pria dengan potongan rambut klimis itu, mengikuti arah pandang sang mommy. Ia dapat menangkap, gambaran punggung mungil dengan leher jenjang putih. Rambut diikat tinggi keatas.
Pria dewasa itu, mengernyit heran. Melihat orang asing berada di lingkungan sekitar sang mommy.
"Kemarilah, sayang," sela nyonya Margaretha kembali.
Catherine pun terpaksa bangkit dari duduknya, dengan kondisi tubuh kaku. Ia memutar tubuh mungilnya tanpa mengangkat kepalanya ke atas dan menatap kedepan.
Catherine berjalan pelan dengan kedua jari jarinya saling menggenggam kuat.
Pria yang kini menatap sosok bertubuh mungil di hadapannya dengan kening terlipat dan tatapan tajam. Wajahnya pun datar dan dingin.
Berbanding terbalik dengan yang ada di pikiran, Catherine yang berharap calon suaminya adalah seorang yang sangat lembut dan ramah.
"Jeffin!" Sentak nyonya Margaretha, menyebutkan nama putranya.
"Hm! Gumam pria itu dengan suara beratnya.
"Kenalkan, gadis cantik ini. Namanya, Catherine Zeta Jones. Dia lah' yang menyelamatkan mommy dan merawat mommy selama di rawat di klinik kesehatan di sini," terang nyonya Margaretha, sambil meraih telapak tangan lembab Catherine dan menggenggamnya lembut.
Jeffin masih terdiam. Namun … tatapannya masih melekat kepada sosok mungil di samping sang mommy.
"Cathy!" Sela nyonya Margaretha kepada gadis di sampingnya.
"I-iya, nyonya," jawab Catherine terbata.
Nyonya Margaretha tersenyum, melihat wajah gugup Catherine dan merasakan tubuh gadis itu menegang.
"Kenalkan. Dia putra ku, Jeffin. Jeffin William Abraham." Sebut nyonya Margaretha.
Nyonya Margaretha memberikan lirikan mata kepada putranya untuk mengajak Catherine untuk lebih dulu berkenalan atau berjabat tangan.
"Ehem! Jeffin berdehem berat. Yang lagi-lagi berhasil, membuat tubuh Catherine membeku.
"Jeffin!" Sebut pria itu dengan suara dingin nan tegas. Tidak lupa, pria yang tingginya mencapai tubuh Catherine itu mengulurkan tangannya ke hadapan wajah Catherine yang masih tertunduk malu.
Catherine melihat, telapak tangan kokoh itu, yang begitu terlihat hangat dan menyenangkan. Catherine pun dengan gerakan tangan gemetar dan terbata, mencoba membalas uluran tangan kekar itu. Dengan suara lirih terbata.
"C-catherine," balasnya dengan suara lirih dan tangan nya yang gemetar pun dingin itu, kini berada di genggaman telapak tangan kekar pria di hadapannya.
Jantung Catherine semakin mendegup kencang, saat permukaan kulit telapak tangan dinginnya bertemu dengan telapak tangan kekar pria menjulang di hadapannya.
"Jeffin!" Balas pria berwajah datar itu dengan intonasi suara dingin.
Jeffin buru-buru melepaskan tautan tangan mereka dan diam-diam membersihkan bekas sentuhan tangan Catherine di belakang tubuhnya tanpa sepengetahuan, nyonya Margaretha dan Catherine.
"Angkat pandangan mu, sayang," bisik nyonya Margaretha di dekat telinga Catherine. Saat melihat kepala gadis itu terus menunduk.
Catherine terlihat menggeleng samar. Dan — nyonya Margaretha terkekeh tertahan melihat tingkah dan sikap Catherine yang lugu.
Nyonya Margaretha merasa pilihannya kali ini sangat tepat untuk menjadikan Catherine sebagai istri putranya.
Melihat ketulusan gadis di sampingnya dan juga sifat tangguh juga keluguan gadis ini. Gadis yang hanya mengetahui cara bekerja keras untuk menghidupi kehidupannya dan juga untuk bisa meraih cita-citanya.
Apalagi gadis ini, masih suci dan tidak pernah tersentuh oleh lelaki manapun, juga pikiran gadis di sampingnya masih sangat lah' polos.
"Lihatlah, dan pandangi lah' calon suami kamu, nak," bisik nyonya Margaretha kembali.
"Ayo!" Nyonya Margaretha, sedikit, memaksa Catherine untuk memilih wajah tampan putranya.
Dengan perlahan, Catherine mengangkat kepalanya dan ia pun semakin berdebar. Saat menangkap pemandangan menakjubkan di depannya ini. Sosok pria rupawan yang begitu menggetarkan hatinya.
Tanpa sengaja, manik mata keduanya saling bertemu dan saling memandang dalam waktu sebentar. Setelah, Jeffin membuang pandangannya dengan ekspresi wajah datar.
Sedangkan Catherine, masih menatap Jeffin dengan kekaguman. Tak hentinya ia melihat wajah tampan Jeffin. Meskipun, tidak mendapatkan respon hangat dari pria dewasa itu.
"Apa, mommy sedang bercanda?" Suara pekikan terkejut, terdengar di sebuah ruangan tertutup dan rahasia.
Pria yang kini menatap tidak percaya ke arah wanita yang dipanggil mommy itu, betapa terkejutnya dia, saat mendengar permintaan, wanita yang sangat berharga dalam hidupnya ini.
Jeffin masih terus memandangi sang mommy yang mana wanita, setengah baya itu sedang menatap putra semata wayangnya dengan tatapan berharap.
"Mom!" Ucap dengan wajah frustasi.
Jeffin, meraup wajah tegasnya sendiri dengan kasar. diiringi dengan tarikan nafas berat dan frustasi.
Nyonya Margaretha berjalan ke arah jendela ruang itu, yang membuat mata grey nya disuguhkan oleh pemandangan indah.
Sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Nyonya Margaretha, sekali lagi memohon kepada putranya untuk menikahi Catherine. Tidak … lebih tepatnya, nyonya Margaretha memaksa putranya dan bertanda tidak ada pilihan lain.
"Menikahlah, dengannya. Sebagai, hutang nyawa mommy kepada gadis itu. dan … sebagai hutang di masa lalu, mommy," pungkasnya dengan tatapan menerawang ke depan, dan berkata lirih di akhir kalimatnya.
"Itu tidak mungkin, mom," protes Jeffin dengan wajah yang begitu menahan kekesalan.
"Berarti, kamu tidak menyayangi, mommy," jawab nyonya Margaretha, yang membuat putranya — diam seribu bahasa.
Nyonya Margaretha membalikkan badannya dan kembali melayangkan tatapan lekat kepada Jeffin.
Jeffin pun membalas tatapan sang mommy yang menandakan tidak ada bantahan.
"Tapi, mom. Bagaimana dengan …."
"Sampai, kapan kamu akan berharap. Dan … sampai kapan mommy akan menunggu kehadiran seorang, cucu." Nyonya Margaretha, memotong perkataan putranya sendiri dan ia pun berkata dengan penuh ketegasan sebagai seorang mommy.
"Please, mom," pinta Jeffin, memohon kepada nyonya Margaretha, agar membatalkan rencananya.
"No! Anggap saja, ini adalah permintaan pertama dan terakhir, mommy," timpal nyonya Margaretha kembali, yang lagi-lagi membuat Jeffin membisu.
Jeffin merebahkan punggung lebarnya di sandaran sofa dengan menarik nafas berat. Jeffin tidak mempunyai hak, untuk menolak. Kalau sang mommy mengungkit tentang permintaan.
Jeffin selalu mengharapkan sang mommy menginginkan sebuah permintaan kepadanya. Tapi … nyonya Margaretha, selalu menolak dan mengatakan, ada waktunya ia akan melayangkan permintaan kepadanya.
Jadi… inikah, permintaan pertama sang mommy? Yang selalu ia simpan dan tiba saatnya sekarang ia menginginkan permintaan itu?
Jeffin menutup wajahnya yang terlihat begitu frustasi, menggunakan kedua telapak tangannya yang kekar.
Sedangkan, nyonya Margaretha hanya menatap putranya dengan pandangan perintah yang tak terbantahkan.
"Bersiaplah! Seru nyonya Margaretha. "Besok pagi, kalian akan menikah," lanjut nyonya Margaretha dengan nada perintah dan penuh penegasan.
Jeffin tidak menjawab, dia hanya bisa memasang wajah frustasinya dan. Tidak, ada pilihan lain selain pasrah dengan permintaan sang mommy.
Nyonya Margaretha, sejak tadi keluar dari ruangan tertutup itu dan meninggalkan putranya seorang diri, dalam keadaan bimbang.
Sementara di sebuah kamar, yang terlihat rapi yang ada di villa, nyonya Margaretha. Lebih tepatnya, di atas ranjang mewah. Seorang gadis bertubuh mungil sedang menyembunyikan wajahnya yang cantik di bawah bantal.
Gadis itu terlihat berbunga-bunga dengan raut wajah tersipu malu.
Bayangan, sosok calon suaminya begitu membuatnya uring-uringan. Sulit untuk memejamkan matanya. Wajah, datar dan tegas Jeffin membuat Catherine terus menerbitkan senyuman bahagianya.
Esok hari, pria tampan itu — akan menjadi suaminya, pendamping hidupnya. Semoga saja, pria pemilik wajah tegas dan pemilik aura kharismatik itu bisa menerima pun mencintainya. Seperti dia yang sudah jatuh cinta kepada — sosok calon pendamping hidupnya.
\_\_\_\_\_
"Bagaimana? Apa yang, kamu temukan tentang gadis itu," seorang pria dengan kaya wibawanya yang sedang berdiri di balkon kamar, melayangkan pertanyaan kepada anak buahnya, yang berdiri di belakang pria yang memiliki kesan arogan itu.
"Dia, bersih tuan. Dia … dikenal oleh sebagian warga sini, sebagai gadis lembut dan berhati tulus. Dia … juga hanya seorang gadis yatim piatu. Bekerja sebagai buruh petik anggur di perkebunan nyonya." Pungkasnya dengan nada penuh keyakinan.
Jeffin membalikkan tubuh tinggi atletisnya dan mata tajamnya, menatap lekat, anak buahnya itu. "Bagaimana, soal yang dikatakan mommy, hutang budi di masa lalu. Apa, kamu menemukan jawabannya?" Jeffin kembali pertanyaan dengan intonasi suara beratnya.
"Belum, tuan! Sepertinya, hanya nyonya besar yang mengetahuinya," jelas anak buah Jeffin.
Jeffin pun kembali diam. Ia kini mengalihkan pandangannya menerawang ke depan. Harus kah' dirinya menerima perjodohan ini? Harus bisa, karena dia sendiri tidak ada pilihan lain, selain pasrah menerima permintaan sang mommy.
"Apa, benar dia yang sudah menyelamatkan, mommy?" Kembali, Jeffin melemparkan pertanyaan.
"Iya, tuan. Gadis itulah yang menyelamatkan dan merawat, nyonya," pungkas anak buah Jeffin.
Jeffin, kembali terdiam. Ia lalu memerintahkan anak buahnya untuk keluar. Saat, ponsel mahalnya bergetar. Jeffin segera menekan tombol hijau, menempelkan ponsel mewahnya di telinga, sambil berjalan memasuki kamar.
"Ada apa?" Jawab pria itu, saat mendengar sapaan dari seberang sana.
" …"
"Hm! Besok aku sudah berada di sana," Jeffin, berujar dengan memijat kedua garis alisnya yang tebal.
" …."
"Tidak." Jawabnya pendek.
"...."
"Hm! Terus jaga dia dan — jangan biarkan dia sendiri," perintah Jeffin tegas.
" …."
"Hm!"
"Tut"
Jeffin, melemparkan ponselnya ke atas ranjang. Diikuti oleh tubuhnya yang kekar ia hempaskan di atas ranjang empuk itu.
Jeffin menghela nafas panjang dan berat, ia terus memindai langit-langit kamar itu, dengan pikiran begitu membuatnya kebingungan.
Sekali lagi, Jeffin menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, bersamaan matanya yang terpejam. Sebelum terpejam, Jeffin mengungkapkan rasa rindunya kepada seseorang.
"Aku, merindukanmu sayang," bisiknya dengan diikuti deru nafas teratur.
Keesokan harinya, acara pernikahan Catherine dan Jeffin pun diadakan di sebuah rumah ibadah di desa itu. Disaksikan oleh sebagian warga desa yang sangat mengenali Catherine juga, buruh pemetik anggur nyonya Margaretha.
Terlihat raut wajah bahagia warga yang sangat mengenali sosok Catherine. Mereka, begitu antusias menyiapkan segala keperluan acara sakral antara Jeffin dan Catherine.
Mereka turut, mendoakan yang terbaik untuk Catherine, termasuk kebahagiaan untuk gadis yang sangat mereka kenal berhati mulia.
Mereka bersyukur, Catherine mendapatkan seorang pendamping yang sempurna. Dari segi, fisik, penampilan dan juga materi. Mereka, menganggap ini, adalah — sebuah keberkahan dari Tuhan, atas kebaikan gadis itu.
Catherine sendiri tidak hentinya memamerkan senyum bahagianya yang begitu menawan.
Meskipun rasa gugup menyerang seluruh aliran darah dalam tubuhnya, saat berdampingan dengan sosok pria berwajah datar dan dingin, apalagi — di saat mereka saling mengikrarkan janji suci pernikahan sambil saling bertatap wajah.
Catherine tidak bisa menahan rasa deg-degannya dan rasa gugup, ketika tangan kekar lembut dan hangat Jeffin menyematkan sebuah cincin pernikahan indah.
Bagi Catherine, cincin seharga selangit itu tidak penting, menurutnya, saat ini adalah… bisa menjadi istri seorang Jeffin William Abraham. Sosok pria yang sudah merebut hati dan cintanya. Hingga membuatnya tergila-gila akan sosok suaminya yang baru saja mengubah statusnya menjadi seorang istri.
Catherine bahkan tidak memperdulikan, saat… Jeffin meninggalkannya sendiri, ketika sang pemuka agama dan yang menjadi saksi berlangsungnya acara pernikahan mereka, untuk berciuman.
Raut wajah tidak enak dari warga yang berada di sana pun tak terpungkiri, mereka memandangi Catherine yang terus memamerkan senyum terbaiknya. Dan … memberikan alasan bijak kepada warga lain.
Bahwa, suaminya tidak menyukai urusan frivasinya dan tabu di pertontonkan. Para warga yang begitu menyayangi Catherine pun merasa lega.
Catherine hanya bisa mengerti akan sikap dan perilaku sang suami. Mereka baru saja bertemu dan segera menikah, mungkin suaminya belum terbiasa dengannya. oleh sebab itu, Catherine akan berusaha mendapatkan hati suaminya.
Jeffin sendiri sudah mulai muak dan jengah, berada di tengah-tengah, masyarakat desa — yang, yang menurutnya tidak pantas berada di sekitarnya.
Dirinya juga muak melihat wajah bahagia Catherine dan Jeffin sangat membencinya. Menurutnya, kebaikan Catherine semata-mata hanya tipuan belaka. Untuk menarik, simpati dan perhatian sang mommy. Wanita yang sangat menggilai sebuah status sosial dan materi.
Jeffin meninggal Catherine sendiri di tengah berlangsungnya acara pernikahan, ia merasa jijik berada di samping Catherine. Ia … muak. Dan ingin menghina gadis itu, yang sialnya, sudah menjadi istrinya sekarang ini.
Jeffin bersumpah, dalam hati. Akan membuat hidup Catherine menderita. Karena sudah membuat dirinya terpaksa menikahi gadis itu. Gadis… yang hanya bagaikan debu yang menempel di sepatunya. Begitulah, isi pikiran dan hati Jeffin sekarang ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!