NovelToon NovelToon

KIMCHI

1

Beberapa saat berlalu, Maura kembali menuju Aina yang masih berada ditempat awal. Gadis itu terlihat lebih lega, tak lagi meringis usai membuang yang terdesak.

"Kalau tidak tahan pedas ... kenapa memaksa terus makan? lihat sekarang ... perutmu sakit."ucap Aina sedikit cemas.

"Tapi aku suka, Aina."

"Suka kimchi atau orangnya?." Aina menyipitkan mata.

"Orangnya." Maura nyengir kuda."Tapi suka kimchinya juga. Cuma itu tadi terlalu pedas."

"Berterus terang lebih baik. Daripada menyakitimu. Deva pasti mengerti. Kalau tau kamu mulas begini, juga pasti akan merasa bersalah."

"Aku takut menyinggungnya." aku Maura. Teringat kembali ketika tadi dirinya yang terpaksa memasang wajah datar memakan kimchi pedas itu. Meski sejujurnya telinganya sudah hampir berasap. Itu semua ia lakukan demi mendapatkan hati sang Oppa. Beruntung saat itu beberapa pelanggan datang, hingga akhirnya ia mempunyai alasan untuk pergi.

Aina menghela nafas."Ini." ia menyodorkan kotak bekal itu pada Maura."Sebagai orang yang amanah aku akan tetap memberikan ini padamu."

"Kimchi lagi." jelas Aini kembali ketika Maura melihatnya dengan sorot tanya.

Maura tersipu.

"Mau dimakan lagi?." Aina memasang wajah mengancam seperti seorang ibu kepada anaknya.

Maura tergelak."Buat kamu aja."

"Kamu serius?." tanya Aina dengan ekspresi senang.

"Sebenarnya sih, aku mau. Tapi perutku kamu tau sendiri ususku memberontak. Enggak lucu kalau aku harus mondar mandir masuk kamar mandi kayak setrikaan tanpa kabel. Yang ada nanti malah pingsan karena perut kosong."

"Tapi aku senang sekarang Deva mulai menunjukkan perhatiannya padaku." Maura kembali duduk dengan wajah tersipu-sipu.

"Terus sekarang ikhlas enggak, nih kimchinya aku makan?."

"Ikhlas." Maura menyungging senyum."Udah, buruan dimakan. Nanti oppa Deva ku lihat, dia marah lagi."

Aina langsung membuka kotak bekal itu, memasukkannya kedalam mulut. Seraya mengunyah kimchi, ia sempat memperhatikan wajah Maura yang terlihat sangat bahagia.

____________

Suasana dimeja makan tercipta tawa usai ketiganya menyantap makan malam. Yang lebih terdengar adalah gelak tawa Damar, manakala Maura menjelaskan kepada sang kakak, Naomi, tentang mulas yang terus melandanya hingga membuatnya terpaksa pulang sebelum waktu pertukaran shift.

"Aku tidak sanggup membayangkan kalau saat itu pelanggan tidak datang. Bisa-bisa asap keluar dari dalam telingamu."ucap Damar kembali dibuat tergelak di akhir kalimat.

Sementara Naomi hanya bergeleng mendengar tingkah konyol sang adik.

"Itu namanya cinta buta, Maura." celetuk Damar seraya meredakan tawa."Lagi pula, sebagai wanita enggak seharusnya kamu mengejar-ngejar laki-laki. Biarkan Deva menyukaimu apa adanya."

"Benar kata Mas Damar, Ara. Malu ih." timpal Naomi menyetujui.

"Tapi respon oppa Deva lambat, mbak. Dia lebih banyak diam alias tertutup. Jadi ya sudah ... aku lakukan itu demi mengambil hatinya."

Naomi bergeleng pelan merasa gemas mendengar celetukan adik kesayangannya itu."Lain kali mbak minta jangan begitu, ya. Untung kamu nggak pingsan. Ingat dong ... asam lambung kamu parah."

"Sekarang serius sudah lebih baikan, kan?."tanya Naomi memastikan

Maura mengangguk pelan. Kerena memang tadi siang, sebelum benar-benar kembali ke rumah, ia menyempatkan diri mampir ke apotik. Dan langsung meminum obat yang diresepkan oleh dokter.

"Lagipula udah, deh ... Deva itu orangnya kalem, Dewasa. Mana mau dia sama cewek centil, ingusan kayak kamu."

"Kata siapa, Mas? buktinya tadi dia kasih aku kimchi lagi. Khusus buat aku, katanya."aku Maura dengan sombong."Dia memang enggak tau kalau aku enggak suka pedas. Tapi dari situ aku bisa tau, kalau dia mulai tertarik denganku."

"Cowok kan begitu kalau suka sama perempuan? suka kasih sesuatu. Iya, kan, mbak?" Maura melihat pada Naomi mencari pembelaan.

"Hahaha. Kepedean, kamu."Damar mencebikkan bibir

"Mbak, lihat itu Mas Damar ngeselin banget."ucap Maura dengan nada merengek hampir menangis.

"Mas ....!." Naomi membeliakkan mata pada suaminya.

Merasa puas mendapatkan pembelaan, detik itu Maura menjulurkan lidah, mengejek Damar.

"Kamu juga dulu begitu, Mas? Kamu sering kasih aku telur gulung pas lagi kuliah. Setiap kali aku ada kelas ... Eh, waktu aku masuk, tiba-tiba diatas mejaku pasti sudah ada tiga tusuk telur gulung."

"Dan itu kamu beli di kantin kampus. Kamu masih ingat, kan, Mas?."

"AHAHAHA!!." Maura tertawa terbahak-bahak."Telur gulung, mbak? serius? beli di kantin kampus?." pertanyaan yang sengaja diulang itu berhasil membuat Damar malu.

"Sayang, aku tidak pernah melakukan itu."sangkal Damar pura-pura lupa, kemudian beranjak dari duduknya, tak ingin pembullyan berlanjut.

"Yang benar? jadi siapa, dong."suara Naomi terdengar menggoda.

"Mantan kamu kali." sahut Damar sambil berjalan, meninggalkan kakak beradik yang terlihat mirip itu. Bukan hanya wajah yang hampir mirip. Tapi keduanya juga kompak untuk menyerangnya.

"Aku enggak ada mantan, Mas ... kamu cinta pertama dan terakhirku."

Sambil terus berjalan, Damar tersenyum mendengar celotehan sang istri yang terus mencoba menggodanya.

"Mending Oppa aku, dong. Makanannya lebih berkelas, Mas. Kimchi .....!"seru Maura tak ingin berhenti."Telur dadar. Hahahaha."

"Sayang ... apapun itu, aku cinta padamu!." seru Naomi kembali ketika tubuh tegap Damar hampir menghilang didinding pembatas dapur dan ruang tamu.

.

.

.

.

.

.

.

.

Jangan lupa like, komentar dan vote ya 🙏🙏

Oppa Saranghaeyo

Menjelang tengah malam, Naomi baru berhasil meninabobokan bayi tampannya yang masih berusia dua bulan. Ia hampir tertidur, tapi jemari kokoh yang menyusup perlahan kedalam piamanya membuatnya kesadarannya tertarik. Ia lantas mengulas senyum. Jemari kokoh itu semakin liar, ia tahu Damar sedang tak bisa menahan. Setelah beberapa malam lalu selalu saja gagal. Karena bayi tampan itu selalu terjaga. Dan hari ini, seperti waktu yang tepat menurut Damar. Ia tak ingin menyia-nyiakan waktu.

Damar memeluk erat tubuh Naomi dari arah belakang seraya memejamkan mata, menghirup harum segar dari rambut halus sebahu itu. Menyesap leher jenjang itu berkali-kali, hingga Naomi meremang. Ia lalu menarik pelan tengkuk sang istri, detik itu wajah keduanya menjadi rapat, bibir keduanya bertautan menggebu.

Damar kini memposisikan diri, mengungkung tubuh Naomi tanpa melepas pertautan yang semakin panas. Posisinya saat ini membuatnya dengan mudah untuk menikmati. Keduanya menyalurkan kemanisan yang tertanam dibibir masing, tak ingin berhenti seiring nafas keduanya yang semakin bergerak tak beraturan.

Naomi merasakan Damar begitu memburu. Dirinya bahkan sedikit kewalahan hampir tak bisa mengimbangi. Namun dirinya memahami. Ini karena masa nifas yang ia jalani hampir dua bulan lamanya sejak usai melahirkan bayi tampan mereka. Selama itu juga Damar harus berusaha menahan diri, meski berat. Saat ini, suaminya itu bak terbakar api gairah yang berkali-kali lipat panasnya. Engah demi engahan saling bertautan didalam kamar itu. Bersama peluh yang terus membanjiri tubuh.

Dikamar lain, Maura berjalan menuju jendela kamar yang masih terbuka dibalik tirai. Netranya seperti sulit terpejam. Wajah Deva terus bermain dipikiran. Tanpa sengaja, kedua bola matanya yang bulat menatap langit gelap dengan pemandangan langka. Sepasang bulan dan bintang saling berdekatan memancarkan cahaya masing-masing dengan sangat jelas. Indah ... ini sangat indah Maura mengagumi dalam hati.

"Kata orang, kalau bulan dan bintang berada pada posisi seperti ini, itu tandanya sebentar lagi akan ada yang akan menikah."

Tiba-tiba pikirannya mendadak kemana-mana.

"Oppa ... apa itu artinya sebentar lagi kamu akan menikahi ku?." Maura terkikik-kikik pelan sambil memeluk, dan menggigiti tirai jendela.

"Ah ... andai cerita cintaku seindah kisah cinta drama Korea." Maura masih berkhayal tinggi diatas awan. Namun sayup-sayup suara aneh tiba-tiba tertangkap daun telinganya.

Suara apa itu?

Kadang jelas, tapi terkadang pelan. Membuat Maura kesulitan mencari pada sumber suara, meski sudah menajamkan telinga. Apa jangan-jangan itu suara hantu? ya, mungkin itu suara mbak kunti lagi meringis jatuh dari ayunan. Hiiiiii.

Maura mendadak merinding. Gegas menjulurkan tangan ingin menutup jendela kaca. Tapi mendadak tangannya berhenti, ketika suara aneh itu semakin jelas. Kini Maura tau, suara aneh itu bersumber dari mana. Ya, itu adalah desah kenikmatan dari pasangan suami istri yang ada di kamar utama.

Astaga!!

Maura mendadak geli. Ia gegas menutup jendela kamar."Enggak bisa pelan dikit apa? biasanya juga tidak pernah kedengaran?." gerutunya sambil berjalan cepat menuju ranjang, menghempaskan tubuh kurusnya dengan kesal disana.

Beberapa saat Maura mengomel sendiri karena mendengar suara yang membuatnya risih, ketika itu tak lama suasana mendadak tenang. Suara nikmat itu tak lagi terdengar. Oh tidak, itu bukan suara kenikmatan bagi Maura. Menurutnya itu adalah suara yang menjijikkan. Tapi, rupanya kesunyian itu cuma sementara. Malam yang semakin senyap, kembali mengusik Maura dengan suara yang serupa. Bahkan kali ini lebih jelas. Gadis yang tak kunjung terpejam itu, memilih menutup kedua telinganya dengan bantal. Berguling-guling tak tentu arah, demi agar bisa tenang. Tapi suara kenikmatan itu terus menggerayangi otaknya, dan tak kunjung menguap.

"Aaaa ... aku ternoda!." Maura berteriak tertahan seraya menerjang-nerjangkan kedua kakinya di udara.

____________

"Ara!!"

"Ara ... bangun sayang!."

Itu adalah panggilan sayang Naomi pada adiknya yang manja. Dering alarm terus berteriak dari dalam kamar. Namun seseorang didalam sana tak kunjung keluar padahal waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi.

"Ara!." teriak Naomi sekali lagi.

Gadis cantik berkaus kedodoran yang tengah tertidur dari dibalik selimut tebal berwarna merah muda itu menggeliat. Netranya hampir terbuka tapi kelihatannya berat terangkat seperti ada yang mengganjal.

Ara!!

Teriakan Naomi sekali lagi, dan juga alarm yang menggelepar diatas nakas berhasil membuat gadis itu membuka mata.

"Iya ... mbak!." sahut Maura dengan malas bergerak menjangkau jam weker yang terus menggelepar mengeluarkan bunyi nyaring. Detik itu Netranya masih sedikit kabur mendadak terbelalak melihat jam yang sudah menunjukkan pukul setengah delapan lewat.

Bangun sayang ... ini sudah pukul setengah delapan!

"Iya, mbak ... aku bangun!." sahut Maura seraya meletakkan jam weker dengan asal lalu melompat dari ranjang. Berlari secepat kilat masuk kedalam kamar mandi.

Buruan!

Maura masih sempat mendengar suara sang kakak dari luar. Didalam kamar mandi, sambil terus membersihkan tubuh, gadis cantik ini terus menggerutu menyalahkan suara-suara tadi malam yang menganggunya sepanjang malam. Bahkan pukul tiga pagi, suara kenikmatan itu masih terus berlanjut bersahutan. Maura sampai-sampai tak ingat kapan dirinya baru benar-benar terlelap.

Dengan sedikit terburu-buru Maura memakai satu persatu pakaian. Ia lalu beralih pada meja rias berniat ingin memoles make up dengan sentuhan tipis di wajah. Meski sekarang hampir telat menuju restoran, dirinya tak ingin terlihat tampil kacau didepan sang pujaan hati. Tapi alangkah terkejutnya Maura ketika mendapati lingkar hitam yang menghias dibawah mata.

"Astaga, kenapa menghitam begini?." Maura mengucek-ngucek bagian bawah matanya."Ini membuatku terlihat seperti mayat hidup." ia berdecak pelan.

Ara!

Lagi-lagi suara Naomi memanggil.

Buruan, sayang. Ini sudah siang!.

"Iya, mbak. Sebentar!." sahut Maura seraya menyempatkan diri memakai bedak dan alat make up seadanya. Meski tetap itu tak mampu menyembunyikan lingkar hitam yang terlanjur menempel di wajah pucatnya.

Beberapa saat kemudian Maura turun kedapaur. Di meja makan, sudah terlihat Naomi dan Damar menyantap sarapan. Pasangan suami itu juga sedikit tak segar seperti dirinya. Tapi tidak, dirinya bahkan terlihat lebih kacau dengan lingkar hitam dibawah mata.

"Kamu pasti tidak sempat sarapan. Ini mbak buatin bekal untuk kamu." Naomi menutup kotak nasi dan memberikannya pada Maura yang masih berdiri.

"Makasih, mbak." Maura mengambilnya.

"Kenapa dengan matamu? kamu kurang tidur?."lingkar hitam itu rupanya menyita perhatian Naomi.

"Em ... ini ..."

Maura menggigit bibir bawahnya. Tak mungkin rasanya iya katakan hal konyol apa yang membuatnya hampir tak bisa tidur sepanjang malam.

"Sakit perut kamu kambuh lagi?." tebak Naomi cemas.

Mendadak latah, Maura bergelang. Tapi detik kemudian mengangguk.

Melihat itu Damar yang selesai menyantap sarapan dibuat tergelak."Sayang ... jangan percaya. Dia pasti begadang karena kasmaran. Aku yakin semalaman dia hanya memikirkan wajah si oppa."

Maura menyipitkan mata geram. Kasmaran gundulmu!

"Oppa ... oppa .... saranghaeyo. Oppa ... oppa." Damar beranjak seraya menari-nari kecil.

"Mas ... kamu itu, ya. Pagi-pagi sudah cari gara-gara." Naomi mengentikan kelakuan suaminya karena melihat wajah Maura yang kini hampir memerah. Seperti banteng yang sudah mengeluarkan tanduk siap menyeruduk mangsa.

"Baiklah sayang ... aku pergi dulu."

Naomi menyambut tangan sang suami lalu menciumnya, sementara Damar memberikan kecupan lembut di dahi dan pipi sang istri.

"Bye, sayang .... saranghaeyo." Damar menyilangkan kedua jarinya berbentuk hati pada sang istri seraya berjalan keluar.

"Oppa ... oppa ... saranghaeyo. Oppa ..." Damar sempat kembali bernyanyi dengan gerakan ala-ala pemuda K-Pop kepada Maura. Sebelum akhirnya berlari ketika Maura mengejarnya keluar.

.

.

.

Jangan lupa like, komentar dan vote. terimakasih. 🙏

Mayat Hidup

Damar buru-buru masuk kedalam mobil ketika Maura mengejarnya.

"Dasar kakak ipar nyebelin!!."

"Hahahaha." Damar hanya tertawa, terlihat dari kaca mobilnya yang sengaja dibuka.

Merasa kesal, Maura sempat menendang ban mobil Mercedes-Benz hitam keluaran terbaru itu sebelum masuk kedalam mobil butut pink miliknya yang sudah di modifikasi menjadi estetik. Tapi Maura dibuat bingung karena beberapa saat menyalakan mobil, mobil kesayangannya itu tak berniat menyala.

"Aduuuh, Chubby ... jangan mogok, dong. Please." Maura mengusap-usap stir mobilnya lembut "Ayo dong, nyala, ya. Aku udah telat, nih."rayunya pada benda mati yang ia beri nama chubby itu. Mobil VW Beetle dengan bentuk kecil dan unik itu sebenarnya adalah mobil peninggalan almarhum sang Ayah yang ia rawat dan jaga selama ini. Tak heran jika mobil antik itu masih terawat dengan body mengkilap.

Saat itu, Damar yang baru saja menerima telepon dari ponselnya, melihat pada Maura yang kebingungan didalam mobil.

"Kenapa? mogok lagi?."tebak Damar yang sudah hapal betul kebiasaan buruk mobil antik itu. Ini mungkin sudah hitungan yang ke 101 kali. Tapi gadis itu seakan tak pernah bosan.

Maura nyengir."Iya, Mas. Aku boleh numpang nggak?."

"Ya sudah."

Maura gegas turun dari dalam mobil kesayangannya dan masuk kedalam mobil mewah milik Damar.

"Bye, chubby. Kamu aku tinggal dulu, ya." ucapnya seraya menutup pintu mobil.

Damar bergeleng melihat itu."Sudah ... dimuseumkan saja. Mobil mbakmu nganggur di garasi, jarang dipakai. Kamu kan, bisa pakai itu."ucapnya seraya melajukan mobil perlahan.

"Selama masih bisa diperbaiki aku akan tetap pakai chubby, mas. Itu mobil kesayangan Bapak dulu. Kalau lihat Chubby, aku merasa Bapak seperti masih ada bersamaku."

Damar menghela nafas jengah."Terserah kamu saja lah."ucapnya akhirnya seraya fokus melihat jalan yang padat merayap di tengah kota.

Hening sesaat.

"Mas, boleh tidak aku pinjam buku resep masakanmu?."ujar Maura tiba-tiba tanpa ragu.

"Buat apa?." Damar melihat sekilas.

"Enggak apa-apa. Belakangan ini aku tertarik masakan Korea. Jadi pingin belajar."

Damar berkerut dahi."Jangan bilang ini karena si oppa kamu itu, ya?."

Maura bergelang cepat."Itu alasan kedua. Alasan pertama, aku pingin seperti mas Damar. Jadi pengusaha kuliner Korea terkenal."

"Dulu almarhumah ibu juga punya warung sederhana, Mas. Ibu itu pintar masak. Sama kayak aku. Hihihi." Maura terkikik pelan di akhir kalimat.

"Kayak kamu?." ucap Damar tak yakin.

"Iyalah ... gini-gini aku alumni jurusan tata boga. Tiga tahun belajar memangnya mas pikir aku nggak punya ke ahlian memasak." Maura sedikit meninggikan suara, ketika mulai merasa di remehkan.

"Mas saja ... menerimaku sebagai karyawan tapi diposisikan sebagai kepala pelayan."sambungnya kini dengan wajah cemberut.

"Lumayan dong, kepala pelayan. Dari pada jadi tukang bersih-bersih."

"Tapi itu penghinaan, Mas. Aku punya sertifikat kelulusan tata boga. Masa cuma di jadikan pelayan restoran. Jadi asisten chef kek. Hitung-hitung aku bisa belajar lagi."

Damar manggut-manggut."Oke, baiklah. Itu bisa dipikirkan."

Maura seketika berbinar."Mas Damar serius?."

"Untuk beberapa hari ini, bekerjalah dengan baik. Sebelum pikiranku berubah lagi."ucap Damar tanpa melihat, sambil terus mengemudi pelan mengingat jalanan yang padat ditengah ramainya orang-orang yang hendak beraktivitas.

"Aaa ... makasih, Mas." Maura terus tersenyum saking bahagianya.

"Sebenarnya kalau untuk makanan Indonesia, masakanmu tidak begitu buruk."kata Damar mengingat beberapa kali mencicipi masakan Maura ketika di rumah."Tapi kalau masakan Korea ... nilaimu masih jauh."

"Ya jelas lah, Mas ... waktu kuliah, kan aku hanya belajar masakan Indonesia saja. Masakan Korea hanya beberapa. Itu pun cuma nyelip sedikit di otakku." jelas Maura yang kini melihat ke depan.

"Kalau ingin belajar masakan Korea, kenapa tidak kursus di Korea saja? bisa ambil yang satu tahun, setengah tahun, bahkan yang tiga bulan juga ada."sambung Damar seraya terus mengemudi dengan hati-hati.

"Disana lebih fokus, penjelasan lebih detail. Dan kamu pasti gampang memahaminya."

"Sebenarnya aku sudah membahas ini dengan mbak Naomi. Dan mbak Naomi setuju."jelas Maura kemudian, mengingat percakapannya dengan Naomi usai menyantap makan malam, tadi malam.

"Bagus, dong. Apalagi?." Damar memberi semangat."Soal biaya, nanti mas dan mbakmu yang nanggung. Kamu tenang saja."

"Kalau kamu serius mau belajar, kamu pasti bisa jadi pengusaha kuliner yang hebat." Damar memungkasi.

"Makasih ya, Mas." Maura tersenyum penuh semangat."Sekarang aku juga sudah mulai menyiapkan syarat-syarat pendaftaran."

Damar manggut-manggut pelan.

"Tapi catatan resepnya aku boleh pinjam kan, Mas?." tanya Maura mengulangi, karena tadi Damar memang belum menjawabnya.

Damar bergelang."Buku itu tidak akan aku pinjamkan pada sembarang orang. Hanya orang-orang terpilih yang bisa melihatnya."

Mendengar itu Maura menekuk bibir kecewa. Kakak iparnya ini memang selalu berubah-ubah. Kadang baik, kadang menyebalkan. Bahkan keduanya kerap seperti anak kecil yang suka mengejek. Beruntung dalam hal itu selalu ada Naomi yang menengahi.

Maura melihat jam tangan kulit yang melingkar ditangan kurusnya. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan lewat lima belas menit. Ia merasa ingin cepat-cepat segera sampai. Pasti saat ini restoran telah dibuka.

Damar sedikit menepikan mobilnya, membuat Maura heran karena tempat mereka berada saat ini bukan lah pelataran restoran. Melainkan komplek perumahan elit."Sebentar, ya. Tadi mbak Aira telpon. Dia mau nebeng ... katanya mobilnya lagi di servis."

Maura tak berniat menjawab. Mendengar nama wanita itu, rasanya ia tak suka. Gerak gerik Aira seperti menyimpan sesuatu yang lebih pada sang kakak ipar. Dalam hati ia berharap semoga itu hanya perasaannya saja. Mungkin karena keduanya telah bersahabat sejak lama.

Tak lama, Aira keluar. Wanita cantik, dengan rambut ikal terurai dan selalu terlihat modis itu semula hendak membuka pintu disamping kemudi. Namun urung karena melihat keberadaan Maura yang duduk dengan santai seperti tak ingin beranjak. Ia akhirnya memilih melangkah membuka pintu belakang.

"Maaf membuat kalian menunggu."ujar Aira tidak enak.

"It's okay, Aira."

"Buruan, Mas. Aku sudah terlambat." kata Maura kemudian. Dapat ia lihat dari kaca mobil, wajah sendu Aira berubah sungkan.

"Iya, bawel!." celetuk Damar seraya melajukan perlahan mobilnya."Ini sekarang kok aku jadi kayak taksi online, ya.?"

Mendengar itu Aira terkekeh pelan. Sementara Maura yang moodnya mendadak berubah hanya memasang wajah datar.

Beberapa saat berlalu, mobil Mercedes-Benz itu telah sampai di pelataran Nara House. Maura gegas turun. Ketika hendak masuk, ia sempat memperhatikan wajahnya melalui kaca kecil yang baru ia raih dari dalam tas.

Rupanya itu sempat dilihat oleh Damar. Pria itu hanya bergeleng konyol.

Sementara Aira tertawa pelan."Kenapa dia? lingkar matanya hitam begitu?."

"Biasa ... kasmaran. Mikirin cowok tidak tidur semalaman." sahut Damar santai seraya melajukan kembali mobilnya menuju Alga Karya. Perusahan sang Papa yang baru-baru ini dikelola olehnya.

Aira kembali tertawa renyah."Yah ... begitulah wanita."

"Apa kamu juga begitu?."

"Tentu saja." sahut Aira lagi seraya melihat kesamping jendela.

"Aku tidak tau siapa pria yang mengganggu pikiranmu, hingga sulit tidur tiap malam. Tapi sebaiknya jangan begitu. Itu bisa mengganggu kesehatan."

Aira manggut-manggut dengan senyum tipis.

_

_

_

Jangan lupa Like, komentar dan Vote ya🙏

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!