Wilson Alexander Hovers, pebisnis muda yang namanya sudah menjadi headline di situs berita, baik media cetak ataupun media online. Bisnisnya yang sudah menyebar sampai ke luar negeri serta omset yang mencapai ratusan triliun menjadikannya sebagai salah satu pebisnis yang kekayaannya diakui oleh negeri sendiri. Bisnis yang dijalankan Wilson adalah salah satu usaha yang dapat menaikkan ekonomi negaranya— Amerika Serikat.
Di zaman canggih sekarang, di mana ponsel sudah menjadi rajanya dunia, mustahil jika orang-orang tidak tahu siapa Wilson Alexander Hovers. Dari ujung sampai bertemu ujung, baliho dengan wajah Wilson selalu terpampang nyata. Tak jarang, ada turis yang berhenti di depan baliho dan meminta temannya untuk mengabadikan dirinya bersama baliho Wilson. Popularitas Wilson setara dengan popularitas idol-idol yang namanya sudah mendunia. Bagi sebagian kaum pebisnis, Wilson Alexander Hovers adalah pionirnya para pengusaha muda. Bayangkan saja, di umurnya yang baru menginjak tiga puluh tahun, dia sudah menjadi orang terkaya pertama di New York dan orang terkaya kelima dari seluruh dunia.
Jika wanita-wanita muda dan masih lajang ditanya tentang “Siapa tipe pria idealmu?” Sebagian besar dari mereka pasti akan menjawab, “Wilson Alexander Hovers.” Karena memang kenyataannya Wilson patut dijadikan kriteria tipe ideal—visual bak lukisan hidup dan uangnya yang tak akan pernah habis, sukses membuat para wanita menjadi histeris. Siapa pun pasti ingin memiliki Wilson, si pria yang dianugerahi dengan seratus persen kesempurnaan.
Sayangnya, jari manis Wilson sudah terisi dengan sebuah cincin berbahan dasar emas murni yang harganya tak usah disebutkan lagi—saking mahalnya. Pria berpredikat sempurna itu sudah ada yang punya, sudah terikat oleh janji suci yang sudah diloloskan oleh bibir tipisnya lima tahun silam.
Maureen Cruz, si wanita cantik yang lima tahun silam ikut mengucapkan janji suci di atas altar bersama dengan Wilson. Bagaikan pasangan yang sudah digariskan oleh takdir, dua orang dengan visual sempurna tersebut selalu berhasil membuat siapa saja yang melihat merasa iri. Berita pernikahan mereka lima tahun lalu sungguh menggemparkan masyarakat New York sekaligus meluluhlantakan hati para wanita lajang yang mengincar. Sayangnya, dari banyaknya wanita, hanya ada satu wanita yang beruntung dan dapat memiliki Wilson seutuhnya, dialah Maureen Cruz.
Tidak ada kisah dramatis seperti Cinderella ....
Pertemuan antara si kaya dan si miskin, ataupun kisah perjodohan klise yang selalu tampak di beberapa drama, mereka bertemu dan menikah murni karena sudah lama kenal. Kedua orang tua mereka sudah bersahabat, pernah merintis kerjasama antar perusahaan, sebab itulah dua pasangan fenomenal ini dapat bertemu dan saling mengikat diri.
“Wil, apakah menurutmu gaun ini cocok untuk kukenakan?” Maureen berbalik, memperlihatkan gaun merah darah selutut tanpa lengan. Gaun mahal yang sangat cantik—hadiah yang sempat Wilson berikan sewaktu perayaan hari pernikahan mereka dan pantas Maureen kenakan. Wilson tersenyum semringah dengan kepala yang terangguk ke atas dan ke bawah. Tak lupa juga ia mengacungkan jempolnya guna memberi isyarat jika gaun merah tersebut sangat pas dikenakan malam ini.
“Jujur, kau cocok mengenakan segala jenis pakaian karena kau cantik.” Wilson melemparkan pujian yang sukses membuat Maureen tersenyum malu. Tak main-main, visual istrinya ini memang memukau, bak boneka hidup. Dulu saja, sebelum mereka menikah, banyak pria yang mengincar Maureen. Semuanya terpesona akan kecantikan dan keimutan yang seperti anak anjing. Begini, pria sekelas Wilson, yang seleranya tinggi saja terpana dan memuja, apalagi pria lain di luar sana yang menetapkan standar kecantikan sebagai prioritas utama seorang wanita?
“Kalau begitu, Tuan Hovers yang terhormat, bisakah kau keluar sebentar? Istrimu ini ingin berganti pakaian,” celetuk Maureen dengan tawa yang ditahan. Ia selalu saja memperlakukan Wilson seperti seorang raja dan hal tersebut membuat suaminya sedikit kesal. Pria itu tak suka saat mendengar suara Maureen yang merendahkan diri, seolah-olah dia dibayar untuk melayani Wilson.
Wilson bersidekap, tetap tak mau mengangkat bokongnya dari atas ranjang. “Ganti di sini saja, Tuan Putri. Lagipula kita sudah sah secara hukum dan agama. Aku saja sudah pernah menguasai seluruh tubuhmu. Jadi, untuk apa aku keluar, hmm?” Pelan, tetapi terdengar, Wilson dapat menangkap suara decakan dari sang istri dan mulai tersenyum lebar.
Karena Wilson adalah pria yang keras kepala, mau tak mau Maureen pun segera menanggalkan seluruh pakaiannya dengan Wilson yang masih berada di belakangnya. Tak masalah juga karena mereka memang sudah sah. Namun, rasa malu itu memang nyatanya sudah mendarah daging. Walau status mereka adalah suami istri, tetap saja membuka pakaian di hadapan Wilson akan membuat wajahnya memerah karena tak sanggup menahan malu.
Sebenarnya, hanya dengan melihat istrinya berganti pakaian saja sudah membuat sesuatu di bawah sana sedikit menegang. Namun, mengingat jika kehadiran mereka sudah ditunggu oleh keluarga Hovers—orang tua Wilson—pria itu tidak bisa berbuat macam-macam, hanya bisa menarik dan mengembuskan napas serta mulai kembali berpikir jernih.
“Wil, bisa tolong tarik zipper-nya?" pinta Maureen, ia selalu saja kesusahan dalam hal ini. Tak ayal pula, Wilson selalu siap untuk membantu istrinya. Buru-buru pria itu beranjak dari posisi duduknya dan mulai menarik zipper gaun merah tersebut. Hingga akhirnya manik mata mereka saling bersirobok lewat pantulan cermin.
"Kau cantik, cantik sekali. Aku beruntung memilikimu, Maureen," bisik Wilson tepat di telinga Maureen, yang sukses membuat wanita itu merasa geli. Kini, mereka sudah tak terpisahkan oleh jarak lagi karena kedua tangan Wilson sudah bertengger mesra di perut rata istrinya, tak lupa dengan dagu yang ia letakkan di pundak kanan Maureen.
Telapak tangan Maureen perlahan terulur guna mengusap lembut punggung tangan Wilson yang melingkar manis di perutnya. Entah kenapa, malam ini ia diliputi perasaan tidak enak, seolah-olah tidak ingin pergi ke kediaman orang tua Wilson. Seperti ada sesuatu yang menyelimuti hati kecilnya, pun bibirnya mulai meloloskan sebuah pertanyaan, "Wil, kira-kira apa yang ingin orang tuamu bicarakan?"
***
Suasana hening menyelimuti acara makan malam bersama hari ini. Tak biasa, sebab kedua orang tua Wilson selalu punya banyak bahan pembicaraan. Namun, malam ini, entah kenapa—suara sendok dan piring yang saling berbenturan sudah seperti backsong yang mengiringi acara makan malam.
Nyonya Hovers menyudahi kegiatan makanya, ditutup dengan gerakan mengusap mulutnya dengan sapu tangan yang sudah disediakan.
Wanita paruh baya tersebut menyesap minumannya sebelum akhirnya menatap Wilson dan Maureen dengan nanar. Tak berapa lama, pandangannya mulai teralihkan ke arah sang suami guna meminta persetujuan untuk mengutarakan maksud hati. Setelah anggukan berhasil ia kantongi, Nyonya Hovers pun mulai berkata, "Wilson, menikahlah lagi," papar nyonya Hovers yang sukses membuat Wilson tersedak serta Maureen yang berhenti mengunyah.
"Apa maksud Mommy berkata seperti itu?" tanya Wilson tak suka. Untuk apa ia menikah lagi jika di sisinya sudah ada sosok perempuan yang mampu memberikannya kebahagiaan?
"Mau sampai kapan kalian berdua hidup seperti ini? Sampai kapan kalian berdua ingin menutup mata dan telinga dari kenyataan bahwa sebenarnya Maureen itu mandul?!" ujar nyonya Hovers, menyadari kedua orang tersebut dari kenyataan pahit yang sudah susah payah dihapus dari ingatan.
Dua tahun lalu, di usia pernikahan mereka yang ketiga, Wilson dan Maureen pergi ke rumah sakit untuk memeriksa kesuburan mereka. Kedua orang tersebut merasa aneh karena sampai saat itu mereka belum juga dikaruniai seorang buah hati padahal mereka sudah sering meluangkan waktu masing-masing hanya untuk sekedar bercinta. Perkataan dokter yang dengan lugasnya segera mendiagnosa bahwa sudah terjadi kerusakan pada tuba falopi pun membuat Maureen tak bisa meredakan tangisnya dan jatuh sakit selama seminggu penuh.
Kenyataan pahit, bahwa dirinya sama sekali tidak bisa memiliki anak sudah Maureen tanam dalam diri. Namun, Wilson tidak pernah menyerah. Pria tersebut masih terus berharap jika suatu saat Tuhan akan memberikan mereka sebuah keajaiban. Namun, nampaknya sampai detik ini, harapan yang mereka elukan adalah bukti nyata dari kesia-siaan.
Pasangan tersebut sudah menyerah dan tak berharap lagi untuk memiliki seorang anak. Bahkan mereka berdua sudah berpikiran untuk mengadopsi bayi dari sebuah panti asuhan—di mana Wilson adalah salah satu donatur tetapnya.
"Sadarlah, Wilson, kau perlu penerus. Sampai kapan ingin terus berpura-pura seperti ini?" sahut nyonya Hovers lagi, sedangkan tuan Hovers hanya mampu diam. Tak enak untuk memaksa anaknya untuk menikah lagi.
"Aku tidak mau—"
"Kami akan mendiskusikannya, Mom," sambar Maureen, memotong perkataan suaminya sendiri. Selama Wilson dan mertuanya saling sahut menyahut, Maureen tak bisa berhenti berpikir tentang perkataan nyonya Hovers. Hingga akhirnya bibirnya sukses meloloskan kalimat yang Wilson pun tak percaya jika istrinya mampu mengatakan hal itu.
Bersambung ....
Tadinya mau kasih judul dengan Wanita Seratus Juta, tapi nggak jadi karena menurutku seratus juta dolar itu terlalu banyak.
Lebih baik aku kasih visual atau kalian yang hayalin sendiri?
"Wilson Alexander Hovers, dengarkan aku dulu," pinta Maureen, tangannya hendak menggapai lengan Wilson. Dan di saat ia sudah berhasil meraihnya, Wilson menepis tangannya, membuat genggaman yang tidak kuat terlepas dalam hitungan detik.
"Wilson! Aku ingin bicara dan dengarkan aku! Jangan kira kalau kau mengabaikanku maka keputusan yang aku ambil di rumah orang tuamu berubah!" pekik Maureen, langkahnya terhenti dan kemudian disusul dengan langkah Wilson yang juga ikut berhenti. Dapat Maureen tangkap jika kedua tangan Wilson membentuk sebuah kepalan kuat yang menandakan jika suaminya itu benar-benar marah.
Tak berapa lama, tubuh Wilson berbalik. Ia menatap Maureen tajam dengan binar mata yang mengisyaratkan kekecewaan. "Atas dasar apa kau menyetujui perkataan orang tuaku? Maureen Cruz, mengatakan itu adalah hal mudah, sangat mudah. Tapi melakukannya? Kau kira melakukan itu semudah mulutmu berkata? Tidakkah kau berpikir apa yang akan terjadi di masa depan nanti?!" ucap Wilson marah, nada bicaranya meninggi, sungguh menjelaskan bahwa dirinya tengah marah saat ini. Wilson yang biasanya selalu berbicara dengan penuh lemah lembut terhadap Maureen, tetapi kini, tepatnya beberapa detik lalu, ia berbicara dengan nada tinggi. Membuat segaris luka di hati Maureen karena mendengar bentakan dari suaminya.
Maureen mudah sekali menangis, sebab memang pada dasarnya ia dilahirkan sebagai gadis lemah yang cengeng. Akan tetapi untuk sekarang, ia harus menahan air matanya agar tetap berada di pelupuk mata. Tidak, tidak, likuid itu tidak boleh terjun bebas sekarang, karena saat ini ia tengah berhadapan dengan suaminya, Wilson Alexander Hovers. Suasana juga tidak sedang kondusif jika ingin menangis. Yang harus Maureen pikirkan sekarang adalah 'masalah ini'. Masalah yang jika disinggung akan membuat seorang Wilson naik pitam.
"Wilson, kumohon jangan bicarakan ini dengan emosi, bisa kan? Kita bisa membicarakannya dengan baik-baik, mendiskusikannya bersama sampai akhirnya bertemu dengan titik ujung yang tepat—"
"Tidak bisa!" potong Wilson dengan tangan yang kemudian mengusap wajahnya kasar. Harus berapa kali ia mengatakan pada Maureen jika ia tidak menyukai rencana orang tuanya? Mereka sudah berdebat di dalam mobil tadi, dan sekarang Wilson terlalu malas untuk memulai perdebatan kembali. "Terserah kau mau mengatakan apa, aku tidak peduli," lanjutnya dengan tubuh yang mulai berbalik.
Tidak lama sesaat setelah Wilson melangkahkan tungkainya, Maureen kembali berucap dengan nada yang tak kalah dengan seruan Wilson beberapa menit lalu.
"Wilson Alexander Hovers! Aku mandul! Aku tidak bisa memberimu seorang anak! Sedangkan kau tidak bisa menolak fakta bahwa kau juga butuh penerus! Kau bilang di tahun pertama kita menikah dulu, bahwa kau sangat tidak sabar ingin melihat rumah besar ini dikelilingi oleh anak-anak kecil yang lucu. Tapi apa yang kau dapat, Wilson? Kosong! Hanya kekosongan!" Tidak tahan, Maureen menangis. Bunyi lutut yang terbentur lantai membuat tubuh Wilson berbalik. Tak sanggup melihat istrinya menangis, Wilson pun segera menghampiri Maureen, berjongkok dan kemudian mendekapnya dengan penuh kasih sayang.
Tak disangka, seorang pria tangguh seperti Wilson juga bisa menangis. "Maureen, tidak apa jika Tuhan tidak bisa memberi kita buah hati. Asalkan aku bersamamu, semuanya akan baik-baik saja," ungkap Wilson, berusaha mati-matian untuk menahan tangisnya.
Kepala Maureen menggeleng pelan, dihapusnya air mata yang telah membanjiri pipinya dengan punggung tangan. "Tidak Wil, jangan menipuku. Kau sama sekali tidak baik-baik saja," balas Maureen dengan jari yang sudah menari di pipi Wilson guna menghapus air mata suaminya yang mengalir sia-sia karena meratapi nasib.
"Maureen ...."
"Wilson, menikahlah lagi. Demiku, demimu, dan demi nama besar keluarga Hovers," pinta Maureen, sengaja memotong perkataan Wilson beberapa detik lalu.
"Sekali lagi aku tanya padamu, Maureen, agar kelak di masa depan penyesalan tidak akan terjadi. Maureen, kau yakin dengan semua ini? Mau menanggung risikonya tanpa menyalahkan siapapun? Mau menanggung segala rasa sakit hati jika aku bersetubuh dengan wanita lain hanya demi menghasilkan seorang anak?" tanya Wilson, menatap lekat-lekat istri cantiknya.
Agak menyakitkan, tetapi harus segera dituntaskan, Maureen menganggukkan kepalanya mantap. Di dalam hati ia berjanji akan menerima semuanya dengan lapang dada.
***
"Kenapa kau mencari wanita di klub malam, Hovers? Di luar sana, masih banyak wanita cantik dengan latar belakang yang baik. Bahkan aku sudah menyodorkanmu sepuluh foto wanita kenalanku." Leo bercelatuk layaknya burung beo, tak menerima jika Wilson mencari wanita di sebuah kelab malam. Leo, tidak, terkhususnya semua orang, memiliki stereotipe tersendiri pada seorang wanita yang setiap harinya selalu keluar masuk dari dalam kelab malam—sekalipun mereka tak melakukan apa pun.
"Berhentilah memanggilku dengan sebutan marga. Kau kira marga Hovers hanya punyaku?" sungut Wilson tak terima. Kaki tangannya ini—Leo Zhang—selalu memanggil dirinya dengan sebutan marga keluarga dan Wilson agak tidak menyukainya.
"Lagipula marga Hovers hanya dipakai oleh orang-orang yang terlahir dengan garis darah biru sepertimu. Margamu tidak bisa disandingkan denga margaku yang pasaran dan bisa ditemukan di mana pun," balasnya seraya terus mengikuti Wilson. Hubungan Leo dan Wilson bukan hanya sekedar atasan dan bawahan, melainkan sudah seperti saudara beda orang tua. Awalnya mereka bertemu saat duduk di bangku kuliah, menjadi dekat hanya karena memiliki hobi yang sama, sampai akhirnya Leo dipercaya menjadi kaki tangan Wilson.
Leo juga cukup berguna bagi orang sibuk sekelas Hovers ini. Di kala Wilson tengah malas mengikuti rapat, Leo selalu ada untuk menggantikan posisinya. Katakan saja Leo adalah bayangannya Wilson Alexander Hovers.
"Tapi hei, kau belum menjawabku untuk pertanyaan yang pertama!" sergah Leo seketika sadar Wilson belum mengeluarkan jawabannya. Wilson adalah orang baik-baik. Jarang, malah bisa dikatakan hampir tak pernah pergi ke kelab-kelab malam. Terlalu workaholic sampai lupa waktu, dan hanya Maureen yang mampu mematahkan pujaan Wilson terhadap dunia kerjanya. Wajar jika Leo terkejut dan bertanya kenapa Wilson mau mencari wanita dengan latar belakang tidak jelas.
"Asal kau tahu Leo, yang aku dan Maureen inginkan hanya seorang anak. Lagipula ini hanya semacam pernikahan kontrak. Setelah dia melahirkan anakku, maka hubungan kami selesai. Jadi, aku tidak tega mengontrak wanita baik-baik di luar sana," jawab Wilson, menatap Leo sesaat lalu melanjutkan langkahnya.
"Tapi Wil—" Leo menghentikan langkahnya kala sadar jika sekarang Wilson tengah berhenti di hadapannya. Hampir saja ia memukul pria itu jika saja pendengarannya tidak menangkap suara berisik dari depan sana, bertepatan di sebuah meja bar.
"Lihat wajahnya! Dia cantik! Bayar aku berapapun, maka wanita ****** ini akan jadi milikmu," ucap si pria brewokan sembari menarik lengan seorang wanita agar wajah cantiknya dapat terlihat jelas.
"Charlie, kumohon jangan jual aku," ringisnya dengan suara yang amat kecil. Namun, yang Charlie lakukan hanyalah tersenyum menyeringai.
Veila Amor rasa jika hidupnya sudah benar-benar hancur sekarang. Lima tahun yang lalu, ibunya meninggal dunia, mengharuskan Veila terpaksa tinggal bersama dengan ayah tirinya yang notabenenya adalah seorang pengangguran dan juga penjudi. Dari mana sang ayah mendapatkan uang? Tentu saja dari hasil menjual seluruh barang yang ada di rumah—termasuk menggadaikan rumah mamanya yang dibeli dengan susah payah, hasil jerih keringat sendiri.
Veila tidak tahu di mana keberadaan ayah kandungnya, sebelum ibunya meninggal, ia baru tahu sebuah fakta bahwa dirinya adalah anak yang lahir karena insiden memilukan. Sang ibu diperkosa oleh sekelompok pria mabuk saat pulang bekerja di malam hari. Sungguh, mendengarnya saja sudah membuat dada Veila tersa sesak. Untuk itu, saat ibunya tengah bercerita, memberitahu Veila sebuah kebenaran yang menyakitkan, wanita itu meminta sang ibu untuk tidak melanjutkan ceritanya.
Setelah ditinggal ibunya, Veila Amor adalah tulang punggung keluarga. Selepas tamat SMA, Veila memilih untuk langsung bekerja. Melamar sana sini dengan berbekal ijazah SMA di tangan. Namun, sayang sekali, Veila selalu ditolak dengan alasan pendidikan yang tidak memenuhi syarat. Hingga akhirnya, wanita itu memilih bekerja sebagai pelayan di sebuah cafe kecil yang berada di pusat kota yang owner-nya adalah seorang pria tampan, Charlie.
Karena sering bertemu, timbullah benih-benih cinta di antara mereka berdua. Tidak, hanya di hati Veila saja karena tanpa wanita itu ketahui, Charlie adalah salah satu lelaki bejat yang bersembunyi di balik topeng baiknya. Charlie, pria yang menumbuhkan kumis tipis tersebut bisa dikatakan mirip dengan ayah tirinya, hanya saja, Charlie tak pernah menyentuh meja judi. Dia lebih suka bermain wanita, base-nya berada di salah satu kelab malam di pusat kota. Saat itu, Veila menyetujui ajakan Charlie untuk berpacaran tanpa tahu latar belakang pria itu seperti apa. Oh, satu lagi. Charlie suka menjual wanita-wanita lemah yang bisa dia perdayai, contohnya saja, Veila.
Dan sekarang, di sinilah Veila berada. Di sebuah kelab malam yang rata-rata di dalamnya berisi petinggi-petinggi negara yang lelah akan tugas serta lelaki hidung belang yang haus akan nafsu ****.
"Lihat wajahnya! Dia cantik! Bayar aku berapapun, maka wanita ****** ini akan jadi milikmu," ucap si pria brewokan sembari menarik lengan seorang wanita agar wajah cantiknya dapat terlihat jelas di gelapnya kelab malam.
"Ya ... dia memang cantik. Jadi, dari harga berapa kau membuka penjualan ini?" tanya seorang pria yang terlihat sudah berumur—rambut putihnya sudah mengisyaratkan jika pria itu sudah mempunyai anak. Veila segera membuang pandangan saat pria tua itu melirik nakal ke arahnya. Kenapa jalan hidupnya sesulit ini? Tidak bisakah ia hidup tenang seperti orang lain? Tak perlu melakukan hal-hal besar untuk membuatnya bahagia, hanya dengan dapat uang untuk makan tiap harinya saja ia sudah bahagia.
Charlie mengamati tubuh Veila dari atas sampai bawah. Terlalu ceking dan tidak mempunyai body seperti gitar Spanyol, mungkin orang-orang ini hanya akan menggunakan dalam sekali pakai, sehabis itu dibuang. Pikirkan saja, siapa yang mau bercinta dengan wanita tepos seperti Veila?
"Bagaimana jika kita mulai dari 50 ribu dolar?" tawar Charlie, membuat kedua pupil mata Veila membesar. Hatinya benar-benar sakit saat Charlie menawari dirinya lima puluh ribu dolar. Dirinya yang ia rawat baik-baik selama dua puluh enam tahun harus berakhir hancur di tangan pria yang pikirannya hanya berada di ************.
"Aih, untuk wanita sekurus ini kau hargai 50 ribu dolar? Tidak, tidak, bagaimana jika empat puluh ribu dolar saja? Wanita seperti dia hanya enak digunakan sekali pakai!" tolak pria tua itu dengan tangan yang sengaja dikibas-kibaskan.
Mendengar itu, Charlie berdecak tak terima. "Biarpun kurus, tetapi dia memuaskan! 50 ribu dolar, kau boleh mengambilnya!"
"Bagaimana jika 20 ribu dolar? Aku akan mengambilnya dengan percuma jika dihargai segitu," tawarnya lagi. Sedangkan Charlie semakin gusar karena si pria berumur ini kerjanya selalu menawar dan menawar. Charlie jadi curiga jika pria tua ini tidak punya uang banyak untuk membeli Veila.
"Tidak bisa. Jika mau, 30 ribu dolar berikan padaku!" kata Charlie kesal dan tetap bersikukuh dengan harga lima belas juta dolar.
Si lelaki tua tersebut pun menghela napasnya dan berkata pasrah. "Baiklah, 30 ribu dolar." Setelah mengucapkan itu si pria tua mengeluarkan lembar ceknya dan mulai menuliskan nominal sebesar yang sudah disepakati dan langsung memberikannya dengan percuma pada Charlie.
Mendapati jika Charlie tak lagi menggenggam erat pergelangan tangannya. Veila segera berjalan mundur, hendak kabur dari sini. Hingga akhirnya, ia segera berbalik dan diam-diam mulai berlari.
"30 RIBU DOLARKU KABUR! Hoi, Charlie, tangkap dia!" pekik pria tua itu, menunjuk Veila yang kini tengah berusaha menembus lautan orang-orang yang tengah bergeliat seperti ulat mengikuti irama musik.
Charlie berdecih, bola matanya memancarkan api kemarahan, Veila berani kabur darinya, mempermalukannya saat tengah bertransaksi. "Cih, sialan!" umpatnya sembari berlari untuk menangkap Veila.
Veila yang awalnya masih berlari, kini harus rela terseret ke belakang saat rambutnya ditarik paksa oleh Charlie. Ya, dalam sekejap, Charlie bisa menangkap si wanita lemah ini. Dibaliknya tubuh Veila kemudian sebuah tamparan ia layangkan ke pipi kanannya, membuat Veila jatuh tersungkur di lantai. Orang-orang sekitar? Tidak ada yang peduli dengan kekerasan yang Charlie perbuat, mereka terlalu sibuk dengan dunianya.
Setelah puas menampar Veila, Charlie pun segera menarik kasar lengannya, memaksa si wanita untuk berdiri tegak. Ia diseret, hendak dibawa kembali menuju lelaki tua yang sudah membelinya seharga 30 ribu dolar. Perjuangan Veila untuk kabur tak sampai di situ, berkali-kali ia mencoba menarik diri agar genggaman menyakitkan itu bisa lepas. Hal itulah yang membuat Charlie semakin geram dan akhirnya memukul kepala bagian belakang Veila, dan berakhir dengan si wanita yang kehilangan kesadaran.
"Jika kau menurut, aku tidak akan kasar padamu, Sayang," gumam Charlie dengan penuh penekanan dan mulai menggendong tubuh Veila. Di tengah-tengah perjalanannya, sesosok pria bersetelan rapi berhenti tepat di depan dirinya, tangannya bersidekap, tatapannya menelisik penampilan Charlie dengan seksama.
"Minggir, jangan halangi jalanku," ujar Charlie cepat karena ia tak punya waktu untuk meladeni pria berpakaian rapi dan mahal ini. Dirinya harus segera membawa Veila menuju lelaki tua tadi, pelanggannya.
"Seratus ribu dolar, berikan aku padanya maka uang ini akan menjadi milikmu," tuturnya—Wilson Alexander Hovers—seraya memberi isyarat agar Leo membuka koper hitam tersebut. Melihat uang yang jumlahnya banyak tersebut membuat Charlie tergiur.
"Setuju! Ambil dia dan berikan aku uangnya!" kata Charlie semangat, matanya sudah berbinar saat melihat lembaran dolar tersebut. Mendengar persetujuan Charlie, Wilson pun segera memberi isyarat agar Leo segera mengambil alih tubuh wanita itu. Menuruti, Leo pun segera memberikan koper berisi uang tersebut pada Wilson dan mulai mengambil si wanita dari gendongan Charlie.
Dan begitulah drama klise ini dimulai.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!