Si Denok melewati jalan Gejayan, masuk gang kecil di depan IKIP Sanata Dharma Jogja. Berhenti di rumah kost sederhana kampung Samirono. Rumah dinding separoh bata separoh gedheg itu tampak sepi saat Seti mematikan mesin si Denok. Ada tiga kamar di rumah kost itu.
Kost Seti tidak terlalu jauh dari kampus fakultas tekniknya. Kebanyakan yang kost di sekitarnya dari IKIP Jogja dan UGM. Kamar Seti paling ujung. Teduh ternaungi pohon sawo besar. Mengingatkan rumah joglo yang sudah sebulan ini ditinggalkan Seti.
Jogja jadi pilihan Seti setelah kelulusan SMA-nya bersama Joe, dan Asri. Hening memilih Jakarta. Lalu Bening dan Joko menikah. Sementara Seto masih dengan pelayarannya.
Terlintas persinggungan cerita-cerita hidup yang melintas dan membekas di benak Seti. Seperti roda pedati. Waktu terus berputar, dan Seti masih dengan kedekatan Joe, Asri, dan Hening. Bersama mereka cerita itu terus mengalir...
...----------------...
Seti membasuh mukanya dengan air sumur yang ditimba. Kesegarannya mengurangi rasa lelahnya setelah seharian mengikuti Ospek dan penataran P4 di kampus.
Menyeka air yang menempel di wajahnya dengan handuk, Seti lalu merebahkan tubuhnya ke tikar pandan yang digelar di dekat pintu kamar.Tempat itu selalu jadi favorit Seti sepulang dari kampus. Udara segar yang mengalir dari pintu itu sangat dinikmatinya.
Sambil berbaring, surat Hening yang baru diterima Seti dibaca pelan-pelan. Ada rasa rindu yang terobati membaca baris demi baris tulisan Hening. Seperti kenikmatannya mencium wangi tubuh dan nafas Hening saat kedekatan mereka di Purwokerto dulu.
Tentang kabar Hening yang baik-baik saja dan kesibukan persiapan kuliahnya menenangkan kekuatiran Seti. Tampaknya dia mulai menikmati petualangannya di Jakarta.
Berdesak desakan naik mikrolet dari kost-nya ke kampus. Makan di warteg bareng teman kost-nya sampai kenalan baru runtut diceritakan Hening. Tentu saja pertanyaan Seti yang sedang ngapain saat menerima suratnya juga ditanyakan Hening.
Tentang Joe dan Asri tak lupa disinggung Hening. Menanyakan apakah keduanya sudah bertemu Seti di Jogja. Lima lembar kertas tulisan Hening selesai dibaca Seti, dan disimpan baik-baik. Nanti malam dia berencana membalas surat itu.
Seti tak sabar menceritakan kampus dan kost-nya di Jogja, dan tentu saja Joe serta Asri yang sampai sekarang belum dikunjunginya.
Kost Joe sebenarnya tak terlalu jauh dari kost Seti. Tetapi jadual padat Ospek dan penataran P4 menyita waktunya untuk mengunjungi Joe. Sedangkan kost Asri juga belum sempat dicarinya selama di Jogja.
Gemerlap malam Jogja saat pertama kali makan malam di angkringan bersama teman baru di kost sebenarnya sudah mengusik Seti untuk mengajak si Denok berkeliling mengenal pelosok-pelosoknya. Tentu saja juga melampiaskan keinginan hatinya bersama si Denok untuk mencari kost Asri.
Sayangnya minggu-minggu ini waktu Seti habis di kost dan kampusnya saja. Bahkan pakaian kotornya belum sempat dicuci masih bertumpuk di ember sudut kamar. Semua keinginan hatinya masih terpendam.
Makan di Jogja tidak terlalu menguras bekal Seti. Nasi dengan sayur lima puluh rupiah. Tambah tempe goreng dan tahu lima puluh rupiah. Masih ada sisa dua puluh lima ribu sampai sampai akhir bulan jika Seti berhemat dengan pengeluarannya.
...----------------...
"Ini empat puluh ribu dari mas-mu Set. Dicukup-cukupkan sampai kiriman berikutnya," Ibu memberikan uang bekal satu bulan kepada Seti saat akan berangkat ke Jogja.
"Terimakasih bu, itu sudah lebih dari cukup buat makan satu bulan," jawab Seti.
"Kalau kurang jangan berhutang. Langsung pulang saja," Ibu mengingatkan lagi.
"Iya bu." Seti tak mau membantah Ibu.
Kebutuhan setiap bulan di Jogja dihitung Seti dengan cermat saat pertama kali ke Jogja. Dari biaya makan, beli sabun, bensin si Denok, sampai bayar listrik disampaikan kepada Seto, diluar uang kost satu tahun dan belanja buku.
Kost Seti seratus dua puluh ribu setahun sudah dibayar Seto di awal. Jadi Seti tinggal mengatur pengeluaran bulanannya. Seto mulai mengajarkan Seti untuk menghargai uang dan waktu.
Untungnya Seti tidak terlalu suka merokok dan jajan yang tidak perlu. Main-main billiard, nongkrong di warung kopi dibuang dari daftar pengeluaran bulanan.
...----------------...
Setelah mandi sore yang menghilangkan lelahnya, Seti berganti baju sambil memandang cermin di depannya. Rambut kucirnya sudah hilang berganti potongan cepak 1 senti sesuai aturan sekolah teknik kedinasannya.
Dua kampus yang berjauhan tertolong si Denok. Tidak banyak waktu yang terbuang jika naik bus kota jalur 10 dari jalan Solo ke Ketandan di kampus pusat atau berbalik ke Babarsari di kampus lainnya.
Tertawa sendiri memandang wajah lucunya. Seti membayangkan apa kata-kata Asri dan Hening jika foto-fotonya selama Ospek dan Penataran P4 dilihat mereka. Sudah direncanakan-nya untuk mengirimkan foto-foto itu secepatnya kepada mereka.
Puas bercermin dan merasa lapar. Seti keluar kamarnya menuju warung makan yang diurus mbah Jum sekaligus pemilik kost itu.
Mbah Jum janda tak punya anak sepantaran Nenek. Suaminya meninggal 10 tahun lalu. Untungnya kampung Samirono dekat IKIP Karangmalang yang kebanyakan mahasiswanya dari kelas menengah ke bawah. Sehingga kost murah dan warung makan mbah Jum kelas mahasiswa tidak pernah sepi.
Selain karena ramah dan harganya terjangkau, mbah Jum sangat dekat dengan semua anak yang ada di kostnya atau pelanggan warungnya.
Seti pun mulai merasa betah kost di tempat mbah Jum. Kripik dan gethuk goreng oleh-oleh pemberian Ibu yang diberikan kepada mbah Jum membuat mbah Jum senang, semakin mengakrabkan Seti dan mbah Jum.
"Sini cah bagus ... ambil sendiri kalau mau makan," ada senyum dari mbah Jum melihat kedatangan Seti.
"Ya mbah ... aku mau buat kopi dulu. Kayaknya belum seger kalau seharian belum nyicipin kopi tubruk si-mbah."
Mbah Jum tertawa keras. Sirih yang dikunyahnya hampir terlompat di antara gigi ompongnya. Semakin suka dirinya kepada Seti.
"Kamu itu kayak mbah lanang saja Set... kalau belum ngopi lemes," masih terkekeh mbah Jum menyinggung mendiang suaminya dulu.
Biasanya sampai jam 8 malam Seti menemani mbah Jum. Lalu membantunya menutup warung makan setelah keramaian makan pelanggannya dan mengumpulkan sampah sisa makanan ke dalam kresek yang pagi-pagi buat pakan ayam-ayam peliharaan mbah Jum.
Walau mbah Jum bersikeras tak mau menerima pembayaran makan-nya, Seti tetap saja meninggalkannya di meja sesudah selesai menutup warung.
Kehangatan rumah Nenek tergantikan di rumah kost mbah Jum.
...----------------...
"Sesuk kuliah pagi le ?" Mbah Jum bertanya kepada Seti yang sedang mengumpulkan sisa-sisa makanan dari piring yang bertumpuk.
Malam ini warung mbah Jum sangat ramai. Anak-anak baru rupanya sudah mulai betah makan di warung itu.
"Sore mbah, kuliah pertama,"
"Hati-hati motormu, jangan parkir sembarangan," mbah Jum mengingatkan Seti untuk menjaga si Denok hati-hati.
"Iya mbah ... di kampus juga pakai karcis,"
"Dulu yang kost di kamarmu hilang motornya waktu di kampus... mesakke,"
"Ketemu nggak mbah ?"
"Nggak sampai dia lulus," kata mbah Jum, "Eh yang kost di kamarmu itu selalu waskita loh le," sambung mbah Jum lagi.
"Apa itu mbah ?" Seti tertarik kata-kata mbah Jum.
"Ditajamkan penglihatannya, jadi dimudahkan segala urusannya kemudian. Semuanya lulus dan sudah pada kerja. Ada yang jadi guru dan insinyur." Kata mbah Jum.
Cerita rumah kost mbah Jum menyenangkan Seti. Dirinyapun merasa nyaman di kamar kost itu. Terbersit keinginan memasang lukisan Mercu Suar di anyaman gedheg dindingnya.
Teringat surat Hening yang harus dibalasnya, Seti berpamit kepada mbah Jum setelah menutup pintu warung dan meninggalkan uang di meja.
-------------------------
*Gedheg : anyaman dari bambu
*Kripik : panganan dari tempe tipis yang digoreng kering.
Suatu sore tiba-tiba Joe datang ke kost Seti dengan membawa dua bungkusan besar plastik yang dipanggulnya. Seti yang sedang membaca materi Geologi menyambutnya riang.
Setelah tiga bulan di Jogja baru ditemuinya Joe lagi. Kesibukan masing-masing sejenak melupakan keakraban pertemanan keduanya.
Seti asik dengan ilmu tentang tanah dan perbumian-nya, Joe berkutat dengan estestika seni rupa.
Jika kabar Hening rutin diketahui dari berbalas surat. Kabar Joe dan Asri justru lama tak diketahui Seti walaupun sama-sama tinggal di Jogja.
"Bawa apa Joe ?" Seti menyapa, lalu meletakkan bukunya ke rak yang rapi berjejer dekat kasur busa di ujung kamar.
"Gipsum buat praktek patung."
"Mahalkah ? Aku pikir cuma corat coret gambar saja kuliahmu," lanjut Seti ingin tahu.
"Murah sih, cuma malas saja kotornya." Jawab Joe sambil merebahkan diri di kasur.
Seti berdiri dari duduknya. Mengambil termos di lemari kecil, bermaksud membuat dua gelas kopi untuk menyenangkan hati sohibnya yang sekian lama tak saling bertemu.
"Eh sudah ke tempat Asri belum Set ?" Masih berbaring, tiba-tiba saja Joe menanyakan tentang Asri.
Pertanyaan Joe barusan membuat sendokan kopi Seti terhenti ... "Ah Asri," hati kecil Seti menyebut nama Asri ..., teringat janji menemui nama itu dulu jika sudah sama-sama tinggal di Jogja.
"Astaga... Aku melupakannya Joe," gumam Seti lagi.
"Lupa atau karena cinta-cintaanmu dengan Hening hahaha ...." Joe tertawa tangannya melemparkan surat terakhir Hening yang ada di kasur dan sudah dibacanya.
"Brengsek kamu Joe," tak bisa mengelak, Seti mengumpat Joe. Salah dirinya juga. Surat terakhir Hening tergeletak begitu saja setelah selesai dibacanya.
"Dasar bodoh ... perempuan cantik yang dekat malah kamu abaikan, ... yang jauh malah kamu urusin," Joe membodohkan Seti.
"Kamu tahu alamat kost Asri ?" Tanya Seti seolah membenarkan olok-olok Joe. Wajah Asri masih melintas di kepalanya.
"Kita cari saja sekarang. Sekalian antar aku ke kost dulu naruh bahan sialan ini," ajak Joe kemudian sambil menunjuk dua plastik besar yang teronggok di pintu.
"OK ... Aku mandi dulu sebentar. Ngopi saja dulu. Jangan ngrokok dalam kamar." Seti mengakhiri obrolan lalu melangkah ke kamar mandi.
...----------------...
Surat menyurat dengan Hening membuat Seti larut dalam kedekatan itu lagi. Ada rasa senang jika Hening tertawa dalam jawaban surat menyurat mereka.
Apalagi saat Hening mengatakan dalam suratnya tentang bertambah tampannya Seti setelah mengirimkan foto plontos kepalanya saat Ospek ... Ah Seti merindukan tawa dan tatapan Hening.
...----------------...
"Cihuuuuy ... tampan ni yeee," Joe tertawa ngakak melihat Seti selesai mandi sambil meletakkan tumpukan lain surat-surat Hening yang ditemukannya dan sebagian sudah dibacanya lagi.
Seti mengumpat sejadi-jadinya tanpa bisa marah, melihat kelakuan Joe yang mencuri baca surat-surat Hening yang lain.
Tak menyangka Joe akan mengunjunginya ..., sebagian surat itu berhasil dicuri baca. Bocah thengil itu memang sejak dulu selalu ingin tahu apa saja yang tergeletak begitu saja.
"Ah sudahlah Joe jangan kamu ceritakan kepada Asri. Susah payah aku menghilangkan semua persangkaannya dulu," pinta Seti. "Lagipula itu surat biasalah gak ada cinta-cintaan," lanjutnya lagi dengan nada penuh harap.
"Hahaha ... hati-hati kamu taruh surat Hening. Suatu saat aku ajak Asri ke sini loh," Joe masih meledek Seti.
"Sudahlah ... ayo kita jalan." Ajak Seti, tak mau berdebat lagi tentang isi surat Hening yang sebagian isinya sudah diketahui Joe.
...----------------...
Dari Samirono si Denok mengantar dua sahabat itu ke Demangan tempat kost Joe.
Kost 10 kamar itu ramai dan penuh dengan berbagai macam lukisan serta patung-patung. Kebanyakan memang anak seni rupa IKIP Karang Malang yang kost di situ.
Joe berbagi kamar dengan Doni teman seangkatan-nya yang dikenal Seti juga karena sama-sama dari Purwokerto.
Singgah sejenak ke kamar Joe dan Doni. Seti larut dalam pernak pernik benda seni yang ada di dalamnya. Mengingatkannya pada studio di rumah Jengki.
...----------------...
Dari Demangan si Denok menyusur jalan Solo lalu berbelok ke arah jalan Timoho mencari jalan ke arah Parang Tritis.
Berputar-putar tanya sana sini. Akhirnya ketemu juga jalan Parangtritis yang masih gelap karena jalan ring road Selatan yang masih dibangun. Lalu sampailah ke sebuah rumah berhalaman luas di Mantrijeron.
Kost putri itu tampak sepi saat Seti memencet bel yang ada di pintu gerbang yang tertutup. Suara intercom yang terdengar mengagetkan Seti dan Joe.
"Eh gimana jawabnya Joe ?"
"Aku juga baru tahu ada alat ini," jawab Joe yang juga tampak kebingungan.
Cukup lama pencet memencet bel yang dilakukan Seti dan Joe, sampai akhirnya pintu rumah itu terbuka. Perempuan gemuk yang muncul memelototi keduanya.
"Kalau ditanya cari siapa jawab dong !!!" Bentak perempuan itu sengit.
"Cari Asri dari Purwokerto mbak." Jawab Joe lirih. Agak ngeri juga dia dengan tatapan perempuan di depannya.
"Maksudnya ... pencet tombol merah itu sambil jawab." Masih dengan nada ketus, perempuan itu menjawab sambil menunjuk tombol merah yang ada di sebelah bel.
Meminta maaf atas ketidaktahuannya, Seti menjelaskan kedatangannya. Perempuan itu menyuruh Seti dan Joe duduk di teras depan yang memanjang. Omelannya masih terdengar jelas saat berbalik masuk sambil menutup pintu.
Joe terkekeh setelah perempuan itu menghilang. "Semprul... belum apa-apa dah kena kartu kuning." Gerutunya.
Seti ikut terkekeh mendengar gerutuan Joe.
...----------------...
Pintu masuk yang terbuka lagi melegakan Seti setelah melihat Asri yang keluar.
Asri terlihat berbeda. Tampak semakin cantik dengan rambut panjangnya yang sudah dipotong pendek.
Leher jenjangnya yang putih bersih terlihat jelas, semakin membuat Seti dan Joe tak mau mengalihkan pandangannya dari bocah perempuan langsat yang tersenyum di depan mereka.
"Duh kemana rambut panjangmu As ?" Joe tak tahan mengomentari dandanan rambut Asri.
"Hihihi... Malas pasang pita saat Ospek kemarin. Kupotong pendek saja biar gak ribet," Asri tertawa menjawab sapaan Joe.
"Tapi aku lebih suka model rambutmu yang sekarang loh... Makin cantik kayak Demi Moore." Joe meneruskan pujiannya.
Seti membenarkan kata-kata Joe, lalu tatapannya beradu dengan Asri yang berpaling ke arahnya.
"Ah rambutmu kemana Set ?" Tanya Asri yang kini terlihat heran dengan penampilan baru Seti dengan rambut yang terlihat pendek. "Kucirmu hilang juga ?" Lanjutnya lagi masih dengan nada yang sama.
Seti hanya senyam senyum saja. Pandangannya masih mengagumi penampilan baru Asri yang semakin membuat hati kecilnya menyesali kebodohannya tidak mengunjunginya setelah di Jogja.
"Ditanya Demi Moore kok malah senyam senyum," Joe menabok kepala Seti akrab.
"Hehehe... iya As. Kena Ospek kemarin," ada kehati-hatian jawaban Seti. Rasa bersalah mengabaikan Asri selama ini mengisi rongga hati kecilnya.
"Tapi kamu jadi kelihatan semakin segar Set..." Nada memuji keluar dari bibir basah Asri.
Gelang perak di tangan kiri Asri sekilas terlihat oleh Seti, saat Asri mengambil bantal duduk untuk menutupi lututnya yang terbuka di hadapan dirinya dan Joe.
Toh rok span sebatas lutut itu tetap saja memperlihatkan betis telanjang indah Asri yang memakai sendal japit. Menggoda kelelakian Seti dan Joe untuk tak beringsut sesekali mencuri pandang.
"Kapan ya filem Ghost diputar di Jogja. Kayaknya seru tuh filemnya," lanjut Asri lagi.
"Ghost tuh mak-mak gemuk yang marah-marah tadi As ..." Joe menyela. Teringat omelan perempuan gemuk tadi.
"Oh mbak Yem ... hihihi.. kalian kena semprot ya ?" Asri tertawa.
"Iya As... gara-gara Joe gak paham intercom ahahaha," jawab Seti.
"Mbak Yem baik loh... cuma kalau ada tamu ditanya cari siapa lewat intercom gak jawab pasti ngamuk. Apalagi kalau jam sembilan malam masih ada tamu laki-laki yang bertamu. Pasti diusirnya... hihihi..." Asri mulai dengan cerita tentang suasana kost-nya.
Bertukar cerita baru tentang Jogja saling terucap dari ketiganya. Seti, Joe, dan Asri menikmati malam pertama kebersamaan-nya setelah kuliah.
Ada dua jam perbincangan mereka mengalir akrab di rumah kost Mantrijeron. Kuatir mbak Yem tersinggung lagi dan melabrak lagi, Seti dan Joe pamit setelah berjanji saling berkunjung jika ada waktu senggang.
Asri melepas Seti dan Joe dengan senyum yang menawan. Ada rasa bangga di hatinya melihat tatapan terpesona Seti kepada dirinya dari atas jok si Denok ...
...----------------...
Rumah kost Samirono masih dengan kesibukan masing-masing penghuninya. Di kamar paling ujung Seti sedang sibuk dengan pensil warnanya menyelesaikan tugas Kristalografi yang rumit. Saat Dibyo anak Satra Jawa UGM yang kost di kamar tengah melongok ke dalam kamar Seti.
Dibyo sudah Semester Tiga. Asalnya dari Tanjungsari Gunung Kidul. Bapaknya Kades di sana. Perawakannya gemuk dan mudah bergaul. Tidak mau dipanggil mas oleh Seti. Dibyo lebih senang dipanggil Dib jika Seti memanggilnya. Katanya sih biar bertambah akrab saja.
"Ngopo Dib ngintip-ngintip," Seti tersenyum melihat kepala Dibyo yang diliriknya terlihat bolak balik nongol di gawang pintu.
"Hehehe ... Lembur terus anak teknik ini," ucap Dibyo sambil masuk, lalu berdiri di belakang Seti yang masih sibuk menggambar. Mata Dibyo memperhatikan coretan buku praktikum Seti.
"Buat kopi sendiri Dib ..., kalau mau , ada mie tuh di lemari," kata Seti tanpa menghiraukan Dibyo yang masih saja berdiri memperhatikan dari arah belakang duduknya.
"Wah suwun Set," jawab Dibyo yang tanpa disuruh Seti-pun pasti akan membuat kopi atau mencari makanan.
Seti tahu jika Dibyo masuk ke kamarnya pasti untuk mencari kopi atau makanan setelah blusukan ke kamar Muji teman kost yang lain di kamar paling ujung.
Uang saku Dibyo yang hanya cukup untuk satu minggu kadang sudah habis di hari Kamis atau Jum'at. Tersisa hanya untuk pulang ke Kampungnya setelah kuliah di hari Sabtu.
"Kamu buat kopi juga Set ?" Tanya Dibyo disela suara dentingan adukan sendok dan gelas kopi yang sedang dibuatnya.
"Ini saja masih ... Tuh ada mie goreng di lemari. Tadi dikasih mbah Jum." Jawab Seti.
Membuka lemari, Dibyo mengambil sepiring penuh mie goreng yang ditunjukkan Seti.
"Beneran nih kuhabiskan ?" Dibyo masih ragu dengan tawaran Seti. Mie goreng dalam piring yang dikeluarkannya kelihatan cukup untuk dimakan berdua.
"Makanlah saja. Lagipula kalau sudah malam aku malas makan besar. Eneg perutku," jawab Seti.
"Mbah Jum kok eman bener sama kamu Set," tanya Dibyo lagi. Mie di dalam piring mulai disendoknya.
"Ah sama kalian juga eman lah. Tinggal bagaimana saja kita membawa diri," jawab Seti. "Eh si Muji lagi ngapain Dib ? Kayaknya ramai benar kamarnya dengan suara ketikan." lanjut Seti menanyakan Muji tetangga kamar Dibyo.
"Biasa anak Sastra Inggris... Tugas terjemahan... hahaha..." Jawab Dibyo sambil tertawa.
Tingkah Muji tetangga kost Seti di kamar paling ujung mirip lucunya seperti Dibyo. Hanya perawakannya ceking dan kulitnya hitam legam. Asalnya dari Wates. Bapaknya petani biasa. Muji kuliah di Sastra Inggris IKIP Sanata Dharma. Sudah semester tujuh.
Sama seperti Dibyo. Muji lebih suka dipanggil Ji, jika Seti menyebut namanya.
"Panggil dia Dib. Bagi mie-nya kalau dia mau. Ada peyek juga tuh buat teman mengetiknya," tunjuk Seti ke arah toples di atas lemari yang penuh peyek kacang hijau pemberian Ibu.
Tak membantah. Dibyo berdiri, beranjak menuju kamar Muji sambil membawa piring mie di tangannya.
Seti tertawa geli memperhatikan Dibyo yang terlihat kelaparan. Dari cerita Dibyo. Walaupun Bapaknya Kades, tapi namanya tinggal di sekitaran Tepus Gunung Kidul jika musim kemarau panjang semua yang ada di sana akan susah. Tidak ada yang bisa ditanam.
Tak heran kemarau ini uang saku Dibyo sangat pas-pasan buat satu minggu saja. Jika ada tugas yang harus difoto kopi. Sudah pasti uangnya tak akan cukup sampai hari Sabtu.
Jika besok Sabtu tak ada janji ke tempat Asri, sebenarnya Seti berniat mengantar Dibyo pulang ke kampungnya.
...----------------...
"Ngopo dab ?" Suara Muji dari pintu kamar mengejutkan Seti yang sedang menyeruput kopinya. Tangan Muji memegang piring berisi mie. Tampaknya Dibyo berbagi mie dengannya.
Seti terbahak melihat Muji yang hanya memakai kolor. Badan kerempengnya menontonkan tulang dadanya yang menonjol tanpa baju. Tangannya sibuk menyuapkan mie goreng ke mulut.
"Tuh peyek di toples buat cagak ngantuk,"
"Wah kamu baik banget Set ... Suwun." Muji masuk ke kamar Seti. Mengambil peyek yang ada di toples, mengunyahnya bersama mie yang asik disuapkan dengan tangan telanjangnya.
Dibyo menyusul masuk beberapa saat kemudian. Mie gorengnya sudah habis lebih dahulu. Tangannya membawa Piring dan sendok yang sudah dicuci bersih kemudian meletakkan-nya di rak sebelah lemari, lalu mengambil kopi yang tadi dibuatnya.
"Kopiku endi Dib ?" Protes Muji melihat Seti dan Dibyo yang masing-masing menyanding kopi. Potongan peyek yang dikunyahnya hampir terloncat dari mulutnya.
"Tak pikir kamu kepanasan, kok malah minta ngopi," Dibyo terkekeh. Tapi tetap saja diambilnya gelas. Lalu menyeduhkan kopi buat Muji.
"Tadi memang sumuk Dib ... Njeblug kepalaku mengartikan puisinya Shakespeare. Lah wong puisinya Rendra saja bikin mumet. Apalagi ini puisi Inggris kuno. Dapat C saja sudah untung besok." Keluh Muji.
Seti dan Dibyo tertawa mendengar keluhan Muji. Cerita tugas terjemahan anak sastra inggris menghibur kerumitan tugas Kristalografi-nya.
Meletakkan pensil warna, Seti lalu duduk di lantai menyebelahi Dibyo dan Muji untuk bergabung mengobrol sebentar dengan mereka.
Tentu saja obrolan itu tidak jauh dari obrolan anak kost yang selain harus memikirkan materi kuliah juga harus memikirkan uang saku yang terbatas.
Muji meletakkan piring kosong setelah menghabiskan isinya di luar kamar. Berniat mencucinya nanti. Mengambil peyek lagi dan mendekatkan kopi yang dibuatkan Dibyo.
Cukup lama ketiganya berbalas cerita. Jika Muji mengeluhkan tugas terjemahan-nya, Dibyo mengeluhkan uang saku-nya yang selalu tak cukup di obrolan tadi.
Sama seperti Seti. Dibyo menghindari berhutang. Walau berkali-kali mbah Jum menyuruhnya makan saja dulu di warungnya, Dibyo sungkan untuk menerima tawaran mbah Jum.
Untungnya bekal camilan dari Ibu yang dibawa Seti setiap pulang akhir bulan ke rumah joglo di Purwokerto selalu ada dan disisihkan buat Dibyo oleh Seti.
Belum lagi kalau mbah Jum memberikan jajan atau panganan sisa jualan kepada Seti yang pasti juga disisihkan Seti untuk Dibyo.
Itulah yang selalu dicari Dibyo jika kehabisan uang makan, sekedar untuk mengganjal perut dan membuat dirinya tidak perlu berhutang untuk makan.
Karena keterbatasan Dibyo itu membuat Seti sangat berhasrat untuk menemani Dibyo pulang akhir pekan ke Gunung Kidul. Ingin tahu cerita Dibyo lebih banyak ... Terutama tentang cerita bunuh diri di Tepus jika gagal panen karena diserang hama dan kemarau panjang.
Kata Dibyo segala macam hama ada di Tepus. Dari belalang, burung betet, sampai wereng.
Belum lagi cerita tentang ikan pari Manta yang sebesar perahu di pantai Kukup. Atau pohon Drini di pulau Drini yang tidak boleh sembarangan dibawa menyeberang semakin membuat Seti bertambah ingin tahu tentang kampung Dibyo lebih dekat.
Tapi Sabtu besok Seti sudah terlanjur berjanji untuk mengunjungi Asri. Mungkin minggu depan baru kesampaian niatnya ke kampung Dibyo.
Merasa cukup mengganggu Seti yang sedang menyelesaikan tugas kuliahnya, Dibyo dan Muji berpamitan masuk ke kamarnya masing-masing.
...----------------...
Jam satu malam Seti menyelesaikan tugas praktikum-nya. Merapikan meja belajarnya. Mematikan lampu kamar, menyalakan lampu tidur dan beringsut ke kasur busanya merebahkan badan.
Suara ketikan di kamar Muji masih terdengar sampai kamar Seti. Dari kamar Dibyo yang gelap, terdengar sayup-sayup suara pelan siaran wayang dari radio Dibyo.
Kelihatannya Dibyo sudah tertidur. Ada setengah jam dia tadi mengobrol bersama Seti dan Muji sebelum mencuci semua gelas kopi dan pamit ke kamarnya.
Janji ke kost Asri membuat mata Seti sulit terlelap. Memikirkan kata-kata apa yang akan disampaikannya besok. Dan alasan apa yang harus disampaikan ke mbak Yem jika Asri mengajaknya ke luar.
Seti paham, Asri pasti akan mengajaknya ke Alun-Alun Selatan. Penasaran dengan masangin, suatu ritual melewati beringin kembar di Alun-alun itu dengan mata tertutup. Yang kata orang-orang, jika siapapun berhasil melakukannya maka segala keinginannya akan terkabul.
Seti juga penasaran dengan ritual itu. Benar atau hanya mitos saja jika berhasil melakukan masangin kata Dibyo yang anak sastra Jawa tidak perlu diperdebatkan. Yang jelas kata Dibyo, tidak gampang melakukan masangin dengan mata tertutup.
Ah, malam minggu pertamanya bersama Asri di Jogja tak sabar dinantikan Seti.
-----------------------
*Ngopo : kenapa dalam bahasa Jawa.
*Eman : sayang dalam bahasa Jawa.
*Dab : panggilan kepada laki-laki dalam bahasa gaul Jogja.
*Cagak ngantuk : mencegah kantuk dalam bahasa Jawa.
*Endi : mana dalam bahasa Jawa.
*Sumuk : gerah kepanasan dalam bahasa Jawa.
*Njeblug : meledak dalam bahasa Jawa.
*Mumet : pusing dalam bahasa Jawa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!