NovelToon NovelToon

Elang Mataram

Episode 1 – Prolog

Setelah terbunuhnya Sunan Prawoto oleh Ki Rungkud utusan Arya Penangsang, Kesultanan Demak terpecah menjadi dua. Arya Penangsang yang mendaulat dirinya sebagai Sultan Demak yang baru  memindahkan pusat pemerintahan Demak ke Jipang. Sementara menantu Sultan Trenggono, Mas Karebet pun mendirikan sebuah negara baru di pedalaman tepatnya di wilayah Pengging yang kemudian diberi nama negeri Pajang.

Pendirian negeri Pajang dan pengangkatan Mas Karebet menjadi Sultan bergelar Sultan Hadiwijoyo ini didukung penuh oleh seluruh kerabat Sultan Trenggono, terutama Ratu Kalinyamat sang penguasa Jepara dan Pangeran Timur sang Adipati Madiun yang merupakan Putra-Putri Sultan Trenggono. Sementara Arya Penangsang mendapat dukungan dari Sunan Kudus serta Adipati-Adipati dari Pesisir Utara dan Bang Wetan yang tidak menyukai Pemerintahan Sultan Trenggono.

Ketegangan antara Sultan Hadiwijoyo dengan dengan Arya Penangsang alias Haryo Jipang berkembang menjadi perang besar yang terjadi pada tahun 1480 Saka atau tahun 1558 Masehi. Bagi Pajang penghancuran Jipang Panolang sangat menentukan untuk mengembangkan sayap kekuasaannya di tanah Jawa, setelah Kesultanan Demak runtuh digerogoti perang saudara antara keturunan Raden Fatah, dan Pajang adalah negeri penerusnya.

Demikianlah, seperti yang diceritakan dalam serat Babad Tanah Jawa serta Serat Kanda, pertempuran besar mereka terjadi di tepi Bengawan Sore pada suatu siang. Pasukan Jipang kala itu dipimpin oleh Arya Penangsang yang merasa terhina oleh surat tantangan dari Sultan Hadiwijaya yang sebenarnya adalah surat palsu yang ditulis oleh Ki Juru Mertani, seorang kerabat Selo yang menjadi ahli strategi Pajang. Sedangkan kekuatan Pajang yang dibantu oleh ratusan kerabat Selo, dipimpin oleh Ki Ageng Pemanahan bersama Ki Penjawi.

Waktu itu kekuatan Jipang yang dibantu oleh kekuatan Bang Wetan* lebih unggul dari kekuatan Pajang yang merupakan Negeri baru yang hanya dibantu oleh kerabat Selo, Kadipaten Madiun, serta sisa-sisa kekuatan kadipaten Jepara, Jipang juga lebih unggul dalam hal persenjataan karena memiliki lebih banyak meriam. Hal ini membuat Ki Juru Mertani berpikir keras untuk mencari taktik yang tepat demi memenangkan peperangan ini.

(Bang Wetan = Jawa Timur. Waktu itu negeri-negeri kecil dan Kadipaten-Kadipaten bawahan Demak di Jawa Timur yang tidak menyukai pemerintahan Sultan Trenggono, memihak Arya Penangsang)

Ki Pemanahan selaku pemimpin kekuatan Pajang, menatap nanar jalananya peperangan dari atas kudanya. Ia merasa gelisah ketika melihat kekuatan Pajang mulai dipukul mundur oleh kekuatan Jipang. Ia pun langsung mengutarakan kegelisahan hatinya kepada Ki Juru Mertani. “Adi Juru, nampaknya kekuatan kita tidak sanggup memukul kekuatan mereka, malah kita yang mulai didesak mudur! Bagaimana?”

“Benar Adi Juru, padahal Aryo Penangsang belum turun tangan, apa yang harus kita lakukan?” sambung Ki Penjawi yang ikut menyuarakan kegelisahan hatinya.

Ki Juru Mertani terdiam sejenak\, kemudian dia menatap pasukan meriam Jipang yang berada di sebrang Bengawan Sore yang dipimpin oleh Patih Jipang Ki Arya Mentahun dan putra sulungnya Ki Arya Kusumo*. Kemudian pria paruh baya ini mengangguk-ngangguk dan menoleh pada Ki Wirojoyo\, salah seorang jagoan andalan kerabat Selo yang ternama panda berkuda sehingga dipercaya untuk memimpin pasukan berkuda. (*Tokoh Fiktif)

“Adi Wirojoyo, bawa setengah pasukan berkudamu untuk berputar untuk ke sebrang Bengawan Sore, kemudian bokong pasukan Guntur Geni* itu dari belakang! Tapi ingat jangan menyeberang lewat kali Nengawan Sore ini. Memutarlah meskipun agak jauh lewat ke tepian sana." (Guntur Geni = Meriam. Watu itu orang Jawa menyebut Meriam dengan sebutan Guntur Geni)

Ki Wirojoyo mengangguk mendengar pengarahan dari ahli strategi keluarga Selo yang ternama amat cerdik tersebut. “Baik Kakang Juru!” Tanpa banyak bicara lagi, ia segera mengerahkan setengah kekuatan pasukan berkudanya ke garis belakang, kemudian memutari sungai Bengawan Sore dari kawasan yang agak jauh dari medan pertempuran, demi menghindari penyebrangan sungai secara langsung.

Ki Juru lalu menatap seluruh Senopati perang yang semuanya terdiri dari para kerabat Selo tersebut. “Sambil menunggu pasukan Adi Wirojoyo sampai ke sebrang dan membokong pasukan Guntur Geni mereka, kita harus memecah kekuatan Jipang terlebih dahulu!”

“Baik Adi Juru, apa yang harus kita lakukan?” tanya Ki Pemanahan.

“Pasukan kita di tengah harus berpura-pura terdesak dan terus mundur sehingga pasukan Jipang akan mengejar kita dan terpusat pada bagian tengah pasukan kita. Setelah pasukan mereka terpancing oleh pasukan tengah kita, pasukan di sayap kanan dan sayapp kiri kita akan menusuk mereka dari dua bagian sayap! Untuk itu kita rubah gelaran Garuda Ngelayang kita menjadi Wulan Canggal!” jawab Ki Juru. (Garuda Ngelayang = Gelaran perang dimana prajuritnya berbaris menyerupai paruh dan kedua sayap garuda yang sedang terbang). (Wulan Canggal = Gelaran Perang dimana prajuritnya berbaris membentuk Bulan Sabit).

“Bentuk Wulan Canggal! Adi Surokerti pimpin sayap kiri, dan Adi Penjawi pimpin sayap kanan!” perintah Ki Pemanahan pada Ki Surokerti yang merupakan salah satu jagoan kerabat Selo selain Ki Wirojoyo dan Ki Penjawi adik angkatnya.

Dua kesatria dari Selo itu pun segera melaksanakan perintah Ki Pemanahan. Ki Surokerti segera ke sayap kiri, dan Ki Penjawi ke sayap kanan. Ki Pemanhan yang memimpin pasukan inti Pajang di tengah, segera berpura-pura mundur karena terdesak. Seperti yang telah diperkirakan oleh Ki Juru, pasukan Jipang segera memusatkan kekuatan mereka ke bagian tengah pasukan Pajang.

Di saat yang bersamaan, pasukan berkuda Pajang yang dipimpin oleh Ki Wirojoyo telah sampai ke sebrang sungai Bengawan Sore dan langsung membokong pasukan meriam Jipang yang dipimpin oleh Ki Patih Mentahun. Ki Patih Mentahun dan KI Arya Kusumo pasukan meriamnya terkejut mendapati bokongan tersebut, hingga terpaksa meninggalkan meriam-meriam mereka. Pasukan-pasukan penembak meriam itu segera menghunus pedang dan tombak mereka untuk mempertahankan diri dari gempuran pasukan Ki Wirojoyo.

Di belakang barisan inti pasukan Jipang, Arya Penangsang dan adiknya Arya Mataram terkejut menyaksikan bokongan pasukan kuda Ki Wirojoyo yang berhasil membuat pasukan meriam Patih Mentahun menjadi kocar-kacir! “Wirojoyo berhasil membokong dan menghancurkan pasukan meriam kita!” keluh Arya Mataram.

“Laknat! kerahkan inti kekuatan kita untuk balas memukul pasukan Wirojoyo! Mumpung mereka sudah jauh dari induk pasukan mereka, kita bantai habis mereka!” geram Arya Penangsang.

“Jangan Kakang! Bisa jadi itu hanya pancingan!” Arya Mataram menyuarakan ketidak setujuannya. “Sebaiknya kita pusatkan pasukan kita untuk segera menggempur induk pasukan mereka. Lihat, bagian tengah induk pasukan Pajang mulai terdesak oleh pasukan kita! Sebaiknya kita kita pusatkan seluruh kekuatan untuk menggempur bagian tengah pasukan kita!” usul adik Arya Penangsang tersebut.

“Baik! Kalau begitu kerahkan seluruh kekuatan untuk menggempur bagian tengah kekuatan Pajang! Sebrangkan seluruh inti kekuatan kita! Aku sendiri yang akan memimpin pasukan kita!” perintah Arya Penangsang yang sudah amat bernafsu untuk segera menyelesaikan peperangan ini dan langsung balik menyerbu Pajang, sehingga ia menjadi amat bernafsu dan tak dapat berpikir jernih.

Haryo Jipang langsung memimpin seluruh inti kekuatan Jipang yang amat besar tersebut menyebrangi sungai Bengawan Sore. Saat itulah Arya Mataram seolah baru menyadari kecerobohannya, ia lupa pada sebuah wiyatuya* kuno, bahwa barang siapa yang lebih dulu menyebrang sungai Bengawan Sore dalam satu pertempuran, maka akan mendapat celaka. Namun terlambat, kakaknya sudah memimpin seluruh inti kekuatan Jipang menyerangi sungai Bengawan Sore, maka ia pun terpaksa ikut menyebrang untuk mendampingi kakaknya.

(*Wirayatuya = Ramalan)

Episode 2 – Gugurnya Arya Penagsang (1)

Sementara itu di barisan inti pasukan Pajang, Ki Juru Mertani melihat bahwa taktiknya telah berhasil untuk memancing Arya Penangsang dan seluruh induk pasukan Jipang memusatkan perhatiannya ke bagian tengah induk pasukan Pajang. Ia pun segera memberi aba-aba pada Ki Pemanahan. “Kakang Pemanahan, sekaranglah saatnya!”

Ki Pemanahan mengangguk, ia kemudian bersuit menggunakan tenaga dalamnya sehingga suaranya bergema kemana-mana dan terdengar oleh telinga Ki Surokerti dan Ki Penjawi yang berada di ujung sayap kiri dan kanan kekuatan Pajang. Kedua jago kerabat Selo itu segera memberi aba-aba agar pasukan mereka yang berada di sayap, segera bergerak ke tengah untuk menjepit kekuatan Jipang.

Lagi-lagi taktik Ki Juru Mertani berbuah gemilang, kekuatan Jipang berhasil dijepit dari kedua sisi sayap, dalam sekejap saja mereka langsung terdesak akibat jepitan kekuatan Pajang dari kedua sayap tersebut. Hal ini membuat Aryo Penangsang semakin geram dibuatnya. “Jahanam! Taktik licik!” makinya.

“Wahai seluruh prajurit Jipang! Jangan ada yang berani mundur! Siapapun yang mundur akan kutebas lehernya! Terus gempur cecungunguk-cecunguk dari Pajang itu sampai tetes darah kalian yang terakhir!” perintah Arya Penangsang sekaligus mengancam seluruh pasukannya. Sementara Arya Mataram hanya bisa terdiam karena ini adalah kesalahan taktiknya, apalagi sekarang mereka sudah terlajur menyebrangi sungai Bengawan Sore  yang sebenarnya dipantang untuk seluh keluarganya.*

*Konon sewaktu Raden Kikin yang bergelar anumerta Pangeran Sekar Seda Ing Lepen tewas terbunuh oleh orang suruhan Raden Mukmin (kelak bergelar Sunan Prawoto) putra Sultan Trenggono   dengan distusuk oleh Keris Kyai Setan Kober, darahnya mengalir melewati Sungai Bengawan Sore sehingga timbulah kepercayaan bahwa bagi Arya Penangsang dan seluruh keturunan Raden Kikin serta keluarganya dipantang atau dilarang untuk menyebrangi Sungai Bengawan Sore.

Sementara itu di sebrang Bengawan Sore, perang berkecamuk tak kalah dahsyatnya. Pasukan berkuda Pajang yang dipimpin Ki Wirojoyo terus merangsek maju, mendesak buntut induk pasukan Jipang yang masih berada di sebrang sebelah timur sungai Bengawan Sore. Ki Wirojoyo terus mengamuk dengan hebatnya, pedang pusakanya berkelbat kian kemari membabat tubuh para pasukan Jipang.

Tak terhitung jumlah pasukan musuh yang nyawanya melayang akibat amukannya ini. Hal ini membuat Patih Mentahun berang, Sang Patih Jipang pun segera memacu kudanya dan mengadang Ki Wirojoyo. “Ternyata jagoan Selo macam kau beraninya hanya pada prajurit kecil Wirojoyo! Ayo hadapi aku!”

Ki Wirojoyo menyeringai mendapati sindirian Patih Mentahun tersebut. “Aha Gusti Patih Mentahun! Kalau begitu majulah tuan Patih besar!” ejeknya.

“Kurang ajar! Hiaaaa!!!” Ki Mentahun segera melompat dari kudanya dan menerjang Ki Wirojoyo dengan tombak pusakanya. Yang diserang tak tinggal diam, dia palangkan pedang pusakanya untuk menahan ujung tombak Ki Mentahun. Kemudian ia pun melompat dari kudanya dan balas menyerang Ki Mentahun, terjadilah duel yang amat seru diantara dua jago berilmu sangat tinggi tersebut.

Semua hal ini tak luput dari pandangan Ki Juru Mertani. Menurutnya sekaranglah saatnya untuk mengakhiri perang ini. Ia menoleh pada Sutowijoyo, putra sulung Ki Pemahan sekaligus putra angkat Sultan Hadiwijoyo, yang sudah menunggangi kuda betina yang bulu di buntutnya sudah dipotong sehingga memperlihatkan “Bagian Kewanitaan” dari kuda betina tersebut.

“Kakang Pemanahan, sekaranglah saatnya untuk memancing Arya Penangsang!” ujar Ki Juru.

Ki Pemanahan mengangguk, kemudian menatap putra sulungnya yang sudah siap siaga dengan tombak Kyai Pleret di tangannya tersebut. “Sutowijoyo anakku.”

Sutowijoyo mengangguk takzim. “Ya Romo.”

“Lakukan tugasmu sesuai dengan rencana Adi Juru! Dan jangan lupa, tombak Kyai Pleret jangan sampai lepas dari tanganmu!” perintah Ki Pemanahan.

“Sendiko Romo!” jawab Sutowijoyo.

Ki Juru pun menatap Sutowijoyo dengan tatapan penuh harapan, kemudian senyum kecilnya merekah. “Hati-hati Ngger!”

“Baik Paman! Hiaahhh! Hiaah!” Sutowijoyo mengangguk kemudian memacu kuda betinanya ke tempat dimana Arya Penangsang berada.

Ki Juru Mertani mahfum bahwa Arya Mataram, adik Arya Penangsang selalu berada disisi kakaknya, maka ia pun memanggil salah satu jagoan Selo lainnya, yakni Ki Surokerti. “Adi Surokerti!”

“Saya Kakang Juru.” jawab Ki Surokerti.

“Sutowijoyo akan memancing Arya Penangsang seperti yang kita rencanakan, namun adinya Arya Mataram selalu berada disisinya. Kamu hadapilah Arya Mataram agar dia menjauh dari Arya Penangsang!” perintah Ki Juru.

“Baik Kakang Juru! Hiaaahhhh!” Ki Surokerti menjura kemudian memacu kudanya untuk menghampiri Ki Arya Mataram.

Saat melihat penguasa Jipang yang sedang mengamuk mengobrak-abrik pasukan Pajang, Sutowijoyo langsung berteriak dengan lantangnya seraya mengacungkan tombak Kyai Pleretnya. “Aryo Penangsang! Tunjukan keberanianmu! Hadapi aku, putra Romo Kanjeng Sultan Hadiwijoyo! Sutowijoyo!”

Arya Penangsang menghentikan amukannya dan menatap tajam pada Sutowijoyo. Nafasnya memburu, dadanya bergemuruh dahsyat, matanya melotot bagaikan hendak keluar ketika mendapati tantangan dari Sutowijoyo yang ia anggap masih anak kemarin sore tersebut. “Bocah Edan! Berani dia menantang aku!”

“Hati-hati akan kelicikan si Juru Mertani dan orang-orang Selo itu Kakang!” bisik Arya Mataram.

Namun Arya Penangsang tidak menggubris peringatan dari adiknya tersebut. “Hoi anak sableng! Suruh ayahmu Hadiwijoyo datang kemari sesuai surat tantangannya! Suruh dia adu kesaktian sampai mati denganku!” bentak Arya Penangsang yang suaranya menggema kemana-mana.

Sutowijoyo menyunggingkan senyum meledek seolah meremehkan Arya Penangsang untuk memancing kemarahan lawannya. “Kau tidak pantas menjadi lawan Ramanda Sultan! Cukup aku yang mejadi lawanmu!”

Bukan main marahnya Arya Penangsang mendapat penghinaan demikian rupa dari pemuda tanggung tersebut, dia langsung menghunus Tombak pusakanya yang bernama Kyai Muntab. Arya Mataram segera menahannya. “Jangan pedulikan dia Kakang…” namun belum selesai Arya Mataram berucap, tiba-tiba Gagak Rimang, kuda yang dinaiki Arya Penangsang menjadi binal, dan sekonyong-konyong berlari mengejar kuda Sutowijoyo. Ternyata Sutowijoyo sengaja membalikan kudanya sehingga “Bagian Kebetinaan” kuda betina yang ditumpanginya terlihat oleh Gagak Rimang, karuan saja kuda tumpangan Arya Penangsang tersebut menjadi amat bernafsu, terpancing hasrat libido untuk menuntaskan naluri kejantanannya.

“Kakang!” seru Arya Mataram seraya hendak mennyusul kakaknya, namun tiba-tiba… Wushhh!!! Sebatang tombak menyergap dari arah samping kiri Arya Mataram dengan secepat kilat, terpaksa adik Arya Penangsang tersebut melompat dari kudanya, berjumpalitan di udara demi menghindari serangan yang membokongnya tersebut.

“Arya Mataram! Akulah lawanmu!” seru si pembokong yang tak lain adalah Ki Surokerti sambil mengacungkan keris pusakanya di hadapan Arya Mataram.

“Sial!” maki Arya Mataram. Ia tak punya pilihan lain, maka menerjanglah ia dengan hebatnya pada Ki Surokerti agar bisa secepatnya menyusul kakaknya. “Akan kutumpahkan darah kalian orang-orang Selo untuk memerahkan air Bengawan Sore ini!” maki Arya Mataram seraya menusukan keris pusakanya mengarah dada Ki Surokerti.

Ki Surokerti membalas dengan tak kalah geramnya. “Kita lihat darah siapa yang akan memerahkan kali ini! Hiaatttt!” Ki Surokerti mengelak dan balas menyerang, maka terjadilah duel dahsyat yang dipenuhi dengan jual beli serangan-serangan mematikan antara jago Selo melawan jago Jipang tersebut.

Sementara itu Sutowijoyo memacu kudanya ke arah kali Bengawan Sore, Aryo Penangsang terus mengejar Sutowijoyo dengan penuh nafsu. Di tengah kali bagian yang dangkal, sekonyong-konyong Sutowijoyo membalikan kudanya, dan tombak Kyai Pleret dengan secepat kilat menusuk ke arah perut kiri Arya Penangsang!

Di lain pihak, Gagak Rimang kuda yang dinaiki Arya Penangsang kembali menjadi sangat binal ketika melihat **** ********** kuda betina yang dinaiki Sutowijoyo, sehingga menjadi sulit dikendalikan oleh Arya Penangsang. Hal ini pula yang membuat Arya Penangsang sulit untuk menghindari tusukan dari tombak Kyai Pleretnya Sutowijoyo!

Crasss!!! Arya Penangsang masih berhasil mengelak dengan melompat keatas dari punggung kudanya, namun mata tombak Kyai Pleret masih sempat membeset perut bagian kiri Arya Penangsang sehingga perut penguasa Jipang Panolang tersebut robek besar! Lukanya menganga hingga ususnya berbuntai keluar dari dalam perutnya! Ternyata Ajian “Tameng Wojo” miliknya yang membuat tubuhnya kebal terhadap segala jenis senjata, tak mampu menahan keampuhan dari mustika Tombak Kyai Pleret!

Dengan menggeram menahan sakit yang teramat sangat sekaligus menahan amarahnya yang sudah meledak di atas ubun-ubunnya, Arya Penangsang mengaitkan ususnya yang berbusaian keluar ke hulu Keris Kyai Setan Kobernya yang terselip di pinggang sebelah kirinya.

Kemudian ia menggerung dahsyat dan berkelebat secepat kilat, tombaknya menerjang mengarah tubuh Sutowijoyo! Yang diserang terkejut, maka ia pun melompat dari atas kudanya… Bresss!!! Kepala kuda betina yang tadi dinaiki Sutowijoyo tewas, terkena tusukan Tombak pusaka Kyai Muntab milik Arya Penangsang!

“Bocah Setan! Sekarang giliran kepalamu yang kupenggal! Akan kukirim kepalamu pada si Karebet*!” Geram Arya Penangsang setelah melihat Sutowijoyo berhasil menhindar dari serangan mautnya. (*Karebet / Mas Karebet = Nama Asli Sultan Hadiwijoyo)

Sutowijoyo malah berkacak pinggang sambil tertawa meremehkan lawannya. “Ternyata kau hanya becus omong besar seperti dalang wayang saja! Hahahaha!”

“Jahanam! Hiaaahhhh” Arya Penangsang kembali menerjang, menyerang Sutowijoyo. Sutowijoyo terkejut karena melihat Arya Penangsang masih bisa bergerak secepat kilat seperti itu! Tranggg! Sutowijoyo berhasil menahan sabetan mata tombak pusaka Arya Penangsang, kembali ia dibuat terkejut ketika senjata beradu, ternyata tenaga dalam Haryo Jipang tersebut masih sangat dahsyat, malah mungkin berada satu tingkat diatas putra sulung Ki Pemanahan ini.

Sebelum sempat Sutowijoyo berpikir bagaimana langkah selanjutnya, serangan-serangan maut Arya Penangsang keburu menghampiri dirinya. Arya Penangsang terus mencecar seluruh bagian vital tubuh Sutowijoyo dengan beringas sehingga membuat putra angkat Sultan Hadiwijoyo ini kelabakan dan terus mengayunkan tombaknya hanya untuk menangkis serangan-serangan lawannya.

Episode 3 – Gugurnya Arya Penangsang (2)

Akhirnya Sutowijoyo mengambil satu keputusan berani, ia melompat beberapa tombak kebelakang, ia langsung menancapkan tombaknya diatas tanah, kemudian memasang kuda-kuda untuk melepaskan ajian pamungkas miliknya, yakni “Ajian Gelap Ngampar” Sutowijoyo membentak dahsyat seiring mendorongkan kedua tangannya, dari kedua belah telapak tangannya, menderulah dua halilinttar raksasa berwarna perak yang teramat panas

menerjang Arya Pengangsang!

Sementara Arya Penangsang yang terlanjur menerjang hendak menusukan tombaknya ke pangkal leher Sutowijoyo yang terkejut mendapat serangan dahsyat yang tiba-tiba tersebut, maka tak ada jalan lain selain memalangkan tombaknya sembari mengalirkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kanannya dan kembali memanggil ajian"Tameng Wojo" untuk membentengi tubuhnya, sekaligus ajian “Lembu Sakilan” untuk membelokan ajian Gelap Ngampar yang ditembakan oleh Danang Sutowijoyo.

Bleeddaarrrr!!!! Tombak Arya Penangsang terpental jauh entah kemana akibat menahan serangan ajian Gelap Ngampar bertenaga dalam dahsyat tersebut, sementara yang empunya terpapah kebelakang beberapa langkah, dadanya berdenyut sakit tanda ia terluka dalam, Ia berhasil membelokan setengah serangan Aji Gelap Ngampar Sutawijaya tetapi karena ia terluka parah, setengah serangan aji pukulan tersebut tetap dapat membuatnya terluka parah .

Namun manusia satu ini sungguh luar biasa, luka dalam yang ia derita setelah menerima langsung pukulan dari Sutowijoyo tersebut tidak terlalu parah. terbukti nafasnya kembali normal setelah beberapa saat saja.

Sutowijoyo kembali terkejut melihat lawannya setelah pukulan pamungkasnya hanya sedikit melukai Arya Penangsang. Ia tidak menyangka Arya Penangsang sedemikian saktinya sehingga tombak Kyai Pleret serta pukulan “Ajian Gelap Ngampar” dari dirinya tidak sanggup untuk merobohkan apalagi menewaskan lawannya.

Dilain pihak Arya Penangsang semakin memuncak amarahnya, “Anak Setan! Mampuslah kau!” bentaknya seraya mendorongkan kedua telapak tangannya dalam “Ajian Gombala Geni”! Dari kedua telapak tangannya menderulah dua gelombang pusaran api panas menerjang Sutowijoyo!

Kali ini Sutowijoyo kembali dapat berbuat cerdik. Ia meraih tombak Kyai Pleretnya dan melompat berjumpalitan ketas bagaikan ikan mas melompat dari kolam air. Blaarrr!!! Tiga batang pohon yang tadi berada di belakang Sutowijoyo hancur berantakan dilalap api! Sementara Sutowijoyo melompat berjumpalitan di udara dan tahu-tahu ujung mata tombak Kyai Pleret sudah berada diatas ubub-ubun Arya Penangsang!

Arya Penangsang segera melompat kesamping menghindari serangan kejutan tersebut. Crasshhh! Kembali ujung tombak Kyai Pleret berhasil menggores bahu kanan Arya Penangsang! Tak bisa dibayangkan bagaimana marahnya Arya Penangsang saat itu, beberapa kali ia berhasil dilukai oleh pemuda yang ia anggap anak kemarin sore yang tak pantas ia hadapi. Ia menjadi gelap mata dan seolah lupa dengan luka parah di perut bagian kirinya.

“Anak Setan! Mampuslah kau diujung kerisku!” bentak Arya Penangsang seraya menghunus Keris Kyai Setan Kober yang terselip di pinggang kirinya, yang dedernya ia pakai untuk mengaitkan ususnya yang berbuntaian keluar akibat luka di perutnya oleh serangan pertama tombak Kyai Pleret.

Bresss!!! Pengelihatan Arya Penangsang seketika menjadi gelap ketika darah terus memuncrat dan memancur dari ususnya yang robek menjadi beberapa bagian. Ternyata ususnya yang tadi ia kaitkan ke gagang hulu keris Kyai Setan Kober terpotong oleh kerisnya sendiri tersebut ketika ia menhunus kerisnya dengan penuh nafsu. Tubuh

pria perkasa yang kesaktiannya mengguncang seluruh tanah jawa itu pun langsung jatuh tergeletak dengan masih menggenggam keris Kyai Setan Kober.

Sutowijoyo pun menarik nafas lega ketika melihat lawannya yang teramat tangguh itu roboh.Para kerabat Selo serta prajurit Pajang yang melihat peristiwa tersebut pun segera berteriak “Arya Pensang tewas! Arya Penangsang Tewas!” teriakan berisi pengumuman tewasnya Arya Penangsang tersebut terus bergema ke seantero arena

peperangan.

Kabar mengenai tewasnya Arya Penangsang telah sampai ke sebrang bagian kali Bengawan Sore, dimana Ki Patih Mentahun sedang adu kesaktian antara hidup dan mati melawan Ki Wirojoyo, sang kesatria kerabat Selo yang pilih tanding.

“Ki Patih Mentahun! Junjunganmu sudah mati! Sekarang sebaiknya kamu dan seluruh prajuritmu menyerah agar kita bisa segera hentikan pertumpahan darah ini!” bujuk Ki Wirojoyo dengan tegas.

Ki Mentahun terdiam sejenak sambil memandang ke sekeliling arena pertempuran, namun kemudian ia kembali memasang kuda-kuda untk menyerang Ki Wirojoyo. “Sekalipun Gusti Arya mati, namun aku tetap berkewajiban untuk mempertahankan kehormatan negeri Jipang dari kalian orang-orang Pajang yang serakah! Hiaaattttt!”

Ki Patih Mentahun menerjang Ki Wirojoyo bagaikan harimau luka dengan keris pusakanya. “Keras kepala!” maki Ki Wirojoyo. Ki Wirojoyo segera melompat beberapa langkah kedepan, kemudian mengangkat tangan kanannya keatas, sementara tangan kirinya dilintangkan didepan dadanya. Ia memusatkan pikirannya, mulutnya berkomat-kamit. Dari kepalan tangan kanannya memancar cahaya merah yang menggindikan.

Rupanya Ki Wirojoyo mengeluarkan ajian pamungkasnya yakni “Ajian Lebur Saketi” yang keampuhannya menggegerkan tanah Jawa tersebut. Dengan teriakan menggeledek, pria paruh baya asal Selo ini dorongkan

tangan kanannya ke muka. Satu sinar merah yang teramat panas menderu mengarah Ki Patih Mentahun! Bledaarrr!

Tubuh Ki Patih Mentahun terlempar beberapa tombak kebelakang, sekujur tubuhnya memerah sementara dadanya yang terkena pukulan Lebur Saketi milik Ki Wirojoyo nampak hangus menghitam, dari mulut, telinga, dan hidungnya terus mengalir darah segar. Sang Patih Jipang tersebut nampak menggelepar-menggelepar beberapa kali sampai akhirnya tak berkutik lagi.

“Patih Arya Mentahun mati! Patih Arya Mentahun mati!” teriak para pasukan Pajang dan kerabat Selo yang melihat peristiwa tersebut. Seperti kabar kematian Arya Penangsang, kabar kematian Ki Patih Mentahun pun bergema di seantero arena peperangan! Arya Kusumo amat terkejut mendengar kabar kematian ayahnya, namun ia menyadari bahwa pasukan Jipang sudah kocar-kacir, ia pun memacu kudanya menuju sayap pasukan yang dipimpin Arya Mataram.

Di lain sudut, Arya Mataram langsung gelagapan ketika mendengar kabar kematian kakaknya Arya Penangsang. Akibatnya ia menjadi lengah dan satu besetan keris merobek bahunya disertai satu tendangan maut Ki Surokerti bersarang di perutnya! Arya Mataram jatuh terduduk sambil menahan sakit di bahu serta perutnya yang terkena serangan Ki Surokerti.

Ketika ia melompat bangun, kembali terdengar kabar kematian Ki Patih Arya Mentahun yang membuatnya semakin gugup. Ki Surokerti menghentikan serangannya dan berkata, “Arya Mataram! Kakakmu Arya Penangsang dan Patih Mentahun sudah tewas! Sekarang sebaiknya kau dan seluruh sisa pasukanmu menyerah agar kita bisa mengenhtikan pertumpahan darah ini!”

“Dalam mimpimu!” bentak Arya Mataram. Ia langsung mengangkat kedua tangannya, seketika itu angin membadai langsung  bertiup disekitar dirinya. Saking dahsyatnya angin ribut tersebut sampai membuat beberapa prajurit Pajang serta kerabat Selo terbang melayang terbawa angin! Hanya Ki Surokerti yang berhasil bertahan dari angin ribut yang keluar dari kedua telapak tangan Arya Mataram tersebut.

Sekonyong-konyong tangan kiri Arya Mataram merogoh ke balik pakainnya, entah apa yang ia ambil dari balik bajunya, namun ketika ia melemparkan apa yang dipengang di tangan kirinya, tiba-tiba… Bummm! Suara ledakan keras menggema disekitar tempat tersebut berbarengan dengan bergumulnya asap putiih yang beracun memenuhi

tempat itu. Arya Mataram beserta Arya Kusumo lari tunggang langgang meninggalkan gelanggang perang setelah berteriak “Mundur!” pada seluruh pasukan Jipang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!