Hos hos hos...
"Tungguuu! Tunggu, Pak!!! Jangan ditutup dulu gerbangnya!!!"
Seorang gadis bertubuh sintal berlari kencang sambil berteriak-teriak. Nafasnya terengah-engah setelah berlari cukup jauh.
"Ck ck ck...! Ada lagi ini kutu beras yang terlambat masuk sekolah di hari pertama!"
Aku tertawa kecil mendengar perkataan guru piket yang sangat lucu menurutku.
Tapi tidak bagi gadis imut berkuncir lima itu.
Matanya mendelik ke arahku. Tentu saja aku kaget setengah mati yang melihatnya melotot seperti mata Suzana di film Beranak Dalam Kubur.
"Bapak, maaf...! Tadi bis yang saya tumpangi mogok lama di jalan Pramuka. Jadi saya terlambat sampai di sekolah!" katanya dengan suara dilembut-lembutkan supaya pak Giring tergugah hatinya.
Dasar cewek! Bisa-bisanya sok imut pasang muka melas buat cari perhatian pak Giring biar dapet pengecualian! Batinku kesal.
"Alesan tuh, Pak!" celetukku ngasal.
Aku tentu saja geram. Bisa-bisanya cewek model se-upil begitu mencoba cari pembenaran.
Aku yang hanya terlambat dua menit saja tetap disejajarkan sebagai murid pemalas karena datang terlambat, tiba-tiba dia datang memohon kebaikan padahal sudah sepuluh menit gerbang sekolah ditutup.
"Jongkok, seperti yang lain!"
Uufffh! Lega juga rasanya. Ternyata guru piket lumayan tegas di hari pertama. Gadis itu tetap mendapat hukuman dengan berjongkok di pojokan gedung sekolah yang cukup panas tersorot sinar matahari pagi.
Ada tujuh orang murid. Dua diantaranya adalah aku dan gadis mini itu. Terlihat dari pakaian seragamnya yang berwarna putih biru serta atribut rempong yang dibawanya, dia sama sepertiku. Sama-sama murid baru, alias baru kelas satu.
Berjongkok kurang lebih hampir satu jam menunggu upacara sekolah usai, membuat kakiku kram kesakitan.
"Ayo, berdiri kalian! Bisa-bisanya kalian datang terlambat di hari pertama masuk sekolah setelah sekian minggu libur! Ayo, baris! Tiga kali kalian melakukan hal seperti ini lagi, siap-siap orangtua kalian dipanggil pihak sekolah! Faham?"
"Faham, Bu!"
Setelah menulis nama dan kelas di buku catatan kriminal sekolah, kami pun dibubarkan dengan janji tak kan mengulanginya lagi.
"Apa lo liat-liat?"
Sontak aku mendelik mendapati teguran keras dari cewek judes itu.
"Dih? Sok kecakepan banget lo!? Dikira muka lo mirip Lisa Blackpink kali! Muka mirip Kekeyi aja, belagu!"
"Dih, songong! Muka lo tuh persis mimi peri turun dari kayangan lewat sedotan yang dijatohin dari ujung Monas!"
"Oi, sandalnya Giant! Mau ngajak ribut lo sama gue?!"
"Idih, cowok mulutnya ember! Beraninya ngajak gelud cewek!"
"Ya kali tipikal cewek model elo itu harus dibasmi sampai ke akar-akarnya!"
"Ketombeee kali' ah!"
"Bodo amat, EGP. Emang gue pikirin!"
"Ish, ish, ish! Cowok kebanyakan maen diketek emaknya gitu tuh modelnya mirip-mirip Nobita! Dasar imut!"
"Ya emang gue imut! Hahaha..."
"Ya, item mutlak!"
"Daripada elo, belut, buntelan kentut!"
"Jangan main fisik dong! Mentang-mentang bodi gue semok! Lo bisa gue laporin body shaming, tau!?"
"Khan lo duluan yang ngatain gue item mutlak!"
Itulah awal pertemuanku dengan si Alifah belut, buntelan kentut.
Dan ternyata kami masih harus saling adu bacot karena disatukan dalam satu kelas.
KELAS 1 D
"Gatot imuuut!"
"Makasiiih! Hahaha..."
"Item mutlaaak!!! Hiyaaa...! Boleh bakar anak orang ga ya?!?"
"Lo kira gue mujaer apa, maen bakar-bakar aja!"
"Bodo amat!!! EGP! Biarin, kalo perlu biar makin item tuh keseluruhan lo!"
"Idih! Dendam kesumat lo!?"
..............
Aku dan kamu, bagaikan magnet yang saling bersebrangan.
Aku dan kamu, ibarat garam di laut dan asam di gunung.
Aku dan kamu, seperti air dan minyak. Tak pernah bisa bersatu.
Tapi mengapa..., kini kita harus dipersatukan dalam satu ikatan yang disebut RUMAH TANGGA?
...❤BERSAMBUNG❤...
Nama : Siti Alifah
Umur : 17 tahun
Agama : Islam
Hobi : menyanyi dan membaca novel
Cita-cita : menjadi guru
Kata Mutiara : Kejarlah cita-citamu meskipun itu setinggi bintang di langit dan sulit kau gapai karena tidak terjangkau.
Itu tulisan Alifah dibuku tahunan sekolah sewaktu kelas dua.
Tapi kenyataannya, bahkan sangat jauh dari yang dibayangkan.
Kini cewek itu duduk disampingku dengan berpakaian kebaya brukat lengkap hijab payet-payetnya khas dandanan umumnya pengantin wanita. Cantik banget!
Dan aku, duduk dengan memakai jas resmi milik MUA sewaan yang kedodoran.
"Saya terima nikahnya Siti Alifah binti Bapak Mukti dengan mas kawin cincin 24 karat sebesar tiga gram dibayar tunai!" ucapku tegas dengan sekali tarikan nafas.
"Sah?"
"Saaah!"
"Sah, sodara-sodara? Alhamdulillah..."
Pang penghulu yang menikahkan kami pun membacakan doa sesudah selesai akad nikah dilangsungkan.
Apa yang terjadi diantara kami sebelumnya? Sedangkan kami ini adalah MUSUH BEBUYUTAN. Tapi kenapa kini kami justru harus membangun rumah tangga sakinah, mawaddah warrohmah.
Flash back on...
"Aduh! Ngapain lo ada di kamar mandi umum?" teriak Alifah padaku yang terburu-buru masuk tanpa ketuk pintu. Yang ternyata ada orang di dalamnya. Dan orang itu adalah Siti Alifah, MUSUH BEBUYUTANku.
Satu hal yang wajib kuberitahu, Aku dan Alifah adalah tetangga satu RW. Rumah kami hanya berjarak satu gang saja di kompleks perumahan Sweet Garden. Salah satu pemukiman padat penduduk tipe rumah sangat sederhana yang terkenal dengan gang senggolnya.
Toilet umum yang biasa disewakan kepada penduduk sekitar, posisinya memang tak jauh dari mushola perumahan.
"Lo ngapain juga maen serobot? Gue lagi nyuci baju, Markonah!" semprot Alifah padaku dengan suara cemprengnya.
"Gue mau modol, Marfu'ah!"
"Haish! Dodol mah di warung Cang Abas noh! Ngapain lo nyari dodol dimarih?"
Iiish, ingin kujitak jidatnya yang lebar tapi tertutup poni lempar itu. Bikin kesyel bener, deh ah!
"Awas, cepetan Lifah! Gue mau be'ol!!!"
"Yassalam! Lo lanang apa bikang? Rempong amat sih jadi orang! Bentaran!!! Gue masih sarungan ini!!!"
"Ya elo nya keluar dulu!!! Aaarrrgh!!! Kalo gue cepirit disini lo tanggung jawab, Lipah!!!"
"Ish! Sembarangan! Ngapa jadi gue yang kudu tanggung jawab!"
Aku benar-benar tak tahan ingin buang air besar. Dirumah listrik padam dari pagi tadi. Bak mandi kosong melompong tak ada air segayung pun. Bahkan Bi Minah juga mengambil air dari WC umum sini untuk cuci piring.
Di sini airnya memang ditimba dari air serapan sumur yang dibangun warga secara gotong royong. Fungsinya ya seperti ini. Untuk keadaan darurat warga sekitar.
Kembali pada keributanku dan Alifah.
Dengan agak kesal kudorong tubuh gadis itu agak kasar supaya ia segera bergegas keluar toilet dan menenteng ember cuciannya.
Aku baru tersadar kalau anak itu tidak memakai pakaian dalam. Hanya sarung sambung yang disulapnya menjadi kemben.
Hiks! Mataku ternoda!
"Cepat, Lipah! Gue udah ga' tahan iniii!!!"
"Astaghfirullahal'adziim!!! Kalian pada ngapain?"
Bagaikan terkena serangan nuklir dan rudal dari Rusia secara bersamaan, aku seperti orang yang tersengat listrik. Jatuh terperosok dan satu kakiku masuk lubang WC.
Dan yang fatalnya lagi, tangan kananku refleks menarik sarung yang Alifah kenakan hingga... melorotlah hingga terpampang jelas onderdil-onderdilnya.
Hilang otakku seketika saat itu. Entah tercecer berantakan, atau menguap tak jelas.
Bagaikan terkena hipnotis, dan aku oleng hanya diam menunduk menjadi tontonan warga sekompleks. Kami nyaris diarak keliling andaikan Ibunya Alifah tidak menangis meraung meminta pak RW untuk tidak makin mempermalukan kami.
Akhirnya, kedua orangtuaku dan orangtua Alifah sepakat menikahkan kami berdua.
Walau sekolah masih kelas tiga, dan sudah masuk semester enam, kami pun dinikahkan esok harinya.
Nikah karena terpaksa.
Nikah dengan tuduhan hendak berbuat zinah.
Ya Tuhan!!!
...❤BERSAMBUNG❤...
Mimpi apa aku, hingga dinikahkan secara paksa oleh Pak RW dan warga semua. Padahal usiaku dan Alifah baru menginjak 17 tahun saja. Tapi kami nikah muda dan status kini berubah jadi suami-istri.
Tak faham apa yang harus kulakukan kini.
Sebenarnya aku juga bukan cowok yang bego-bego amat! Tahu lah, kalau orang menikah itu otomatis malamnya melakukan apa. Ya, malam pertama lah! Orang lebih suka menyebutnya belah duren.
Tapi aku,... belah duren sama si Alifah? Musuh bebuyutanku yang hampir tiga tahun jadi partner ributku?
Hiks...! Sori-sori, sori Jack!
Bukan aku tak minat. Bukan pula Alifah tak memikat. Bukan itu.
Tiga tahun jadi teman terpaksa satu kelas, aku cukup tahu banyak perubahan bentuk tubuhnya.
Dulu dia belut alias buntelan kentut. Sekarang, boleh dikatakan lumayan berbentuk juga bodinya. Dengar kabar sih, karena dia ikutan senam di parkiran kelurahan setiap minggu.
Ada juga yang bilang, Alifah sengaja diet demi menghilangkan cap buruk bulet buntelan kentut yang telah kusematkan padanya.
Tapi, mau dia berubah sebesar tiang listrik pun bagiku dia adalah buntelan kentut.
Mungkin aku jahat. Atau kejam sebagai laki-laki. Tapi bagiku, itu adalah julukan yang sangat pas karena kuanggap semua yang keluar dari mulutnya ibarat kentut.
Congornya yang gahar dan selalu memancingku untuk buat keributan sepertinya memang gak ada obat.
Aku sendiri tak tahu, sampai kapan rumah tangga ini akan tetap berdiri kokoh. Bertahan dari setiap gempuran kata-katanya yang sering buat aku gatal jika tak membalasnya.
Kini kami duduk berdua di pinggir ranjang kamarnya.
Keluargaku sepakat menitipkan Aku pada keluarga Alifah untuk beberapa hari. Aturan mainnya, seminggu kami di rumah orangtua Alifah seminggu kemudian tinggal di rumah orangtuaku.
Baru saja Ayah Ibuku pergi setelah berdiskusi dengan Papa dan Mama Alifah soal pendidikan juga biaya hidup kami sehari-hari. Biaya sekolah masih ditanggung orangtua masing-masing. Dan untuk biaya hidup tambahan satu orang pun masih ditanggung orangtua yang kebagian jatah tinggal.
Mau bagaimana lagi. Hhh...
Untungnya pihak Ketua RW dan para warga masih mau diajak kerjasama untuk tidak membocorkan masalah yang lebih tepatnya disebut aib ini sampai ke telinga lingkungan sekolah.
Nyaris aku hendak menjotos muka Pak RW dan Pak Mugimin, saksi yang pertama kali melihat aku bersama Alifah di bilik toilet umum.
Sudah kukatakan berkali-kali, kami tidak ada niatan mesum. Tapi emang dasar ya, tuh para netizen. Seenaknya berasumsi sendiri bahkan bilang aku sudah siap dengan menurunkan cel*na dan Alifah bahkan sudah polos tanpa b*sana. Ck ck ck...!
Kami sepakat untuk menutupi berita pernikahan dadakan ini dari pihak sekolah dan teman-teman.
Ada beberapa orang teman yang rumahnya tak jauh dari gang rumahku, tapi beda kelas, sudah kusogok dengan bebas online wifi sepuasnya di rumah orangtuaku asalkan tutup mulut.
Raden dan Guntur tentu saja senang. Bagi mereka, mabar dengan teman-teman online-nya lebih menyenangkan dan bebas hambatan dengan jaringan wifi-ku daripada pansos jadi bigos di sekolahan.
Uffh... Aman!
Aku dan Alifah menguap saling bersahutan.
Mata kami sudah mengantuk. Tubuh kami sama-sama penat. Dua hari ini adalah hari yang paling melelahkan bagiku. Sepertinya juga buat si Alifah, karena kantung matanya memberikan alibi yang nyata.
Pasti dua malam ini dia menangis terus-terusan meratapi nasib sial kami.
Hm...! Mau bagaimana lagi, tak ada jalan lain untuk kita menghindari keadaan ini.
Hingga perutku terasa kembung dan sedikit sakit, sampai...
Prooot!!!
"Ya ampuuun, iteeem! Bau kentut lo!"
Sontak Alifah beringsrut menjauh dari tempat duduknya sembari menutup hidung.
"Alaaa, kayak lo kaga pernah kentut aja, buntelan!"
"Ish! Kentut gue ga se-ekstrim kentut elo, Bambang! Kalo mau kentut, attitude lo coba pake, Semprul!"
"Kentut gue udah berstandar nasional ini! Udah punya hak paten SNI!" belaku membuat Alifah kembali nyolot dengan mata melotot.
Hadeuh! Padahal tadi ijab kabul wajahnya yang cantik glowing sangat pas dengan pembawaannya yang kalem. Kenapa kini ia berubah lagi seperti dakocan yang siap menerkam.
"Bisa-bisanya lo katain gue buntelan kentut, padahal yang tukang kentut sama tukang b*ker itu elo! Kita ini jadi begini gara-gara b*ker lo yang gak pada tempatnya!" semprot Alifah membuat bibirku mencucut, manyun.
Si*lan! Tapi emang bener juga sih ucapannya itu!
Aku mencoba tak mengindahkan ocehannya.
Hari sudah malam, aku ngantuk dan mau tidur. Dan tempat yang paling nyaman saat ini adalah kasurku yang empuk.
Kurebahkan tubuhku dengan helaan nafas panjang.
"Aku tidur dimana?" tanyanya ketus tapi wajahnya merah melihatku yang rebahan seenaknya.
"Serah lo! Tidur di ubin juga boleh!" jawabku ngasal.
Dan benar saja. Ternyata cewek itu ngeselin tingkat Dewa. Dia menarik bantal yang kupakai hingga kepalaku ngejengkang, dan menurunkannya di lantai setelah selimut bedcover tebal jadi hamparannya.
"Ck ck ck! Baperan amat si lo jadi orang? Ngapain lo tidur di situ kalo ada ranjang kasur busa di atas sini?" omelku kesal.
"Ogah! Satu ranjang sama elo! Bau kentut!"
"Lo kira kentut gue berasal dari knalpot rongsok! Bau ga ilang-ilang! Naek ga lo? Jangan bikin gue malu deh! Rese' banget sih lo?! Naek ga?"
"Ga mau!"
"Naek!"
"Ga mau!!!"
"Naek!!!"
Keributan yang tiada henti. Tentu saja makin bikin aku jengkel.
Kuangkat badannya dengan amarah sudah di ubun-ubun.
Eh? Kukira tubuhnya berat, ternyata... ringan banget! Hahaha..., ini mah badan tipe triplek!
Dengan sekali angkat, kini Alifah sudah ada di atas ranjangku dengan wajah bersemburat merah, kuning, hijau. Sudah sangat mirip lampu lalu lintas yang error menyala semuanya.
"Kenapa? Mau marah? Mau ngambek?"
Dia melotot tak berkedip. Tapi aku tak takut.
Biar bagaimanapun aku ini laki-laki. Strataku jauh di atas dia yang cuma perempuan. Dan aku sekarang adalah imam, begitu kata pak amil penghulu ceramah tadi.
"Tidur!!! Besok kita sekolah!!!" hardikku tegas.
Dan kali ini ternyata berhasil.
Hahaha...! Akhirnya si Nenek bereuwek ini mau juga menuruti kata-kataku! Yess...! Aku ada bakat juga jadi pemimpin!
Alifah tidur dengan memunggungiku. Aku pun melakukan hal yang sama. Tak peduli apa pikirannya. Yang penting besok aku mau sekolah. Setelah dua hari ini bolos tanpa keterangan pada pihak sekolah.
...❤BERSAMBUNG❤...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!