NovelToon NovelToon

THE SOUND OF LOVE

SEASON 1: Alkisah

...Kamu tahu, hal yang pertama kali...

...kita pelajari adalah Masa lalu....

...Baik-buruknya,...

...kita tidak akan pernah tahu....

...Sebelum kita jelajahi....

...***...

Awan kelabu menggantung dikota ini seharian penuh. Kilatan petir mulai merambat ketempat-tempat yang mudah terjangkau. Angin dingin menusuk membawa awan-awan pekat bergerak.

"Cuma dapat nilai 9? Lihat teman-teman kamu yang lain selalu mendapat peringkat kelas. Mulai sekarang kegiatan kamu belajar, belajar dan belajar. Gak ada nonton TV, atau keluar rumah. Ibu malu punya anak seperti kamu"

Aku tersenyum getir menatap keluar jendela, kini awan-awan hitam mulai menumpahkan bendungannya. Kilat-kilat yang merambat pun semakin bersemangat meneror. Deru air hujan mengisi kekosonganku saat ini. Di luar hujan turun begitu derasnya seakan tahu ada kekosongan disekitarnya.

Entah berapa lama lagi aku seperti ini. Hidup tak melulu tentang bahagia bukan? Selalu saja luka lama yang terulang kembali. Memang benar hujan selalu membawa kenangan yang entah itu manis atau pahit. Meski luka itu telah mengering tetap saja dia bisa kembali jika tergores lagi.

"Kak liat deh sepatu sama tas aku, bagus kan?" Celoteh Kirana yang kehadirannya menyadarkanku dari kenangan masa kecilku.

Aku pun menghela napas berusaha memendamnya kembali, meredamnya lahi dan lagi "Dari mana? Sepatu sama tas kamu kan masih banyak" ucapku sembari bersedekap membelakangi balkon kamarku.

"Dari ibu lah. Biarin aja ah aku kan pengen kayak temen-temen aku. Sekarang era milineal kak masa aku gak upgrade"

Melihat tingkah adikku yang seperti ini membuatku sangat gerah, ingin rasanya mengeluarkan sesuatu yang bergemuruh di dalam dada. Tapi rasanya sia-sia. Hanya hembusan napas kasar yang terdengar..

"Iya-iya, lain kali jangan minta ini itu sama ayah dan ibu, kamu harus belajar ngerti na, kamu udah beranjak dewasa jangan seperti anak kecil yang selalu memin-"

"Sirik aja kak Lista, huuuuh!" Sahutnya menginterupsi ucapanku. Aku pun berusaha menyabarkan diriku dan belajar memakluminya.

Ya, seperti itu lah rasanya menjadi anak sulung tapi selalu di nomor duakan, bukannya aku tidak terima tapi hanya merasa tidak adil saja. Punya tanggung jawab yang besar dan beban yang berat.

Aku seorang anak dari orang yang berpengaruh dikota ini. Calista Hartawan. Memang benar keluarga Hartawan sangat terhormat dan terpandang tapi menurut ku itu hanya covernya saja.

Nyatanya keluarga ini bukan sebuah keluarga, bagi ku. Memiliki ayah yang super sibuk dan ibu yang sibuk juga sebagai Abdi negara membuat mereka jarang sekali dirumah dan melihat tumbuh kembang kedua Putri mereka. Mungkin kalau bisa di bilang aku tidak memiliki keluarga dalam artian yang sebenarnya, akan ku jawab YA.

Asal kalian tahu terkadang aku harus mengemis-ngemis untuk meminta sesuatu pada ibuku sedangkan adikku cukup hanya mengucapkannya saja, tidak sulit mendapatkan apa yang dia inginkan.

Terkadang hidup itu lucu. Tapi seiring kedewasaan seseorang kita akan mulai terbiasa dengan kehidupan yang sebenarnya. Ya mungkin itu cocok untukku, semakin dewasa, aku harus bisa menjadi wanita mandiri dan tegar yang harus siap menerima kenyataan hidup. Pahit atau manisnya hidup tergantung bagaimana kita dan dari sudut pandang mana kita melihatnya.

*****

Saat ini aku kuliah disalah satu perguruan tinggi swasta. Kali pertama aku mendaftar aku memilih dua jurusan, pilihan pertama bimbingan konseling dan pilihan kedua sastra inggris. Saat itu entah setan dari mana yang membuatku berani mempertaruhkan nyawa mengambil dua jurusan.

Alasanku memilih bimbingan konseling Adalah karena menurutku seru, kita bisa mempelajari karakter seseorang luar dan dalam, bisa lebih peka terhadap sesuatu baik yang bersifat lingkup pribadi ataupun sosial.

Semenjak duduk dibangku sekolah menengah atas, memang tujuanku menjadi seorang psikolog. Tapi entah kenapa setelah tes berlalu aku memilih jurusan kedua yaitu sastra inggris. Awalnya aku ragu tapi karena suka dan menantang menurutku, Why not.

Hidup memang selalu penuh tantangan bukan untuk tau seberapa besar kemampuan kita. Dan akhirnya aku disini di Fakultas Sastra Inggris strata satu. Awalnya aku kira buruk ternyata setelah dijalani tidak terlalu buruk bahkan baru seminggu aku sudah sangat akrab dengan enam orang temanku. Ada Sheina, Ruth, Lucy, Maria, Angella, dan Veronica.

Bagiku mereka adalah berkat, kami sendiri tidak menyangka bisa cepat akrab satu sama lain. Mungkin ini yang namanya ikatan takdir dalam persahabatan, dimana kita akan merasakan satu sama lain.

Dan ya kampusku adalah kampus nasrani tapi tidak semua pure nasrani ya, temanku juga ada yang muslim dan kami semua akrab, sangat akrab seperti saudara. Beberapa bulan bersama mereka terutama sahabat-sahabatku itu aku jadi lebih tau arti hidup, tujuan hidupku, dan yang pasti mereka mengubah hidupku.

Memang tidak ada persahabatan yang baik-baik saja. Kami sering merasakan pasang surutnya tapi kami selalu mempunyai cara yang cukup ampuh yaitu ikuti saja gelombang dan arusnya.

Mereka itu seperti rumah bagiku, tempat aku kembali disaat lelah. Mereka juga yang membuatku lebih dekat kepada sang pencipta.

Tapi semua itu sirna semenjak ayahku mengalami stroke ringan, hidupku terasa sulit. Meskipun Aku sudah terbiasa dengan kesulitan, terbiasa mandiri juga dari kecil dan sesederhana mungkin dalam hal apapun tetap saja terasa sulit seperti ada batu besar yang mengganjal.

Kemudian aku berniat untuk keluar dari kampus dan berhenti kuliah karena harus mengurus ayahku, sedikit berguna juga untuknya. Sebenarnya aku benci dengan keadaan ini karena aku harus berpisah dengan mereka, aku tidak suka kata perpisahan. Setidaknya aku baru dua semester menjalaninya tidak berat harus keluar, yang jelas aku tau langkah yang aku ambil.

Entah kapan waktu akan berbaik hati, hanya doa yang dapat aku hembuskan berharap semesta menghantarkan kepada sang pemilik kehidupan.

Ah, rasanya aku ingin berhenti sebentar andai bisa aku lari dari kenyataan. Meskipun seperti pengecut, itu bukan sesuatu yang buruk menurutku saat ini, hanya saja aku tidak ingin terlihat rapuh.

Dering ponselku membuyarkan lamunanku, segera aku bergegas untuk melihatnya.

Aldira Respati: PING!!!

Calista Hartawan: Oi, beb. Kenapa?

Aldira Respati: Keluar yuk beb? Mau curhat.

Tuhan aku berhenti sejenak boleh ya?

Calista Hartawan: Yaudah yuk, jamber?

Aldira Respati: Jam 7'an ya beb? Mau kan, nanti gue samper.

Calista Hartawan: Ookii dokii beb. As you wish beb.

Mungkin memang benar aku harus berhenti sejenak mengambil jeda bernapas. Bernapas? Ah, rasanya sulit mengingat kenyataan yang ada. Setidaknya, aku masih memiliki seorang yang akan membantuku melupakan sejenak bulir-bulir luka yang aku rasakan, menguatkanku dan menyemangatiku.

Seorang sahabat, dan itu adalah Dira. Aku dan Aldira memang sudah sangat dekat semenjak kami duduk di Taman kanak-kanak sampai sekarang. Jadi kami sudah cukup mengenal satu sama lain.

Membayangkan kami harus berpisah kelak membuatku sedih, mengingat salah satu keinginannya untuk menikah muda. Sedangkan aku? Menjalani hubungan kurang lebih 5 tahun bersama Agas Cokrodinoto yang tak lain adalah sahabatku sendiri semenjak sekolah menengah atas, belum tau mau dibawa kemana hubungan kami ini.

Bersambung..

Mari Kita Mulai Ceritanya

...Dalam Hidup aku hanya mengenal Dua hal; Bertahan atau Berjuang...

...Keduanya sama-sama Beresiko...

...***...

Lampu-lampu kecil yang tergantung dilangit-langit, membuat kesan hangat tempat ini. Ditambah iringan musik, yang dibawakan oleh orang-orang, band ataupun suka relawan untuk unjuk kebolehan dari salah satu hobi mereka, membuat euforia sendiri bagi para pengunjung.

"Jadi lo mau curhat apa? Berantem lagi sama pacar lo?" tanyaku sembari mencolek kentang goreng di saus.

Aldira mengerucutkan bibirnya kemudian mencondongkan tubuhnya kearahku "Lo bener-bener seorang S A H A B A T ya" ucapnya penuh penekanan. Aku pun hanya tertawa menanggapinya.

Tuuuk ..

Sebuah benda dingin yang terbuat dari logam baru saja menyentuh keningku "S A K I T !!" ucapku sembari melotot ke arahnya dengan gerakan satu tanganku mengusap keningku. Aldira pun menyeringai puas.

"Maapin gue Lis sakit banget ya?" entah sejak kapan wajahnya berubah pias.

Akupun menunjukkan senyum smirkku "Gue baik-baik aja Medusa. Untung aja kepala gue dari baja" Aldira pun tidak bisa menahan tawanya kembali. Akupun hanya menunjukkan ekspresi datarku.

Melihat ekspresiku Aldira menghentikan tawanya "Fine i'm seriously now" Akupun hanya menganggukan kepala.

"Gue sengaja keluar dari kampus cuma buat daftar jadi Abdi Negara, but its over ! Gue gagal tes" ucapnya sambil terisak.

Dengan cekatan aku menyodorkan sekotak tisu diatas meja padanya. Aku turut merasakan kesedihannya.

"Gue juga keluar dari kampus yang lama Dir dan ini kebetulan banget kita sama. Bedanya alasan gue keluar, salah satunya adalah Ayah gue sakit Dir dan gue juga udah gak ada passion lagi disana" Aldirapun mulai tenang kemudian memandangiku.

"Maafin gue Lis. Ternyata bukan gue doang disini yang punya masalah" Aldira kembali terisak namun tidak sekeras beberapa menit yang lalu.

Akupun menepuk-nepuk bahunya "Its ok Dir. Kadang beberapa hal memang gak bisa lo kendalikan. Lo hanya perlu lepasin dan biarkan semesta bekerja. Trust me, everything's gonna be okay"

Lalu obrolanpun berlanjut. Sesekali Aldira menghapus airmatanya yang mengering.

"Gue pengen kuliah lagi tapi beda jurusan sama yang sebelumnya. Gue pengen banget ambil Fisioterapi. Lo gimana Lis?"

Aku mengaduk-aduk minumanku, membuat pusaran kecil didalamnya

"Gue juga. Gue mau ambil BK atau Psikolog, gue nyesel kenapa waktu tes, gue gak ambil pilihan pertama" bibirku mengerucut menyesali keputusanku beberapa waktu lalu.

"Gimana kalau kita kuliah bareng, kita cari kampus yang punya jurusan Fisioterapi juga Psikolog Lis" mataku berkedip terlalu cepat akibat pernyataan Aldira.

Ya, harus ku akui selain cantik dan sedikit kurang waras, ia juga punya ide yang menakjubkan. Sedikit berlebihan mungkin diriku mendeskripsikannya. But its Her.

"Oke, boleh juga ide lo. Yaudah balik yuk gue mau lanjut nulis, doain ya suatu hari buku gue ada di toko buku" ucapku seraya melirik arloji pada pergelangan tanganku dan menyesap minumanku hingga tetes terakhir.

Aldira menyunggingkan senyumnya hampir menyentuh garis mata bawahnya

"Cieeilaaaah gue punya temen seorang 'Penulis' gue pasti doain lo Dir biar gue selalu gratis beli buku lo" see ! Cantik, pintar tapi sedikit kurang waras.

Akupun mengabaikannya dan berjalan lebih dulu menuju pintu. Sialnya jaketku tersangkut paku pada meja. Kesal karena susah dilepas, kuputuskan untuk menariknya.

Sreeeek .. Bruukk

"Meja sialan ! Pala gue. Akh sakit" seseorang memegang bahuku dengan tangan besar dan kuatnya jangan lupakan otot-ototnya yang menonjol.

"Kamu gak papa?" tanyanya sembari membantuku berdiri. Belum sempat aku memperhatikan wajah dan menjawabnya Aldira berlari kecil menghampiriku.

"Tuh kan kualat lo ninggalin gue" aku pun memutar bola mata keatas.

Deheman seseorang membuyarkan ocehan Aldira. Aku pun menunduk kembali menghadap orang tersebut

"Maaf ya mas, eh om say-"

"Saya masih muda dan kapan saya menikah dengan tante kamu?" aku menelan ludah gugup akibat suaranya yang mengintimidasi.

Masih tidak berani menatapnya "Eh iya m-mas maafin saya karena tidak hati-hati" cekikikan Aldira membuat suasana disekitar menjadi Akward.

Akupun langsung buru-buru menyingkir menuju pintu keluar. Peduli setan dengan om-om itu, Aldira benar-benar menyebalkan.

*****

Sepulang Dira dari rumahku aku kembali pada rutinitasku, yaitu menghabiskan waktu dikamar. Aku merebahkan diri diatas tempat tidur queen sizeku. Lelah, itu yang kurasakan.

Sejenak aku terpejam dan kemudian menelanjangi sudut-sudut kamarku yang minimalis dan simpel dengan perpaduan warna pastel. Memberi kesan sederhana namun elegan, menandakan bahwa sang pemilik seperti itu, sederhana namun elegan.

Foto-foto yang tergantung cantik, pada sebuah tali kabel dari lampu-lampu kecil, bak kunang-kunang di sebuah tembok yang bercatkan krem pastel, turut menghiasi kamar ini. Pandanganku pun terhenti pada sebuah frame yang memajang foto kami semasa sekolah.

Rona bahagia terpancar pada wajah kami yang mengenakan seragam putih abu-abu. Kata orang masa yang tidak akan terlupakan adalah masa SMA, kalau boleh ku jawab, 'ya' memang benar adanya.

Dulu kami bersepuluh. Aku, Aldira dan ke delapan gadis lainnya, kami sangat akrab dan dekat. Kami sering menghabiskan waktu bersama, saking kompaknya kami sering dipandang negatif oleh guru-guru kami.

Mereka sering menuduh kami membuat 'Geng' dikarenakan anggota kami yang bisa dibilang cukup ideal untuk membentuk girlband atau bahkan idol grup. See ! Mereka hanya melihat apa yang mereka dengar, dari desas-desus kabar yang tidak jelas.

Padahal kami tidak merekrut atau mendeklarasikan sesuatu, saat kami sedang terlihat bersama. Kami juga tidak seperti yang mereka bicarakan, sisi negatif 'geng' yang terkenal Barbar, suka menindas dan masuk dalam black list sekolah. Dan maaf itu bukan kami.

Tidak hanya perempuan bahkan kami sangat akrab dengan teman laki-laki dikelas kami. Sehening apapun kelas kami, ketika kami sudah bersama, suasana tegang dan sunyi dalam kelas akan pecah oleh kelakuan kami. Ada saja kekonyolan yang kami lakukan.

Bagi kami, masa SMA ini tidak akan terulang kembali, jadi sebisa mungkin kami menciptakan kenangan-kenangan yang tak terlupakan.

Bahkan, guru-guru kami satu sekolah pun sangat hafal dengan kami. Tingkah kami yang konyol dan selalu bisa mencairkan suasana, menghapus jarak antara kami dan Mereka, guru kami. Dari situlah takdir mempertemukan aku dan Agas.

Ngomong-ngomong soal Agas aku belum mengabarinya seharian ini. Kemudian aku berinisiatif mengirimkan pesan pada seseorang disebrang sana.

Sent to Agas ♡

From Calista : Agas kamu dimana?

Tak berapa lama ponselku berbunyi, menandakan sebuah pesan masuk.

Sent to Calista 😘

From Agas : Aku masih dikampus yang, nanti aku kabarin lagi. Love you 😘

Aku enggan membalasnya lagi. Cukup mengerti, mungkin dia memang sedang sibuk dan aku cukup tahu diri untuk tidak memaksanya membalas pesanku.

Aku berjalan menghampiri kotak kayu yang berada disudut meja belajarku, lalu kembali ke tempat tidurku dan meletakkan kotak kayu itu diatas kasur. Berdebu, satu kata untuk menggambarkannya, karna memang sangat lama sekali. Kotak kayu yang tak lain adalah saksi bisu dari cerita tentangku dan Agas.

Aku mulai membuka kotak kayu ini dan seketika kenangan-kenangan tentang kami pun mulai menyapa kami. Benda-benda yang sudah lama dan sepucuk surat bergambar burung pemarah berwarna merah ada didalamnya. Tergelitik dengan surat yang sudah pudar warnanya dan lusuh menjadi hal yang ingin aku baca.

Ya, surat Cinta dari Agas yang seketika membuat pipiku merona oleh kata-kata yang tertoreh disana. Satu-persatu kenanganku dengan Agas muncul tanpa diundang, menarikku ke masa yang lalu, dimana kisah kami dimulai. Bak sebuah film yang terputar tanpa seizinku.

Waktu itu kami tidak sadar bahwa kami satu gugus saat masa orientasi siswa. Setelah masa orientasi lewat, kira-kira tiga hari besoknya adalah pengumuman pembagian kelas.

Aku berjalan menuju kerumunan siswa-siswi yang resmi mengenakan seragam putih abu-abu, melihat daftar nama dan kelasku. Saat melihat daftar kelas, aku tidak sadar bahwa Agas berdiri disampingku, aku yang meneliti namaku mulai dari atas bersamaan dengan Agas yang sekarang berpindah kebelakangku karena desakan siswa lain.

Jariku dan jarinya berhenti bersamaan, dengan jari telunjuk Agas yang posisinya ada diatas jari telunjukku. Sedetik kemudian jari kami membeku dan mendadak suasana disekitar kami hening.

Aku yang pada saat itu tidak tau, bahwa itu adalah Agas, hanya diam seribu bahasa. Kemudian ku lanjutkan mencari namaku dan coba tebak ? Kami sekelas. Great!!!. Dari situlah cerita kami dimulai.

Awalnya biasa, lama-lama kami terbiasa dengan kehadiran satu sama lain. Setiap hari kami semakin akrab, membuat rasa nyaman yang entah dari mana mengusik. Aku merasakan berjuta kupu-kupu berterbangan di dalam perutku dan detak jantungku pun tidak karuan, membuatku resah.

Entah apa dan harus bagaimana, memang benar persahabatan antara laki-laki dan perempuan tidak akan bertahan lama karena salah satunya akan menyerah, lalu pada akhirnya jatuh Cinta. Dan mungkin hal itu berlaku padaku.

Agas sering mencurahkan suasana hatinya dan masalahnya tak jarang jantungku berdetak tidak bisa diam dan aku suka itu. Meskipun dia masih memiliki orang lain saat itu.

Aku suka senyumnya, alisnya yang tebal dan rapi, hidungnya yang mancung dan bibirnya yang penuh. Aku bisa gila jika berdekatan dengannya, membayangkan ketidak-mungkinan yang terjadi.

Agas bukan cowok perfect berbadan tinggi, berdada bidang dan berkulit putih seperti yang diceritakan novel-novel atau drama apapun. Dia tidak tinggi, berkacamata dan kulitnya cokelat, satu kata untuknya. Manis.

Tanpa sadar pipiku merona kembali membayangkan sosok dirinya. Sampai suatu hari aku harus menguatkan hatiku menerima kenyataan bahwa Agas menyimpan perasaan lebih pada sahabatku sendiri. Aldira Respati. Aku masih menyimpan chat kami dari awal kami akrab sampai sekarang dan masih tersimpan rapi dalam inbox ponselku.

Agas Cokrodinoto : PING!!!

Calista Hartawan : Kenapa Gas?

Chat dari lo aja udah cukup bikin jantung gue maraton Gas terus meletup-letup kayak pop corn.

Agas Cokrodinoto : Sebenarnya gue suka sama temen lo ta, tapi kayaknya dia sulit didapetin

Calista Hartawan : Siapa Gas? Sejak kapan? Gue tau orangnya?

Agas Cokrodinoto : Aldira Respati.

Bahkan lo ga sadar Gas bahwa selama ini ada cewek yang setiap deket sama lo jantungnya berdetak gak karuan, hanya sama lo Gas.

Aku yang waktu itu sempat merasakan jutaan kupu-kupu yang berterbangan didalam perutku, kini berubah tertusuk ribuan pisau dihatiku. Sakit. Memang ada sakit yang tidak bisa dijelaskan mungkin seperti itu rasanya.

Apa gue harus pergi dulu biar lo sadar? Apa gue harus menghilang dulu biar lo peka?

Ya Tuhan rasanya aku hancur lebur seketika seperti dandelion dan jatuh ke dasar bumi. Sakit rasanya tertampar kenyataan. Ketidakpekaan Agas membuatku sadar bahwa kita memang hanya sebatas sahabat.

Yah, kadang semesta senang bermain-main tapi bisa dibilang masa itu sudah lewat. Sekarang aku dan Agas memasuki 6 tahun hubungan kami dan aku rasa kami cukup dewasa untuk hal seperti itu. Mengenang masa lalu

Bersambung..

O.S.P.E.K (Lagi)

...Sehening apapun kita,...

...selalu saja ada suara....

...Suara detak rindu,...

...yang paling Setia...

...menunggu....

...-Qorry-...

...***...

Hari ini ospek pertamaku dikampus baru, sebelumnya sih udah pernah diospek, hihihi. Well, jantungku berpacu dua kali lipat beserta keringat sebesar biji jagung dikeningku. Hal itu membuat diriku mudah sekali terbaca bahwa seorang Calista Hartawan sedang gugup.

Pukul 7 tepat..

Aku dan Aldira menunggu keriuhan ospek yang akan diadakan sampai dua hari kedepan.

"Njir. Lama banget sih Dir senat-senatnya pada bangun candi dulu kali yak" keluhku, lantaran kami sudah tiba lebih dulu dari jadwal yang ditentukan.

"Iya nih mana cuma kita berempat yang dateng duluan" jawab Dira yang tak kalah kesalnya denganku.

Yah, awalnya kami yang lebih dulu tiba, selang beberapa menit dua laki-laki yang berseragam sama seperti kami, name tag yang bertengger manis dan dikalungkan dileher mereka, menyakinkan kami bahwa mereka pun satu penderitaan dengan kami.

Laki-laki yang berkulit sawo matang itu bernama Marvel Herdato dan satunya lagi yang bwrkulit tan bernama Axel Atmaja. Mereka juga datang lebih awal karna mengira mereka terlambat dan ternyata kami kena zonk.

Great!!!

"Loh kok masih sepi? Senatnya mana sih?" Tanya salah satu dari mereka.

"Belom pada dateng Xel" Jawab Dira yang memang sudah membaca name tag cowok itu dan Axel hanya membeo membentuk huruf O pada mulutnya.

"Kalian tinggal di deket kampus?" tanyaku pada mereka.

"Ya ga bisa dibilang deket juga Lis, lumayan lah 20 menit kalo ga macet" seraya membetulkan name tag yang bertuliskan Marvel Herdato.

Kemudian hening diantara kami berempat dan Awkward moment pun tercipta. Akhirnya setelah sejam kami menunggu, ospekpun berlangsung.

Saat kami berkeliling kampus mengikuti arahan kakak senat yang bertugas memperkenalkan lingkungan kampus, aku merasakan seseorang menggenggam tanganku. Refleks langsung saja Ku tarik paksa tanganku.

"Ngapain lo barusan? Mau macem-macem lo sama gue?" ketusku sebal, seraya memasang tatapan membunuh.

Enak banget lo main gandeng aja, emang lagi naik wahana di dufan.

"Heheheh aduh galak banget. Kenalan dong?"

Beo seorang cowok yang dengan kurang ajarnya menyatukan jemarinya denganku tadi. Luar binasa ! Aku pun memberikan tatapan dalam artian, JANGAN - GANGGU GUE.

Akhirnya ospek hari pertama berakhir dengan khidmat, walaupun sedikit mendapatkan musibah.

Saat perjalanan pulang aku menceritakan musibahku pada Dira..

"Kenapa muka lo lecek Lis? Kayak baju yang belum disetrika" ucapnya, langsung ku hadiahi tatapan GUE - SERIUS.

"Sorry deh, yaudah cerita dong"

Perlahan aku menarik napasku dan..

"Eh Dir, tau gak sih, masa tadi tangan gue di gandeng sembarangan, sama cowok Dir. Horror ih" ceritaku sambil sedikit berteriak histeris.

"Cieee cakep ga Lis orangnya?" ledeknya sambil tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi jijik pada wajahku.

"Kalo kata Anang juri indonesian idol 'Aku sih NO' "

kami pun tertawa sepanjang perjalanan pulang.

******

Hari kedua ospek kami harus mengikuti ldk yang diadakan dua hari. Di hari kedua aku mengalami Jetlag, karna sebelumnya aku belum mengisi usus dan lambungku. Alhasil, aku pingsan saat mengikuti upacara pembukaan latihan dasar kepemimpinan.

Setelah sadarkan diri dari pingsan yang kurang lebih tiga jam lamanya. Seingatku, aku sampai harus di berikan tabung oksigen juga tadi. Akhirnya, aku pun melanjutkan kegiatan ldk itu setelah merasa cukup baik.

Saat makan siang, kami hanya diberi waktu 10 menit untuk menghabiskan makanan kami, coba kalian bayangkan; nasi box yang isinya Ayam, sayur, telor dan pisang yang segede gaban. Hanya diberikan waktu 10 ?!

Are you kill me? Umpatku dalam hati.

Tapi beruntungnya aku, satu kelompok dengan rata-rata cowok dan dengan wajah kelaparannya dapat ku baca. Segera aku melancarkan aksiku.

"Josh, lu mau ayam gue gak? Paroan deh, kasian lu nanti gumoh kebanyakan ayam" kataku yang sempat meneguk saliva menatap yang ada didepan mata.

"Duh lo ini Lis untung cakep, yaudah sini ayam lo. Jangankan ayam lo Lis, lo tawarin gue ayam kampus juga ga bakal nolak rejeki gue" candanya yang ku balas dengan toyoran dikepalanya.

Dasar otak mesum.

"Lis, telor lo masih utuh? Gue mau dong?" Tanya Marvel yang dengan jelas tertulis 'GUE MAU TELOR LO' dijidatnya.

"Sekalian aja nih pisang gue, sumpah gue ga bakal kuat abisinnya" keluh ku sembari memegang pisang yang jika diamati sekilas, mirip pisau Dapur.

"Lis, gue kan udah punya pisang ngapain makan pisang. Lagian juga pisang gue ga bakal abis" dan seketika duo mesum tertawa langsung saja ku hadiahi suapan ayam dimulut mereka. Aku pun menyeringai puas. Setelah itu kami pun melanjutkan kegiatan kami.

Sore harinya, jadwal kami adalah membersihkan badan dan beristirahat sampai jam makan malam kami, setelah itu kami akan menjelajahi hutan. Selesai makan malam kami mulai diberi perbekalan untuk menjelajahi hutan. Eitsss. Bukan peta atau senter ya? Tapi sebuah kode saat kami bertemu seseorang, kami harus tau yang bertemu dengan kami nantinya teman satu regu atau bukan.

Membayangkannya saja aku sudah ingin melambaikan tangan ke kamera, bayangkan kami dihutan dengan pencahayaan yang minim perbekalan yang kurang meyakinkan. Kami hanya di beri petunjuk, bahwa kami harus mengikuti tali rafia yang terikat dipohon sebagai petunjuk jalan yang boleh dan harus kami lalui.

Lalu kami pun dikumpulkan di satu lapangan besar dan regu pertama maju membawa pesan berantai yang harus dikatakan kepada seseorang dimarkas terakhir. Sebenarnya misi ini sangat seru tapi cukup membuat jantungku keluar dari tempatnya.

Regu pertama adalah reguku, satu persatu nama kami dipanggil dan kini tiba giliranku. Aku harus menyampaikan pesan ini dan tidak boleh bocor pada siapapun bahkan aku harus terus mengingat kode yang membedakan antara musuh atau teman satu tim regu kami.

Tiba di pos pertama, sudah ada penjaga dan seorang Kakak Senat. Dia melemparkan kode "Bintang" yang aku sudah tau harus jawab apa.

Langsung saja ku jawab "Bulan" setelahnya aku ditemani sampai ke tepi hutan.

Kemudian mereka kembali ke tempat semula. Aku menerawang kedepanku sembari meneguk salivaku dan mulai berjalan perlahan, namun waspada terhadap sekitar. Aku yang melihat tali rafia yang terpasang sesuai petunjuk, langsung saja kuraih dan mengikutinya.

"Ya Tuhan Calista masih mau nikah" Bantinku dalam hati.

Suasana makin mencekam di dalam hutan..

"Tuhan, Calista mau dijodohin deh gapapa. Ah, tai. Itu suara apa? Itu tadi yang terbang apaan?"

Rasanya aku ingin berlari berkejaran dengan jantungku sebisa mungkin keluar dari hutan ini.

Tiba-tiba..

"Bangsat. Talinya berhenti sampai sini, terus gue harus Kemana ini?" Aku pun mulai panik dan ketakutan saat ini.

"Gue harus kemana ini? Tenang Lis jangan panik" Batinku.

Sialnya, aku mendengar suara langkah kaki seseorang mendekat. Refleks aku menengok kebelakang, coba tebak? Nobody else. Creepy!!!

"Hell. Gue pengen pipis rasanya huuuaaaaa" Batinku.

Akhirnya aku pun melihat seberkas cahaya dikejauhan, bergerak-gerak tak keruan yang langsung ku sadari adalah gerakan kode seseorang dari sebuah senter.

"Untung pernah ikut pramuka" batinku.

Tanpa membuang waktu, aku berlari mengikuti kode tersebut dan akhirnya aku tiba dipos terakhir. Penjaga itu melemparkan kode "Bulan" langsung saja ku jawab "Bintang" kemudian aku menuju markas utama dan akhirnya MISSION COMPLETED. Aku memberikan pesan rahasia pada komandan di pos terakhir.

Happy reading..

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!