**Hai kak, salam kenal dari Author Kopii Hitam
Meskipun hitam, tetap manis seperti reader yang membaca novel ini kan**
**Jangan lupa tinggalkan jejak petualangannya ya
Happy Reading**
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Saya terima nikah dan kawinnya Yunanda Caroline binti Aditama Putra dengan mas kawin tersebut, tunaiiii."
Suara Elkan menggelegar memenuhi ruangan berukuran 4×6 itu. Dua orang saksi berkata sah dengan lantangnya.
Yuna menatap wajah ayahnya dengan sendu. Dia hanya bisa menelan tangisannya, sementara tangannya sudah bergetar dan mengeluarkan keringat dingin. Tidak pernah terbersit di pikirannya akan menikah secepat ini. Apa lagi dengan pria yang tak dia kenal sama sekali.
Dunia Yuna seakan runtuh, bagaimana mungkin dia sanggup menjalani hari-harinya dengan pria yang tidak dia cintai sedikitpun. Bahkan untuk melihat wajah suaminya saja Yuna tidak ingin.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Langkah Yuna mulai goyah saat pertama kali menginjak kamar Elkan. Kamar yang tertata dengan rapi, sangat luas dan megah. Semua perabotan di dalamnya nampak mewah. Mungkin harga satu ranjang, seharga rumah yang ditempati ayah Yuna saat ini.
Bola mata Yuna berguling liar menatapi setiap sudutnya. Tak disangka dia akan berakhir di tempat semegah ini. Bukan rumah, melainkan istana layaknya negeri dongeng. Sangat jauh dibanding rumahnya yang sudah disita beberapa waktu lalu.
Yuna menekuk kakinya di sisi ranjang, wajahnya terlihat kalam, ada rasa gugup sekaligus takut menyelimuti jiwanya. Bagaimana cara tinggal di dalam kamar yang sama dengan suami yang tidak dia inginkan itu.
Usai membersihkan diri, Yuna kembali duduk di sisi ranjang dengan rambut terurai panjang. Wajahnya semakin gelisah membayangkan sesuatu yang akan terjadi setelah ini. Dia benar-benar takut menghadapi malam pertama yang tak diinginkannya ini.
"BRAAAK"
Bentukan keras dari arah pintu membuat Yuna terperanjat kaget. Matanya terbuka lebar dengan bibir bergetar hebat. Bahkan sekujur tubuhnya gemetaran menyaksikan tatapan Elkan yang sangat tajam.
"Jangan lancang menyentuh ranjang ku!" bentak Elkan sembari mengacungkan telunjuk kidalnya, kemudian berlalu memasuki kamar mandi.
Dengan tatapan nanar, Yuna bergegas bangkit dari duduknya. Langkahnya terhuyung mencapai sofa yang ada di sudut kamar. Dia tak mengerti kenapa Elkan bersikap begitu kasar kepadanya. Padahal keduanya tidak saling mengenal sebelumnya.
Beberapa menit berlalu, Elkan keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melingkar di pinggangnya. Dada bidangnya terpampang nyata bersamaan dengan perut kotaknya, ototnya menonjol indah di permukaan pangkal lengannya.
Rahangnya terpahat begitu sempurna, mata elangnya terlihat tajam dengan bola berwarna coklat. Bulu alisnya berjejer rapi dan lebat, lengkap dengan hidung mancung dan bibir yang sangat sensual. Sayangnya, ekspresi wajah Elkan nampak datar bak jalan tol.
Sementara Yuna sendiri terlihat sangat cantik dengan alis yang menukik, mata dan hidung yang lancip, serta bibir tebalnya yang menggoda.
Yuna membulatkan matanya tanpa kedip, mulutnya sedikit menganga. Dia terus saja memandangi Elkan yang tengah sibuk mengeringkan rambut basahnya. Pesona sang suami membuatnya terpana untuk sesaat.
"Astaga, ternyata suamiku tampan sekali." batin Yuna dengan tatapan tak biasa, sesaat dia terhipnotis dengan ketampanan suaminya.
Sorot mata Yuna yang aneh membuat Elkan sedikit risih, selama ini tak seorang pun yang pernah melihat tubuh atletisnya. Beruntunglah Yuna, karena dia lah satu satunya wanita yang berhasil melihat lekukan tubuh suaminya.
"Apa yang kau lihat?" tanya Elkan dengan ciri khasnya yang kaku dan dingin.
Suara Elkan yang besar membuat Yuna terperanjat kaget, lamunannya buyar seketika. Pipinya merona menahan rasa canggung yang tengah menyelimuti relung hatinya.
"Ti, tidak, aku tidak melihat apa-apa." jawab Yuna gugup, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Elkan tersenyum pahit. "Mulai hari ini biasakan dirimu melihatku seperti ini! Aku tidak biasa berpakaian di kamarku sendiri."
Elkan melempar handuknya ke sembarang tempat, lalu berjalan menuju lemari. Dia berjongkok dan menarik sebuah laci, lalu mengeluarkan sebuah map dari dalam sana.
"Baca surat perjanjian ini dengan baik, setelah itu kau bisa menandatanganinya!" titah Elkan sembari menyodorkan secarik kertas ke wajah Yuna.
"Surat perjanjian?" Yuna menautkan alisnya bingung.
"Surat perjanjian apa ini?" tanya Yuna penasaran.
"Bukankah kau punya mata? Baca saja sendiri!" ketus Elkan dengan kasarnya.
Seketika, Yuna pun terdiam. Dia meraih kertas itu dari tangan Elkan, lalu membaca satu persatu kalimat yang tertulis di atasnya. Mata Yuna membulat besar, dia hampir saja berteriak. Untunglah tangannya dengan cepat menyumpal mulutnya sendiri.
Elkan menyodorkan sebuah pena. "Jika kau setuju, maka tandatangani saja! Aku rasa hal ini akan menguntungkan untuk kita berdua."
Yuna bergeming sembari menatap wajah Elkan dengan intens, dia masih tak percaya dengan apa yang dia baca barusan. "Apa pernikahan ini hanya sebuah perjanjian?"
Elkan tersenyum licik. "Tentu saja, kau pikir aku menikahi mu karena apa? Jangan harap aku akan menyentuhmu!"
"Ingat, aku sudah mengucurkan dana yang tak sedikit untuk melunasi hutang Ayahmu. Maka sebagai gantinya, kau harus setuju dengan semua yang tertulis di kertas itu!" tegas Elkan dengan nada sedikit mengancam.
Yuna mengangkat bahunya dengan bibir sedikit maju. Meskipun kesal dengan gelagat Elkan yang sok, tapi dia sendiri sangat senang mengetahui kebenarannya.
"Baiklah kalau begitu, kau pikir aku mau menikah denganmu? Kalau bukan karena terpaksa, ogah kali aku menjadi istrimu." Seulas senyuman terukir jelas di wajah Yuna. Dia masih tak menyangka, ternyata dewi fortuna sedang berpihak kepadanya.
Usai membaca semua yang tertulis di kertas itu, Yuna bergegas menandatanganinya, lalu mengembalikannya kepada Elkan.
"Ini, ambillah! Perjanjian ini dibuat olehmu, aku harap kau bisa konsisten dengan poin yang tertulis di dalamnya. Jangan sampai kau sendiri yang melanggar semua itu!"
Yuna tersenyum sumringah, kemudian bangkit dari duduknya. Lalu melenggang menuju kamar mandi.
Di dalam sana, Yuna melompat kegirangan. Dia sangat senang karena pernikahan ini ternyata bukanlah pernikahan sungguhan, ketakutannya pun lenyap seketika.
"Syukurlah, itu artinya aku tidak perlu melayani pria sombong sepertimu!" batin Yuna, hembusan nafasnya yang berat berdesir merdu mengisi kehampaan kamar mandi.
Sesuai isi perjanjian yang tertulis, Yuna hanya perlu menjadi istri Elkan selama tiga bulan ke depan. Setelah itu, keduanya bisa bercerai. Yuna akan menerima kompensasi untuk itu.
Selama perjanjian berlangsung, keduanya tidak boleh memiliki rasa, apa lagi melakukan hubungan suami istri. Mereka juga tidak boleh tidur di ranjang yang sama, salah satu dari keduanya harus tidur di sofa.
Yuna mendapat kebebasan melakukan apa saja di luar sana, begitupun dengan Elkan. Tidak boleh mengekang dan tidak boleh dikekang. Tapi saat di rumah, Yuna berkewajiban menyiapkan segala keperluan Elkan. Pria itu tidak suka melihat orang lain masuk ke kamarnya.
Bukan tanpa alasan Elkan mengatur semua itu. Dia harus mengikuti wasiat terakhir dari mendiang kakeknya yang sudah berpulang beberapa waktu lalu.
Sesuai isi wasiat yang dibacakan pengacara sekitar satu minggu lalu, Elkan harus menikah secepatnya. Jika tidak, semua warisan keluarga Bramasta akan disumbangkan ke panti asuhan dan panti jompo. Dua puluh lima persennya diberikan kepada anak angkat kakeknya.
Tetapi jika Elkan sudah menikah, jatah warisan akan jatuh ke tangannya saat pernikahannya memasuki usia tiga bulan.
Elkan sendiri sebenarnya tidak tertarik dengan wanita, apa lagi pernikahan. Hal itu dikarenakan seseorang yang pernah membuatnya terluka.
Saat rasa cinta Elkan sedang menggebu, wanita itu meninggalkannya dan menikah dengan pria lain. Sebab itulah dia tidak ingin benar-benar menikah. Baginya semua wanita itu sama saja, pengkhianat.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Pagi hari, Yuna sudah berjibaku di dapur dengan peralatan masaknya. Meskipun di istana itu banyak pelayan, dia ikhlas menyiapkan segala kebutuhan Elkan dengan tangannya sendiri, termasuk masalah perut.
Usai memasak, Yuna kembali ke kamar membawa sebuah nampan. Di atasnya terdapat nasi goreng, telor ceplok, kerupuk dan jeruk panas. Semua sudah sesuai dengan isi perjanjian yang tertulis. Apa yang disukai Elkan dan apa yang tidak disukainya.
Setelah menaruh nampan itu di atas nakas, Yuna bergegas membuka pintu lemari. Menyiapkan pakaian yang akan dikenakan Elkan pagi ini, lengkap dengan jas dan juga dasi, lalu menaruhnya di sofa.
Karena tugas Yuna pagi ini sudah selesai, dia pun masuk ke kamar mandi membersihkan diri. Usai mandi, dia bersiap untuk melakukan rutinitasnya sehari-hari.
Yuna merupakan seorang influencer. Saat ini namanya tengah menjadi sorotan hangat dikalangan masyarakat luas. Banyak endorse yang berdatangan, dia juga baru menandatangani kontrak dengan salah satu brand ternama di tanah air.
Selesai sarapan, Yuna meninggalkan kediaman Elkan. Raut wajahnya nampak berseri. Meskipun kini statusnya sudah menjadi istri orang, tapi kenyataan ini harus dia sembunyikan.
Bagaimanapun, pernikahan ini hanyalah sandiwara semata. Dia tidak mau masalah pribadinya diketahui banyak orang.
Bersambung...
**Hai kak, salam kenal dari Author Kopii Hitam
Meskipun hitam, tetap manis seperti reader yang membaca novel ini kan**
**Jangan lupa tinggalkan jejak petualangannya ya
Happy Reading**
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Elkan terbangun saat hidungnya tak sengaja mencium aroma nasi goreng yang sudah tersaji di atas nakas. Aroma yang sangat menggoda hingga membuat perutnya mengeluarkan bunyi yang mengganggu.
Elkan mengucek matanya pelan, aroma itu membuat perutnya benar-benar lapar, cacing di dalam sana sepertinya sedang berdemo dan menusuk lapisan kulitnya.
Elkan menoleh ke arah nakas, lalu mengalihkan pandangannya ke arah sofa. Dia bergeming, tak menyangka sang istri benar-benar melakukan tugasnya dengan sempurna.
"Hebat juga wanita itu, jam segini sudah selesai menyiapkan segalanya." batin Elkan sembari bangkit dari tidurnya. Bola matanya berguling liar ke segala sudut, namun tak menemukan Yuna di kamar itu.
Elkan melenggang menuju kamar mandi, dia tak peduli ada atau tidaknya Yuna di sana. Baginya itu bukanlah urusannya, dia hanya ingin waktu berjalan dengan cepat dan segera mengakhiri perjanjian menyebalkan ini.
Usai mandi dan mengenakan pakaiannya, Elkan duduk di sisi ranjang sembari menikmati sarapannya.
"Tidak buruk," gumam Elkan dengan mulut yang dipenuhi nasi goreng, lalu melanjutkan makannya dengan lahap.
Usai sarapan, Elkan berdiri di depan cermin sembari merapikan pakaian dan menyisir rambutnya. Setelah itu, Elkan berjalan meninggalkan kamar. Di bawah sana, Beno sudah menunggunya sejak beberapa menit yang lalu.
Beno merupakan anak angkat dari mendiang kakek Elkan, asisten pribadi sekaligus sopir yang siap mengantar dan menemani Elkan kemana pun dia pergi. Mereka berdua sudah seperti kakak adik, usia keduanya pun tidak jauh berbeda.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Pukul 9 pagi, Elkan dan Beno sudah tiba di perusahaan. Ruangan mereka ada di lantai 15, lantai terakhir dari gedung yang nampak menjulang tinggi.
Di ruangannya, Elkan mulai sibuk dengan pekerjaannya. Meskipun sifatnya terkadang sangat angkuh dan dingin, tapi dia sendiri merupakan tipe pria pekerja keras.
Perusahaan yang dikelolanya saat ini berkembang pesat di tangannya dan juga Beno. Keduanya mengelola perusahaan dengan sangat baik. Sayang sedikit, keduanya kalah di dalam hal percintaan.
Usai makan siang, Beno masuk ke ruangan Elkan membawa beberapa map di tangannya. Salah satunya merupakan proposal dari seorang gadis yang sudah ditunjuk menjadi brand ambassador produk mereka.
Bramasta Corp yang dulunya dikenal sebagai perusahaan pemasaran, kini sudah berkembang dan meluncurkan produknya sendiri. Produk kecantikan yang sedang viral di kalangan masyarakat luas. Produk itu diberi nama BMS BEAUTY GLOW.
Tidak hanya memproduksi skincare, Bramasta Corp juga memproduksi body wash, shampoo, lotion, minyak wangi, kosmetik dan beberapa produk kecantikan wanita dan pria lainnya.
"Ini proposal brand ambassador yang sudah menandatangani kontrak dua hari yang lalu! Aku harap kau tidak akan jantungan melihat ini," ucap Beno, kemudian menaruh proposal itu di atas meja. Dia pun duduk tepat di hadapan Elkan dengan ciri khasnya yang ramah senyum.
"Kenapa berkata seperti itu? Kau sengaja menyumpahi ku agar cepat mati?" ketus Elkan dengan mata elangnya yang tajam, lalu mengambil proposal itu dari atas meja.
"Hehehe, bukan begitu! Mana mungkin aku menginginkan kematian mu? Hanya kau satu satunya keluarga yang aku punya saat ini." ucap Beno dengan tawanya yang terdengar sangat lepas.
"Alasan," gumam Elkan sembari tersenyum miring.
Elkan kemudian membuka map yang ada di tangannya. Awalnya biasa saja, tidak ada yang aneh dengan isi yang tertulis di dalam proposal itu. Tapi saat mengamati nama yang tertera di sana, Elkan bergeming dengan mata terbuka lebar.
"Yunanda Caroline?" gumam Elkan sembari menautkan alisnya. Dia seperti pernah mendengar nama itu sebelumnya, bahkan merasa pernah menyebutnya dengan bibirnya sendiri.
"Tepat sekali, Yunanda Caroline. Apa kau tidak ingat dengan nama itu?" tanya Beno sembari tersenyum kecil.
Elkan mengalihkan pandangannya ke arah Beno, mata keduanya saling menatap dengan intens. Seketika, Beno pun melebarkan senyumannya menanti reaksi Elkan. Dia penasaran, bagaimana terkejutnya pria itu ketika tau brand ambassador mereka adalah istri Elkan sendiri.
"BRUUUK"
Elkan memukul meja dengan kasar. "Astaga Beno,"
Elkan pun menghamburkan diri dari tempat duduknya. Tangannya mengepal erat meremas proposal yang masih ada di tangannya itu. Dia tak habis pikir, kenapa dunia ini begitu sempit.
Elkan melempar proposal itu ke meja, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. Beno hanya bisa tersenyum melihat ekspresi wajah Elkan yang sangat membagongkan.
"Kenapa jadi seperti cacing kepanasan begitu?" tanya Beno, kemudian tertawa dengan lepas.
"Diam kau! Kenapa harus wanita itu sih? Masih banyak wanita lain di luar sana, Lucinta Luna kek, Millendaru kek." geram Elkan sembari menumpukan tangannya pada sanding meja.
"Hahahaha, mana aku tau? Ini bukan wewenang ku, tanya saja pada bagiannya!" Beno terkekeh sembari mengangkat bahunya, bibirnya nampak sedikit maju.
"Huft," Elkan menghela nafas berat, lalu membuangnya kasar. Dia kembali duduk di kursinya, tak percaya bahwa istrinya akan menjadi bagian terpenting di perusahaan. Elkan kembali membuka proposal itu dan melihat foto istrinya terpampang jelas di bawah sana.
"Beno, tolong sembunyikan status pernikahanku dari semua orang! Aku tidak mau seorang pun tau tentang ini!" pinta Elkan sedikit memohon.
"Kenapa? Bukankah dia itu istrimu?" tanya Beno sembari menautkan alisnya.
"Aku tidak menganggapnya sebagai istriku, pernikahan ini hanya sebuah perjanjian bagiku. Saat waktunya tiba, kami akan bercerai. Jadi, tidak ada untungnya orang-orang mengetahui tentang ini!" jelas Elkan dengan yakinnya.
"Astaga Elkan, jadi kau...,"
"Sudahlah, tidak perlu banyak bicara di depanku! Jika urusanmu sudah selesai, maka keluarlah! Masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan!" ucap Elkan dengan ciri khasnya yang kaku dan dingin.
"Ok, baiklah." Beno tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia bangkit dari duduknya dan menaruh map lainnya di atas meja, lalu berjalan meninggalkan ruangan Elkan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di bawah sana, tepat di lantai 10 sedang diadakan pemotretan. Yuna nampak begitu bersemangat, wajahnya juga terlihat sangat cantik. Dia melakukan pekerjaannya dengan baik dan sangat profesional.
"Bagus Yuna, bagus sekali! Kalau begini, namamu bisa melambung dengan cepat. Bahkan kamu bisa mengalahkan model papan atas." puji fotografer yang bertugas memotret Yuna.
"Terima kasih, tapi jangan memujiku berlebihan! Aku hanya selebgram biasa, mana bisa dibandingkan dengan model papan atas?" Yuna menjeda ucapannya.
"Lagian di sini tugasku mempromosikan produk kalian, bukan penampilanku!" jawab Yuna yang hanya menjalankan tugasnya sesuai arahan penanggung jawab.
"Ah, kamu bisa saja merendahkan diri. Kita lihat saja nanti!" balas sang fotografer bernama Ferry.
Usai pemotretan, Yuna bersiap-siap untuk pulang. Dia bahkan tidak tau siapa dan bagaimana pemilik perusahaan itu sebenarnya, lagian baginya hal itu tidaklah penting.
Yang ada di benak Yuna saat ini hanyalah bekerja sesuai kontrak yang sudah ditandatangani, lalu mengumpulkan cuan sebanyak-banyaknya untuk masa depannya kelak.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Yuna tiba di kediaman Elkan tepat pukul 5 sore. Wajahnya nampak lelah, seharian beraktivitas membuat matanya mengantuk. Namun sebelum beristirahat, dia memilih mandi terlebih dahulu.
Tidak lama, hanya sekitar 15 menit Yuna sudah keluar dari kamar mandi. Setelah mengenakan pakaian, dia pun merebahkan diri di sofa. Dia sadar dimana dan bagaimana posisinya di rumah itu. Dia tidak ingin berharap banyak, karena kenyataannya dia tidak boleh berharap.
Setengah jam sudah berlalu, Elkan pun sudah tiba di kediamannya. Sesampainya di kamar, Elkan membuka pakaiannya dan berbaring di atas kasur. Seperti biasa, dia tak pernah berpakaian di kamar itu, tubuh atletisnya selalu terpampang nyata mengusik kenyamanan mata.
Saat hendak memejamkan mata, dia tak sengaja melihat Yuna yang tengah terlelap di atas sofa. Karena tidak peduli dan tidak akan pernah peduli, Elkan pun melanjutkan keinginannya untuk tidur. Matanya semakin berat hingga tak butuh waktu lama baginya memasuki alam bawah sadarnya.
Bersambung...
**Hai kak, salam kenal dari Author Kopii Hitam
Meskipun hitam, tetap manis seperti reader yang membaca novel ini kan**
**Jangan lupa tinggalkan jejak petualangannya ya
Happy Reading**
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Malam hari, Yuna terbangun saat tubuhnya merasa gamang. Kepalanya sudah tergantung di ujung sofa, untung saja dia cepat sadar. Kalau tidak, mungkin tubuh montoknya sudah menggelinding di dasar lantai.
Yuna mengucek kelopak matanya yang masih separuh terbuka. Saat menatap dinding, matanya membola mendapati jarum jam yang sudah menunjuk angka 7.
"Astaga, kenapa aku jadi ketiduran selama ini?" gumam Yuna sembari bangkit dari tidurnya, dia berlari ke kamar mandi untuk mencuci muka.
Baru saja menapakkan kaki di dalam sana, teriakan Yuna bergemuruh dengan lantang. Dia bergeming dan bergegas menutup matanya ketika menyaksikan tubuh Elkan yang polos tanpa sehelai benang pun. Teriakan Yuna itu membuat telinga Elkan berdenyut nyeri.
"Hei, jangan berteriak di depanku!" hardik Elkan sembari meraih handuk dan melilitkannya di pinggang. Dia kesal melihat Yuna yang seenak jidat menyelonong masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
Rahang Elkan mengerat kuat. "Apa yang kau lakukan di sini hah? Tidak sopan," tanya Elkan meninggikan suaranya, wajahnya tampak kaku bak beton pembatas jalan.
"Ma, maaf, aku pikir tidak ada orang di dalam. Habis pintunya tidak dikunci sih," sahut Yuna yang masih setia menutup matanya, dia berbalik dan bergegas meninggalkan kamar mandi.
"Astaga, apa yang aku lihat barusan? Aduh, otakku jadi tercemar kan?" batin Yuna sembari mengetok jidatnya dengan kasar, pikirannya seketika ternoda melihat tubuh indah Elkan yang sangat menggoda.
"Stop Yuna, stop! Jangan diingat lagi!" batinnya menggerutu.
Yuna bergegas membuka pintu lemari, menyiapkan pakaian Elkan dan menaruhnya di atas kasur. Setelah itu Yuna keluar dari kamar, dia tidak sanggup menatap wajah Elkan saking malunya atas apa yang baru saja terjadi.
Di bawah sana, Yuna bergabung dengan para pelayan yang tengah sibuk menyiapkan makan malam. Karena semua makanan sudah matang, Yuna pun menyajikannya di atas meja.
Setelah semua terhidang, Yuna mengambil piring dan mengisinya dengan sedikit makanan. Dia membawa piring itu ke belakang dengan segelas air putih di tangannya.
Yuna duduk di bangku yang ada di taman belakang, dia tidak ingin duduk di meja yang sama dengan suaminya. Bagaimanapun, pernikahan ini hanyalah perjanjian semata. Dia sadar akan posisinya dan lebih memilih menyendiri.
Di dalam sana, Elkan sudah duduk di bangkunya, Beno pun sudah duduk di sampingnya. Bola coklat Elkan berguling liar mencari keberadaan Yuna, tapi tak melihat wanita itu di mana-mana.
"Dimana wanita itu?" tanya Elkan kepada pelayan yang tengah berdiri mengisi piringnya.
"Apa maksud Tuan Nona Yuna?" tanya pelayan yang bernama Diah.
"Tentu saja, siapa lagi?" jawab Elkan dingin tanpa ekspresi sedikitpun.
"Nona Yuna ada di belakang Tuan, beliau makan di taman." ungkap Diah.
"Hufft, baguslah kalau begitu. Jadi aku tidak perlu melihat wajahnya di sini, bisa-bisa selera makan ku hilang!" sahut Elkan sembari bernafas lega, lalu menyantap makanan yang sudah menumpuk di atas piringnya.
Melihat sikap Elkan yang begitu, Beno menghela nafas berat. Dia tak mengerti jalan pikiran Elkan sebenarnya.
"Kenapa memperlakukan wanita itu seperti ini? Ingat Elkan, dia itu istrimu!" tanya Beno kesal, dia tak habis pikir kenapa Elkan tidak menghargai Yuna sedikitpun.
"Apa urusanmu? Biarkan saja dia berbuat sesuka hatinya, aku tidak peduli!" jawab Elkan tanpa rasa bersalah sedikitpun, dia terus saja menyantap makanannya dengan lahap.
"Astaga Elkan, aku tidak mengerti kenapa kau jadi kejam seperti ini? Setidaknya hargailah dia!" geram Beno meninggikan suaranya, dia kehilangan akal menghadapi sikap Elkan yang sulit dinasehati.
"Jika kau peduli pada wanita itu, maka pergi saja kepadanya! Temani dia di belakang sana, jangan banyak bicara di depanku!" ketus Elkan, dia tidak suka mendengar keributan saat di meja makan.
"Baiklah jika itu mau mu. Aku pergi!" Beno bangkit dari duduknya, dia mengangkat piring yang ada di hadapannya, lalu membawanya ke belakang menyusul Yuna.
Melihat Beno yang benar-benar pergi meninggalkan meja makan, Elkan pun menghentikan suapannya. Wajahnya menyala memendam amarah yang berkecamuk di jiwanya. Bukan cemburu, melainkan kesal karena Beno lebih membela Yuna dari pada dirinya.
Di belakang sana, Yuna menyuap makanannya dengan lesu. Hatinya terasa hampa di rumah sebesar itu. Tapi apa daya, dia sudah terlanjur setuju dengan syarat yang diajukan Elkan kepadanya.
Hanya itu satu satunya cara untuk membalas jasa Elkan yang sudah membantu ayahnya terlepas dari hutang yang melilit keluarganya. Jika saja usaha ayahnya tidak bangkrut, mungkin hari ini dia masih bisa tertawa dengan lepas.
"Permisi, boleh aku duduk di sini?" tanya Beno yang sudah berdiri di belakangnya.
Yuna tersentak dari lamunannya, suara besar Beno membuatnya terlonjak, lalu menoleh ke belakang.
"Tuan, apa yang anda lakukan di sini?" tanya Yuna sembari menautkan alisnya.
"Sama denganmu, sepertinya aku membutuhkan udara segar. Boleh aku duduk?" tanya Beno dengan senyumnya yang menawan.
"Oh iya, silahkan Tuan! Ini rumahmu, kenapa harus bertanya?" jawab Yuna, lalu beringsut dari duduknya, memberi celah kepada Beno untuk duduk di sampingnya.
Beno melangkahkan kakinya, kemudian duduk tepat di sebelah Yuna dengan piring yang masih ada di tangannya.
"Kenapa makan di luar? Di dalam masih banyak bangku kosong!" tanya Beno dengan ciri khasnya yang ramah senyum, lalu menatap Yuna dengan intens.
"Tuan sendiri kenapa membawa makanan ke luar?" jawab Yuna dengan pertanyaan pula, membuat Beno terkekeh karena dia sendiri tidak tau jawabannya.
"Jangan panggil Tuan, panggil Beno saja biar lebih akrab!" pinta Beno dengan seulas senyum yang masih terukir di wajahnya.
"Jangan Tuan, kedengarannya tidak sopan!" sahut Yuna yang merasa keberatan.
"Dimana letak tidak sopan nya? Asal kamu tau saja, aku bukan siapa-siapa di rumah ini. Semua ini milik suamimu, aku hanya orang asing sepertimu." jelas Beno mengakui siapa dirinya, selama ini dia tidak pernah menutupi identitasnya dari siapapun.
Yuna membuka matanya lebar. "Benarkah? Aku pikir Tuan keluarganya Elkan, adik kakak mungkin?"
"Kamu salah Yuna, aku hanya anak pungut. Kakek mengadopsi ku dari panti asuhan sejak berusia 7 tahun." jelas Beno dengan jujur.
"Oh, jadi Elkan itu pewaris tunggal keluarga ini? Pantas saja dia begitu sombong." keluh Yuna.
"Benar sekali, dia satu satunya pewaris keluarga ini. Aku hanya menjalani wasiat kakek untuk menjaganya." jelas Beno.
Keduanya kembali melanjutkan makan sembari bercengkrama. Baik Beno maupun Yuna nampak bersemangat menceritakan diri mereka masing-masing. Setelah makanan di piring keduanya habis, Yuna menaruh piring kotor di bawah bangku yang dia duduki.
"Bagaimana pemotretan tadi siang? Apa semuanya berjalan lancar?" tanya Beno melanjutkan percakapan.
"Dari mana kamu tau aku melakukan pemotretan?" tanya Yuna sembari menautkan alisnya.
"Hahahaha, tentu saja aku tau. Bukankah kamu ini brand ambassador nya produk BMS BEAUTY GLOW?" jawab Beno terkekeh.
"Loh, kok kamu tau sih? Kamu menguntit aku ya?" Yuna kembali menautkan alisnya.
"Yeay, siapa yang menguntit? Asal kamu tau saja, perusahaan itu milik suamimu, Bramasta Corp. Cuma lantainya saja yang berbeda." jelas Beno, lalu tersenyum kecil.
"Astaga, benarkah? Kenapa aku harus bergabung di perusahaan miliknya? Jika aku tau dari awal, aku tidak akan mau menandatangani kontrak itu." keluh Yuna, ada sedikit penyesalan terukir pada raut wajahnya.
"Jangan begitu! Bagaimanapun dia adalah suamimu." ucap Beno sembari menatap Yuna dengan intens.
"Suami apanya? Tidak ada yang namanya suami istri diantara kami. Kami tetaplah orang asing yang terpaksa tinggal di bawah atap yang sama." jelas Yuna dengan wajah kesalnya. Meskipun begitu, dia juga sedih karena merasa bak benalu di rumah itu.
"Aku tau kalian saat ini tak ubahnya seperti orang asing. Tapi percayalah, suatu saat nanti semuanya akan berubah." ucap Beno, dia sendiri kasihan melihat Yuna seperti ini.
"Tidak akan ada yang berubah! Jika saatnya tiba, kami berdua akan bercerai." Yuna menghela nafas berat.
"Ya sudahlah, tidak ada untungnya membicarakan ini. Masuk yuk!" ajak Yuna, dia mulai kedinginan sebab hembusan angin yang tak henti membelai tubuhnya.
Setibanya di dalam, keduanya berpisah karena harus memasuki kamar yang berbeda.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!