"Kamu mah enak, punya menantu wanita karier. Sebelum pergi kerja diluar dia sudah ngerjain kerjaan rumah duluan. Lah aku? Buat apa titel sarjana tapi pengangguran? Kerjaannya cuma bisa minta duit suami saja, nggak pernah mikir buat cari kerja." Tutur seorang wanita paruh baya yang sedang ngumpul dirumah tetangga. Suara tersebut begitu deras sehingga membuat telingaku mendengar semuanya.
Ya, wanita paruh baya itu adalah Mama Rima, ibu mertuaku. Ucapan itu terus saja terngiang ditelingaku, padahal akulah yang mengerjakan semua pekerjaan rumah selama ini, termasuk memasak. Terkadang aku berpikir, Apa yang aku lakukan selama ini tidak termasuk bekerja?
Adhira Ulya, namaku. Seorang wanita berumur 23 tahun, lulusan sarjana ekonomi. Tidak terasa aku sedang mengandung anak pertama dari Rayyan Hakim yang saat ini menjadi pegawai di salah satu perusahaan swasta. Pernikahan kami bermula sangat unik, karena semuanya berjalan begitu saja. Bukan karena kami di jodohkan, bukan pula karena dipaksa. Tetapi takdirlah yang bekerja sama dengan semesta.
Memoriku kembali pada satu tahun yang lalu, saat Mas Rayyan mengirimkan sebuah pesan di salah satu akun sosial mediaku. "Assalamu'alaikum, Adhira Ulya. Maaf jika saya lancang, tetapi foto kamu yang tiba-tiba muncul di beranda saya membuat hati saya tergerak untuk berkenalan dengan kamu. Nama saya Rayyan, berikut saya sertakan CV saya kepadamu. Jujur, saya tidak mencari pacar. Jika kamu berkenan, saya akan datang kerumah kamu untuk memintamu pada orangtuamu dengan cara yang baik. Terima kasih, Assalamu'alaikum."
Lelaki itu memperkenalkan dirinya dengan sangat baik dan sopan. Aku tersentak kaget, baru kali ini ada lelaki yang begitu gagah dan beraninya untuk berkenalan denganku. Lalu ku buka 'lah sebuah dokumen yang dikirim oleh lelaki yang bernama Rayyan tersebut, mataku membuatku tersenyum saat melihat biodata yang dikirimkannya. "Rayyan, seorang lelaki yang sangat tampan." Sambil ku tatap foto lelaki itu.
"Kenapa senyum-senyum, Nak?" Aku tersentak saat Ibuku sudah berada tepat di belakangku.
"Ini loh, Bu. Ada laki-laki yang mau ngelamar Dhira. Tapi aneh, Bu ... Dia 'kan belum kenal Dhira, kenapa mau ngelamar?"
Ibu tersenyum, "Lelaki yang seperti itulah yang harus kamu pertahankan! Suruh dia ke rumah jika memang serius. Sekarang sudah jarang laki-laki yang seperti itu, Nak."
"Tapi, Bu ... Dhira baru lulus kuliah, Dhira juga ingin bekerja dulu untuk menyenangkan Ibu dan Bapak."
"Kamu nggak perlu pikirin Ibu dan Bapakmu. Jika jodoh kamu sudah datang, jangan ditunda-tunda lagi Nak."
"Tapi Bu, dia beda kota sama kita dan otomatis Dhira akan pindah kesana."
Ibu tersenyum, "memang tugas seorang istri mengikuti suami, 'kan?"
"Terus Ibu dan Bapak?"
"Masih ada Abangmu, Nak."
"Tapi dia 'kan sudah berkeluarga?"
"Nak, sampai kapanpun anak laki-laki akan menjadi milik ibunya. Jadi walaupun dia sudah berkeluarga, bukan berarti dia tidak milik ibu lagi! Abangmu juga tinggal di sebelah rumah.Jadi nggak masalah, Sayang!"
Seiring dengan berjalannya waktu, Mas Rayyan datang ke rumahku hanya seorang diri. Awalnya ia datang hanya untuk silaturahmi saja, tapi niatnya berubah saat melihat keluargaku yang sangat menghargai kedatangannya. "Pak, Bu ... Izinkan saya menikahi putri kalian, saya janji akan membahagiakannya."
'Deg!
Semua ini begitu dadakan, bahkan aku saja belum mengetahui rencana tersebut. Kulihat Bapak sedang tersenyum, "Bagaimana, Adhira? Apa kamu menerima Nak Rayyan menjadi suami kamu?"
Ku lirik Mas Rayyan sekilas, kurasakan ada desiran disana. Seketika aku seperti terkena hipnotis olehnya, "Insyaallah, Pak." Jawabku malu-malu.
Ucapan itu lolos begitu saja, akhirnya saat itu juga Mas Rayyan memberikan cincin sebagai pengikat kami. "Dua bulan lagi saya akan datang bersama keluarga untuk Ijab Qabul."
Dua bulan bukanlah hal yang lama, Mas Rayyan juga sudah mengirimkan seserahan dan uang maharku agar keluarga kami bisa menyiapkan pernikahan mereka dengan tenang. Mas Rayyan memang laki-laki yang baik, aku sangat beruntung akan memiliki suami sepertinya. Bahkan lelaki itu juga mengatakan jika setelah menikah aku tidak perlu mencari pekerjaan lagi.
Jam berputar, detik berjalan hingga kini semua rencana berjalan dengan baik. Di halaman rumah Bapak yang cukup luas, kami akan menjalankan proses pernikahan. Aku menyiapkan segalanya bahkan acaranya sesuai dengan keinginan dan mimpiku selama ini. Dekorasi yang unik di tempat outdoor seperti inilah yang akan menjadi saksi pernikahan kami.
"Saya terima nikah dan kawinnya Adhira Ulya binti Abdullah Wisnu dengan maskawin tersebut, tunai."
'Klentang!
Lamunanku buyar ketika mendengar suara panci terjatuh, tiba-tiba aku juga mendengar seseorang memanggil namaku. "Dhira! Adhira!" Teriaknya berulang kali.
"
Dua bulan bukanlah hal yang lama, Mas Rayyan juga sudah mengirimkan seserahan dan uang maharku agar keluarga kami bisa menyiapkan pernikahan mereka dengan tenang. Mas Rayyan memang laki-laki yang baik, aku sangat beruntung akan memiliki suami sepertinya. Bahkan lelaki itu juga mengatakan jika setelah menikah aku tidak perlu mencari pekerjaan lagi.
Jam berputar, detik berjalan hingga kini semua rencana berjalan dengan baik. Di halaman rumah Bapak yang cukup luas, kami akan menjalankan proses pernikahan. Aku menyiapkan segalanya bahkan acaranya sesuai dengan keinginan dan mimpiku selama ini. Dekorasi yang unik di tempat outdoor seperti inilah yang akan menjadi saksi pernikahan kami.
"Saya terima nikah dan kawinnya Adhira Ulya binti Abdullah Wisnu dengan maskawin tersebut, tunai."
'Klentang!
Lamunanku buyar ketika mendengar suara panci terjatuh, tiba-tiba aku juga mendengar seseorang memanggil namaku. "Dhira! Adhira!" Teriaknya berulang kali.
"Iya, Ma ..." Dengan gelagapan aku pun menghampiri mertuaku.
"Masak apa kamu? Mama lapar!"
Aku kebingungan mendengarnya, padahal posisi mertuaku berada di meja makan saat ini. "Dhira masak ikan asin dan sambal terasi, Ma."
"Hah? Apa nggak ada makanan lain?"
Aku menggelengkan kepalaku, "Dhira lagi pengen makan sambal terasi, memangnya Mama mau makan apa? Biar Dhira masakin!"
"Kamu itu lagi hamil, nggak boleh makan pedas! Harus banyak makan kuah dan sayuran, ini malah masak yang kering."
"Maaf, Ma. Tapi Dhira memang pengen makan sambal terasi," lirihku. Entah kenapa semenjak hamil aku lebih sensitif sekarang, aku paling nggak bisa di bentak seperti itu dan jika itu terjadi maka loloslah air mataku terjatuh ke bawah.
"Kalau lagi hamil jangan egois, jangan mikirin mulutmu aja! Tuh, pikirin yang di perut." Mama masih saja marah-marah sekarang. Tak ku sahuti lagi, ku biarkan Mama ngomel-ngomel dari pada aku kepancing emosi, pikirku.
Sekarang Mama pergi ke depan, tentunya ia melanjutkan gosipnya dengan IIKK alias Ibu-Ibu Kurang Kerjaan tersebut. Kebetulan sekali aku melanjutkan rutinitasku di sore hari yaitu menyapu halaman. Samar-samar ku dengar mereka masih membicarakanku dan aku memilih untuk diam. "Dhira sudah hamil berapa bulan, Mak Ray?"
"Sudah tujuh bulan, Mak Jaka."
"Jangan dibiarin ngurung diri terus, Nanti susah lahirannya. Ponakan aku dulu kerjaannya baring terus di kamar, ujungnya malah lahirannya di operasi karena jarang gerak!"
"Nanti aku bilang sama anakku!" Ibu mertuaku menimpalinya.
***
Hari menjadi sore, Mas Rayyan sebentar lagi akan pulang. Sementara aku belum juga mandi. Punggungku sakit sekali, aku memilih untuk merebahkan diriku sebentar. "Dhira!" Teriakan Mama mertuaku.
"Iya, Ma." Aku hanya menyahutinya tanpa mendatanginya karena punggungku terasa amat sakit saat ini.
Tak lama kemudian, wanita paruh baya itu masuk ke kamarku. "Astaga! Di cariin malah baring disini."
"Punggung Dhira sakit sekali, Ma." Lirihku.
"Alasan saja kamu. Pergi mandi sana, sudah sore! Ibu hamil dilarang mandi kesorean."
Ku lirik jam dinding yang berada di kamarku, ini baru jam 4 sore tapi kenapa Mama menyuruhku seperti sudah mau maghrib?
"Iya, Ma." Ku jawab dengan sabar.
Bertepatan saat aku selesai mandi, Mas Rayyan suamiku pulang. Aku menyambutnya, semenjak hamil aku senang sekali mengendus-endus dadanya. Mas Rayyan hanya bisa tersenyum geli melihat tingkahku yang aneh ini.
"Sudah ya, Mas mau mandi." Mas Rayyan membelai lembut rambutku.
Aku mengangguk, kusadari kini sudah mau maghrib. "Biar Dhira siapkan bajunya ya," sambil tersenyum.
"Pintar banget sih, istri siapa ini?" goda Mas Rayyan padaku.
*****
Note: Semangat pagi semuanya ....
walaupun sudah sore tetap semangatnya pagi ya!
Author mau rekomendasi novel yang nggak kalah seru nih punya teman Author ...
blurb:
Janji hati Raditya dan Andhini, sampai pada kebahagiaan pernikahan, paska Andhini di wisuda mereka melangsungkan pernikahan mewah yang di cita-citakan.
Berjalannya waktu tak ada yang lain selain kebahagiaan dan kedua orangtua mereka yang bangga dengan keharmonisan rumah tangga anaknya, Tahun berganti, Andhini mulai gelisah dengan keadaan dirinya yang belum menunjukkan adanya perubahan di tubuhnya, Andhini menginginkan anak dan semua itu membuatnya begitu cemas hingga jatuh sakit.
Dalam keadaan sakit Andhini dirawat seorang perawat yang di ambil dari yayasan yatim-piatu bernama Karina. Dari kedekatan mereka timbul niat Andhini menjodohkan suaminya dengan Karina, dan menghasilkan satu kesepakatan diatas kertas.
Terkadang cinta memang tak ada logika, sanggup melawan arus dan menerjang rintangan apapun, apalah artinya kekayaan kalau tak memberinya kenyaman.
Apa Karina juga mau menerima tawaran untuk mengubah kehidupannya?
~ Andhini : 'terkadang atas nama cinta seseorang harus rela berkorban, walaupun itu sesuatu yang sangat dicintainya.'
~ Raditya : sanggupkah aku menjalani apa yang diminta istri tercintanya? walaupun itu di luar kewajaran.'
Pacaran setelah menikah rasanya manis, sangat manis. Suamiku 'lah yang kini menjadi sumber kekuatanku. Suamiku juga yang kini membuat diriku menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Aku, dulunya adalah anak yang manja. Jauh dari ibu dan bapak membuatku menjadi mandiri. Dari kota pindah ke desa membuatku belajar banyak hal sekarang dan aku nggak bisa menjadi diriku yang lama disini.
"Sayang, ada apa?" Suara bariton itu mengagetkanku.
"Mas sudah selesai mandi ya? Hm, wangi!" Aku mengabaikan pertanyaannya dan malah mencium dada suamiku.
"Apa ada yang kamu pikirkan?" Mas Rayyan sepertinya nggak puas jika aku nggak menjawab pertanyaannya.
"Nggak ada, Mas. Dhira tiba-tiba rindu sama Ibu dan Bapak saja."
"Kamu mau pulang? Hm!"
Jujur saja, aku ingin menjawab 'iya!' tapi aku teringat dengan uang lahiran yang cukup mahal saat ini. "Dhira hanya rindu, Mas."
"Kalau mau pulang bilang saja ya, uang Mas cukup kok kalau untuk bawa kamu pulang sebentar."
"Iya, Mas."
"Ya sudah, kamu siap-siap gih! Sebentar lagi kita sholat maghrib."
Inilah yang membuatku semakin jatuh cinta, suamiku benar-benar membawa aku dekat dengan Allah. Tuhan memang adil, ia mengirimkan lelaki yang bisa membuatku menjadi lebih baik, Menerima kekuranganku dan pastinya sangat perhatian padaku.
"Shodaqallahuladzim," ku tutup ngajiku, lalu ku lepas mukenahku. Tak sengaja ku lihat suamiku buru-buru menyimpan ponselnya.
"Apa itu?" Ku dekati suamiku.
"Bukan apa-apa," ia terlihat gelagapan.
"Mas, lihat!" Sambil ku kejar dia dengan kamar kami yang luasnya tidak seberapa itu.
'Hap!
Dengan segera aku menangkapnya dan mengambil ponsel suamiku itu. 'Deg!
"Ini ___"
"Jangan di hapus, Mas suka dengar suara kamu saat mengaji."
Desiran itu tiba-tiba datang, ternyata suamiku diam-diam merekamku saat aku mengaji tadi. "Mas, Dhira malu."
"Kenapa malu? Suara kamu merdu, Sayang."
"Bukan malu karena suara, tapi karena badan Dhira. Tuh lihat, bulat sekali kaya donat!"
Mas Rayyan malah tertawa melihatku, "nggak pa-pa bulat, kamu makin seksi dan makin cantik seperti itu, Sayang."
Aku terdiam, suaranya sudah berat pertanda ia ingin meminta lebih saat ini. "Sayang, Mas pengen."
Hm, sudah kuduga! Apa yang bisa ku lakukan selain mengangguk pasrah?
***
Pagi yang sejuk tidak sesejuk hati ini. Karena tiba-tiba suara teriakan merasuk kuping ini. "Adhira!" Aku mendengar panggilan itu, tetapi mata ini tak juga ingin terbuka.
'Brak!
Pintu di buka dengan kasar membuatku dan Mas Rayyan tersentak kaget, "Ada apa?"
"Ada apa kamu bilang? Sudah jam berapa ini!"
"Astaga, Ma. Ini baru jam 4 pagi, apa nggak bisa kami bangun jam 5 saja?"
"Istri kamu sudah masuk 7 bulan, berarti dia harus keliling rumah dulu minimal sepuluh putaran."
"Apa, Ma? Sepuluh putaran? Itu kebanyakan, Ma. Rumah kita cukup luas." Aku protes karena aku memang tidak sanggup saat ini.
"Seberapa dapatnya saja kalau begitu, pergi sana! Sebentar lagi sholat subuh, nanti malah kesiangan."
'Hufh!
Aku menghela napasku, apa ujian dalam rumah tanggaku adalah mertuaku sendiri? Sepertinya beliau tidak menyukaiku, sudah ku katakan pada suamiku agar kami tinggal terpisah dengan Mama. Tak perlu rumah mewah, yang penting nyaman. tak ada uang memiliki rumah sendiri, menyewa pun jadi. Mas Rayyan hanya menyuruhku untuk sabar, sabar, dan sabar.
*****
Note: Semangat pagi semuanya ...
Author mau rekomendasi in nih, karya teman Author yang nggak kalah kerennya ... cekidot👇
Blurb:
Berharap pada pernikahan dengan Derald seorang aktor muda yang terkenal atas dukungan moril darinya, membuat Aline di butakan cinta oleh pria tersebut.
Derald hanya memanfaatkan kebaikan Aline. Tak ada cinta tulus dari Derald untuk gadis berkacamata dengan jerawat di wajahnya itu.
Hatinya sudah di butakan oleh cinta. Aline tak bisa membedakan mana itu cinta sejati dan cinta palsu hingga perselingkuhan Derald dengan Chyntia yang sama-sama bekerja di dunia entertainment itu sudah menyadarkan Aline. Tersimpan rasa ingin mengalahkan mereka berdua.
Kehadiran pria berpenampilan preman bermata elang itu membawa perubahan untuk Aline. Gadis itu bermetamorfosa menjadi seorang artis yang cantik dan bisa mengalahkan ketenaran kedua orang yang menghina dirinya.
Kedekatan Aline dan Galen menumbuhkan perasaan di antara mereka.
Bagaimana kisah Aline selanjutnya setelah perubahan terjadi dalam dirinya?
Lalu siapa yang memenangkan cintanya?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!