Pagi itu, seperti nya cuaca sangat menjanjikan dengan langkah tegap penuh harapan. Mang ojo segera mempersiapkan segala sesuatunya, mulai dari kacang rebus, baskom dan plastik yang selalu diselipkan di pinggangnya.
Mang Ojo pun segera berpamitan pada istri dan kelima orang anaknya. Inilah kegiatan Mang ojo kesehariannya, sebagai penjual kacang rebus keliling.
Jika dewi fortuna sedang berpihak padanya, maka kacang rebus pun habis terjual. Tapi, jika tidak, jangankan untung yang di dapat, Mang ojo justru membawa tumpukan kacang yang utuh.
Sedangkan istri Mang ojo, fatma bekerja sebagai pemulung, selain memulung Fatma juga mengumpulkan nasi bekas untuk di jadikan nasi aking.
Fatma adalah seorang wanita lembut dan penyabar, Dia tak pernah meminta hal yang berlebihan dari suaminya, kelembutan dan kesabaran inilah yang membuat keharmonisan rumah tangga Mang ojo dapat di pertahankan.
Namun walau demikian, Fatma sering mendapatkan perlakuan kasar di luar sana. Dia sering kali di hina dan di caci maki oleh orang yang nasi bekasnya di kutip.
Bukan hanya sekedar itu nasi bekas itupun kerap kali di lemparkan ke wajahnya.
Seraya menangis Fatma hanya bisa menggerutu dalam hati kecilnya.
“sungguh kejam dunia ini,” ujarnya pelan.
Selain Fatma Mang Ojo pun tak kalah sedihnya, dia juga sering mendapatkan perlakuan kasar dari pelanggannya.
Kadang kacang miliknya yang tak dibayar dan bahkan kacang itu pula yang di timpukan pelanggan ke kepalanya. Padahal hanya karena masaalah sepele, tapi hal itu membuat Mang Ojo rugi besar.
Waktu itu hari Minggu, banyak para pegawai dan karyawan swasta yang tidak bekerja, sehingga taman mini yang biasa tempat Mang Ojo mangkal rame pengunjung, seraya menjajakan jualannya Mang Ojo bersorak.
“kacang, kacang ! beli kacang Pak, Buk, gurih kok.”
Terasa lelah Mang Ojo bersorak, namun tak satu pun yang datang untuk membeli kacang rebus miliknya. Sementara itu, matahari sudah semakin tinggi, terasa begitu menyengat di atas kepala.
Lama Mang Ojo duduk di hadapan tumpukan kacang rebus nya, air mata pria tua itupun menetes tak terasa, dalam hatinya selalu berdoa ke pada Allah agar di beri rezki yang lancar demi keperluan hidup keluarganya.
Seakan tak percaya dengan do’a yang baru saja terucap, tiba tiba saja telah berdiri di hadapannya seorang gadis cantik yang menyapa Mang Ojo.
“Hai Mang ! beli kacangnya doong !” sapa gadis itu.
“Eh Neng, mau beli kacang,” ujar Mang Ojo pada gadis itu.
“Iya Mang, Tapi aku boleh nyicip nggak?” tanya gadis itu, sembari duduk didekat baskom plastik milik Mang Ojo.
“Oh, silahkan Neng,” ucap Mang Ojo tersenyum.
“ O iya, Mang ! Emangnya Mamang berjualan kacang rebus ini udah lama ya?” tanya gadis itu seraya mengupas kacang yang ada digenggaman tangannya.
“Iya Neng, sudah lama ! udah puluhan tahun malah,” jawab Mang Ojo.
“ Kacang rebus Mamang enak lho ! Terasa gurihnya.”
“Ah Neng ! Nggak baik terlalu memuji, rasanya biasa aja kok.”
“Aku nggak muji kok, emang kenyataannya gitu!” ujar gadis itu sembari tersenyum.
“ Sebenarnya nama si eneng siapa sih?” tanya Mang Ojo.
“Nama saya Mang?”
“Iya, Namanya Neng?”
“Nama saya Ranita, saya seorang mahasiswi,” jelas gadis itu.
“Waaah, Hebat dong ! Zaman Mamang dulu, untuk sekolah tamatan SMA aja sangat susah sekali, apalagi harus kuliah.”
“ Emangnya Mamang tamatan apa?” tanya Ranita pada Mang Ojo.
“Mamang tamatan SMA Neng,” jawab Mang Ojo.
“Tamatan SMA ? Itu kan bagus Mang, kenapa nggak cari pekerjaan aja ? Seperti buruh pabrik gitu, atau pekerjaan yang lain yang punya gaji tetap.”
“Itu sih betul neng ! Tapi untuk kota yang jaya seperti Jakarta ini, mencari pekerjaan itu sangatlah sulit, apalagi untuk orang rendahan seperti Mamang,” jelas mang Ojo.
“Ah, apa iya gitu Mang?” tanya Ranita pelan.
“ Buktinya Mamang sendiri neng ! Sudah hampir setiap perusahaan yang ada disekitar sini Mamang datangi dengan membawa surat lamaran, selalu saja ditolak. Tak ada lowongan lah. Tak terima karyawan tamat SMA lah, pokoknya banyak deh alasan mereka ! Neng Ranita tau kan, apa maksud dari alasan itu ?”
“ Hm nggak Mang, nggak tau !”
“Tujuannya uang atau dekingan Neng, Jika tak ada uang atau dekingan, jangan mimpi untuk jadi seorang karyawan.”
“Hmm, begitu ya Mang ? Oh iya Mang, Kayaknya aku mesti pulang nih, nanti Mama nyariin lagi,” ujar Ranita seraya berdiri.
“Neng udah mau pulang?”
“ Iya Mang, berapa semua uangnya Mang?”
“Semuanya lima gelas Neng, hanya sepuluh ribu.”
Lalu gadis itu mengeluarkan uang satu lembar bewarna merah dan menyerahkan nya pada Mang Ojo.
“Wah kalo itu Mamang nggak punya kembalian nya neng,” jawab mang Ojo.
“Sisanya untuk Mamang aja!” Jawab Ranita sambil melangkah pergi meninggalkan Mang Ojo.
“Terima kasih ya Neng ! Terima kasih ya Allah, ternyata engkau memberi rezeki lebih padaku hari ini,” gumam Mang Ojo pelan.
Kemudian Mang ojo kembali bersorak-sorak menjajakan kacang rebus nya, hingga kacang itu laku terjual, masih tersisa sedikit lagi. Lalu Mang Ojo berniat akan memberikan kacang itu kepada pengemis yang ada di bawah jembatan layang.
“ Oh iya, lebih baik kacang-kacang ini aku sedekahkan saja pada mereka.” kata Mang Ojo, Sambil melangkah menuju jembatan layang yang dimaksud.
Setibanya dibawah jembatan layang, Mang Ojo sudah disambut oleh para pengemis, mereka begitu antusias sekali karena mereka sudah tau tujuan Mang Ojo datang ketempat itu.
“Hei, ada mang Ojo ! semuanya kesini!” ujar salah seorang pengemis yang ada dibawah jembatan itu.
“Hai Anak-anak!" sapa Mang ojo kepada para pengemis itu.
“Hai Mang Ojo, mau ngasih kami kacang ya?" tanya seorang diantara mereka.
“Ya, benar ! Mamang mau membagikan kacang ini pada kalian, nih makanlah sepuasnya."
“Terimakasih Mang ! semoga Allah memberi rezki yang lebih buat Mamang sekeluarga,” ucap anak-anak itu serentak.
“ya, sama-sama. Sekarang Mamang pamit dulu ya.”
“Ya Mang!" jawab anak-anak itu lagi.
Sambil melangkah pelan Mang Ojo berjalan menuju rumahnya. Sesampai di rumah, Mang Ojo langsung mencuci kacang yang akan di rebus, setelah selesai diapun membantu istrinya mencuci pakaian dan menanak nasi.
Sebagai lauk, Mang Ojo membuatkan dadar telur untuk kelima orang anaknya. Sementara fatma belum kembali, karena masih memulung botol plastik di jalanan.
Di saat hidangan siap saji, mang ojo pun memukul besi tua yang ada di depan rumahnya sebanyak tiga kali, bertanda makanan telah siap di santap.
Tak lama kemudian datanglah kelima anak Mang Ojo. Dengan sigap dan cepat mereka pun langsung menuju kamar mandi dan mencuci tangan mereka dengan sabun dan setelah itu mereka semua duduk dengan sopan serta teratur, diam dan tenang.
Bersambung...
\*Selamat membaca\*
“Kalian udah cuci tangan?” tanya Mang Ojo dengan suara lembut.
“Udah, Mang!” jawab Mereka serentak.
“Nah sekarang kalian semua boleh makan, tapi jangan lupa apa?”
“Baca do’a!”
“Bagus, nah silahkan dimakan, hanya itu nasi kita hari ini, kalian tak boleh mengeluh, harus sabar."
“Baik Pak!” jawab Alhuda, putra sulung Mang Ojo.
Kemudian Mang Ojo duduk diantara mereka, lalu membagikan sepiring nasi lengkap dengan sayurnya dan secangkir air putih. Salah seorang di antara mereka langsung memimpin do’a, dan yang lainnya menengadahkan tangan mereka.
Cukup tak cukup mereka harus merasa cukup, tak ada kata tambah. Karena hanya itulah nasi yang dimasak Mang Ojo, nasi sisa yang dibuang oleh penghuni perumahan dan dipungut kembali oleh istri Mang Ojo. Nasi bekas itu di cuci lalu di masak kembali.
Walau hidup susah dan berkekurangan, namun Mang Ojo tak pernah melupakan sang penciptanya, Allah yang maha pemurah dan pemberi rezki, dia selalu sujud setiap saat. Begitu pula ajarannya pada kelima orang anaknya.
“Meski hidup kita susah, namun kita tak boleh berputus asa, tetap berusaha dan berdo’a, selebihnya, kita serahkan kepada Allah yang maha pemberi rezki.”
“Iya, Pak," jawab kelima anak Mang Ojo dengan suara lembut.
Mereka saling menyayangi satu sama lainnya. Kata Mang Ojo “ Jika rohani kita diberi makan yang sehat, tentu jasmani kita akan tumbuh kuat,” itulah kenapa Mang Ojo selalu menanamkan nilai-nilai keimanan dalam diri pribadi anak-anaknya.
“Jika harus jadi pengemis maka jadilah pengemis yang beriman dan jika menjadi pejabat jadilah pejabat yang jujur, jangan menindas orang yang tak berdaya, karena doa orang yang teraniaya cepat di ijabah oleh Allah .
Kata-kata itu selalu di sematkan dalam hati sanubari anak-anaknya, agar kelak jika mereka sudah dewasa mereka akan selalu ingat akan pesan orang tuanya.
Karena rasa sakit serta kekurangan yang mereka rasakan sedari kecil, secara tak langsung telah mendidik jiwanya untuk selalu bersifat Qona'ah.
Begitulah setiap harinya, Mang Ojo selalu mengajarkan anaknya dengan lembut dan penuh kasih sayang.
Selain itu Mang Ojo juga menerapkan pendidikan kepada anak- anaknya. Biar hidup susah tapi sekolah tak boleh putus, gali ilmu sebanyak-banyaknya untuk bekal di masa depan nanti.
Namun walau demikian anak Mang Ojo tak pernah mengeluh, sekalipun mereka tak punya apa-apa layaknya teman di sekolahnya.
Sesekali jika ada uang yang bersisa Mang Ojo menyempatkan diri pergi ke toko loak untuk mencari buku bekas demi keperluan sekolah anaknya.
Pagi itu sangat cerah, sepertinya cuaca begitu menjanjikan untuk Mang Ojo berjualan kacang rebus keliling komplek perumahan. Setelah merasa letih berkeliling Mang Ojo duduk sejenak di pinggir trotoar jalan.
Namun nasib sial datang menyambanginya, tiba-tiba saja dari perempatan jalan muncul orang berlarian menuju ke arahnya. Mang Ojo jadi kaget, tak taunya teryata ada pria berpakaian seragam lengkap sedang berlari mengejar para pedagang kaki lima.
Mang Ojo jadi bingung, lalu diapun bergegas untuk lari, saking paniknya salah seorang pedagang menabrak Mang Ojo dengan gerobaknya, Mang Ojo pun terjungkal, kacang rebus nya berserakan di jalanan.
Air mata Mang Ojo menetes sebanyak butiran kacang yang dikutipnya. Tiba-tiba saja, "Plak” sebuah kaki yang menggunakan sepatu dari kulit berwarna hitam menendangnya dari belakang, Mang Ojo pun tersungkur kejalan, kacang yang dikutipnya kembali berserakan.
“Heh, pak tua! Apa kamu nggak tau, kalau ini jalan umum bukan jalan nenek moyangmu!”
teriak pria itu.
“Maaf pak, maaf! Saya baru datang dan belum ada dagangan saya yang laku, tapi Bapak udah bikin dagangan saya rugi hari ini!” jelas Mang Ojo.
“apa kata mu, pak tua? kau bilang rugi!" bentak pria itu, seraya menginjak-injak kacang rebus milik Mang Ojo yang berserakan.
“ya, Allah! tega sekali kalian ini,” kata Mang Ojo seraya menggeser kaki petugas itu dari atas kacang rebus yang di pijaknya.
“Hei, kenapa kau memegang kaki ku!”
“Heh pak! Suatu hari nanti kau pasti akan membayar semua perbuatan mu ini!” seru Mang Ojo dengan suara lantang.
Walau demikian petugas itu tak mengindahkan sama sekali gertakan dari Mang Ojo, seraya terus berjalan petugas itupun terus mengusir pedagang kaki lima lainnya.
Menyaksikan hal itu Mang Ojo hanya bisa duduk terhenyak di pinggir jalan, dia merugi besar hari itu.
“Sabar ya pak, semoga Allah memberikan kekuatan pada Bapak,” ujar seorang wanita tua yang ikut membantu Mang Ojo mengutipi kacang rebus yang berserakan itu.
“Makasih ya Buk! udah repot-repot bantuin saya.”
“Sama-sama pak, udah kewajiban kita menolong sesama, bukan seperti pria itu, bukannya mengayomi tapi malah dia pula yang buat orang kecil seperti kita menderita,” gerutu wanita tua itu seraya melangkah pergi.
Setelah kacang terkumpul semua, Mang Ojo pun duduk lesu dipinggir trotoar. Tiba-tiba saja dia di sapa oleh seseorang yang di kenalnya.
“Hai Mang. Kenapa Bonyok aja? ada masaalah ya, ceritain dong!”
“Eh, ada Neng Ranita rupanya!” kata Mang Ojo sedih.
“Kenapa sedih Mang?”
“Ini Neng para petugas itu udah bikin dagangan Mamang rugi.”
“O ya?”
“Karena ulah mereka dagangan Mamang habis berserakan, untung aja ada orang yang bantu ngutipin, kalau nggak Mamang benar-benar apes hari ini.”
“Ooo, itu masaalahnya! Tapi Mamang tak perlu cemas, kan ada aku disini. Aku punya kejutan lho untuk Mamang.”
“kejutan? Kejutan apa Neng?” tanya Mang Ojo penasaran.
“Tarra ! Ini kejutannya!” seru Ranita seraya mengeluarkan tiga lembar uang ratusan, dan memberikannya pada Mang Ojo.
“Maksudnya apa ini Neng?” tanya Mang Ojo tak mengerti.
“Maksudnya, Uang ini untuk Mamang!”
“Aaah, jangan Neng! Mamang nggak suka di beri sedekah, Mamang masih kuat kok.”
“Kenapa?”
“Lagian, Mamang masih sanggup bekerja kok.”
“Mamang tersinggung ya? Aku nggak bermaksud menyinggung perasaan Mamang lhoh, anggap aja ini uang dari putri Mamang sendiri, jadi Mamang nggak perlu merasa sungkan pada ku," jelas Ranita tersenyum.
“Tapi Neng, uangnya terlalu banyak, Mamang agak merasa takut, kalau Mama Neng Ranita nanti marah!”
“Dah ! Mamang nggak perlu cemas! Mama nggak bakalan tau kok.”
“Maksud Neng Ranita, Si Eneng mencuri uang Mama, gitu?”
“Oh, Bukan Mang! sebenarnya ini uang aku sendiri Mang, lagian berapapun uang Mama kuambil Mama nggak bakalan tau kok.”
“Lho, Kok bisa gitu Neng, itu kan dosa? membohongi orang lain, apa lagi itu orang tua kandung Neng Ranita sendiri.”
“Siapa yang bohong sih Mang, aku nggak bohong kok.”
Bersambung...
\*Selamat membaca\*
“Benar kamu nggak bohong.”
“Aku nggak bohongi mereka Mang ! tapi mereka sendiri yang ngasih izin aku untuk ngambil uang yang aku butuhkan.”
“Tapi walau demikian, Neng Juga nggak boleh seenaknya aja ngambil uang mereka ! Mau Mamang kasih satu resep untuk Neng Ranita?”
“Mau Mang, tapi ! resep apaan sih Mang?”
“Resep jadi seorang anak yang solehah!”
“Mau Mang, mau kali!”
“Kunci untuk menjadi anak solehah adalah, jujur!”
“Haaah ! Cuma itu aja Mang?”
“Ya, Cuma itu aja, tapi berat untuk dilakukan dan dipraktekkan dalam keseharian kita, kalau Neng nggak percaya, Neng boleh buktikan sendiri nantinya. Jika teryata ucapan Mamang salah Neng boleh datang pada Mamang nantinya, dan bilang kalau Mamang pembohong!”
“Ok! Itu mah gampang Mang, Aku akan buktikan ama Mamang kalau Aku bisa melewatinya dengan mudah.”
“Baik mari sama-sama kita buktikan!” tantang Mang Ojo.
“O iya, Mang. Aku boleh kagak, main kerumah Mamang?”.
“Aaah, jangan Neng!”
“Emangnya kenapa nggak boleh? Kan Cuma main doang!”
“Bukan itu masaalahnya Neng, sebenarnya Mamang nggak punya rumah, hanya gubuk reot itupun cukup untuk sekedar berteduh aja biar nggak kehujanan.”
“Nggak apa-apa kok Mang, walau gubuk tapi kalau hati senang apa salahnya.”
“Nanti Neng Ranita bisa alergi kalau main ketempat Mamang.”
“Kagak kok Mang, siapa bilang aku alergi,” jawab Ranita merayu Mang Ojo.
“Kan begitu kata orang kaya Neng.”
“Jangan didengar Mang, mereka itu nggak tau apa-apa, senangnya cuma nyakitin hati orang, padahal keluarga mereka sendiri mereka tak sanggup mengurusnya.”
“Ooo, gitu ya neng?”
“Iya Mang, Nah sekarang boleh kagak aku main kerumah Mamang?”
“Gimana ya? Mamang jadi nggak enak juga nih!”
“Udah, Mamang nggak usah kebanyakan mikir ! ayo kita jalan yuk,” ajak Ranita seraya menggandeng tangan Mang Ojo.
Karena Ranita begitu ngotot, untuk bermain kerumahnya di kawasan kumuh, Mang Ojo terpaksa harus mengikuti kemauannya. Dengan senang hati Ranita mengiringi Mang Ojo dari belakang.
“Ya uda ayo!” jawab Mang Ojo dengan terpaksa.
Diperjalanan Mang Ojo bertanya tentang keluarga Ranita. Dengan gamblangnya gadis belia itu menceritakan keadaan keluarganya pada Mang Ojo.
“Aku anak tunggal, Mang.”
“Jadi Neng itu sendirian, nggak punya kakak dan adik ya?”
“Iya Mang, sementara Papa bekerja sebagai pejabat negara dan Mama bekerja sebagai anggota dewan.”
“Ooo, gitu ya? ternyata orang tua Neng Ranita seorang pejabat?”
"Iya Mang."
“Wah, waah! enak tenan hidup jadi orang kaya!”
“Siapa bilang enak Mang. Buktinya aku sendiri sering menantang perbuatan Papa dan Mama, yang senang bergaya mewah dan menumpuk harta.”
“Menumpuk harta? maksud Neng apa?” Tanya Mang Ojo ingin tau.
“Ya itu! mereka suka membeli barang-barang mewah yang menurut aku, nggak ada gunanya, lalu pergi keluar negeri, buat apa cobak? Kan buang uang aja, toh nggak ada gunanya kan?”
“Iya juga sih! Tapi itukan urusan mereka, duit-duit mereka, kenapa kita yang ikut mikirin!” jawab Mang Ojo dengan gamblangnya.
“Mamang benar, itu memang uang mereka. Tapi apa salahnya kalau uang itu disumbangkan ke panti asuhan, rumah singgah, yang disana itu sangat mereka butuhkan. Tapi aku sebagai anak nggak bias berbuat apa-apa,” kata Ranita sedikit mengeluh.
“Hati-hati Neng!” seru Mang Ojo.
Mendengar Mang Ojo berseru Ranita baru sadar kalau dia sudah jauh melangkah dari rumahnya.
“Apa kita dah nyampe Mang?”
“Belum Neng, ntar lagi juga nyampe kok. Tuh didepan gang sana!” kata Mang Ojo seraya menunjuk kearah depan.
Setelah dekat dari rumah Mang Ojo, puluhan anak-anak sudah antri menunggu kedatangan Mang Ojo.
“Hai Man!" sapa mereka ramah.
“Hai juga anak-anak! kalian mau kacang rebus?”
“Mau Mang, mau!” jawab anak-anak itu serentak.
“Nah kalau gitu kalian ikuti aba-aba dari Mamang ya.”
Kemudian Mang Ojo memukul gelas yang ada di tangannya sebanyak tiga kali, tiba-tiba saja anak-anak itu berlarian entah kemana.
Ranita pun menjadi heran, Mang Ojo kemudian mengajak Ranita duduk di atas tumpukan karung kotor.
Tampa berfikir Panjang Ranita langsung duduk. Tak berapa lama anak-anak itupun kembali dengan mengangkat kedua tangannya.
“Ada pakai sabun?”
“Ada!” jawab anak-anak itu serentak.
Kemudian tanpa harus disuruh dulu mereka langsung mencari tempat duduknya masing-masing. Mang Ojo lalu membagikan sekantong plastik kacang rebus kepada mereka.
“Ingat pesan Mamang, kacang ini tadi terjatuh, jadi ada pasir yang lengket di kulitnya. Sesampai di rumah nanti, kacang ini harus kalian cuci dulu, baru kalian boleh memakannya, dan jangan lupa?”
“Baca do’a!" jawab anak itu serentak.
“Bagus, nah kalian semua boleh bubar."
“Waaah sungguh menakjubkan!” ujar Ranita sambal geleng-geleng kepala.
“Ah biasa aja kok Neng,” jawab Mang Ojo tersipu malu.
“Mamang hebat ya! jarang lho orang seperti Mamang, bikin patuh anak-anak sekampung! aku kagum sekali. Walau hidup sederhana tapi rasa solidaritasnya sangat begitu kental.”
“Ya udah Neng, kalau dengar Neng Ranita memuji, ujung-ujungnya kita nggak bakalan pulang nanti. Ayo kita berangkat, rumah Mamang nggak jauh lagi kok,” ujar Mang Ojo sembari melangkah diantara serpihan-serpihan kaca dan tumpukan kayu.
Jalan berbatu dan bau pengap, itu sudah menjadi pemandangan keseharian bagi penduduk Kawasan kumuh. Bagi mereka hal itu tak pernah di permasalahkan nya.
Setibanya di rumah, Mang Ojo langsung masuk dan mempersilahkan Ranita untuk masuk juga.
Di dalam rumah Mang Ojo, Ranita pun memandangi ruang sempit itu, ada sesuatu yang sangat mustahil dia lihat tapi nyata adanya.
Ranita seakan tak percaya, disebuah rumah kecil dan berada di Kawasan kumuh tapi memiliki interior yang sangat memukau. Walau mengedipkan mata sepuluh kali pun, hal itu tetap nyata adanya.
Rumah Mang Ojo memiliki keunikan tersendiri, didalamnya sangat bersih, semua barang tersusun rapi, rak buku terletak diantara ukiran-ukiran kayu yang terpahat indah.
Lantai rumahnya terbuat dari granit yang tertata rapi. Kemudian Ranita melangkah menuju rak buku, diambilnya salah satu dari buku itu, di sampul bagian luar tertulis ”FILSAFAT”, kemudian Ranita menaruh kembali buku itu pelan-pelan.
Bukan hanya buku itu saja, masih banyak lagi buku-buku berharga yang di simpan Mang Ojo di rumahnya.
Untuk langkah selanjutnya, Ranita kemudian memasuki sebuah ruangan kecil, didalamnya ada lampu yang berkelap kelip, bergelantungan di antara piala dan piagam yang sangat banyak, Ranita tak sempat menghitungnya, mungkin ada puluhan.
Dari kamar yang satu menuju kamar yang lain, terdapat sebuah ranjang besi yang sangat cantik, diatasnya terbentang Kasur yang beralaskan seprai putih dengan motif teratai berwarna ungu dan gorden berwarna pink yang dihiasi dengan bunga-bunga yang indah.
Bersambung...
\*Selamat membaca\*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!